‘Spin Off’ dan Kinerja Sosial Koperasi

Oleh: Paul Lamawitak

Ide tulisan ini muncul ketika saya membaca berita di salah  kanal berita online hari Kamis, 12 Agustus 2021. “Pintar Asia Tambah Satu Unit Usaha Baru, Jano: Pintu Air Tidak Berhenti Sampai di Sini” demikian judul beritanya. Pintu Air sebagai salah satu koperasi kredit terbesar sejauh ini memiliki beberapa unit usaha seperti Pintar Swalayan, Minyak Goreng Pintar dan yang terakhir ini adalah produksi pembekalan kesehatan rumah tangga yakni handsanitizer, sabun cuci tangan dan pembersih lantai. Juga akan memproduksi sabun mandi dan shampo serta saos tomat dan sambal.

Saya kira gerakan spin off yang sedang ditekuni oleh koperasi kredit Pintu Air ini meski diapresiasi. Setidaknya pihak pengurus dan manajemen sudah memikirkan dengan begitu matang sampai memutuskan untuk membuka unit usaha baru untuk menyokong core bisnis yaitu simpan-pinjam.

Keterbukaan koperasi terhadap praktik bisnis di luar gerakan simpan-pinjam memang menjadi pilihan rasional. Mengapa? Masalah utama yang sedang dihadapi oleh koperasi kredit pada umumnya adalah kredit macet. Ini masalah yang sulit dipecahkan sampai hari ini.

Sejarah berdirinya koperasi mempunyai korelasi positif dengan realitas kemiskinan yang tidak terpecahkan secara individual. Oleh karena itu, koperasi berdiri sebagai satu gerakan kolektif untuk bersama memecahkan masalah kemiskinan.

iklan

Di sini ada rasa ‘ketersalingan’. Rasa saling membutuhkan; saling menolong; kau susah saya bantu, saya susah kau bantu. Begitu kira-kira asas dasar yang dipegang oleh semua koperasi. Artinya, koperasi berdiri karena ada realitas kemiskinan yang sulit untuk dipecahkan (hinggga saat ini) dan dengan misi kemanusiaan inilah banyak koperasi kemudian bertumbuh dan berkembang dengan sangat baik.

Pertanyaan paling mendasar dan sering disampaikan oleh masyarakat adalah sejauh mana tingkat kesejahteraan anggota ketika masuk menjadi anggota koperasi? Ini pertanyaan sulit. Sampai hari ini, belum ada satu koperasi pun yang mengeluarkan rilis tentang tingkat kesejahteraan anggotanya sebelum dan sesudah menjadi anggota koperasi.

Data penduduk miskin terus mengalami peningkatan dari tahun 2011 hingga 2013 (data terakhir dari BPS Kabupaten Sikka). Lantas koperasi disalahkan? Tidak segampang itu.

Koperasi hanyalah satu entitas dari sekian faktor yang melilit kehidupan masyarakat hingga sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Tetapi sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia, maka koperasi turut mengambil bagian dalam usaha mensejahterakan anggotanya. Ini bukan pekerjaan gampang.

Maka gerakan-gerakan inovatif yang dilakukan oleh koperasi seperti terjun dalam bisnis riil menjadi pilihan rasional. Untuk itu, ada beberapa pemikiran preventif yang perlu dipertimbangkan oleh koperasi.

Pertama, koperasi adalah wadah bersama. Pemegang saham adalah seluruh anggota yang dengan suka rela memilih masuk menjadi anggota koperasi. Mereka (anggota koperasi) harus tetap menjadi prioritas utama bukan rekan bisnis atau elemen lainnya. Sehingga setiap gerakan koperasi tetap berpegang pada asas ini; koperasi milik anggota; dari anggota oleh anggota dan untuk anggota. Inilah asas demokrasi koperasi. Kesejahteraan anggota menjadi tujuan utama dan pertama, bukan tumpukan aset yang tidak berpengaruh langsung terhadap peningkatan kesejahteraan anggota.

Kedua, koperasi perlu mempertimbangkan untuk kebut membuka cabang baru selain memperkuat kualitas anggota di cabang-cabang yang sudah ada. Tidak salah membuka cabang baru sebagai salah satu strategi meningkatkan pendapatan. Tetapi apakah kualitas anggota diperhatikan? Anggota koperasi adalah orang-orang yang secara sukarela membuka diri dan mau masuk dalam koperasi untuk bisa saling menolong. Ini yang harus digaungkan oleh koperasi.

Ketiga, mesti disadari bahwa anggota koperasi adalah masyarakat kecil yang kurang atau tidak memiliki akses ke sistem digital. Tidak banyak anggota yang memanfaatkan sistem digital seperti mendaftar sebagai anggota baru, mengangsur lewat aplikasi atau aktivitas lain yang berkaitan dengan simpan-pinjam koperasi. Digitalisasi harus disertakan juga dengan proses edukasi yang baik agar anggota tidak gagap teknologi. Jangan sampai terlalu banyak biaya/ongkos yang harus dikeluarkan untuk proses digitalisasi yang kemudian tidak berdampak pada kemudahan yang dirasakan anggota.

Keempat, koperasi hendaknya memikirkan untuk memiliki satu lembaga penelitian dan pengembangan (litbang). Tugas lembaga ini adalah memberikan masukan dan kontrol terhadap pengurus dan juga manajemen secara ilmiah melalui riset yang mereka lakukan. Salah satu riset yang penting adalah menganalisis tingkat kesejahateraan anggota dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun. Proses ini yang kemudian dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan juga pemerintah bahwa koperasi hingga saat ini telah mensejahterakan anggotanya.

Tentunya dengan indikator-indikator kesejahteraan yang bisa dipertanggungjawabkan. Mengapa hal ini penting?

Karena sejarah berdirinya koperasi dan tujuan utama yang dicapai adalah kesejahteraan anggota koperasi. Spin off yang sudah dan sedang dilakukan sekarang oleh koperasi-koperasi adalah salah satu bentuk tanggung jawab koperasi untuk memanusiakan manusia lewat peningkatan kesejahteraan ekonominya. Dengan demikian gerakan koperasi bisa terukur; kesejahteraan anggota adalah prioritas utama dan pertama.

*Penulis adalah Dosen Unipa Indonesia, tinggal di Maumere

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA