Generasi Terakhir Pengrajin Gerabah Wolokoli

Maumere, Ekorantt.com – Magnus tampak hati-hati merapikan sejumlah gerabah yang sudah dibentuk, sebelum dibakar di tempat pembakaran khusus di pekarangan rumahnya di Dusun Gedo, Desa Wolokoli, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, pada Jumat (16/7/2021). Pria bernama lengkap Corfi Carnus Magnus ini merupakan generasi terakhir yang mempertahankan tradisi para leluhurnya.

Tradisi pembuatan gerabah di Wolokoli sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Menurutnya, sejak 1920 hingga 1980-an gerabah hasil kerajinan tangan warga Wolokoli sangat digemari oleh pembeli di daratan Flores.

“Pada saat itu, gerabah seperti periuk tanah sangat terkenal di kalangan masyarakat untuk memasak air, mengambil air di kali, memasak moke dan tempat untuk menyimpan obat tradisional, ” tutur Magnus.

Namun, sejak era 1990-an, kegiatan membuat gerabah mulai surut dan ditinggalkan pengrajin di Wolokoli karena perkakas rumah tangga dari pabrik seperti periuk aluminium, ember, panci, kuali, cerek, gelas, dan lainnya mulai merambah masuk hingga ke pedalaman wilayah Kabupaten Sikka.

Melihat fenomena itu, Magnus tak tinggal diam. Pada 1996, saat berusia 19 tahun, ia memutuskan untuk belajar membuat gerabah. Ia pun berangkat menuju pusat kerajinan gerabah di Bantul, Yogyakarta.

iklan

“Saya belajar selama tiga bulan. Setelah itu saya pulang ke Maumere,” ujarnya.

Tiba di Maumere, Magnus langsung membentuk satu kelompok usaha gerabah di Wolokoli yang sebagian anggotanya adalah ibu-ibu rumah tangga. Kelompok tersebut hanya bertahan enam bulan karena para anggota merasa usaha tersebut belum memberikan keuntungan lebih bagi ekonomi rumah tangga mereka.

“Ibu-ibu rumah tangga ini lebih fokus pada kegiatan mereka seperti bertani dan beternak di samping kegiatan pembuatan gerabah dari tanah liat,” ceritanya.

Setelah kelompok itu bubar, sejumlah pemuda di Desa Wolokoli ikut bergabung. Mereka ingin belajar membuat gerabah. Namun, lagi-lagi keterlibatan mereka tidak bertahan lama. Para pemuda itu memutuskan untuk berhenti, dan lebih memilih bertani.

Kendati demikian, Magnus tak patah semangat. Ia kembali bekerja sendiri untuk mempertahankan warisan leluhur. Dia memanfaatkan pekarangan rumahnya sebagai tempat pembuatan gerabah. Untuk pembakaran gerabah, ia memanfaatkan halaman di belakang rumah.

“Tempat pembakaran gerabah dan periuk tanah ini masih sederhana. Kalau saya lihat tempat pembakaran gerabah di Yogyakarta tempat saya belajar dulu sangat jauh beda,” katanya.

“Saya memang buat tempat pembakaran di belakang rumah karena bahan baku tanah liat ada di samping rumah. Saya hanya cari cadas dan tanah putih dan beberapa bahan lainnya untuk campuran pembuatan periuk tanah dan gerabah,” tambahnya.

Magnus menuturkan, ia bisa menghasilkan 10 gerabah jenis kuali dalam sehari. “Kalau asbak, tempat lilin, tempat tisu, teko, celengan dan vas bunga bisa 20 sampai 30 per hari. Semuanya saya kerjakan secara manual,” ucapnya.

Sedangkan, untuk gerabah seperti periuk tanah, guci, patung dan jenis lainnya, ia kerjakan sesuai dengan permintaan konsumen.

Ia mengatakan, proses yang paling lama dalam pembuatan gerabah adalah pembakaran atau pemanggangan.

“Pembakarannya selama lima jam sampai hasilnya matang, biarkan sampai besok pagi baru diangkat gerabahnya,” jelasnya.

Magnus mengatakan, kendala utama yang ia hadapi saat ini adalah akses pasar. Ia mengaku belum memahami sistem penjualan online, baik melalui media-media sosial maupun lewat aplikasi-aplikasi atau situs-situs penjualan online.

“Saya ingin sekali agar semua produk gerabah Wolokoli ini bisa dikenal dan dijual lebih luas lagi sampai keluar wilayah NTT,” tuturnya.

Magnus tetap bersyukur. Pasalnya, selama ini, ia sangat terbantu dengan hasil penjualan gerabah; mulai dari membiayai kebutuhan keluarga hingga menambah modal usaha kios sembako.

Saat ini, Magnus sementara menyelesaikan pesanan gerabah jenis aksesoris, dari  kantor Kejaksaan Negeri Maumere.

“Saya sering dapat pesanan gerabah dari Bapak Kejari Sikka. Sebelumnya itu Bapak Kejari minta saya buatkan patung adat dari Sikka, dan patungnya sekarang sudah ditaruh di depan kantor,” ucapnya.

“Terima kasih untuk Bapak Kejari Sikka yang sudah mendukung usaha kerajinan gerabah Wolokoli ini,” imbuhnya.

Mimpi Punya Galeri

Kini, Magnus punya mimpi besar. Ia ingin membuka galeri gerabah di Kota Maumere.  Selain itu, ia juga ingin mewariskan keterampilannya kepada generasi penerus di Desa Wolokoli.

“Saya akan terus melestarikan tradisi dari nenek moyang kita yang berlangsung sejak ratusan tahun silam. Budaya kita ini jangan sampai hilang,” katanya.

“Kalau dulu siswa-siswi dari SMPK Watukrus Bola, dan dari Sekolah Dasar  yang ada di Kecamatan Bola, sering datang belajar tentang bagaimana cara membuat gerabah dari tanah liat ini, sekarang saya berencana mau menawarkan lagi ke sekolah-sekolah di Kecamatan Bola untuk muatan lokal, ” pungkas Magnus.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA