Oleh Silvester Ule*
Hari ini, Minggu, 20 Oktober 2019, pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih 2014-2019. Ini kesekian kalinya presiden yang terpilih secara demokratis dilantik, dan sebagai warga Negara, kita patut beri makna atas peristiwa ini. Makna demokrasi kiranya bukan terletak pada pelantikan, namun pada pelbagai dinamika politik dalam proses penyelenggaraan Negara.
Saya ingin manfaatkan momen ini sebagai refleksi atas pelbagai substansi demokrasi.
“Demokrasi” mungkin salah satu kata paling menarik dengan makna paling kompleks. Hampir tiap Negara saat ini berlomba-lomba mengklaim Negaranya demokratis. Demokrasi bisa bermakna segalanya.
Bagi Negara kapitalis, demokrasi dianggap bagian inheren dari sistemnya.
Bagi Negara Sosialis, demokrasi juga diklaim jadi bagian dari sistemnya. NEGARA diktatorial seperti Korea Utara pun menyebut dirinya Republik Rakyat Demokrasi, dan Kongo menyebut dirinya Republik Demokrasi Kongo (République Démocratique du Congo).
Bahkan demokrasi dianggap bagian dari anarkisme, seperti seorang wakil rakyat yang menyebut kebebasan memfitnah sebagai bagian dari demokrasi. Ibaratnya demokrasi menjadi kategori metafisika “yang benar, yang baik, dan yang indah” bagi kaum modern, yang justru sama sekali tidak peduli tentang metafisika.
Karenanya, apa sebenarnya demokrasi? Definisinya sederhana: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Singkatnya, rakyat yang berkuasa.
Namun, prosesnya yang rumit. Ada legislasi; kuasa rakyat diwakilkan. Legislasi juga selalu dalam konteks kenegaraan yang terbentuk; ada demokrasi konstitusional, ada demokrasi liberal, ada demokrasi industrial, ada juga demokrasi kebanggaan kita: “demokrasi Pancasila”.
Namun, yang paling penting dalam demokrasi sebenarnya bukan nama, definisi atau proses. Substansi atau jiwa atau spirit demokrasi yang utama. Dengannya kita bisa menilai, apakah suatu proses politik demokratis ataukah sekadar ideologi.
Kita mulai dari asal mula ide demokrasi; di Athena. Demokrasi pada mulanya dibentuk oleh Pericles; negarawan dan pemimpin Athena yang dikagumi Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Rakyat punya kuasa menentukkan nasib Negara.
Namun, saat Pericles meninggal dan Athena kalah dalam perang Peloponnesia melawan Sparta, semua terkejut, bahwa ternyata sistem demokrasi tersebut yang membawa kehancuran bagi Athena. Apa pasalnya?
Semuanya kini sadar, bahwa yang Pericles sebut sebagai kekuasaan oleh rakyat (demokrasi), dalam praksisnya berdiri kokoh justru karena kharisma kepemimpinan Pericles.
Jadi, sesungguhnya Athena berdiri bukan terutama rakyat yang berkuasa atau demokrasi, namun karena pemimpin yang bijak dan berkharisma. Saat rakyat yang sungguh-sungguh berkuasa tanpa Pericles, yang ada hanya kehancuran dan anarki.
Plato sebagai warga Athena yang tersengat oleh kekalahan tersebut selanjutnya menganggap demokrasi sebagai bagian dari sistem yang korup, dan menggagaskan teori aristokrasi: yaitu Negara yang dipimpin seorang Negarawan (Statesman) atau seorang “filsuf raja”, seperti imajinasinya tentang Pericles; yaitu pemimpin yang punya keutamaan praktis seperti filsuf, namun sekaligus berkarisma seperti raja.
Dalam imaji yang sama, Aristoteles menggagaskan teorinya tentang “spoudaious”; pemimpin berkharisma yang punya kebijaksanaan dan keutamaan praktis.
Namun, apakah Plato salah karena menolak demokrasi? Justru dari Plato, kita memperoleh salah satu unsur inheren dalam demokrasi yaitu aristokrasi. Artinya, demokrasi tidak mungkin berdiri tanpa kecerdasan dan keutamaan warganya (aristokrasi).
Kritik Plato terhadap sistem demokrasi Athena benar adanya, bahwa keberlangsungan negara dan kesejahteraan warga tidak mungkin didasarkan pada massa yang miskin keutamaan. Kalau massa yang tidak berkeutamaan yang memimpin, maka walau secara prosedural dinamakan demokrasi, namun secara substansial dan praktis sebenarnya anarki.
Jadi, Plato tidak anti demokrasi modern, namun mengkritik kesalahan asumsi demokrasi pada masanya di Athena, dan menambahkan salah satu unsur penting dalam demokrasi autentik, yaitu keutamaan dan rasionalitas warganya.
Dari Plato kita belajar bahwa agar demokrasi dapat berjalan efektif, maka ia mengandaikan aristokrasi dalam jiwa warganya: seperti rasionalitas, keutamaan, kejujuran, kebebasan yang bertanggung jawab, penghargaan terhadap pluralitas, dan sebagainya.
Dengan ini, kita mungkin menyebut Negara kita demokratis, sementara di dalamnya terdapat fitnah, manipulasi, dan pembodohan publik atas nama agama dan ras. Semuanya memang diizinkan secara prosedural.
Namun, jika hal ini terjadi, demokrasi kita tidak lebih dari demokrasi Athena. Kita tidak akan kalah perang seperti warga Athena, namun kita akan kalah dalam peradaban dan martabat.
Akibatnya, manakala Negara lain bergerak ke bulan atau ke planet dan galaksi, kita justru dengan kebodohan yang sering dianggap kudus, atau kebodohan yang dianggap sebagai tindakan kepahlawanan, menuju abad kegelapan.
Oleh karena itu, segenap fitnah, manipulasi, ideologi dan kebohongan, tidak boleh dianggap normal dan perlu dirayakan, apalagi disebarkan secara bangga, namun mesti disadari sebagai momok memalukan, yang menghancurkan demokrasi, menuju anarki.
Jika kita menghadapi situasi baru dengan tantangan bernegara yang baru sesudah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, alangkah baiknya jika segenap energi pemerintah dan rakyat diluapkan secara kreatif, kritis, dengan sebentuk semangat keutamaan (aristokrasi), ketimbang dengan segenap huru-hara massa yang tidak konstruktif.
*Pastor Katolik, Penulis Buku “Melakukan Teologi di Abad Plural: Metode Bernard Lonergan”