Dari Media, Dosen dan Mahasiswa Filsafat di STFK Ledalero Lanjutkan Perdebatan tentang Marxisme di Kampus

Ledalero, Ekorantt.com – Rabu, 13 November 2019, puluhan mahasiswa STFK Ledalero berkumpul untuk mengikuti seminar tentang marxisme di pendopo Perpustakaan STFK Ledalero. Seminar yang bertemakan “Dialektika Marxisme di Ledalero” itu diprakarsai oleh Kelompok Menulis di Koran (KMK) Ledalero dengan melibatkan mahasiswa STFK Ledalero dan beberapa pihak dari luar STFK Ledalero. Seminar yang dimoderatori oleh Kalvin Pala, Mahasiswa Filsafat Semester 7, menghadirkan tiga narasumber, yaitu Emilianus Yakob Sese Tolo, Dosen PKK di STFK Ledalero, Elton Wada, Mahasiswa Filsafat Semester 7, dan Toni Mbukut, Mahasiswa Pascasarjana Teologi Kontekstual.

Karena mengikuti gaya diskusi dalam acara TV Indonesia Lawyers Club (ILC)ILC, maka seminar tentang marxisme di Ledalero dinamakan sebagai Ledalero Philosopher Club. Tiga pembicara diberikan waktu untuk memaparkan materi, saling bantah di antara pembicara dan antara pembicara dengan audiens, dan diakhiri dengan closing statement dari panelis, Pater Felix Baghi, SVD, Dosen Filsafat di STFK Ledalero.

Berawal dari Perdebatan di Media

Seminar tentang marxisme yang mempertemukan Emilianus Yakob Sese Tolo, Elton Wada, dan Toni Mbukut sebenarnya berawal dari perdebatan mereka tentang marxisme di dua koran, yaitu Flores Pos dan Ekora NTT.

Seusai pesta emas STFK Ledalero pada 8 September 2019 lalu, Flores Pos menurunkan artikel Emilianus yang berjudul “Upaya Menggapai Kebijaksanaan”. Dalam artikelnya tersebut, Emilianus berpendapat bahwa dalam berbagai kegiatan dalam rangka menyambut dan memeriahkan pesta emas STFK Ledalero, dia mendengar dan menyaksikan logika dialektika materialis Marxis didengung-dengungkan dan diagung-agungkan walau jarang dieksplisitasikan secara langsung dalam terminology Marxis. Oleh karena itu, Emilianus berkesimpulan bahwa dialektika materialis Marxis mendominasi hampir semua rangkaian kegiatan pesta emas STFK Ledalero.

iklan

Menanggapi pendapat Emilianus, Toni Mbukut dalam opininya yang berjudul “Sabda sebagai Sumber Spiritual dan Pusat Intelektual” yang dimuat oleh Flores Pos (24/9/2019) berpendapat bahwa Emilianus sudah terkurung dalam satu sudut pandang dan cenderung mengabaikan banyak sudut pandang lain yang kenyataannya lebih banyak menginspirasi seluruh rangkaian kegiatan selama perayaan emas STFK Ledalero dan menginspirasi tradisi berpikir dan tradisi ilmu di STFK Ledalero. Menurut Toni, inspirasi utama yang mendasari seluruh kegiatan, termasuk kegiatan pesta emas STFK Ledalero dan seluruh corak berpikir dan tradisi ilmiah di STFK Ledalero adalah Sabda Allah. Sabda atau logos dalam bahasa Yunani merupakan sumber spiritual dan pusat intelektual di STFK Ledalero.

Menanggapi Emilianus dan Toni, Elton Wada, dalam artikelnya di Flores Pos (26/9/2019) berjudul “Yang Absen dalam Filsafat Kemapanan dan Teologi Kemapanan”, berpendapat bahwa Emilianus dalam semua argumentasinya terjebak dalam filsafat kemapanan karena hanya menekankan marxisme yang ortodoks atau terperangkap dalam ilmu saja dan Toni dalam argumentasinya juga jatuh pada kubangan yang sama, yaitu teologi kemapanan. Filsafat dan teologi mesti keluar dari kemapanan dan turun ke ranah penelitian sosial.

Perdebatan di media antara ketiganya terus berlangsung sengit. Dalam opininya yang berjudul “Logos, Ledalogos, dan Ledalolima” yang dimuat oleh Ekora NTT (8 Oktober 2019), Emilianus menanggapi argumentasi Elton dan Toni dengan mengatakan bahwa Elton hanya melakukan ramalan dan Toni hanya mampu menerawang. Opini Emilianus tersebut dibalas oleh Elton melalui opininya yang berjudul “Ortodoksi Pemikiran Emil dan Ketidaklengkapan Berita di Ekora NTT” (11 Oktober 2019).  Opini Elton tersebut kemudian dibalas lagi oleh Emilianus melalui opininya yang berjudul “Yang Terakhir untuk Para Demagog” yang dimuat Ekora NTT (22 Oktober 2019). Dalam jangka waktu yang lama, segenap civitas akademika STFK Ledalero menyangka bahwa perdebatan di antara mereka telah selesai dengan dimuatnya opini terakhir Emilianus. Namun, anggapan tersebut ternyata keliru karena Elton kembali menanggapi opini Emilianus melalui opininya yang berjudul “Emil: Paranoid atau Parrhesiast?” yang dimuat oleh Ekora NTT (10 November 2019).

Logika Kapitalisme Meracuni Sekolah-Sekolah di Indonesia

Tidak hanya berdiskusi tentang marxisme, kapitalisme juga menjadi salah satu tema yang didiskusikan dalam seminar tersebut. Diskursus tentang kapitalisme muncul ketika Emilianus mengatakan bahwa SVD dan STFK Ledalero terperangkap dalam logika kapitalisme. Elton, seorang mahasiswa STFK Ledalero yang sekaligus anggota Serikat Sabda Allah, menanggapi secara kritis tudingan Emilianus dengan mengatakan bahwa SVD tidak bercorak kapitalis, melainkan bercorak komunis karena tidak ada kepemilikan pribadi. Segala sesuatu menjadi milik bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama. Berbeda dengan Elton, Emilianus tetap pada pendiriannya bahwa SVD terjebak ke dalam logika kapitalis.

“Memang benar secara internal, SVD bercorak komunis karena segala sesuatu menjadi milik bersama dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Namun, dalam relasinya dengan pihak-pihak lain di luar SVD, sebagai kaum religius dan mahasiswa Filsafat yang mencintai kebijaksanaan, kita mesti jujur bahwa SVD bercorak kapitalis karena SVD dan juga STFK Ledalero mempekerjakan dan membayar tenaga orang. Lebih sadis lagi dan kita harus jujur mengatakan bahwa banyak sekolah-sekolah misi di wilayah Flores yang memberikan para pekerja upah di bawah standar upah minimum untuk provinsi NTT. Kalau STFK Ledalero memiliki uang yang banyak dan mau membiayai saya untuk melakukan riset tentang kapitalisme di sekolah-sekolah Flores, saya dengan senang hati akan melaksanakannya untuk kebaikan bersama,” tegas Emilianus.

Perdebatan yang Ad Hominem

Banyak pihak menilai bahwa perdebatan antara Emilianus, Elton, dan Toni bernuansa ad hominem sehingga melupakan substansi argumentasi kritis yang hendak didiskusikan dan diperdebatkan. Menanggapi pendapat pihak-pihak tersebut, Emilianus menegaskan bahwa ad hominem dalam sebuah perdebatan menjadi bumbu yang memberikan kelezatan dalam sebuah perdebatan.

“Saya belajar banyak dari perdebatan antara Martin Surajaya dan Goenawan Mohammad di beberapa media. Dalam perdebatan tersebut, ad hominem menjadi hal yang lumrah. Saya juga dalam setiap perdebatan sulit menghindari diri dari ad hominem. Ad hominem menjadi bumbu dalam sebuah perdebatan. Saya menikmati perdebatan yang ad hominem dan tidak pernah tersinggung kalau lawan debat saya menyerang secara ad hominem,” jelas Emilianus.

Beberapa Komentar

Pater Felix Baghi, SVD yang diberikan kesempatan untuk menyampaikan closing statement, mengapresiasi perdebatan antara dosen dan mahasiswa.

“Kedatangan Emilianus sebagai dosen di STFK Ledalero memberikan warna baru yang mencerahkan iklim akademik civitas akademika STFK Ledalero. Sangat jarang terjadi dosen membuka dirinya untuk dibantah oleh mahasiswanya dan berdebat di media-media. Saya yang sudah puluhan tahun menjadi dosen hanya berhenti berdebat dengan mahasiswa di ruang kelas dan belum pernah terlibat dalam perdebatan dengan mahasiswa di media,” ungkap Pater Felix Baghi, SVD.

Pater Felix menegaskan bahwa rasionalitas yang bermain di balik marxisme adalah rasionalitas instrumental. Perdebatan di antara Emilianus, Elton, dan Toni berhenti pada rasionalitas instrumental. Dia menganjurkan, substansi perdebatan bergerak dari rasionalitas instrumental ke rasionalitas komunikatif.

“Saya menginginkan agar ketiga narasumber dan juga segenap civitas akademika STFK Ledalero tidak hanya berhenti berdebat pada tataran rasionalitas instrumental. Kita mesti bergerak lebih jauh untuk membumikan rasionalitas komunikatif dalam perdebatan akademis di STFK Ledalero,” tandas Pater Felix.

Menurut Pater Felix, sekolah seperti STFK Ledalero tidak bisa melepaskan diri dari kapitalisme karena STFK Ledalero juga membutuhkan modal untuk menyelenggarakan pendidikan secara baik dan efektif.

“Saya sepakat dengan Emilianus bahwa sekolah-sekolah tidak bisa lepas dari logika kapitalisme. Yang terpenting adalah kapitalisme yang beretika. Marx juga punya etika dan etika yang dikedepankan oleh Marx adalah etika social,” jelas Dosen Filsafat STFK Ledalero tersebut.

Pater Otto Gusti Madung, SVD, Ketua STFK Ledalero, dalam komentarnya yang dikirimkan via facebook mengapresiasi diskusi Marxisme yang melibatkan civitas akademika STFK Ledalero.

Ketua STFK Ledalero berpendapat bahwa studi tentang Marxisme sangat penting dalam filsafat, gerakan social, dan teologi. Dalam filsafat, Marxisme mempengaruhi Frankfurter Schule, misalnya, salah satu mazhab filsafat terpenting abad ke-20. Kritiknya terhadap modernitas dan cara berpikir kontemplatif filsafat klasik yang tertutup terhadap masalah sosial dan perang sangat fundamental untuk membentuk mahasiswa filsafat yang peduli secara sosial dan tidak hanya bersikap netral jika ada orang yang mati kelaparan.

Lebih lanjut, demikian Pater Otto, dalam gerakan sosial dan studi tentang demokrasi, Marxisme mempengaruhi sejumlah gerakan populisme kiri yang dipelopori oleh Chantal Mouffe dan Laclau lewat kritiknya terhadap demokrasi representatif yang sudah dibajak oleh para elite politik dan oligark. Mereka ingin menyegarkan kembali demokrasi lewat representasi yang popular dan berbasiskan masyarakat sipil yang mampu merumuskan agenda perubahan konkret.

Dalam teologi, lanjut Pater Otto, marxisme menjadi metode analisis sosial yang menjadi basis epistemologis dalam teologi pembebasan dan teologi politik dari John Baptis Metz. Seluruh surat gembala dan ensiklik Paus Fransiskus juga menggunakan bahasa dan metode teologi pembebasan. Jadi, tidak mungkin memahami teologi Paus Fransiskus tanpa membaca Marx.

Dalam bidang agama, menurut Ketua STFK Ledalero, Marx sangat berjasa untuk melahirkan agama yang sungguh-sungguh mau terlibat dalam mengusahakan perbaikan nasib mereka yang termarginalkan.

“Semoga ke depannya, perdebatan seperti ini semakin dihidupi oleh civitas akademika STFK Ledalero. Kita berdebat dengan kepala dan argumentasi bukan dengan perasaan dan sentimen yang justru akan menjauhkan kita dari kebijaksanaan dan kebenaran,” kata Dosen HAM dan Postmodernisme di STFK Ledalero.  

Jean Loustar Jewadut/Mahasiswa STFK Ledalero

TERKINI
BACA JUGA