Daud Yordan, DJ Top Asia dan Artis Nasional akan Ramaikan NTT Big Fights 2

Maumere, Ekorantt.com – Perhelatan tinju bertajuk NTT Big Fight 2 di Kota Maumere, Kabupaten Sikka tinggal menghitung hari.  

Sebanyak 44 petinju tanah air baik yang berdomisili di Kabupaten Sikka maupun dari daerah lain akan meramaikan perhelatan tinju yang berlangsung pada 1-3 Agustus ini.

Event NTT Big Fight 2 berbeda dengan NTT Big Fight sebelumnya yang hanya menampilkan petinju lokal. Kali ini, Ring Arena Promotion menghadirkan petinju internasional asal Thailand, Manot “Spider” Comput.

Petinju Thailand ini akan melawan petinju NTT asal Sumba, Yansen Hebbi Marapu untuk pertandingan gelar WBC kelas ringan Asia.

“Pertandingan nanti merupakan pintu awal kejuaraan tingkat Asia. Dalam pertandingan nanti juga akan memperebutkan sabuk emas Gubernur NTT dan Bupati Sikka. Bagi petinju terbaik akan mendapatkan sabuk emas tokoh tinju Indonesia, Brigjenpol Jhoni Asadoma,” ucap Patrick Juang Rebong, Promotor Ring Arena Promotion kepada Ekora NTT. 

Patrick mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Bupati Sikka dan semua pihak terkait. Promotor muda itu bertekad melanjutkan visi Gubernur NTT mewujudkan NTT bangkit melalui cabang olahraga tinju.

Selain menghadirkan 24 partai tinju profesional dan amatir pilihan, event akbar yang berlangsung di Stadion Gelora Samador ini akan menghadirkan beberapa hiburan.

Diantaranya, DJ Top Asia, Irina, dari Rusia yang datang khusus untuk menghibur masyarakat kota Maumere. Selain itu, ada juga pelatihan bela diri dari artis nasional,  Simone yang merupakan bintang layar lebar Indonesia.

Ketua Ring Arena NTT, Toni Kolin menambahkan, event nanti akan menghadirkan Daud Cino Yordan. Daud Yordan akan melawan bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diego dalam partai eksebisi. 

“Pihak kami sudah berkoordinasi dengan Daud. Beliau siap hadir untuk pertama kali di NTT dan itu di Sikka. Beliau semangat untuk menghidupkan animo tinju di Sikka dan NTT,” kata Toni.

Elisa Maksensia

Berjibaku Melawan Stigma ODHA

Mbay, Ekorantt.com – Kisah tentang Frumensius Lodhu, Napi Lapas kelas II Bajawa, tentu sudah berakhir dengan kematiannya beberapa waktu lalu.

Frumensius merupakan narapidana yang menghuni Rutan Kelas II Bajawa sejak 21 November 2018 lalu.

Dia divonis Pengadilan Negeri (PN) Bajawa dengan hukuman 12 tahun penjara karena terbukti melakukan pemerkosaan terhadap seorang pelajar SMA di Kota Mbay, Nagekeo.

Kematiannya sekaligus menutup semua kisah tentang lika-liku hidupnya.

Yang memilukan adalah Melati (nama samaran) (17 tahun), korban pemerkosaan yang dilakukan Frumensius.

Pada masa remajanya, dia harus mulai berjibaku dengan stigma sebagai Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Stigma itu disematkan warga kepadanya setelah mereka tahu bahwa pelaku yang menggagahinya adalah seorang penderita AIDS.

Pekan lalu, Ekora NTT menyambangi rumah korban. Bibi korban yang ditemui saat itu mengaku, Melati dan seluruh masyarakat di sekitar rumah korban telah tahu bahwa pelaku yang memperkosa Melati telah meninggal dunia akibat virus HIV.

Mereka mengetahui berita tersebut setelah media online voxntt.com merilis berita itu. Menurut berita tersebut, Frumensius meninggal akibat komplikasi penyakit dan virus HIV.

Dua hari setelah berita itu diterbitkan, wartawan Ekora NTT menghubungi Kepala Rutan Kelas II Bajawa Mustawan untuk memastikan kebenaran informasi itu.

Melalui sambungan telepon, Kalapas Bajawa membenarkan bahwa Frumensius Lodhu memang telah meninggal dunis akibat komplikasi penyakit dan HIV.

Menurut Mustawan, kepastian penyakit yang diderita Frumensius berdasarkan data dari RSUD yang memeriksanya.

Sebagai langkah antisipasi terhadap korban, TP2AD Kabupaten Nagekeo berjanji akan segera melakukan tes laboratorium untuk membuktikan kemungkinan tertularnya penyakit dari pelaku kepada korban pada Senin (8/7/19).

Hentak Rupiah Pesta Kita

“Teman, kita punya pesta sudah menjadi industri,” celetuk seorang sahabat . Itu adalah kesimpulan dari amatannya selama ini.

Memang ia doyan memerhatikan hal-hal aneh dan unik yang jarang dilirik kebanyakan orang. “Betul teman”.  Demikian ia sekadar meyakinkan kesimpulannya.

Apa yang dikatakan sahabat tadi menegaskan cerita-cerita receh di balik kemeriahan pesta seperti salon-salon pengeras suara membubung tinggi di kemah pesta.

Dekorasi dengan tampilan yang memukau dan instagramable.Pengalaman mencecap  menu makan pesta yang bermacam-macam dengan pelayan berseragam yang cantik-cantik.

Cekrekan kamera sepanjang acara membuat momen diabadikan. Suara para penyanyi pesta yang memacu adrenalin untuk berdansa dan bergoyang.

Tentu saja tempat pesta, entah gedung atau tenda jadi, juga memberikan nuansanya tersendiri.

Hal-hal ini berkelindan bikin suasana pesta jadi lebih hidup. Pesta menjadi lebih bergairah.

Sungguh sebuah pengalaman yang jamak dan lumrah dalam pesta apa saja, baik nikah, tabisan imam baru, sambut baru, acara ulang tahun dan pesta-pesta lainnya.

Bahkan ada yang berujar “sekarang kematian jadi pesta, ya pesta kematian”. Kini acara kematian tidak ada bedanya dengan acara pesta sukacita kecuali dalam hal musik.

“Di pesta menunya bermacam-macam, di acara kematian juga menunya banyak. Yang kurang di acara kematian adalah tidak ada musik pesta”.

Diakui, pesta di NTT bukan lagi sekadar aktivitas budaya ataupun aktivitas sosio-religius. Kini pesta juga berkembang sebagai aktivitas ekonomi.

Penyelenggaraan pesta membawa efek domino bagi pelaku usaha. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya usaha-usaha ekonomi yang mengitari sebuah pesta.

Usaha-usaha ini tumbuh mekar dan hadir dalam banyak bentuk dengan tawarannya masing-masing. Para pelakunya memanfaatkan momen pesta untuk meraup rupiah.

Bahkan hidup matinya bergantung pada frekuensi pesta. Ada bulan yang pestanya ramai, pelaku usaha tersenyum bahagia. Ada juga bulan sepi dan itu membuat usaha mereka tak bergairah.

Usaha Tenda Jadi

istimewa

Efek domino pesta dirasakan Filipus Inosensius Da Silva (40), seorang pengusaha tenda jadi dari Nita, Kabupaten Sikka. Ia mulai berbisnis tenda jadi sejak tahun 2010.

Sebelumnya, ia bekerja serabutan sejak memilih berhenti sebagai pekerja LSM pada tahun 2002.  

“Dari tahun 2002, saya kerja apa saja. Kadang jadi ojek. Kadang antar dan jual barang di pasar. Pokoknya kerja apa saja, asalkan ada uangnya,” tutur Filipus kepada Ekora NTT beberapa waktu lalu.

Pada tahun 2010, ia mulai merintis usaha tenda jadi untuk urusan pesta.

Baginya, usaha ini punya prospek cerah kedepannya mengingat “pesta ada di mana-mana, orang ramai-ramai pesta”. Kala itu belum banyak orang yang melirik usaha seperti ini. Celah atau peluang ini ia manfaatkan dengan baik.

Semula ia menyediakan empat unit tenda jadi. Karena terbilang baru, usahanya masih sepi pelanggan. Banyak orang belum mengetahuinya. Filipus sempat putus asa dengan kondisi seperti ini.

“Kapan usaha ini bisa maju kalau situasinya begini terus?” ujar Filipus.

Ia pun mencari cara untuk keluar dari kemelut ini. Kebetulan ia tergabung menjadi anggota salah satu credit union (CU) di Nita. Namanya Bina Pertiwi.

CU ini memiliki kursi yang bisa disewakan kepada anggota dengan harga yang murah.

Filipus memanfaatkan kesempatan ini dan meminjam kursi di Bina Pertiwi. Lalu ia menyewa kursi tersebut dalam satu paket bersama lampu dan tenda jadi. Ia juga gencar melalukan promosi.

“Saya buat kartu nama banyak-banyak. Setiap bertemu dengan orang di mana saja, saya kasih kartu nama. Mau mereka buang atau mereka simpan, intinya saya harus promosi,” cerita Filipus.

Upaya ini mendatangkan hasil. Banyak orang mulai mengontak atau mendatangi rumahnya untuk memesan tenda jadi. Ditambah dengan ‘radio mulut’ alias cerita dari mulut ke mulut membuat usahanya dikenal luas.

Kini usahanya sudah maju dan sudah besar. Filipus sudah memiliki 50-an unit tenda jadi. Hampir setiap hari ada pesanan untuk berbagai acara pesta.

Selain untuk kebutuhan pesta di Maumere, tenda jadi Filipus juga menjangkau pemesan dari luar Maumere seperti dari kota Ende. Untuk memperlancar bisnisnya ini, ia bantu oleh enam orang pekerja, termasuk sopir.  

Menurut Filipus, jumlah paketan yang dipesan sangat bergantung dari pemilik pesta. Ada yang pesan sedikit kalau pestanya kecil. Tapi ada juga yang pesan banyak kalau skala pestanya besar.

Soal harga, satu paket komplit (1 unit tenda jadi, 50 kursi dan 1 buah lampu) dibanderol dengan harga 300 ribu rupiah per malam.

Harga ini, kata Filipus, bukan harga mati. Harganya fleksibel dan sangat bergantung negosiasi antara dia dengan pemesan.

“Kalau acaranya hari Kamis, kami datang pasang tenda pada hari Rabu. Selesai acara, kami bongkar pada hari Jum’at. Hitungan harganya tetap satu malam,” jelas Filipus.

Dalam pengalamannya, frekuensi pemesanan paling tinggi terjadi pada bulan Juni sampai Desember. Hal itu terjadi karena pesta banyak kali terjadi pada bulan-bulan ini. Tidak menutup kemungkinan, pesanan datang juga pada bulan-bulan lain.

“Pada tahun-tahun lalu, kalau ramai, hampir 100 paket setiap bulannya yang dipesan. Kalau bulan-bulan biasa bisa 30-40 unit,” ungkap Filipus.

Filipus juga sadar bahwa bisnis tenda jadi bukan lagi miliknya sendirian. Sudah muncul banyak usaha serupa di hampir setiap sudut kota Maumere, bahkan ada di desa-desa.

Aroma persaingan tidak bisa terhindarkan. Setiap orang pasti akan berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaik.

Namun ia tetap percaya bahwa bisnis tendanya jadinya ini tetap cerah ceria ke depannya.

“Meskipun pesaing banyak, saya yakin usaha ini bisa berkembang pesat asalkan kita terus memberikan pelayanan terbaik dengan harga yang bisa dijangkau pemesan,” tutupnya.

Sound System

Tidak hanya tenda jadi, usaha peralatan sound system juga ketiban rezeki setiap pesta di gelar. Choin Entertainment sungguh merasakan hal itu.

Ekora NTT punya kesempatan bertandang ke kediaman Mario Tanker Nong Goa di kompleks Misir, Maumere pada beberapa waktu lalu.

Ia telihat kelelahan. Hari sebelumnya, dia sibuk membongkar peralatan sound system dalam sebuah konser di wilayah Napunglangir, arah barat kota Maumere.  

“Kerja keras urus bereskan alat-alat,” katanya singkat.

Sudah sejak lama, Mario terlibat dalam industri sound system di kota Maumere. Dia tergabung dalam manajemen Choin Entertainment yang berfokus pada dunia jasa dan peralatan hiburan.

Mereka sangat sering mengurusi konser-konser baik berskala lokal maupun nasional, apalagi pesta-pesta di kalangan masyarakat Maumere.

Bahkan ruang gerak mereka pun telah merambahi daratan Flores-Lembata.

“Pesta memang yang paling sering kami tangani selama ini. Karena hampir setiap saat orang bikin pesta. Kalau yang lain itu tunggu momen-momen tertentu saja,” jelas Mario.

Ketika ditanyai soal budget dana dalam pegelaran  sebuah pesta, dia katakan bahwa jasa mereka biasanya diganjar 2 sampai 3 juta rupiah.

Dalam konteks ini, mereka akan memasang sound sebelum hari acara dan kembali bongkar pada hari sesudah acara. Sehingga besaran biaya tadi diperuntukkan kurang lebih selama 3 hari.

“Tapi, itu di luar makan minum atau rokok. Biasanya tuan pesta juga pasti jamin kami untuk urusan perut,” tambah dia.

Selama tahun 2018, aku Mario, Choin Entertainment sendiri kurang lebih terlibat dalam 50 penyelenggaraan pesta di Maumere, seperti perkawinan ataupun sambut baru.

Itu belum terhitung pesta-pesta dari instansi/lembaga tertentu ataupun seremoni-seremoni kecil lainnya.

Selain itu, di Kabupaten Sikka sendiri terdapat begitu banyak usaha sedia jasa sound system yang tersebar di beragam penjuru tempat.

Bahkan, hampir setiap desa selalu punya minimal satu usaha sound system.

Dalam catatan Litbang Ekora NTT, di desa Lepolima misalnya, ada sekitar 3 orang pengusaha tersebut. Sementara di desa Langir, ada 2 orang yang bergerak pada bidang yang sama.

Jasa Boga

Satu lagi usaha yang mulai berkembang pesat saat ini adalah jasa boga atau umumnya disebut catering. Usaha ini melayani pemesanan makanan untuk kepentingan apa saja sesuai dengan kebutuhan pemesan.

Khusus untuk pesta, ada tuan pesta yang memilih untuk melibatkan ibu-ibu tetangga untuk mengurus konsumsi di dapur.

Mereka bergotong royong untuk menyiapkan menu makan pesta. Tapi sudah tidak jarang penyelenggara pesta pun tak segan-segan memesan jasa catering agar tak repot-repot menyoal urusan perut para tamu.

Di kota Maumere, salah satu jasa catering yang biasa dipesan ialah Caroline Katering milik Beatrix Padeng.

Kepada Ekora NTT yang datang langsung ke tempat usahanya, Beatrix Padeng membeberkan bahwa jika lagi musim pesta dirinya bisa mendapat orderan sebanyak 3 sampai 4 kali dalam sehari.

Adapun biaya yang dikeluarkan penyelenggara pesta dihitung per kepala.

“Tergantung menunya. Biasanya yang paling murah itu 22.500 rupiah, sementara maksimalnya 40 ribu rupiah. Tinggal saja pemesan memilih mau yang mana,” ungkap dia.

Pada tahun 2018 lalu, resepsi terbesar yang dia tangani ialah tahbisan Uskup Maumere yang mana dia harus meng-handle sekitar 11 ribuan orang.

Nasi mencapai satu ton seratus kilogram, sapi berjumlah 12 ekor dan dia pekerjakan 100 orang tenaga. Sementara, dalam acara nikahan, pernah hampir 2000 kepala ditanganinya.

Jasa Fotografi

Jasa lainnya yang berkenaan dengan pesta adalah fotografi ataupun videografi.

Ekora NTT menghubungi Bernard Lazar, salah seorang anak muda Maumere yang menjadikan fotografi/videografi sebagai ladang pekerjaannya.

Kepada kami, dia sampaikan bahwa rata-rata jasa fotografi untuk tiap kali penyelenggaraan acara diganjar dengan nominal sebesar 2,1 juta rupiah. Sementara besaran harga untuk videografi, 2 juta rupiah.

“Angka tersebut bisa bertambah atau berkurang, tergantung kesepakatan paket item-item dengan pemesan,” tambah Bernard yang memberi nama usahanya, Ina Picture.

Ada juga beberapa jasa lain yang mendulang rupiah dari penyelenggaraan pesta seperti jasa seragam pelayan, penyanyi pesta, gedung atau aula, jasa dekorasi dan jasa-jasa lainnya.

Kesemuanya ini pada dasarnya menghidupkan suasana pesta sekaligus dihidupi oleh pesta itu sendiri.

Bukan tidak mungkin, pesta akan menjadi sebuah industri. Mengapa tidak? Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya usaha-usaha ekonomi yang mengitari sebuah pesta.

Irenius J. A Sagur & Elvan De Porres

Masihkah Media Menjadi Payung bagi Kaum Lemah dan Terpinggirkan?

Maumere, Ekorantt.com – Vera Cruz dan Mayora tampak lalu-lalang di pelataran Aula Hotel Pelita Maumere, Kamis (13/6/2019).

Di antara mereka ada pula beberapa mahasiswa dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, berbagai pemuka agama dan sebagian anak muda Maumere.

Hari itu mereka mengikuti sebuah kegiatan workshop bertajuk “Keragaman, Gender dan Seksualitas” dan telah berlangsung selama tiga hari berturut-turut.

Vera Cruz dan Mayora sendiri merupakan dua dari dari sekian figur transgender di Kabupaten Sikka.

Di kota Maumere, Vera Cruz, atau publik mengenalnya sebagai Mama Vera, berperan sebagai Ketua Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas).

Dan Mayora, yang baru setahun belakangan mengekspresikan identitasnya ke muka publik Sikka, sering membantu aktivitas-aktivitas sosial dan kerohanian.

Pantauan Ekora NTT, keduanya begitu bersemangat mengikuti rangkaian kegiatan hari itu.

Mereka pun tidak malu-malu untuk mengutarakan pendapatnya.

Memberikan kritik ataupun menjaring ide-ide dari para hadirin yang memang peduli pada isu-isu keragaman, gender dan seksualitas, terutama topik LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Interseks dan Queer).

Lantas, terdapat satu topik serius yang diangkat dalam workshop itu. Berkaitan dengan bagaimana media membingkai pemberitaan-pemberitaan seputar isu-isu LGBTQ dan kekerasan seksual.

Mama Vera dan Mayora banyak bicara. Menuangkan unek-unek mereka selama ini.

Tapi, tak hanya mereka berdua, hampir setiap peserta pun mengacungkan tangan untuk memberikan pendapat, termasuk Pater Paskalis Lina, SVD, Dosen Moral dari STFK Ledalero dan beberapa pegiat lembaga kemanusian TRUK-F Maumere.

Dominggus Elcid Li, Doktor dari Universitas Birmingham Inggris, selaku pemateri serentak moderator dalam subtema “Media dan Pola Pemberitaan Terkait Seksualitas” itu, sempat kewalahan menalangi para audiens.

Namun, ujung dari perbincangan itu punya titik jelas. Bahwasanya media juga publik yang mengonsumsinya patut berkaca diri.

Kritik terlontarkan. Pemberitaan-pemberitaan yang bias gender dan tak berpijak pada perspektif korban seringkali ditemukan dalam lalu lintas media-media.

“Saya ini heran. Kenapa media jarang sekali angkat, publikasikan kegiatan-kegiatan kaum waria. Padahal, ada banyak hal baik yang sudah dibuat,” ujar salah satu peserta workshop.

Peserta lain menimpali, “Ya, mungkin karena kita ini orang anggap biasa dan kaum terpinggirkan jadi ya begitu sudah.”

Kritik terhadap media tak hanya itu. Berita-berita yang diluncurkan seputar kasus kekerasan seksual pun turut mendapat komentar.

Bingkai frasa untuk para korban yang rata-rata merupakan kaum perempuan, biasanya berkutat pada “digarap, dimakan” ataupun kata-kata yang merujuk pada objektivikasi tubuh manusia.

“Padahal, manusia ini kan bukan benda. Tubuh kita ini bukan tanah yang digarap,” tutur Heny, pegiat TRUK-F.

Pater Paskalis Lina, SVD lain lagi. Sepenuturannya, dia pernah meminta para mahasiswa mengkliping berita-berita media massa di NTT terkait tindakan kekerasan seksual, dan menemukan penggunaan istilah yang amat miris.

“Orang yang menulis berita itu tidak punya hati dengan korban. Bahkan, gaya-gaya pemberitaan itu terkesan intimidatif sehingga lupa pada esensinya. Jurnalisme semestinya mengadvokasi korban, bukan membuat korban tambah pikiran,” demikian dia sampaikan.

Sejak saat itu, dia pun berhenti untuk berlanggananan salah satu koran lokal di NTT.

Menanggapi masalah-masalah itu, Dominggus Elcid Li katakan bahwa media cenderung tidak melakukan eksplorasi atas sebuah isu.

Media hanya bermain-main pada level sensasi dan abai pada substansi atau inti yang berguna untuk kepentingan publik.

“Apa berita yang lebih besar daripada sekadar seks dan kematian. Semua orang bisa menuliskan peristiwa, tapi interpretasi atau tafsiran atas peristiwa itu seperti apa?” beber dia.

Dia juga tandaskan, berhadapan dengan kasus-kasus itu, para wartawan biasanya terpaku pada rilis-rilis yang dikeluarkan aparat hukum.

Wartawan tidak menggali peristiwa, membuat tafsiran-tafsiran, dan lebih jauh, melakukan investigasi lanjutan.

Selain itu, kosakata ataupun vocabulary yang terbatas membuat pemberitaan cenderung informatif dan dekskriptif dan bisa terjerumus pada manajemen kalimat yang salah kaprah.

Namun, pada lain hal, perkara itu memang problematis, sebab wartawan sendiri dituntut untuk mencari sekitar 6-7 berita dalam sehari.

Sehingga kerja-kerja tafsiran yang tentu butuh energi dan biaya lebih tak sempat terlaksana.

“Padahal, ideal dari peran media adalah proses perubahan sosial itu sendiri,” tambah Elcid.

Untuk NTT sendiri, menurut mantan wartawan ini, persoalan seksualitas jarang dibahas secara terbuka.

Jika ada, percakapannya selalu berlangsung dalam ruang-ruang terbatas, bahkan cenderung tertutup.  

Artinya, ada perasaan malu atau taboo yang hinggap dalam kepala orang-orang NTT ketika membicarakan seks, seksualitas dan masalah-masalah yang mengitari itu.

“Yang perlu kita waspadai bersama. Jangan sampai hal yang tertutup itu malah timbulkan opresi atau persekusi. Bahaya kalau ada kekerasan tapi didiamkan begitu saja.”

Merespons keluhan soal minimnya pemberitaan soal hal-hal yang dikerjakan kelompok LGBTQ, alumnus ilmu jurnalistik dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini bilang bahwa isu termaktub memang tidak populer karena tak masuk dalam radar selera pasar.

Walaupun populer, publikasi-publikasinya hanya meneruskan apa yang sudah terjadi.

Dan itu boleh jadi datang dari wacana yang diciptakan penguasa. Suara-suara kelas bawah nyaris tak mendapatkan ruang sama sekali, sebagaimana “curhat” dari salah satu peserta tadi.

Kuatnya konstruksi patriarkal dalam media juga memengaruhi itu, tambah Elcid.

Perempuan sebagai korban kekerasan seksual tetap hanya dilihat sebagai korban tak berdaya tanpa adanya beberan yang lebih analitis ataupun memberikan perlindungan.

“Jika peristiwa perkosaan yang dibahas, maka yang terjadi adalah ‘pemerkosaan jilid dua’ oleh wartawan. Wartawan bukannya melindungi korban tapi malah mengumbar aib. Nama pelaku disamarkan, sementara korbannya digembar-gemborkan,” ungkap dia.

Kontruksi patriarkal juga tersaji dalam pemberitaan-pemberitaan yang menyalahkan korban ataupun penyintas.

Ada semacam pemakluman yang diberikan kepada pembaca bahwasanya berpakaian minim atau seksi itu memang salah dan wajar mendapat perlakuan tak senonoh.

Pada akhir kegiatan tersebut kualitas jurnalisme, terutama di NTT, pun dipertanyakan.

Masihkah media menjadi payung bagi kaum-kaum lemah dan terpinggirkan?

Mungkinkah kualitas para jurnalis dalam membingkai isu-isu seputar LGBTQ ataupun kekerasan seksual memberikan pencerahan kepada publik dan mengayomi korban?

Tentu ini menjadi refleksi, kritik serentak otokritik bagi pegiat media di mana saja.

“PK” dan Agama yang Tersinggung

Oleh

Hans Hayon

Kegelisahan: Sebuah Latar Belakang

Dalam Die Fröliche Wissenchaft, nomor 125, Friedrich Nietszche menggambarkan seorang gila yang berlarian di tengah pasar.

Di tangannya, sebuah lantera bernyala. Dengan tatapan penuh kegusaran, beberapa kali ia berteriak, “Aku mencari Allah!”

Orang-orang di pasar menertawakannya tetapi ia malah melompat ke tengah mereka sambil berteriak, “Ke manakah Allah? Aku memberitahu kalian.

Kita sudah membunuhnya―kalian dan aku. Kita semua pembunuh.

Tetapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita meneguk habis lautan? Siapa yang memberi kita spon untuk menghapus seluruh cakrawala? Apakah yang kita lakukan bila kita melepaskan bumi ini dari matahari? Allah sudah mati… Dan kita telah membunuhnya….” (Kaufmann, 1974:97).

Nietzsche memang ateis sejak usia muda dan kritiknya atas teisme memuncak dalam Antichrist.

Siapa sangka, satir semacam ini semakin mengemuka dalam bentuk yang paling ekstrim di depan mata kita?

Sebelumnya, Nietzsche memproklamasikan kematian ‘Allah” sebagai bentuk kritikannya terhadap kondisi kultural masyarakat yang terlampau menomorsatukan rasionalitas dan metafisika serta mendepak unsur irasional yang dianggap berasal dari agama.

Jika mau jujur, kecenderungan ini sudah terjadi berabad-abad sebelumnya misalnya dalam studi kosmologi di mana Galileo Galilei mengkritik otoritas Gereja yang menganut pandangan geosentris dengan mengemukakan teorinya tentang heliosentris―bumi dan benda-benda langit lainnya mengelilingi matahari.

Demikian pula Ludwig Feuerbach yang memahami bahwa sebagai sebuah masalah filosofis-filsafat, agama harus mencerahkan manusia tentang hakekat agama yang sebenarnya,―dan Karl Marx berpendapat bahwa masalah agama akan pergi dengan sendirinya apabila ketidakadilan di dunia ini dihapus, atau bagi Nietzsche, Allah―tepatnya kematiannya, merupakan “peristiwa baru paling besar”.

Dalam suratnya kepada Franz Overbeck, rekannya misalnya, Nietzsche mengatakan bahwa satu hal yang paling berbeda dari Zarathustra adalah pandangannya tentang kekristenan; sejak Voltaire belum pernah ada lagi kritik yang sedemikian tajam terhadap kekristenan (James Garvey, 2010: 244).

Francois-Marie de Voltaire, tokoh yang dikenal sebagai pencetus zaman pencerahan dan tukang kritik Gereja paling kepala batu ini menegaskan bahwa gereja-gereja hanya perlu menyalahkan diri sendiri atas penyimpangan selama ini, karena selama berabad-abad mereka telah membanjiri kaum beriman dengan berlimpah doktrin.

Yang ia tolak sesungguhnya bukanlah gagasan tentang Tuhan, melainkan konsepsi Tuhan kaum ortodoks yang kejam, yang mengancam manusia dengan api neraka.

Sebaliknya, ia menulis bahwa agama itu hendaknya sesederhana mungkin:

Bukankah itu agama yang banyak mengajarkan moralitas dan sangat sedikit dogma? Yang condong untuk membuat manusia mejadi adil dan tidak membuat mereka bodoh?

Yang tidak memerintahkan orang untuk meyakini sesuatu yang mustahil, bertentangan, merusak nilai-nilai ketuhanan, dan berbahaya bagi umat manusia, dan yang tidak mengancam dengan hukuman neraka kepada siapa saja yang memiliki akal sehat?

Bukankah itu agama yang tidak menegakkan ajarannya melalui pemaksaan, dan tidak mengenangi bumi dengan darah sofisme yang tidak terjangkau akal?…yang hanya mengajarkan pengabdian kepada satu ilah, kepada keadilan, toleransi dan kemanusiaan? (Francois-Marie de Voltaire, 1972: 375).

Bahkan, pernah ditemukan sebuah sajak satire (dalam format epigram) berbunyi, “After the conclave, a ubiquitos epigram within Rome was: Alexander sells the Keys, the Altar, Christ Himselfhe has a right to for he bought them; Alexander menjual Kunci, Altar dan Kristus” (http://en.wikipedia.org/wiki/Papal conclabe,1493).

Itulah abad ke-16 di Italia, ketika Paus Alexander VI naik Takhta Suci dan agama, zina, uang, nepotisme, jual-beli jabatan, perang, pembunuhan dan moralitas campur-baur.

Berangkat dari kegelisahan yang (saya kira) sama, film yang akan dibahas di dalam tulisan ini memperkenalkan beberapa pokok pikiran yang dapat didiskusikan lebih lanjut.

Untuk memudahkan pemahamahan, berikut dijelaskan (sesingkat mungkin) gambaran umum tentang film termaksud.

“PK” dan Pertanyaan-pertanyaan yang Tidak Biasa

Film dibuka dengan adegan mendaratnya seorang alien (Aamir Khan) di bumi dan tiba-tiba sebuah remote control yang, hanya dengan benda itu, ia bisa pulang ke planetnya dirampok orang.

Tidak tahu bagaimana caranya hidup sebagai manusia, berbahasa, berpakaian atau berbohong, alien itu mencari remotenya dengan penuh harap.

Perilakunya yang dianggap kuno dan aneh (tergambar dalam kebiasaannya mempertanyakan segala sesuatu yang dianggap natural oleh masyarakat) membuat orang-orang menganggapnya mabuk (dalam bahasa India, ‘pee kay’/PK).

Bagaimana tidak, alien itu (yang selanjutnya disebut PK) mempertanyakan hal paling mendasar dari semua penyebab kejanggalan di dunia: bahasa.

Alih-alih mengantarkan makna melalui struktur kalimat tertentu, bahasa menurut PK justru mengaburkan makna.

Diawali dengan mengkritik grammar yang menyebabkan sebuah kata mempunyai lebih dari satu makna, PK akhirnya sampai pada satu kesimpulan tentang betapa pentingnya membongkar ideologi tertentu yang ada di balik susunan kalimat, bahkan kata tertentu.

Selanjutnya, setting cerita beralih ke Bruges, Belgia di mana Jaggu (Anushka Sharma) bertemu dengan Sarfaraaz (Sushant Singh Rajput), pria yang berasal dari Pakistan dan mereka saling jatuh cinta.

Ayah Jaggu (Parikshit Sahni) menemui godman Tapasvi Maharaj (Saurabh Shukla) untuk melakukan konsultasi dan Tapasvi menjelaskan kepada Jaggu bahwa Sarfaraaz akan menipunya dan tidak akan menikahinya.

Kisah cinta ini tidak berjalan mulus karena perbedaan agama dan kewarganegaraan yang menyebabkan mereka tidak bisa bersatu.

Kembali ke PK. Dalam kekalutan tentang bagaimana menemukan kembali kalungnya yang hilang, PK memutuskan untuk mempelajari bahasa yang digunakan oleh manusia di bumi.

Melalui bahasa itulah, PK akhirnya memahami segala seluk beluk dunia dan pelbagai aspek paradoks yang ada di dalamnya.

Akhirnya, setelah bercakap-cakap dengan seorang anggota kepolisian berkaitan dengan hilangnya kalungnya, PK disarankan untuk berangkat di Dehli.

Di New Dehli inilah, secara tak sengaja, PK dan Jaggu yang bekerja sebagai reporter TV di Dehli, bertemu. Dari situ pula, konflik demi konflik mulai bermunculan.

Selama 2 jam 32 menit 18 detik, film yang disutradarai oleh Rajhkumar Hirani ini memaparkan pelbagai konsep serius dan ruwet dalam adegan yang mudah dipahami.

Ini kali kedua kolaborasi Aamir Khan dengan sutradara Rajkumar Hirani yang sebelumnya sukses lewat 3 Idiots (2009).

Gejala Awal “Agama yang Tersinggung”

Kritik bermula dari upaya si PK meminta pertolongan pada Tuhan untuk menemukan kembali remote controlnya yang hilang pada adegan awal film ini.

Setelah bertanya kepada hampir semua orang tentang bagaimana caranya menemukan kembali “benda paling berharga”nya itu, secara sinis orang menyarankan PK dengan kalimat, “cobalah minta pada Tuhan, siapa tahu ia mengetahui keberadaan barang milikmu itu”.

Menerjemahkan secara harafiah metafora tersebut, PK akhirnya memutuskan untuk menyampaikan permohonannya kepada “Tuhan” di rumah ibadah.

Meskipun telah mengikuti semua ritual dan seremoni tertentu yang diwajibkan dalam hampir semua agama, PK dihadapkan pada jawaban yang selalu sama: Tuhan tidak menjawab permohonannya.

Ia lalu berpindah dari satu agama kepada agama yang lain namun jawabannya selalu nihil.

Bahkan, ia akhirnya mengambil tindakan paling ekstrem dengan cara memeluk semua agama yang ada di dalam masyarakat. Toh cara ini pun menuai kekecewaan.

Setelah ia berpikir begitu lama, akhirnya muncul sebuah dugaan, jangan-jangan ada hal yang salah dengan mediator yang menghubungkan antara manusia dan Allah.

Di sinilah muncul slogan yang terkenal dalam film ini: “wrong number”. Sederhananya, frasa itu menunjukkan bahwa ada hal yang keliru dalam kelembagaan agama yakni urusan administratif dan liturgis yang pada akhirnya memudarkan aspek substansial dalam beragama.

Sebuah review ditulis, “Helped by Jaggu’s pieces, PK’s efforts spur a “wrong number” campaign across India, as amateur reporters use cellphones to catch religious leaders contradicting themselves or making false promises for money” (http://www.filmjournal.com/content/fim-review-pk).

Dengan kata lain, sutradara film ini ingin menunjukkan gejala hipokrisi dan korupsi dalam masyarakat modern terutama lembaga agama di India.

Latar belakang utama yang mendorong lahirnya kritikan seperti itu juga dibahas secara mendetail dalam esai karya Vikas Pandey bertajuk Why is Bollywood PK Controversial? dalam BBC, 26 Desember 2014.

Ia memulai esainya dengan deksripsi tentang Bollywood yang mengisi performance dalam film produksinya dengan rutinitas tarian, efek visualisasi dramatis dan lagu di seluruh dunia.

Meskipun demikian, tulis Pandey, industri perfilman di India juga memproduksi film yang menginisiasi debat sosial tentang isu penting bagi negara.

Salah satunya, film ini (PK) mempertanyakan supertisi dalam negara di mana agama sudah berakar mendalam dalam keasadaran masyarakat.

Patut diingat bahwa meskipun film ini memunculkan respon yang keras dari berbagai kalangan bukan karena film ini tidak memberikan kesimpulan tentang eksistensi agama, melainkan karena ia mempertanyakan ihwal yang dianggap takhayul.

Analis film lainnya, Namrata Joshi mengatakan, Aamir merupakan bintang dan karena itulah mengapa film ini mengasilkan triliunan. Film ini membuat orang berpikir. Agama telah banyak diperdebatkan di banyak film dari berbagai negara, tetapi kehadiran Aamir membuat perbedaan (https://www.bbc.com/news/world-asia-india-30602809).

Dikatakan demikian karena PK tidak menyerang agama tertentu secara partikular melainkan mengeritik dalil utama fenomena beragama melalui pernyataan, “Berimanlah kepada Allah yang menciptakanmu, bukan kepada salah satu ‘allah” yang kau ciptakan.”

Merawat Rasa Tersinggung

Inti kritikan PK yang paling banter simetris dengan apa yang dikatakan oleh John Lennon, God is a concept to measure our pain.

Dengan demikian, Tuhan tidak lagi sakral. Posisinya tak jauh beda dari “instrumen-instrumen” lain.

Tidak mengherankan jika film ini menyorot pelbagai jenis simbol semisal patung dan ritus seremonial yang tampak lebih dominan.

Meskipun demikian, bukan berarti PK menempatkan “Tuhan” sebagai instrumen atau sarana yang tak lagi memiliki aspek sakral.

Sebaliknya, PK―mengikuti Voltaire―ingin menegaskan kembali seruan yang pernah muncul beberapa abad lalu: Orang yang mengatakan kepadaku, “Berimanlah dengan imanku, kalau tidak Tuhan akan menghukummu,” kini akan mengatakan, “Berimanlah dengan imanku, kalau tidak aku bunuh kau.”

Terdapat beberapa poin utama lahirnya rasa ketersinggungan antara lain: Pertama, posisi bahasa sebagai sarana yang mendistribusikan sekaligus mengaburkan makna.

Dalam film ini, PK sebagai alien yang datang ke bumi menyadari bahwa sarana paling mendasar untuk memahami dunia adalah bahasa.

Hanya melalui bahasalah, segala hal yang ada di dunia bisa dipahami secara purna.

Meskipun dalam film ini strategi mempelajari bahasa yang diterapkan terkesan irasional, namun muatan dasar yang ingin ditonjolkan adalah bagaimana bahasa merupakan conditio sine qua non, syarat mutlak yang tidak bisa dinegosiasi kembali penggunaannya.

Hal ini terlihat misalnya pada scene terakhir film ini di mana PK secara keras melawan suara hatinya sendiri, selanjutnya memanipulasi makna yang tersirat di balik dadanya, hanya untuk mengatakan bahwa ia tidak mencintai Jaggu.

Pada titik inilah, ia secara tidak langsung membohongi dirinya sendiri dan belajar berbohong untuk pertama kalinya.

Kedua, posisi agama dalam budaya masyarakat postmodern.

Meskipun mengambil lokasi di Dehli, India, film ini sangat relevan bagi masyarakat postmodern di seluruh dunia.

Dikatakan demikian karena muatan dasar yang terkandung dalam kritikannya bersifat universal dan berlaku di semua negara.

Tanpa terjebak dalam perspektif menggeneralisasi, PK menyerang inti dasar dari kehidupan beragama yakni bagaimana menjadi pribadi yang menomorsatukan religiositas di atas segala-galanya.

Maksudnya, religiositas tentu saja merupakan prasyarat utama dalam semua agama. Dengan kata lain, religiositas merupakan inti dari aktivitas beragama.

Orang yang memiliki religiositas tidak otomatis memeluk agama tertentu dan begitu juga sebaliknya orang yang memiliki religiositas tidak selalu memeluk agama yang diakui formal.

Ketiga, gelombang kebangkitan agama di Indonesia. Sebagaimana yang diramalkan oleh Karl Marx, agama merupakan alat penindasan yang mengalihkan pandangan masyarakat dari persoalan yang sebenarnya.

Dikatakan demikian karena bagi Marx, hal yang menjadi dasar atau apa yang ia sebut sebagai base adalah ekonomi.

Konsekuensi lanjutannya adalah bahwa politik, ideologi, agama, dan hal-hal lainnya merupakan supersturktur.

Dengan bahasa lain, ekonomilah yang menjadi penggerak utama seluruh segmen kehidupan manusia.

Artinya, segala bentuk diskriminasi sosial dan kemiskinan yang ada di dunia pertama-tama bukan karena orang tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut tetapi karena pandangannya dialihkan kepada agama.

Alih-alih menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia, agama justru hadir dengan penghiburan yang tidak ada faedahnya seperti iming-iming tentang surga dan ancaman api neraka.

Bagi pemikir Marxis seperti Gramsci dan post Marxis semacam Foucault, munculnya dua konsep yakni surga dan neraka itu merupakan bentuk penindasan kaum kapitalis melalui ideologi yang bergerak secara halus dan tidak represif.

Dengan kata lain, penindasan tidak lagi dijalankan melalui cara-cara represif menggunakan kekerasan fisik tetapi dalam bentuk yang paling halus, melalui negosiasi kedua belah pihak, dan tampak seolah-olah sebagai sebuah hal yang natural/alamiah.

Untuk membongkar naturalitas seperti ini, dibutuhkan adanya perangkat analisis yang jitu sebagaimana yang ditawarkan oleh para pemikir post-strukturalis.

Bagi mereka, untuk membongkar klaim naturalistas seperti itu, diperlukan adanya dekonstruksi terhadap pelbagai wacana yang berkembang di dalam masyarakat.

Disebut demikian karena hanya melalui wacanalah, segala jenis ideologi yang diterapkan itu beroperasi.

Ideologi tersebut hanya bisa berkembang dan bekerja dalam jalinan relasi kekuasaan.

Oleh karena itu, membongkar sebuah ideologi memerlukan semacam perangkat kerja analisis kekuasaan.

Foucault misalnya, membongkar legitimasi kekuasaan dalam lembaga atau institusi dengan cara menganalisis muatan wacana apa saja yang tersebar dan berkembang di dalam keseharian hidup.

Bandingkan saja ketika ia menganalisis sistem panoptikon dalam penjara. Dijelaskan bahwa, kehidupan di dalam sebuah penjara menjadikan orang merasa senantiasa diawasi.

Pengawasan itu dilakukan dengan cara menempatkan semacam kamera penjaga yang memantau segala gerak gerik para narapidana.

Melanjutkan analogi tersebut, Foucault menegaskan bahwa pelbagai institusi yang ada di dalam masyarakat modern menerapkan logika kekuasaan serupa.

Institusi kesehatan misalnya, memiliki kuasa untuk mendefiniskan seseorang sebagai orang sehat atau orang sakit, lembaga psikologi dengan perangkat kuasa yang dimiliki mampu mendefinisikan kegilaan atau kewarasan.

PK, sebuah film yang menjadikan agama sebagai sebuah laboratorium ilmiah, ingin mempertanyakan aspek liturgis dari pelbagai aktivitas keagamaan.

Disebut demikian karena hampir di semua bagian film ini, PK memborbardir habis-habisan semangat puritanisme yang menomorsatukan aspek liturgis dan menyamarkan substansi dalam hampir semua agama.

Artinya, beragama manusia modern dalam kacamata PK terjebak dalam apa yang terlampau praktis dan administratif dan melupakan aspek paling mendasar dalam semua pemeluk agama yakni kemanusiaan.

Padahal, berkaca dari pelbagai gerakan teologi pembebasan baik di Afrika maupun Amerika Latin, semangat utama yang melatarbelakangi semua gerakan beragama yakni memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Itu berarti, memprioritaskan liturgi dan mengabaikan aspek kemanusiaan merupakan kegagalan utama dari kehidupan beragama.

Tidak mengherankan, jika di luar itu, terjadi tidak sedikit tindakan penyelewengan atas nama agama seperti korupsi, nepotisme, jual beli jabatan agama, dan sebagainya.

Implikasi yang paling bombastis di Indonesia oleh karena pengabaian nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan beragama tampak dalam semakin menjamurnya ujaran kebencian dan pelabelan kafir terhadap pemeluk agama lain yang membuat iklim berdemokrasi di Indonesia rentan konflik.

Dari fenomena seperti ini, pantaslah kita perlu mempertimbangkan kembali posisi Nietzsche.

Saya kira ada baiknya saya mengutip pendapat Michel Foucault mengenai perlu tidaknya kita menafsir Nietzsche secara sungguh-sungguh.

“Kehadiran Nietzsche saat ini makin lama makin penting saja. Tetapi, saya capek dengan orang-orang yang mempelajari Nietzsche hanya untuk menghasilkan komentar-komentar yang mirip dengan apa yang dibuat untuk Hegel dan Mallarme. Bagi saya sendiri, saya mengunakan para penulis yang saya sukai. Satu-satunya sumbangan yang valid untuk pemikiran sekaliber Nietzsche adalah menggunakannya, mendeformasinya, membuatnya mengeram dan protes. Dan jika para komentator kemudian mengatakan saya sebagai setia atau tidak setia pada Nietzsche, that is of absolutely no interest” (Foucault, 1980: 53).

Tentu saja tulisan ini juga berutang pada Nietzsche yang dengan keras mengkritik cara beragama masyarakat pada zaman itu.

Melanjutkan apa yang sudah mulai dibahas dalam film PK, tulisan ini juga sama sekali tidak memberikan semacam alternatif solusi kepada pembaca.

Jika ada pembaca yang mengharapkan saya memberikan solusi sebaiknya sudahi saja pembacaan atas tulisan ini.

Tujuan utama tulisan ini dibuat yakni mengajak saya dan Anda untuk berpikir.

Tanpa memikirkan sesuatu secara kritis, mustahil muncul semacam solusi yang kemudian berguna bagi kehidupan Anda dan saya.

Dengan kata lain, saya berharap, setelah menyelesaikan pembacaan, Anda merenungi kehidupanmu sendiri, membuat pertimbangan terhadap aspek tertentu, dan selanjutnya merancang kesimpulan dan merumuskan solusi yang, paling kurang, Anda jalani sendiri.

Syukur-syukur jika solusi tersebut ditawarkan dan selanjutnya diterima oleh orang lain.

*Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Lumbung Desa Antisipasi Rawan Pangan di Ende

0

Ende, Ekorantt.com – Para petani kini memasuki musim panen tahun 2019. Meski demikian, Pemerintah Kabupaten Ende terus mengembangkan optimalisasi Lumbung Pangan Desa untuk mendukung ketersediaan pangan dan mengatasi stabilitas harga, baik saat panen maupun pada musim paceklik nanti.
\

Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Ende melalui Bidang Distribusi dan Cadangan Pangan pada tahun 2019 menyangga 7 lumbung pangan yang dikelola Gapoktan pada 7 desa di Kabupaten Ende.

4 Gapoktan yang mendapat Dana DAK 2019 dengan alokasi 60 juta per desa itu, sebagai berikut Gapoktan Nua Dile Desa Dile, Kecamatan Detusoko; Gapoktan Mbei Mbao Desa Kamubheka, Kecamatan Maukaro; Gapoktan Sama Nara 2 Desa Tenda Ondo; dan Gapoktan Karya Harapan Desa Tendarea di Kecamatan Nangapanda. 

Sementara itu, bantuan dari APBD II Kabupaten Ende berupa Beras 1,89 ton yang distribusikan untuk Gapoktan Maju Bersama Desa Puutuga, Gapoktan Nusa Bunga Desa Rengamenge, Gapoktan Laka Sama Desa Ratemangga dan Gapoktan Mbei Mbako desa Kamubheka. 

Kabid Distribusi dan Ketahanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Ende Arkadius Payong kepada awak media di ruang kerjanya, Selasa (9/7/2019), menjelaskan bahwa pemberian bantuan kepada Gapoktan sebagai upaya mendorong kelompok tani untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat agar tidak terjadi krisis pangan.

Menurutnya, pergeseran pola tanam dari padi ladang maupun sawah ke tanaman perkebunan rakyat perlu disikapi dengan mengoptimalkan kelompok tani melalui pengelolaan lumbung pangan desa.

Gapoktan diharapkan menjadi wadah untuk mendukung petani dalam hal kesiapan pangan. Ia berharap, bantuan yang diberikan pemerintah harus dikelola dengan baik.

“Lumbung pangan itu tidak hanya mengejar keuntungan. Kehadiran lumbung pangan untuk menekan stabilitas harga dan penyediaan pangan pada saat paceklik,” ungkap Payong. 

Walaupun belum menyentuh semua desa, Arkadius berharap pihaknya senantiasa berupaya untuk bersinergi dengan petani agar bisa mengatasi krisis pangan termaktub.

Soliwoa Lantik Dua Kadis Baru

Bajawa, Ekorantt.com – Bupati Ngada, Drs. Paulus Soliwoa, melantik pejabat eselon ll B lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ngada, yang bertempat di Aula Setda Ngada, Kamis (11/07/2019).

Dua pejabat terlantik tersebut adalah Fitalis Fole, SH sebagai Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Ngada, melalui SK Bupati Ngada Nomor 461/Kep/HK/2019, dan Ir. Ngiso Godja Laurensius sebagai Kepala Dinas Perindustrian Kabupaten Ngada, melalui SK Bupati Ngada Nomor 462/Kep/HK/2019 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama, lingkup Pemerintah Kabupaten Ngada.

Pelantikan kedua Kadis itu disaksikan dan dihadiri oleh Sekda Ngada, Theodosius Yosefus Nono, para Asisten, para pimpinan OPD, dan pejabat yang mewakili Dandim 1625 Ngada serta undangan lainnya.

Paulus Soliwoa, dalam sambutannya menyatakan rasa syukur atas pelantikan kedua Pejabat Eselon II B tersebut dalam mengisi jabatan yang lowong pada Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Ngada.

Kata Paulus, pengisian tersebut dilakukan melalui panitia seleksi dengan Baperjakat berdasarkan aturan yang ada.

“Jelas secara aturan, mutasi Pejabat Eselon II, melalui Panitia seleksi. Eselon II dalam
rangka promosi dilakukan dengan cara Assesment. Sedangkan, mutasi antarjabatan hanya dilakukan dengan Pansel. Pak Fitalis dan Pak Flori sebelumnya telah menduduki jabatan Eselon II, di Dinas Perikanan dan Pak Fitalis di Dukcapil,” jelas Bupati Ngada yang tanpa wakil itu.

Ia menyampaikan profisiat kepada pejabat yang baru dilantik dan diharapkan mereka mampu bekerja optimal, menunjukkan kinerja lebih baik dan perlu meningkatkan itu dari hari ke hari.

Adapun terdapat 8 jabatan eselon II yang lowong dari tahun 2018, karena ASN
memasuki masa pensiun.

Oleh karena itu, BKD-Diklat Ngada diharapkan segera mengakomodasi pengalokasian anggaran, terkait penyelenggaraan Assesment untuk menduduki jabatan Eselon ll yang lowong.

Assesment dilakukan sekaligus untuk pengisian jabatan tahun 2020 untuk jabatan yang lowong karena pensiun tadi. (Adeputra Moses).

Berikut 12 Program Prioritas Desa Mosi Ngaran, Kabupaten Manggarai Timur

Borong, Ekorantt.com – Desa Mosi Ngaran, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, menggelar Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) yang sedianya bakal terlaksana pada tahun 2020.

Kegiatan tersebut berlangsung di Kantor Desa Mosi Ngaran, Selasa (9/7/2019).

Kepala Desa Mosi Ngaran, Joseph Frumentius Dima, dalam sambutannya mengatakan, hari itu adalah momen yang bahagia dan bersejarah, sebab kegiatan Musrenbangdes dihadiri juga Camat Elar Selatan, Stephanus Lamar, S. P.

“Hari ini kita merencanakan sama-sama. Segala hambatan, kendala serta tantangan kita, bisa disampaikan melalui forum ini,” kata Frumen, sapaan akrabnya.

Frumentius juga menambahkan, Pemerintah Desa tidak mengundang secara keseluruhan masyarakat Mosi Ngaran dalam kegiatan ini, sebab sudah ada Musyawarah Dusun yang telah dilaksanakan jauh hari sebelumnya.

Sehingga hasil dari Musyawarah Dusun akan disampaikan melalui Kepala Dusun dalam forum tersebut, terutama berkaitan dengan hal-hal yang menjadi kebutuhan mereka.

“Saya mengajak kepada kita semua yang hadir dalam kegiatan ini untuk sama-sama memutuskan bersama program apa saja yang diprioritaskan ke depan dalam desa ini,” imbuhnya.

Sementara itu, Camat Elar Selatan, Stephanus Lamar dalam sambutannya mengatakan, masyarakat yang hadir dalam kegiatan itu merupakan keterwakilan dari seluruh elemen masyarakat Mosi Ngaran.

Dia menambahkan, kegiatan ini mudah-mudahan menghasilkan sesuatu yang menjadi prioritas untuk didanani pada tahun 2020.

“Mari kita sama-sama mendukung pembangunan Desa melalui program Desa,” pungkasnya.

Berdasarkan data yang dihimpun media ini, usulan Program Pembangunan di Desa Mosi Ngaran yang diprioritaskan tahun 2020, di antaranya, Crossway Wae Mapar, peningkatan mutu jalan dari Wokoledu menuju Lando, Lapisan Penetrasi (Lapen), Rehabilitasi Air Minum Bersih (AMB), Rehabilitasi Gedung PNPM Dua Lokal, PLTS Terpadu untuk Masyarakat, Penambahan Pipa Jaring, Pamfiblok, Insentif Guru PAUD,SD dan SMP, Pembukaan Gang Baru, Pembukaan Jalan tani, dan PMT. (Adeputra Moses).

Mengenal Pengolahan Kopi secara Tradisional dalam Festival Inerie

Bajawa, Ekorantt.com – Salah satu mata acara dalam Festival Inerie beberapa waktu lalu adalah Temu Kopi yang dilaksanakan di Desa Rakalaba, Kecamatan Golewa Barat, Kabupaten Ngada, Senin (08/07/2019). Acara ini berlangsung meriah.

Temu Kopi ini menampilkan pengolahan kopi secara tradisional dari memetik kopi hingga proses sangrainya yang masih tradisional oleh mama-mama di Desa Rakalaba.

Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia, Sri Hartini yang hadir dalam kegiatan ini sangat senang dan ikut bersama mama-mama memetik kopi.

Salah seorang petani kopi setempat, Emirensiana Nango mengatakan, kegiatan ini bertujuan untuk mempromosikan pengolahan kopi secara tradisional agar dikenal dunia.

“Dalam momen ini juga, kami bisa mempromosikan mutu kopi yang lebih baik,” ujarnya kepada Ekora NTT.

Petani kopi lainnya, Rofina Nia mengatakan, alat tradisional yang digunakan dalam pengolahan kopi tradisonal yakni lesung, untuk menumbuk kopi, kuali tradisional yang terbuat dari tana liat untuk menyangrai kopi, juga nyiru untuk menampi kopi yang sudah ditumbuk setelah disangrai.

“Harapan kami, kegiatan hari ini bisa diwartakan lebih luas lagi. Khusus pengelolaan kopi Arabika secara tradisional,” kata Rofina.

Kegiatan Temu Kopi pun mendapat apresiasi dari Sekretaris Direktorat Jenderal (Dirjen ) Kebudayaan Republik Indonesia, Sri Hartini.

“Hari ini kita saksikan potensi di Kabupaten Ngada. Mulai dari tradisi dan pakaian adatnya,” ungkapnya.

Dikatakannya, kegiatan pekan kebudayaan nasional akan berlangsung di Jakarta pada  7 hingga 13 Oktober 2019. Karena itu, proses pengolahan kopi tradisional ini bisa dipamerkan pada pekan kebudayaan nasional.

“Ekosistem yang kami akan wujudkan ternyata sudah ada yaitu di Kabupaten Ngada yang luar biasa” katanya.

Ia berharap, Pemkab Ngada bisa memfasilitasi dan mencari sponsor bagi anak-anak dari Ngada yang nanti akan ikut ke Jakarta.

Ia menambahkan, potensi yang ada di Kabupaten Ngada begitu banyak dan perlu dipromosikan ke dunia.

Kepada Kepala Desa Rakalaba, Hartini juga berpesan agar dana desa jangan hanya digunakan untuk infrastruktur, tetapi juga untuk peradaban, untuk pengelolaan kebudayaan bisa untuk kemajuan kebudayaan dari desa.

Adeputra Moses

HUT Koperasi Nasional ke-72 Berlangsung di Purwekerto

Jakarta, Ekorantt.com – Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) koperasi ke-72 tahun ini berlangsung di Purwekerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (12/7/2019).

Pemilihan Purwekerto sebagai tempat perhelatan HUT koperasi ke-72, menurut Ketua Panitia Lokal, Muhammad Arsad Dalimunte, tak lepas dari sejarah koperasi Indonesia yang bermula dari Kota Purwekerto.

“Karena pertimbangan sejarah, bahwa koperasi pertama lahir di Purwokerto. Kedua, ekosistem perkoperasian di Purwokerto dan Banyumas, dinilai cukup menarik. Ketiga, anak- anak muda sangat aktif dan produktif mengeluarkan pemikiraannya yang sangat keren sejalan dengan perkembangan koperasi,” kata Arsad sebagaimana yang dilansir rri.co.id.

Rangkaian kegiatan HUT koperasi ke-72, sudah dimulai sejak tanggal 10 Juli 2019 dengan berlangsungnya kegiatan Jambore Koperasi di Bumi Perkemahan Baturaden.

Hari kedua, Kamis (11/7/2019) ditandai dengan kegiatan seminar nasional bertajuk “Reformasi Total Koperasi di Era Revolusi Industri 4.0”.

Dalam kegiatan seminar ini, para pelaku koperasi didorong untuk bersaing pada era digital sekarang ini. Itu artinya koperasi mau tidak mau harus go digital.

Dorongan go digital lahir dari perkembangan teknologi yang menuntut koperasi harus mampu beradaptasi. Hanya koperasi yang bisa menyesuaikan diri yang mampu bertahan.

Jika tidak, koperasi tak akan bertahan lama, mengingat pergerakan lembaga keuangan lainnya begitu masif hingga menyasar pangsa pasar koperasi.

Penguasaan teknologi dan infomasi tentu saja akan menguatkan posisi tawar koperasi Indonesia dalam persaingannya dengan lembaga keuangan lainnya.

Puncak HUT koperasi ke-72 akan berlansung esok yang rencananya akan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo.