Oleh:
Maria Giashinta Morestika Angung
Daratan Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) menyimpan banyak warisan budaya, salah satunya kampung adat. Salah satu kampung adat tertua di Flores ialah Kampung Adat Todo, di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai.
Selain keunikan bangunan dan kebudayaannya, kampung adat ini terkenal dengan salah satu pusaka khasnya, yaitu gendang yang terbuat dari kulit manusia.
“Gandang ini sebenarnya punya cerita yang sangat berarti bagi kerajaan-kerajaan Manggarai. Gendang ini (dibuat) dari kulit wanita cantik nan sakti, yang dulu kisahnya diperebutkan oleh tiga kerajaan,” tutur Titus Jegadut, penanggung jawab pariwisata di Kampung Adat Todo.
Titus menceritakan legenda kampung kelahirannya itu kepada setiap wisatawan yang datang berkunjung.
“Dahulu ada tiga kerajaan yang ingin berkuasa di daratan Manggarai ini, ada Todo, Bima di Sumbawa, dan Kerajaan Goa di Sulawesi,” cerita Titus. “Semuanya, selain berebut daratan juga berebut putri cantik yang sakti.”
Menurut cerita leluhurnya, tutur Titus, perempuan sakti itu keturunan India dan Bima. Perempuan itu keluar dari Bima dan menetap di Manggarai karena sesuai adat India di Bima, anak perempuan harus dibunuh.
Sosok putri tersebut, menurut Titus, hidup diantara masyarakat Manggarai. Ia dikenal sebagai perempuan sakti. Kabar tentang kesaktian dan kecantikannya terdengar sampai di telinga ketiga raja tersebut, hal yang kemudian membuat para raja itu ingin menguasai Manggarai.
“Lalu diadakan komitmen untuk hentikan ini problem dengan satu fokus solusi, yaitu siapa yang bisa tangkap dan nikahi ini perempuan, dialah yang berhak jadi Raja Manggarai,” kata Titus.
Raja Todo yang kala itu mengetahui keberadaan wanita sakti tersebut langsung mencarinya di saat masyarakat terlelap.
“Raja Todo berniat untuk menyudahi persaingan konflik tiga kerajaan yang memperebutkan wanita itu. Alhasil dibunuhlah si wanita sakti tadi dengan cara tertentu,” Kisah Titus.
Setelah kabar tentang wanita yang diperebutkan itu mati di tangan Raja Todo tersiar ke mana-mana, ketiga kerajaan tersebut sepakat untuk tidak lagi berkonflik. Peperangan pun bisa dihindari.
“Sejak saat itu, Todo memproklamirkan diri sebagai penguasa Manggarai sekaligus pemersatu kerajaan-kerajaan,” ujar Titus.
“Makanya rumah-rumah adat di sini fungsinya seperti pusat pemerintahan, ada rumah urusan adat, rumah urusan keuangan, perhubungan, sampai keamanan atau perang.”
Sampai saat ini, keturunan Todo mengakui bahwa gendang dari kulit manusia itu menjadi simbol persatuan masyarakat Manggarai.
Niang Todo
Satu-satunya ciri khas Kampung Todo adalah Niang Todo, sebuah rumah adat yang menyerupai rumah panggung dengan bentuk bundar, serta beratap jerami berbentuk kerucut. Niang Todo dulunya adalah istana Raja Todo.
Rumah adat ini hampir sama seperti rumah adat orang Manggarai pada umumnya yang beratapkan ijuk, berbentuk kerucut dengan rangka kayu dan bambu. Jika kerucut dibuka, maka kerangkanya menyerupai sebuah jaring laba-laba.
Selain Niang Todo juga terdapat empat buah bangunan rumah adat dengan ukuran yang lebih kecil. Keempat rumah adat itu baru dibangun untuk melengkapi keberadaan Niang Todo atau rumah adat induk di Kampung Todo.
Dua buah rumah adat yang terletak di sisi timur Niang Todo yakni Niang Rato dan Niang Lodok. Dan dua lainnya di sis barat yaitu Niang Wa/Keka dan Niang Teruk.
Lalu, pada sisi depan rumah adat induk yang lurus dengan compang terdapat waruga atau tempat musyawarah.
Di sekeliling Kampung Todo banyak ditumbuhi pepohonan hijau. Asri dan sejuk.
Suku Manggarai
Suku Manggarai adalah suku asli di Flores yang hidup di Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Orang Manggarai hidup berdampingan dengan suku-suku lain, seperti suku Ngada, Ende, Lio, Flores Timur, dan lainnya.
Suku Manggarai sendiri terdiri dari bermacam-macam suku kecil (sub-suku) dan klan-klan yang memiliki bahasa dan dialek masing-masing, serta adat-istiadat yang unik. Selain itu masing-masing suku-suku kecil juga memiliki rumah tradisional, upacara adat dan pakaian adat sendiri.
Pada zaman dulu, di Manggarai terdapat sebuah kerajaan. Sisa-sisa kerjaan masih kelihatan berupa pembagian wilayah tradisional ke dalam wilayah adat yang disebut dalu pada masa orde lama. Jumlah dalu di Manggarai sebanyak 39. Tiap-tiap dalu dikuasai oleh satu klen atau wa’u tertentu.
Dalam setiap dalu juga terdapat beberapa glarang dan di bawahnya lagi terdapat kampung-kampung yang disebut beo. Orang-orang dari wa’u yang dominan dan menguasai dalu menganggap diri mereka sebagai golongan bangsawan.
Antara satu dalu dengan dalu lainnya sering mengadakan aliansi perkawinan dalam sistem yang mereka sebut perkawinan tungku (semacam perkawinan sepupu silang). Antara dalu dengan glarang sering pula terjadi perkawinan, karena sebuah glarang umumnya juga dikuasai oleh sebuah wa’u dominan dalam suatu kampung.
Dalu yang bernaung di bawah kerajaan dipimpin oleh seorang kraeng, yang biasa dipanggil kraeng adak. Kraeng yang dianggap berjasa berhak memperoleh gelar sangaji dari raja.
Dulu, dalam masyarakat Manggarai terdapat stratifikasi sosial yang cukup jelas. Pertama, golongan yang menganggap dirinya bangsawan, yang biasanya memakai gelar kraeng. Kedua, adalah golongan rakyat biasa yang disebut ata lahe. Dan, golongan ketiga adalah hamba atau mendi. Saat ini, stratifikasi sosial itu sudah semakin kabur.
(Penulis adalah Mahasiswa Semester Tiga (3) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unika Santu Paulus Ruteng)