Cabut Pilar yang Ditanam BPOLBF dan KPH Mabar, Warga KMRB: Kami Butuh Bupati

Labuan Bajo, Ekorantt.com – Sejumlah warga yang tergabung dalam Kesatuan Masyarakat Racang Buka (KMRB), Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) melakukan aksi mencabut pilar yang ditanam Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) setempat, Jumat (20/8/2021). Aksi ini merupakan bentuk pelawanan warga terhadap kebijakan BPOLBF dan KPH.

Wakil Tu’a KMRB, Thomas Ngajang (59) menilai tindakan yang dilakukan BPOLBF dan KPH, bentuk dari kolonialisme. Sebab, warga tidak dilibatkan sebelum melakukan penanaman pilar. “Maka hari ini sebagai bentuk penolakan kami, kami cabut pilar. Kami tidak setuju. Hari ini BPOLBF sangat sadis,” ujar Ngajang saat berdialog bersama perwakilan KPH Mabar dan sejumlah warga.

Pihaknya tegas dia, tetap mempertahankan lokasi yang selama ini dikelola warga. Sebab, lahan itu sudah dimanfaatkan selama bertahun-tahun sebelum hadirnya BPOLBF. “Kami butuh keadilan. Kami butuh Bapak Bupati, Edistasius Endi panggil kami,” katanya.

Menurutnya, warga mesti dilibatkan dan diberi penjelasan sebelum penanaman pilar. Pihaknya juga lanjut dia, tidak pernah menolak kehadiran siapapun, tetapi diperlukan keterbukaan dan informasi yang melibatkan para warga.

Sementara itu, Staf KPH Manggarai Barat, Hasan, menjelaskan, pihaknya sedang melakukan tata batas kawasan hutan Bowosie. Sebab, selama beberapa tahun terakhir KPH mengalami kesulitan karena beberapa hal termasuk anggaran.

iklan

“Sehingga kita tidak bisa melakukan pemasangan pal batas sesuai tindak lanjut review tata ruang tahun 2013/2014 sebagaimana usulan Pemkab Mabar untuk perubahan peruntukan yang semula kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan,” bebernya.

Hasan menjelaskan usulan Pemkab Mabar disetujui pada tahun 2016. Itu ditandai dengan terbitnya SK:357. Yang mana adanya perubahan kawasan hutan pada beberapa di wilayah Manggarai Barat menjadi bukan kawasan hutan. Salah satunya di Desa Gorontalo.

Ia menjelaskan, sebagai tindak lanjut SK:357 maka pemerintah berkewajiban melakukan tata batas. Tujuannya untuk memberikan kepastian batas antara masyarakat dan pemerintah, sesuai petunjuk pemerintah pusat khususnya KLHK.

“Karena kewenangan itu hanya ada di pemerintah pusat. Jadi pemasangan pal batas ini sesuai dengan SK:357. Jadi, kita ingin menginformasikan inilah titik-titik batas yang telah disetujui oleh oleh pemeritah pusat,” ujarnya.

Terkait polemik yang terjadi, Hasan berjanji akan melaporkan kepada pimpinan untuk menentukan langkah selanjutnya.

Kuasa hukum KRMB, Fransiskus Dohor Dor, menilai penetapan tapal batas hanya untuk kepentingan BPOLBF. “Saya memandang ini upaya yang mengesampingkan warga dan menghancurkan harapan masyarakat terhadap kehidupannya. Apa bedanya BPOLBF dengan masyarakat,” ujarnya.

Menurutnya, kebijakan penetapan batas tidak bisa hanya bertumpuh pada satu kewenangan, tetapi perlu mempertimbangkan perjuangan masyarakat yang sudah lama mendiami lokasi tersebut.

“Yang digarap itu kan 73 hektare. BPOLBF juga pernah secara lisan menyatakan untuk tidak mengganggu lahan yang digarap masyarakat. Saya harap pemerintah fasilitasi soal polemik ini,” pintanya.

Direktur BPOLBF, Shana Fatima belum belum berhasil dikonfirmasi. Shana hanya membaca pesan WhatsApp dari Ekora NTT.

Sandy Hayon

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA