Mengungkap Fakta Pelanggaran Hukum dan HAM Pasca Aksi Anti Rasisme di Tanah Papua

0

Jayapura, EKORA NTT – Satu bulan pasca gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Papua, publik masih mempertanyakan kejelasan terkait adanya korban luka dan jiwa. Pada 2 September 2019, Polda Papua merilis sejumlah kerusakan pasca demonstrasi tanggal 29 Agustus di Jayapura. Disebutkan setidaknya 15 unit perbankan yang dirusak, 7 unit pos polisi yang dirusak dan dibakar. Selanjutnya 24 unit kios dan toko yang dirusak dan dibakar. Terdapat 33 unit kendaraan roda dua dan 36 kendaraan roda empat yang dirusak dan dibakar. 

Kepolisian bekerja dengan cepat dalam merilis data kerugian material. Tetapi masyarakat tidak tahu berapa banyak korban luka dan jiwa terutama dengan adanya beberapa aksi sweeping yang dilakukan kelompok masyarakat tertentu. Hal ini menegaskan adanya upaya pembatasan informasi yang secara sengaja dilakukan. Dan ini merupakan bentuk diskriminasi yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak hak korban dan keluarganya untuk mendapatkan keadilan. 

Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Papua untuk semua (selanjutnya disebut Koalisi) telah melakukan investigasi independen sebagai mekanisme kontrol (check and balances) atas monopoli informasi oleh institusi negara. Berdasarkan temuan Koalisi, pada tanggal 29 Agustus, ada 3 warga sipil yang tertembak. Dua warga terkena peluru nyasar saat massa aksi demonstrasi di Expo Waena, 1 warga lainnya tertembak di Abepura, pasca aksi demo.

Selain itu, Koalisi menemukan adanya aksi sweeping yang dilakukan oleh Kelompok masyarakat tertentu pada tanggal 30 Agustus. Akibatnya, setidaknya 9 orang mengalami luka berat dan ringan karena senjata tajam. Sedangkan 1 orang pemuda meninggal dunia.

Pada tanggal 1 September 2019 juga telah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat terhadap penghuni Asrama Mahasiswa Nayak I Kamkey, Abepura. Akibatnya, sebanyak 19 orang menjadi korban (17 orang mengalami luka karena lemparan batu dan senjata tajam, 1 orang meninggal karena tertembak dan 1 orang  lain terluka karena tembakan.

Koalisi juga menemukan setidaknya 8 orang masyarakat sipil dan 1 anggota TNI meninggal dunia dalam aksi demonstrasi di Deiyai pada tanggal 28 Agustus. Selanjutnya, 17 orang mendapatkan kekerasan fisik dan 2 orang luka karena tembakan aparat. Sampai saat ini, aparat masih terus melakukan penyisiran dan masyarakat masih mengalami intimidasi dan teror. 

Korban tembak, luka, dan kekerasan fisik juga ditemukan di Timika dan Fakfak. Berdasarkan investigasi Koalisi, 2 orang tertembak dan setidaknya 18 orang mengalami kekerasan fisik di Timika pada tanggal 21 Agustus. Sedangkan di Fakfak, pada hari yang sama, 1 orang terkena luka tikam, 1 orang terkena lemparan batu dan 1 orang terkena peluru nyasar. 

 Sayangnya upaya pengungkapan pertanggung jawaban pidana bagi para pelaku  belum dapat diketahui oleh publik. Padahal pihak kepolisian secara agresif terus melakukan penangkapan terhadap mereka yang diduga sebagai provokator demonstrasi. 

Selain melakukan investigasi terkait berbagai peristiwa pasca demo melawan rasisme, Koalisi juga mendirikan Posko Pengaduan Masyarakat Sipil-Papua Untuk Semua (selanjutnya disingkat Posko Ko Masi Papua) pada 9 September 2019. Inisiatif ini lahir untuk mendapatkan data yang kuat dan valid terkait berbagai laporan masyarakat dengan maraknya intimidasi dan teror. 

Seminggu pasca pendiriannya, Posko Ko Masi Papua terus menerima pengaduan dari masyarakat. Per tanggal 14 September, tim posko telah menerima 26 laporan, terkait dengan penangkapan diluar prosedur hukum, intimidasi dan teror sampai pada laporan hilangnya seorang anggota masyarakat pasca aksi demonstrasi. Pengaduan yang masuk berasal dari beberapa kota di Papua dan Papua Barat. 

Koalisi memperkirakan pengaduan akan terus meningkat seiring dengan intensnya aksi penyisiran dan penangkapan yang  terus dilakukan oleh aparat. Oleh karena itu Koalisi meminta korban maupun keluarga korban untuk dapat melapor, baik mereka yang mendapat intimidasi, teror, salah tangkap hingga kekerasan fisik. Laporan masyarakat ini sangat penting dalam membangun narasi alternatif bagi pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban.

Koalisi juga menaruh perhatian  pada penangkapan sewenang-wenang yang sedang dilakukan di Papua dan Papua Barat.  Menurut data Koalisi, sudah ada 96 yang ditetapkan tersangka. Di Jayapura ada 39 orang, Kabupaten Timika : 8 orang, Kabupaten Deiyai : 16 orang, Kabupaten Manokwari : 19 orang dn Kota Sorong : 14 orang.

Hanya dalam waktu satu bulan,sudah ada 96 tersangka di Papua dan Papua Barat. Akan tetapi penangkapan dalam jumlah besar ini tidak prosedural dan imparsial. Koalisi menemukan pola penegakkan hukum yang tidak proporsional, dengan ketiadaan surat perintah penangkapan dan tembusannya kepada keluarga, adanya penyiksaan, pelanggaran hak atas bantuan hukum hingga dugaan salah tangkap.  

Aksi penyisiran, intimidasi, teror dan penangkapan yang terus dilakukan oleh aparat seakan bertentangan dengan narasi ‘kondusif’ yang terus disampaikan oleh negara dan instrumennya.  Kegagalan lain negara dalam memberikan rasa aman terbukti dengan kepulangan ribuan mahasiswa dari berbagai kota studi ke Papua. Banyak laporan yang diterima Koalisi terkait perlakuan rasis, intimidasi maupun teror yang mereka trima pasca demonstrasi anti rasisme. Tetapi juga karena ketakutan yang dialami oleh keluarga mereka. 

Keberadaan mahasiswa ini menunjukkan bahwa persepsi ‘aman’ dan ‘kondusif’ seperti yang dinarasikan negara, tidak menjadi pengalaman kolektif. Pemerintah harus memastikan hak mereka untuk tetap melanjutkan pendidikan tetapi juga jaminan atas keamanan mereka.  Koalisi mendesak Pemerintah pusat, pemda provinsi Papua dan Papua Barat, maupun pemerintah kabupaten dan kota untuk bertanggung jawab secara penuh atas nasib ribuan mahasiswa tersebut.  Mereka adalah korban dan tidak boleh dijadikan beban apalagi diabaikan hak nya untuk mendapatkan akses pendidikan. Karena kepulangan mahasiswa merefleksikan kegagalan negara dan instrumentnya dalam memastikan keamanan setiap warganya tanpa terkecuali. 

Oleh karena itu, Koalisi menyampaikan tuntutan sebagai berikut:

  1. Meminta pemerintah dan kepolisian untuk mengeluarkan data valid terkait jumlah korban luka dan jiwa pasca demonstrasi 
  2. Memastikan adanya tuntutan hukum terhadap para pelaku kejahatan 
  3. Menjamin para korban dan keluarganya bisa mendapatkan reparasi yang menyeluruh dan efektif
  4. Memastikan pemenuhan terhadap hak-hak tersangka demonstrasi selama menjalani pemeriksaan. 
  5. Pemerintah menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap advokat, aktivis, jurnalis dan pembela HAM
  6. Hentikan kriminalisasi pasal makar terhadap masyarakat sipil Papua
  7. Mengadakan peninjauan mendalam terkait taktik yang digunakan polisi dan tentara dalam penanganan kerumunan massa
  8. Segera menarik semua pasukan BKO dari seluruh wilayah di Tanah Papua dan memperkuat peran pemerintahan sipil di Tanah Papua
  9. Melaksanakan pemulihan hukum dan sosial akibat konflik sosial pasca-kerusuhan yang terjadi di provinsi Papua dan Papua Barat. 
  10. Membuka akses seluas-luasnya  bagi jurnalis dan pekerja kemanusiaan ke Tanah Papua 
  11. Meminta tanggung jawab penuh pemerintah nasional, provinsi, serta kota dan kabupaten di Papua dan Papua Barat untuk memenuhi hak ribuan mahasiswa terhadap akses pendidikan pasca kepulangan ke Papua
  12. Pemerintah pusat segera menyelesaikan konflik Papua secara komprehensif dan bermartabat.

Rilis Pers ‘Koalisi Masyarakat Sipil -Papua Untuk Semua (Ko Masi Papua)’, Selasa, 17/9/2019.

Gagasan Kecil di Balik People Power, Pameran Foto Andry Sola

0

Kami duduk di kamar berukuran 1.5×3 m di sebelah selatan keramaian jalan. Tidak ada yang berubah dari situasi kamar itu: galon, tiga buah gelas, sendok yang baru dibeli, sebuah komputer bekas, kipas angin, toilet dan kamar mandi yang sedikit pengap akibat sisa kotoran yang tersumbat.

Yang berubah hanyalah tumpukan pakaian yang makin tinggi. Barangkali telah seminggu tak masuk mesin cuci. Andry memainkan sebuah laptop pemberian saudarinya dari Italia, sedang saya menikmati lelucon satir Abdur di akun youtube.  

Jeda di antara kamar sempit bermula percakapan ketika ia melontarkan pendapat tentang bagaimana caranya bertahan hidup sambil tetap fokus pada hobi. Hobi itu tidak sekedar alat hiburan atau pengisi rasa lapar. Ia merasa hobi perlu menjadi ide yang tetap hidup, segar; menjadi media produksi pengetahuan dan pada akhirnya hadir sebagai suara perlawanan terhadap berbagai sistem dan mekanisme hidup yang barangkali jauh dari harapan. Ide itu adalah dialektika kehidupan yang tak mencapai titik penuh.

Kami merencanakan sebuah perjalanan singkat. Perjalanan itu akan sampai di beberapa titik singgah yang kami anggap cukup untuk belajar dan bertahan hidup. 

Meski pada akhirnya rancangan perjalanan singkat tersebut tercapai, kami mesti menjalankannya dengan bentuk yang berbeda. Salah satu sekolah menengah atas yang giat dalam aktivitas kesenian di Maumere mengundang kami untuk terlibat dalam produksi teater di Bandung. Di sepanjang jalan-jalan di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta-lah, ide awal di sebuah kamar kecil itu mendapat apinya. 

Saat kembali Agustus lalu, seorang rekan kami, Eka Nggalu berusaha merumuskan apa yang kami pikiran dan saksikan dalam perjalanan singkat itu, “pekerjaan pertama kita adalah menciptakan lingkungan”, katanya. Kembali ke kamar tidur kecil itu, kami mulai bekerja untuk apa yang telah kami mulai sejak empat tahun yang lalu. 

***

Pameran foto tunggal dengan tema People Power merupakan salah satu bentuk pengembangan wacana yang dilakukan oleh Komunitas KAHE Maumere melalui salah satu karya anggotanya yakni Andry Sola. 

Karya-karya yang terangkum dalam pameran ini merupakan kumpulan karya Andry selama menjalankan profesinya sebagai fotografer. Andry merekam kumpulan perjalanannya dalam foto, tidak sekedar sebagai sebuah dokumentasi atas kerjanya -sebagaimana untuk menjawab kebutuhan finansial atau bisnis pesanan oleh orang-orang yang membutuhkan tenaganya- melainkan, lebih dari itu, Andry merekamnya sebagai suatu catatan perjalanan yang hendak berbicara lebih jauh dan lebih dalam tentang fenomena kehidupan yang barangkali sering lepas dari pengamatan dan refleksi bersama banyak orang.

Inisiatif untuk melaksanakan pameran ini pertama kali muncul saat file-file foto itu ditemukan ketika Andry sedang membongkar-bongkar laptopnya. Melihat kualitas yang kuat dari foto-foto terbengkalai itu, komunitas KAHE berinisiatif untuk menampilkannya sebagai sebuah karya pameran. Foto-foto itu pun bisa dijadikan sebagai pemantik untuk membahas masyarakat dan aktivitasnya, dalam hubungannya dengan kekuasaan, entah negara, entah kapital.

Ada sebuah pertanyaan mendasar yang coba diangkat dalam pameran foto ini: apakah seni, dalam hal ini foto, mampu menjadi jalan untuk mengungkapkan problem masyarakat dalam hubungannya dengan kekuasaan?

***

Dua puluh lima foto yang dipajang dalam pameran tunggal Andry Sola dalam rangka 50 tahun STFK Ledalero merupakan karya orisinal yang menampilkan wujud masyarakat Flores pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dipajang dalam format segitiga dengan menggunakan empat buah praktisi, karya yang dipajang dalam bingkai di dua sisi partisi ini seakan-akan mengajak para pengunjung untuk melihat realitas kehidupan tidak saja pada satu sisi: permukaan, depan, halaman, panggung, tetapi lebih jauh masuk ke dalam, ke ruang paling inti, menyibak sekat-sekat, ke kedalaman, ke inti kehidupan. 

Pernyataan ini tidak bermaksud menegasi apa yang barangkali selama ini melekat erat dan dekat dengan kehidupan kita. Sebab, barangkali potret atau kerja fotografer juga tidak lepas dari kepentingan, rasa lapar dan prestise di kalangan seniman foto sendiri. Atau memang foto terbatas pada pengambilan realitas dalam frame tertentu semata. Karena itu, kejujuran merupakan prasyarat utama dari karya yang dipajang sebagai wacana melawan sesuatu secara mainstream ditampilkan, meskipun yang ditampilkan itu hanyalah kepalsuan. 

Sambil melihat kemungkinan-kemungkinan lain tentang keterbatasan foto dan fotografer, barangkali pernyataan di atas adalah sebuah kalimat reflektif yang perlu dibenturkan dengan keras sebagai sebuah gugatan kepada sekalian kita yang sering terjebak dalam aktivisme semu belaka. 

Mengikuti skema yang membawa para pengunjung menuju keseluruhan pameran ini, foto dibuka dengan tarian adat Sikka; sebuah ritus pembersihan ladang yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di kabupaten Sikka.

Dalam tarian adat ini, seorang pria ditopang beberapa pria lainnya menggunakan sebilah bambu. Selanjutnya, penari tersebut (yang hanya menggunakan perutnya sebagai tumpuan di atas bambu itu) menari dengan gerakan melingkar, dibantu oleh para penopang di bawahnya. Tarian dalam ritus berkebun ini barangkali telah pudar bersama masuknya teknologi yang membanjiri hari-hari kehidupan kita.

Andry memotret dan memajangnya tidak sekedar sebagai pintu masuk bahwa pameran tersebut terjadi di Maumere; atau memotretnya sebagai sebuah ritual dan tidak sekedar ditampilkan sebagai hiburan para pejabat. Lebih jauh, foto ini berbicara tentang kemungkinan melihat tarian sebagai identitas yang perlu bergerak di antara gempuran teknologi yang kian masif melanda kehidupan masyarakat kita.   

Bergerak ke timur ruang pamer, pengunjung dihadapkan pada potret seorang bapak bersama para penumpang kapal dalam Semana Santa; tradisi agama dan budaya masyarakat Flores Timur. Selain itu, foto-foto yang merekam anak-anak di kampung Wuring, sebuah  perkampungan nelayan di utara kota Maumere ini juga tampak kuat sebagai cerita tentang keseharian orang-orang Flores pada umumnya; laut, terik yang menyengat, sekolah, agama, tempat bermain dan mengejar ilmu masih kuat dalam kebiasaan anak-anak Flores. Tidak hanya itu, cerita tentang seorang ibu yang menenun di kampung adat Bena, Bajawa, Kabupaten Ngada turut memberi cerita tersendiri tentang betapa kayanya orang-orang Flores dalam kebudayaan yang melingkupinya.

Selain di kampung Wuring, Andry juga merekam aktivitas anak-anak Kojadoi yang kembali ke kampung halamannya setelah sekolah berakhir. Melewati daratan kecil yang bakal hilang jika pasang laut terjadi, foto ini bercerita tentang pentingnya persatuan antara sekolah dan alam; tempat manusia berpijak dan melangsungkan hidupnya. Barangkali foto ini juga dapat ditafsir sebagai sebuah kritik terhadap lembaga pendidikan yang dalam penerapan ilmunya seringkali menjauhkan subjek pendidikan dari realitas keseharian tempat ia berpijak.

Refleksi dan kritik ini sejalan dengan dua foto di sampingnya. Foto tersebut merekam dua orang anak yang menghabiskan waktu bermainnya di pusat gempa tahun 1992. Gempa pada tahun 1992 merupakan peristiwa kelam bagi masyarakat Flores umumnya dan orang-orang Maumere khususnya. Meski telah terjadi di 27 tahun yang lalu, peristiwa kelam ini mestinya tidak sekedar menjadi trauma, tetapi lebih dari itu mesti menjadi ingatan yang menggerakan warganya untuk selalu memelihara ekosistem pantai dan segala lanskap pantai yang melingkupinya. 

Peristiwa laut memang dekat dengan kehidupan orang-orang Flores. Di kampung Wuring misalnya, aktivitas itu melekat erat. Kapal, jangkar, layar, ban, rumah papan, bukanlah sekedar atribut, tetapi penanda identitas yang melekat dengan orang-orangnya. Andry memotretnya tidak sekedar sebagai potongan foto untuk selanjutnya diverifikasi sebagai sebuah pertanyaan tentang benar tidaknya peristiwa itu, tetapi merekamnya sebagai cerita saat pertama kali dinikmati dan terbentuk dalam imajinasi. 

Selain merekam peristiwa laut, Andry juga memotret peristiwa ekonomi yang dekat dengan kehidupan para nelayan. Kehidupan ekonomi ini terlihat dalam aktivitas jual-beli di Tempat Penjualan Ikan (TPI) Maumere pada pagi hari. Meski tampak sebagai rutinitas, foto tersebut merekam peristiwa lazim yang barangkali tak lazim bagi sebagian tempat di Indonesia bahkan belahan bumi ini. Seorang muslimah, menggunakan jilbab menerima dengan tulus seorang biarawati di salah satu sudut TPI itu. Potret tersebut tidak sekedar merekam peristiwa sebagai peristiwa, sebagaimana lazimnya toleransi yang telah kuat mengakar dalam masyarakat Flores dan Maumere khususnya. Tetapi lebih dari itu, potret tersebut merekam peristiwa sebagai pesan tentang betapa indahnya perbedaan.

Andry memang sengaja menempatkan warna hitam putih dalam pameran tunggal yang pertama ini. Bukan tanpa alasan ia memilih warna hitam putih ini. Menurutnya, sejak menggeluti profesi sebagai fotografer sejak 2012 silam, ia masih percaya bawah pekerjaan seorang fotografer akan berakhir pada mesin cetak. Foto yang dicetak baginya memiliki kekuatan tersendiri.

Namun, di era media sosial, banyak fotografer terjebak dengan tuntutan penikmat media. Akibatnya, banyak fotografer menggunakan warna tanpa mempertimbangkan alasan-alasan kuat yang melatarbelakanginya. Imbasnya, foto kehilangan kekuatan ceritanya. Itu sebabnya, dalam pameran kali, Andry tidak sekedar mengangkat foto-foto itu ke partisi karena sesaknya file foto dalam hardisknya. Namun lebih dari itu, ada semacam penegasan dan perlawanan di balik alasan-alasan pameran itu dilaksanakan. Andry ingin agar foto-foto itu sendiri memberi ceritanya, dan kita, sebagai pengunjung dan penikmat bebas memberi warna pada foto-foto itu. 

Barangkali, pameran tunggal pertama di kota Maumere ini tak sedalam gerakan masyarakat di Metro Manila, Filipina tahun 1986 yang menggulingkan pemerintah korup otoriter Ferdinand Marcos. Namun, sebagiamana Eka Putra Nggalu dalam catatan kuratorialnya, foto-foto ini merekam narasi-narasi keseharian masyarakat di beberapa kampung dan pinggiran kota yang tak tersentuh oleh isu-isu besar dan global yang mendapat perhatian media dan diperbincangkan sebagai isu nasional. Foto-foto dalam pameran ini secara tegas mengkritik kecenderungan demokrasi yang kerap terjerumus dalam antroposentrisme dan universalisme yang sempit. 

Gee Mario, penggiat di Komunitas KAHE, Maumere

Catatan redaksi: Pameran Tunggal Fotografi Andry Sola yang diberi judul “People Power” dilaksanakan pada 4-6 September 2019, di ruang teologi STFK Ledalero, bertepatan dengan perayaan 50 Tahun STFK, Ledalero-Maumere

Bupati TTU Tunggu Hasil Penyidikan Dugaan Malpraktik di RS. Leona

0

Kefamenanu, EKORA NTT – Bupati TTU Raymundus Fernandes, S.Pt mengaku masih menunggu hasil penelusuran tim yang menelusuri dugaan malpraktik bayi Mariano. Hasil penelusuran akan dikaji dari aspek aturan untuk menentukan sanksi yang akan diberikan.

Hal ini disampaikan Bupati TTU saat ditemui awak media di Kantor Bupati TTU, Senin (16/09/2019).

“Apakah pelanggaran yang terjadi bersifat administratif atau sudah masuk ranah pidana,” ujarnya.

Jika pelanggaran yang terjadi bersifat administratif, maka Pemkab akan menyikapinya. Namun, jika sudah masuk dalam ranah pidana, maka Pemkab akan merekomendasikannya kepada Polres TTU untuk diproses.

Dia menegaskan bahwa manajemen RS Leona Kefamenanu harus teliti dalam mempekerjakan tenaga medis. SOP yang dimiliki pihak rumah sakit harus dipatuhi dalam bekerja agar tidak menimbulkan korban dari pihak masyarakat.

Sementara Kapolres TTU AKBP Rishian Krisna Budi Aswanto ketika ditemui secara terpisah mengatakan, proses penyelidikan kasus dugaan malpraktik di RS Leona Kefa masih terus dilakukan. Terkait dengan pemanggilan terhadap tiga orang tenaga medis yakni dr. Lusi, dr. Gina dan perawat yang memberikan pelayanan medis pasca operasi caesar terhadap ibu dari bayi Mariano. 

Agenda awal, ketiganya dipanggil dan diperiksa pada Rabu (11/09/2019), tetapi tertunda karena ketiganya berhalangan. Pihaknya akan menjadwalkan ulang pemanggilan dan pemeriksaan terhadap ketiga orang itu.

Selain melakukan pengembangan penyelidikan, pihaknya juga tengah menanti hasil laboratorium forensik untuk memastikan penyebab kematian bayi Mariano. Pihaknya telah memeriksa direktur dan dua orang dokter dari RSUD Kefamenanu, yang sempat menangani bayi Mariano yang tidak memperoleh perawatan di Rumah Sakit Leona Kefamenanu.

Untuk diketahui, bayi Abraham dilahirkan di RS Leona melalui operasi caesar. Pasca operasi, bayi tersebut diinfus dan luka bekas infus mengalami infeksi.

Keadaan bayi bertambah buruk setelah dipulangkan dari Rumah Sakit Leona Kefamenanu. Orangtua membawa kembali bayi ke Rumah Sakit Leona Kefamenanu karena kondisi lukanya terus membengkak dan suhu badannya terus naik.

Namun, dokter di RS tersebut “menolak” memeriksanya dengan alasan sedang rapat. Karena tidak mendapatkan perawatan, sementara kondisi bayi mengkhawatirkan, maka orangtua membawa bayi Abraham ke RSUD Kefamenanu. Di rumah sakit milik Pemkab TTU itu, bayi Mariano divonis telah menderita infeksi parah yang sudah menjalar ke lambung. Bayi naas itu tak tertolong dan meninggal dunia di RSUD Kefamenanu, Minggu (25/08/2019) dini hari. 

Langkah tegas diambil Bupati Timor Tengah Utara (TTU) Raymundus Sau Fernandes menyikapi kasus dugaan malpraktik bayi Abraham Mariano Moni di Rumah Sakit Leona Kefamenanu akhir Agustus lalu, yang melibatkan dokter “pinjaman” dari RSUD Kefamenanu.

“Saya telah perketat dengan membatasi para dokter RSUD Kefamenanu menambah jam kerja di rumah sakit lain. Bekerja di luar RSUD bisa saja jika ada MoU antara RSUD Kefa (Kefamenanu) dengan rumah sakit yang bersangkutan.

Tapi pelayanan RSUD Kefa tetap jadi prioritas,” tegas Bupati Raymundus.

Menurut Raymundus, Pemkab TTU telah menyurati Direktur RSUD Kefamenanu untuk meminta para dokter ASN membatasi jam kerja di rumah sakit lain sambil menanti proses MoU.

“Saya sudah minta perketat dokter di RSUD Kefa untuk menambah jam kerja di rumah sakit lain. Harus ada MoU antara RSUD Kefa dengan rumah sakit lain sehingga pelayanan di RSUD Kefa tetap maksimal,” tegasnya.

Dalam MoU nanti, akan diatur hingga pola rujukan. 

“Saya juga sudah keluarkan surat ke Direktur RSUD Kefamenanu untuk mengingatkan semua dokter spesialis maupun dokter umum agar memprioritaskan tugas pokoknya di RSUD Kefa,” tegasnya.

Bagi Raymundus, pola kerja sama tidak bisa secara serampangan menggunakan MoU pribadi antara dokter RSUD dengan rumah sakit lain. 

“Para dokter kan ASN. Kalau tidak ada MoU dan tidak diketahui oleh Bupati, maka itu pekerjaan liar. Saya sudah surati dan meminta praktik itu dihentikan sambil menunggu proses MoU,” katanya.

Santos

Dua Desa di TTU Belum Lakukan Pemilihan Kepala Desa

0

Kefamenanu, Ekorantt.com – Sebanyak dua desa di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) belum melakukan pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak pada 26 Agustus 2019 lalu. Dua desa tersebut yakni Desa Oebikase dan Letneo Selatan.

Hal tersebut disampaikan Plt. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten TTU, Juventus Kabelen, Senin (15/09/2019) saat ditemui di ruang kerjanya.

Dua desa tersebut sebenarnya dijadwalkan melakukan pemilihan kepala desa bersama dengan 26 desa lainnya pada Agustus lalu. Namun, pihak panitia pemilihan kepala desa yang dibentuk oleh BPD tidak melakukan tahapan pelaksanaan pemilihan kepala desa.

“Dari 28 desa, 26 desa berjalan dengan baik sampai dengan hari H. Dua desa yang tidak melakukan pemilihan itu yakni Desa Oebikase dan Letneo Selatan karena tahapan pilkades tidak berjalan,” ungkap Juventus.

Ia mengatakan, pemilihan kepala desa di dua desa yang belum melakukan pemilihan kepala desa tersebut ditunda ke tahun 2021. Hal tersebut dikarenakan sistem pelaksanaan pemilihan kepala desa menuntut berlangsungnya proses di tahun ganjil.

Juventus juga menjelaskan, setelah diberikan kewenangan oleh BPD, panitia pilkades tidak melakukan proses tahapan pemilihan kepala desa dengan baik seperti desa lain.

“Pelaksanaannya tersendat-sendat. Mungkin karena ada persoalan di tingkat desa. Melihat waktu, tidak mungkin dilakukan pemilihan tahun ini sehingga harus ditunda ke 2021,” ujarnya.

Untuk melancarkan pelayanan di dua desa tersebut, jelas Juventus, maka akan dilakukan penunjukan penjabat kepala desa yang bertugas sampai tahun 2021 mendatang.

“Kita akan menunjuk penjabat kepala desa untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di dua desa itu,” jelasnya.

Santos

PKBM Bravostart Ngada Jalani Proses Akreditasi

0

Bajawa, Ekorantt.com – Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Bravostart, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, menerima kunjungan dari tim akreditasi tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (16/09/2019).

Penerimaan dilakukan secara adat, diiringi tarian Ja’i, tarian khas masyarakat Ngada.

Direktur PKBM Bravostart, Benediktus Lagho mengatakan, kehadiran tim asesor merupakan sebuah dukungan dalam bentuk pengakuan bahwa aktivitas lembaga ini diakui secara legal, berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional.

Benediktus menerangkan, aktivitas lembaga ini telah sesuai dengan standar proses dan alur pendidikan nasional, mulai dari SKL, standar isi, proses, penilaian, PTK, biaya, pengelolaan, dan sarana prasarana.

“Dari pemenuhan delapan standar tersebut, setelah saya lihat, lembaga ini sudah selayaknya perlu legalitas dari pemerintah” katanya kepada EKORA NTT.

Ia menerangkan, banyak pelajar di PKBM Bravostart juga berasal dari lembaga pemerintahan seperti Perangkat Desa dan Pegawai Reli TVRI.

“Kami yakin bahwa lembaga ini akan diakreditasi. Nilai tidak menjadi persoalan, yang penting lembaga ini terakreditasi dahulu” ujar Ketua Taman Belajar Masyarakat (TBM) Ngada itu.

Sementara itu salah satu warga belajar PKBM, Stefanus Kolo menyampaikan terima kasih kepada Direktur PKBM Bravo Start sehingga pelaksanaan penilaian akreditasi bisa dilaksanakan. Ia mengaku, proses akreditasi ini membawa semangat belajar yang baru bagi dirinya.


“Lembaga ini sangat membantu kami menambahkan dan mengembangkan wawasan baru bagi banyak hal” pungkas Anggota BPD Desa Rigi itu.

Adeputra Moses

Kisah Rofina, Bidan dan Petani Sayur Unggul

0

Bajawa, Ekorantt.com – Seorang tenaga kesehatan di salah satu Puskesmas di Kecamatan Golewa Barat, Kabupaten Ngada memiliki kreativitas yang tinggi dalam menanam sayur-sayuran, seperti kol, sawi, tomat, dan rawit. Setiap hari, selain menjalankan tugas profesionalnya sebagai seorang bidan, ia juga mengelola kebun sayur pribadinya. Kedua aktivitas itu ia lakukan dengan penuh cinta.

Bidan pecinta kebun sayur itu bernama Rofina Luna, A.Md., Keb. Ia mengaku telah jatuh cinta dengan kebun dan sayur-sayuran. Ia mencoba menanam sayur sejak dahulu, dengan insting dan percobaan sendiri. Ketika menjadi ketua PKK di salah satu desa di Kecamatan Golewa Barat, Kabupaten Ngada, ia mendapat kesempatan belajar strategi pengolahan tanaman sayur.

Rofina bercerita, tahun 2013, dirinya belajar secara serius tentang penanaman sayur. Proses belajarnya menuai hasil. Di tahun yang sama, bersama tim PKK perwakilan Kabupaten Ngada, ia mendapatkan Juara I di tingkat provinsi dalam kompetisi pengolahan tanaman.

Tidak hanya gelar juara, aktivitas berkebun yang ia tekuni juga menuai hasil secara ekonomi. Ia mengaku, selama kurang lebih lima tahun, selain memungkinkannya menghemat uang belanja, penjualan sayur juga menambah penghasilannya.

“Dari uang gaji, saya tidak perlu beli sayur, lombok karena semuanya saya tanam sendiri. Saya menanam sayur sampai ribuan pohon dan jika dijual akan menghasilkan sekitar dua puluhan juta” terang Rofina ketika diwawancara pada Senin (16/09/2019).

Menurut Rofina, ilmu mengenai penanaman dan pengelolaan sayur-sayuran kerap ia pelajari dari buku dan internet. Selebihnya adalah usaha percobaan terus-menerus, entah gagal, entah berhasil. Baginya tidak ada yang tidak mungkin dipelajari di zaman yang sudah maju seperti sekarang ini. Setiap orang bisa memperoleh penghasilan ekonomi bahkan melalui hobi-hobinya.

“Salah satu yang membuat saya bisa terus berjuang sampai saat ini adalah usaha sayur yang sebenarnya berangkat dari hobi ini ternyata juga bisa memberikan penghasilan ekonomi, selain gaji profesi yang saya terima” ujar Rofina.

Adeputra Moses

Mengenal Srikandi Balai Gelekat Lewotana Flores Timur

0

Larantuka, Ekorantt.com – Srikandi itu bernama Maria Dominika Lamoren, akrab dipanggil Nona. Memenangkan konstelasi Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) tahun 2019, tentu menjadi kebanggaan tersendiri baginya.  

Mengingat dunia politik dikenal sebagai dunia yang penuh intrik dan trik yang selalu didominasi oleh kaum laki-laki. Maka tak heran pilihan karir dan kesuksesannya dalam konstelasi Pileg 2019 ini menjadi suatu yang menarik untuk diperbincangkan.

Bermodalkan ijasah Sarjana Ilmu Managemen Bisnis yang dalam pandangan orang kebanyakan tidak cocok dengan dunia politik. Namun,  lagi-lagi pemilik Hotel Fortuna Larantuka ini, kembali membuktikan bahwa ijasah bukanlah sebuah standar untuk berkarir di dunia politik.

Kemenangan yang diraih oleh Nona Lamoren tentu menjadi sesuatu yang sangat spesial bagi Partai PDI Perjuangan khususnya Dewan Pimpinan Cabang (DPC)Flores Timur.

Pasalnya sejak diadakan pemilu legislatif secara langsung, baru kali ini partai berlambang Banteng Merah Moncong Putih ini berhasil meraih kursi dari Dapil VI Solor.

Selain itu kemenangan, ini juga menjadi catatan sejarah bagi DPC PDI Perjuangan Flores Timur untuk pertama kalinya mengutus figur perempuan masuk dalam Balai Gelekat Lewotana.

Sukses dalam Usaha

Terlahir sebagai anak pertama dari ayahnya Hendrikus Gula Lamoren seorang pengusaha di Flores Timur, dirinya juga  memilih meniti karir dalam dunia usaha sejak tahun 1999. Berbagai bidang usaha ia geluti.

Mulai dari membuka tokoh buku, berjualan sembako, membuka toko, warung makan, restoran, hingga membuka hotel.

Dalam menjalani dunia usaha, Nona Lamoren pernah mengalami masa-masa sulit yang tak pernah dilupakannnya. Kala itu, pada tahun 2009 ketika ia membuka cabang bisnisnya restoran di Ruteng. Kerugian yang dialaminya mencapai Rp500 juta namun semua dijalaninya dengan sabar.

“Saya pernah rugi hingga ratusan juta. Sekitar Rp.  400 sampai Rp. 500juta. Saya buka restoran di Ruteng, Manggarai. Waktu itu ada masalah. Kerugian itu sempat buat saya drop. Akhirnya saya ambil jeda beberapa tahun kemudian kembali lagi berbisnis,” kisahnya.

Kerugian telak dalam bisnis ini tak membuatnya patah arang. Tahap demi tahap kembali ia lewati. Tercatat dua usaha bisnisnya yang terkenal di Kota Larantuka hingga saat ini adalah Restoran Ujong Aro dan Hotel Fortuna Larantuka.

Selain dikenal sebagai pebisnis handal, Nona Lamoren juga aktif di berbagai organisasi sosial. Tak sekedar menjadi anggota, berkat kemampuan managemen yang dimilikinya, membuatnya dipercayakan memegang posisi penting di dalam organisasi.

Beberapa posisi penting yang ia jabat dalam organisasi yang aktif diikutinya antara lain adalahsebagai Ketua Forum Komunikasi Pemerhati dan Pejuang Hak-hak Perempuan (Forkom P2HP) Kabupaten Flores Timur.           

“Saya beruntung mempunyai suami yang tidak membatasi saya dalam bekerja dan berorganisasi. Suami selalu mendukung saya untuk belajar mengembangkan diri di organisasi,” jelas Istri dari Eduard J. Fernandez, Kepala Dinas Perumahan Rakyat Kabupaten Flores Timur ini.

“Bahkan suami saya sangat mendukung saya saat saya berniat untuk terjun ke dunia politik,” tambahnya.

Saatnya Wanita Berperan

Pilihannya maju di Partai PDI Perjuangan karena jatuh cinta dengan sosok perempuan, pemimpin partai PDI Perjuangan Nasional, Megawati Soekarno Putri.

“Saya suka dan terinspirasi oleh sosok Megawati. Ketua Umum Nasional Partai PDI Perjuangan. Ia wanita yang tegas dan kuat. Figur pemimpin perempuan yang sangat mengagumkan untuk saya,” ucap Nona.

Rupa-rupanya sosok yang menginspirasi putri dari Sang Proklamator ini sudah lama berniat bergabung di Partai PDI Perjuangan. Namun niatnya kala itu kandas sebab kurang percaya diri untuk bergabung.

“Sudah dulu sekali saya ingin masuk ke PDI Perjuangan, hanya saya merasa kurang percaya diri. Kenal lebih intens dengan pengurus PDI Perjuangan Flores Timur itu sekitar awal tahun 2017,” kisah Nona Lamoren.

“Saat itu saya diminta untuk jadi kader di PDI P. Setelah mengikuti pendidikan kader di partai. Saya diminta partai untuk maju caleg. Lalu saya buat permohonan untuk maju dari dapil V Solor dan disetujui.  Memang suara hati saya sejak dulu PDI Perjuangan, dan harus maju dari Solor,” Nona Lamoren menambahkan.

Tentang harapan masyarakat pemilihnya, Nona berkomitmen memperjuangkan aspirasi rakyat khususnya hak-hak perempuan.

“Saatnya perempuan berperan. Perempuan Lamaholot juga bisa terjun kedunia politik dan menang. Bukan laki-laki saja yang bisa. Wanita memiliki kepekaan lebih tinggi dibandingkan pria yang lebih dominan dengan logika,” tegasnya.

Selamat berjuang untu rakyat!

Konglomerasi Korporasi Melawan Konglomerasi Koperasi

Oleh : Suroto*

Ketika kita mendengar istilah konglomerat atau konglomerasi, alam bawah sadar kita pasti langsung tertuju pada perusahaan swasta besar yang digerakkan oleh modal finansial dan kuasai bisnis dari hulu hingga hilir.

Tapi ini berbeda, konglomerasi sosial adalah penguasaan hulu dan hilir dari bisnis namun ada di tangan masyarakat secara terbuka dengan konsep setiap satu orang satu suara dalam tentukan kebijakan bisnis dan organisasi.

Apakah ini sekadar teori? Tidak, ini sudah terjadi di negara lain dan sedang mulai dipraktekkan dari pedalaman Kalimantan Barat, suatu tempat yang mungkin kita tidak duga sebelumnya.

Agustus lalu, pengurus Koperasi Trisakti (KOSAKTI) diundang oleh Koperasi Keling Kumang Group (KKG), sebuah jaringan konglomerasi sosial koperasi di Kalimantan Barat.

Tujuan kami adalah melakukan observasi lapangan, melihat potensi-potensi ekonomi lokal yang bisa dikembangkan dan juga penjajagan kemungkinan kerjasama dengan organisasi kami KOSAKTI.

KKG ini berkantor pusat di Tapang Sambas, Sekadau. Kantornya ini berada di enclave, sebuah kantong hutan lebat di tengah kepungan perkebunan sawit.

Menurut Munaldus Nerang, pendiri KKG, luasan anclave (kantong) hutan yang masih dapat dipertahankan ini sekitar 3000 an hektare.

Hutan tersebut masih dapat dipertahankan dari serbuan korporasi sawit karena masyarakat memang diberikan kesadaran untuk menolaknya melalui gerakan koperasi.

“Masyarakat di dusun Tapang Sambas ini segera menyadarinya karena mereka melihat di daerah lain ternyata perkebunan sawit itu telah membuat masyarakat menjadi kehilangan tanahnya dan hanya menjadi buruh kebun sawit,” kata Munaldus membuka obrolan saat makan siang.

Saya sendiri sebetulnya sudah sering ke sini. Mungkin sepuluh kali. Tapi saya baru mendengar kalau ternyata hutan rimbun di sekitar kantor itu adalah kantong hutan hasil perjuangan untuk melawan penetrasi korporasi sawit.

Munaldus dan kawan-kawan mudanya sekitar dua puluh lima tahun lalu mengorganisir warga di desanya ini melalui sebuah pengembangan gerakan koperasi kredit (Credit Union).

Gerakan kecil untuk menolong diri sendiri dengan cara bekerjasama di antara mereka sendiri itu telah menjadi rumah demokrasi bagi 174 ribu anggotanya dan asset bersama yang bernilai 1,4 trilyun.

Melalui 5 pilar kerja swadaya, solidaritas, pendidikan, inovasi dan persatuan dalam keberagaman itu, Keling Kumang Group bertumbuh terus jadi sebuah konglomerasi sosial.

Anggota-anggotanya diberikan dukungan oleh koperasi berupa pengembangan usaha produktif seperti peternakan madu, ayam, penanaman padi, pengembangan industri pangan rumah tangga dan lain sebagainya.

Secara kelembagaan, koperasi ini juga telah melakukan spin off (pemekaran)  ke sektor riil. Seperti pendirian lembaga kursus, sekolah dan perguruan tinggi, sektor pertokoan (ritel), sektor jasa perhotelan, sektor pertanian, konservasi alam, jasa konstruksi dan lain sebagainya.

Munaldus adalah dosen Universitas Tanjung Pura. Dia ini lulusan ITB dan Ohio University, Amerika Serikat. Orang yang berpenampilan sederhana dan penuh ketenangan ini tidak tinggal diam ketika warga desanya mengeluhkan terjadinya penyerobotan tanah (land grabbing) oleh korporasi.

Dia tahu, untuk melawan korporasi yang sistematik itu dia gunakan juga kekuatan lawan tanding dengan mengorganisir warga melalui koperasi.

Dia tahu bahwa untuk menyadarkan masyarakat itu tidak mudah. Sebab korporasi-korporasi itu menekan warga dengan berbagai cara. Termasuk mengadu domba warga dan memecah belah ikatan sosial antar-keluarga.

Obrolan dalam sesi makan siang  semakin hangat. Kami membicarakan soal konservasi hutan dan penyelamatan Owa Kalimantan yang langka basis koperasi yang juga mulai dirintis Munaldus. 

Selama ini kita mengenal konsep-konsep konservasi alam itu selalu berbasis pembiayaan dari donor luar. Miskin keterlibatan warga.

Munaldus telah mematahkan mitos besar itu. Melalui koperasi yang dia kembangkan bukan hanya membuat hutan dan habitat di dalamnya selamat, tapi sekarang  melalui kepemilikkan lahan hutan oleh koperasi sebanyak 68 hektare telah juga jadi tempat penyelamatan Owa Kalimantan yang sudah langka itu.

Warga anggota koperasi dengan sukarela menyerahkan binatang yang telah mereka tangkap, mereka juga menyerahkan kepemilikkan lahan hutan pribadi untuk dikelola koperasi. Hutan ini akan mereka jaga secara adat.

Tak hanya itu, Munaldus Nerang juga mulai merintis untuk jadikan kawasan tersebut sebagai wisata hutan yang indah basis koperasi. Dia ingin kelak hutan tersebut tak hanya jadi tempat wisata tapi juga pusat pembelajaran bagi konservasi alam, koperasi dan juga laboraturium hidup untuk penelitian keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.

Kami telah sepakat untuk mendirikan sebuah kelompok epistemik di sini. Munaldus memberi nama Keling Kumang Institute. Ini akan jadi sebuah lembaga think thank dengan kegiatan training kepemimpinan dan keterampilan mutakhir, riset dan pengembangan sumber daya lokal.  Dalam waktu dekat akan segera dilaksanakan lokakarya pembentukkannya.

Munaldus adalah seorang pemimpi yang ingin menjadikan mimpinya itu segera menjadi kenyataan. Seperti praktek konglomerasi sosial koperasi di negara lain yang sebagian dia pernah kunjungi.

Di negara lain, konglomerasi sosial ini sebetulnya telah berkembang pesat. Di negara tetangga kita Singapura seperti NTUC Fair Price misalnya, konglomerasi koperasi ini dimiliki oleh 800 ribu warga mereka dan kuasai pangsa pasar bisnis ritel hingga 73 persen dan sektor strategis lain.

Konsep ini juga berkembang di Spanyol seperti Mondragon Worker Co-operative  yang jadi perusahaan terbesar di Basque, Spanyol dan dimiliki 80 ribu pekerjanya secara equal.

Ini juga berkembang di Srilanka seperti konglomerasi sosial SANASA Group yang dimiliki 3,9 juta warga dan bergerak di 16 sektor ekonomi strategis, dan ini juga berkembang masif di Amerika Serikat di sektor pertanian, listrik, perbankan dan lain-lain yang telah jadikan Amerika Serikat dengan jumlah anggota koperasi terbanyak di dunia, meliputi 40 persen dari penduduk mereka.

Apa yang dilakukan Munaldus dan kawan-kawannya adalah tindakan untuk mengoposisi model pembangunan koperasi yang selama ini selalu dibangun secara top-down (dari atas) dengan jargon pembinaan yang sebenarnya penuh kepentingan agenda nasional yang seringkali berseberangan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara mandiri.

Berangkat dari praktek ini, potensi koperasi sebagai jaringan konglomerasi sosial sebetulnya memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia. 

Gerakan ini juga penting untuk membalikan opini dari masyarakat yang selama ini selalu mengesankan koperasi hanya sebatas usaha simpan pinjam dan ribawi, sebagai urusan bisnis kecil-kecilan.

Untuk menggaet anak-anak muda agar mampu melihat kembali arti penting dan efektifitas koperasi untuk membangun bisnis bersama sama dengan asas subsidiartas. Apa-apa yang tidak bisa dikerjakan sendiri dikerjakan melalui koperasi, sebagai manifestasi dari konsep ekonomi gotong royong, ekonomi solidaritas secara alamiah.

Koperasi sesungguhnya adalah konsep bisnis self-regulated organization, organisasi yang mengatur diri mereka sendiri. Namun dalam praktek, gerakan ini sebetulnya menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam hadapi soal regulasi dalam pengembanganya.

Sebab, selain kita dapati undang-undang perkoperasian yang tidak relevan dengan aspirasi dan identitas koperasi juga banyak produk-produk perundang-undangan perihal ekonomi dan kemasyarakatan yang berlaku diskriminatif terhadap koperasi. 

Dalam undang-undang dan berbagai produk kebijakan, koperasi sengaja disub-ordinasi dengan selalu disebut sebagai bagian dari badan hukum yang selalu musti dibina dan dijadikan sebagai alat penyaluran program pemerintah.

Di antara undang-undang yang secara terang-terangan lakukan diskriminasi dan mensub-ordinasi terhadap koperasi misalnya undang-undang (UU) penanaman modal yang hanya bolehkan investasi asing dalam bentuk perseroan, penggunaan badan hukum yang hanya boleh perseroan dalam UU Rumah Sakit, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan dalam skala masif misalnya adalah Peraturan Menteri Desa yang paksakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) wajib berbadan hukum perseroan dan lain sebagainya.

Sampai hari ini kita juga masih diatur oleh undang-undang koperasi tersendiri yang kualitasnya jauh dari identitas koperasi. Sementara rancangan undang-undang perkoperasian baru paska dibatalkan undang-undang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi belum jelas juntrunganya.

Draftnya juga isinya sangat mengecewakan karena koperasi akan dikerdilkan dan bahkan diberangus hak demokrasinya dengan jadikan Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) yang dipimpin Nurdin Halis selama 20 tahun sebagai wadah tunggal dan semua koperasi dipaksa membayar iuran untuk mereka, organisasi yang selama ini tidak jelas manfaatnya bagi koperasi.

Intinya, kita juga butuh produk perundang-undangan yang ramah terhadap konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi Konstitusi. Akankah kita loloskan RUU Perkoperasian yang kerdilkan koperasi tersebut? atau kita biarkan saja korporasi kapitalis itu menelan semuanya.

*Suroto, Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)

Polikarpus Do Majukan Pendidikan NTT Lewat PKBM

0

Ende, Ekorantt.com – “Jika ingin melakukan tindakan untuk menyelamatkan kaum kecil dan terpinggirkan, lakukan sekarang. Jangan menunda karena kehidupan ini milik Tuhan. Kita tidak tahu kapan akan berakir,” demikian keyakinan Polikarpus Do, Ketua PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Bintang Flobamora Kupang.

Untuk menjadi seperti sekarang ini, kata Poli, demikian ia disapa, bukan perkara yang mulus. Pria kelahiran Ende 18 Mei 1982 ini ditempa dari tantangan demi tantangan.

Berasal dari keluarga yang sederhana di Kampung Kamubheka, Maukaro sana tak membuat nyalinya ciut. Ia terus berjuang. Di balik perjuangan itu, buah hati pasangan Maria  Riti dan Markus Keu ini pun mampu meraih sukses.

Sejak  tahun 2013 silam, Poli fokus mengembangkan PKBM Bintang Flobamora hingga sekarang. Niatnya adalah menyelamat anak-anak yang putus sekolah.

Anak-anak putus sekolah harus diperhatikan demi mewujudkan visi mencerdaskan anak bangsa. 

Berkat tangan dinginnya, PKBM Bintang Flobamora berkembang pesat dan memberikan kontribusi berharga bagi pendidikan di Kota Kupang dan Propinsi NTT.

Taring PKBM Bintang Flobamora pun tidak perlu diragukan lagi. Tidak hanya berkualitas di level lokal, tapi PKBM besutan Poli ini mengukit prestasi di panggung pendidikan nasional.

PKBM Bintang Flobamora tidak hanya memberi ruang belajar yang terbuka berkualitas tetapi menjadi sarana penyediaan tenaga kerja lewat ruang praktek dan pelatihan-pelatihan. 

Lebih lanjut, Poli menjelaskan, akan mengembangkan program diantaranya; memperkuat kualitas SDM lembaga, Penguatan unit usaha PKBM dan Koperasi, memperluas akses kemitraan, menyediakan sarana PKBM yang lebih memadai, melakukan publikasi dan membuka cabang PKBM Bintang Flobamora di setiap kabupaten.

PKBM Berprestasi

Prestasi teranyar yang diraih PKBM Bintang Flobamora yakni penghargaan di tingkat nasional sebagai Juara 1 penyelenggaraan kelembagaan terbaik PKBM di seluruh Indonesia.

PKBM Bintang Flobamora mampu menyisihkan 5 PKBM lain di Indonesia dalam lomba lembaga PKBM terbaik nasional.

Lomba yang dirangkai sebagai Lomba Kelembagaan dan Warga Binaan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Kesetaraan, Dirjen PAUD dan DIKMAS Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI di Tangerang ini berlangsung  pada 4-7 Agustus 2019 lalu.

Melalui proses kompetisi yang ketat, hasil pemaparan atau presentasi program dan inovasi program PKBM Bintang Flobamora dinilai oleh para juri sebagai yang terbaik.

Penghargaan ini diserahkan Dirjen PAUD dan Dikmas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Haris Iskandar kepada Ketua PKBM Bintang Flobamora, Polikarpus Do dalam Perayaan puncak Hari Aksara Internasional (HAI) 2019 di Kota Makassar, 7 September lalu

Dalam balutan pakaian adat Ende, Poli, demikian sapaan manisnya, maju ke panggung dan menerima penghargaan yang sangat bermakna ini. Rasa haru dan bangga menyelimuti hatinya.

Poli mangaku bangga karena perjuangan yang telah mulai sejak awal sungguh tidak sia-sia. Selalu ada jalan dalam setiap kesulitan yang dihadapinya. Dengan mendapatkan pernghargaan ini, Poli akan terus mengabdi dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi generasi masa depan bangsa.

 “Juara ini milik masyarakat NTT terutama pegiat PKBM. Kita tidak puas dengan juara nasional. Kita ingin buta aksara dan angka putus sekolah di NTT dari tahun ke tahun terus turun,” tegas Poli.

Komunitas Tato Maumere Tangkal Stigma Negatif tentang Tato

0

Maumere, Ekorantt.com – Komunitas Tato Maumere mendapat kesempatan emas untuk lebih dekat dengan masyarakat dan mengenalkan siapa mereka.

Pertemuan mereka kali ini agak berbeda pasalnya untuk pertama kali komunitas tato itu beriteraksi secara langsung dengan anak-anak sambil membicarakan topik tato. Bicara soal tato tentu pro kontra sudah terbayang di kepala pembaca.

Biasanya Komunitas Tato Maumere berkolaborasi dengan komunitas orang dewasa. Kali ini, Komunitas Tato Maumere bersama Komunitas Huruf Kecil memperkenalkan tato kepada anak-anak. Mereka coba menepis stigma buruk tentang tato itu sendiri dari kalangan anak anak.

Kegiatan yang berlangsung di Taman Patung Teka Maumere pada 7 September lalu ini diikuti oleh belasan anak dari usia 3 sampai 13 tahun yang tergabung dalam Komunitas Huruf Kecil.

Para pegiat komunitas Tato membagikan pengalaman bagaimana mereka memutuskan bertato, bagaimana mereka hidup bermasyarakat, dan bagaimana seharusnya masyarakat menilai mereka termasuk anak-anak.

Anak-anak yang tergabung dalam Komunitas huruf kecil sangat antusias tanpa sekat dan takut bertanya. Pertanyaan sederhana soal apa itu tato, apakah proses tato itu menyakitkan keluar dari imajinasi mereka. Selain itu, mereka juga diajarkan teknik menggambar sederhana.

Ketua Komunitas Tato Maumere, Yosep Tobias Parera alias Dody mengaku penting bagi mereka untuk memberi pemahaman kepada anak-anak.

“Sesuatu yang mereka belum tahu buat mereka menjauh, menjaga jarak, kami tidak ingin itu,” ucap Dody.

“Anak-anak kalau lihat kami mereka lari, takut, ada yang bisik-bisik seolah kami hendak berbuat jahat,” tambahnya.

Komunitas Tato ingin anak-anak tahu bahwa tato tidak identik dengan orang jahat. Justru banyak orang jahat yang tidak bertato. Komunitas Tato menghargainya sebagai seni.

Bagi mereka, tato mengabadikan memori, pengalaman, dan memiliki cerita di baliknya.

Agar maksud dan pesan soal tato bukan kriminal ini tersampaikan dengan baik kepada anak-anak, komunitas tato Maumere melakukan pendekatan yang dapat diterima oleh anak anak.

Bahasa yang digunakan juga tidak sulit, bahasa sehari-hari yang penting anak mengerti dan senang.

Diakui Dody, fakta yang terjadi di masyarakat adalah minimnya pemahaman mengenai orang bertato. Masyarakat menilai sebelah mata, segala perbuatan kriminal, melawan hukum, dialamatkan pada orang bertato.

Padahal sejarah tato di NTT berkembang dari upaya selamat dari perbudakan seks di zaman penjajahan misalnya. Para gadis membuat tato sendiri untuk menandai dirinya sudah menikah agar tidak menjadi bulan bulanan tentara jepang yang sedang birahi.

Komunitas tato berharap anak anak komunitas huruf kecil bisa menjadi agent of change, “mereka mau membawa pesan bahwa tato bukan kriminal, tato bukan jahat,” ucap Dody.

Ketua Komunitas Huruf Kecil, Qikan berharap agar dengan kegiatan ini anak dapat bergaul tanpa sekat, bertumbuh dengan baik, dan memiliki pandangan yang positif.

“Kami mau supaya anak-anak bisa bergaul dengan siapa saja dan tidak menilai orang dari penampilan,” ungkapnya.

Menurut dia, keluarga bukan lagi satu-satunya faktor penentu baik tidaknya tumbuh kembang seorang anak.

Anak butuh lingkungan layaknya keluarga yang terus membagi nilai nilai positif yang bersumber dari kehidupan sehari-hari termasuk dari mereka yang memilih seni rajah tubuh.

Di samping itu hal menarik yang dapat dipetik adalah bagaimana geliat komunitas di Maumere ini saling dukung dan membagi hal baik untuk kemajuan lingkungan dan anak bangsa.

Sudah saatnya semua elemen masyarakat dan pemerintah melek, dan tidak menutup diri, saling bahu membahu melawan persoalan yang tengah kita alami.

Aty Kartikawati