Perjumpaan Hukum Negara, Agama dan Adat dalam Kasus Perkawinan di Manggarai, Flores (2/3)

Oleh: Prof. Dr. Yohanes Servatius Lon, M.A*

Perkawinan dalam Hukum Adat, Agama, dan Negara

Menikah dan membentuk keluarga merupakan salah satu aktivitas manusia yang paling tua dan fundamental dalam sejarah kehidupan umat manusia.Setiap komunitas memiliki keunikan dalam memandang dan mengatur perkawinan sesuai dengan konteks sosial, historis dan hukum yang berlaku pada komunitas masing-masing.

Seiring dengan perkembangan peradaban dan terbentuknya hukum-hukum adat, negara maupun agama, perkawinan masuk dalam ranah hukum. Hukum-hukum ini bisa jadi memiliki titik kesamaan sehingga dapat saling mendukung dan memperkaya. Namun juga bisa berbeda dan bahkan bertolak belakang satu sama lain sehingga menimbulkan konflik dan kontroversi. Perbedaan yang ada juga menimbulkan klaim kebenaran masing-masing pihak dimana hukum tertentu dianggap lebih benar dan baik dibandingkan dengan hukum lainnya.

Masyarakat Manggarai memberi arti perkawinan dengan nilai filosofis, sosial, dan religius yang tinggi. Perkawinan adalah tanda kedewasaan, dimana seseorang memasuki fase baru hidupnya. Perkawinan sangatlah penting untuk mempertahankan dan melanjutkan eksistensinya sebagai suatu masyarakat.

Melalui perkawinan, sebuah wa’u/klan tidak akan punah (mempo). Perkawinan juga menjadi sarana untuk memperluas dan memperbesar keluarga. Makin besar suatu keluarga, makin berhasil keluarga tersebut. Olehnya faktor kelahiran anak menjadi krusial dalam sebuah perkawinan. Bahkan, jika suatu perkawinan tidak menghasilkan keturunan/anak, si suami diperkenankan untuk mengambil wanita lain sebagai istri yang kedua atau ketiga.

Perkawinan tidak hanya mengikat kedua calon mempelai tetapi juga kedua keluarga besar sebagai anak rona (pemberi wanita) dan anak wina (penerima wanita). Prosesnya juga melibatkan peran aktif keluarga besar (asé-kaē, wa’u, anak wina, pa’ang olon agu ngaung musi).

Dalam banyak praktik, kepentingan keluarga besar dan masyarakat bisa lebih dominan dari pada keinginan pria dan perempuan yang menikah. Dari aspek legalitasnya, perkawinan pun lebih dominan ditentukan oleh kesepakatan kedua keluarga besar ketimbang kedua mempelai. Perjanjian kesepakatan antara dua keluarga besar melambangkan dan melahirkan perkawinan antara kedua mempelai. Perjanjian tersebut dilaksanakan dalam upacara adat tudak ela wagal (sembelihan babi) atau sikat sai kina/cikat kina,wagak/wagal kaba (acara penyembelihan kerbau). Patut juga dicatat bahwa dalam tradisi adat masyarakat Manggarai poligami dan perceraian diperbolehkan dalam kondisi tertentu. Tentu hal ini sudah diatur dalam hukum yang mengikat dan membuat seseorang tidak seenaknya saja melakukan poligami atau perceraian.

Berbeda dengan hukum Adat Manggarai, Gereja Katolik lebih menekankan peran individu atau personel yang menikah. Persetujuan perkawinan tidak dilakukan oleh keluarga besar tetapi oleh seorang pria dan seorang wanita.

“Persetujuan perkawinan adalah suatu tindakan kehendak dengan mana seorang pria dan seorang wanita, melalui suatu perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali, saling memberi dan menerima satu sama lain untuk melangsungkan perkawinan” (KHK 1057 paragraf 2).

“Harus ada tindakan persetujuan yang nyata oleh kedua mempelai. Ini diperlukan dan tidak ada kekuatan manusia lain, orang tua, keluarga, negara atau gereja yang dapat menggantikan persetujuan ini”.

Gereja Katolik memandang perkawinan sebagai hal yang sakral dan sakramental. Ia bukanlah sekadar ciptaan atau temuan manusia tetapi merupakan rencana Ilahi.  Perkawinan sudah ditetapkan Allah sejak penciptaan manusia pertama (Kej 1, 26. 28). Allah menggoreskan dalam kodrat manusia, panggilan dan tanggung jawab untuk mengasihi dan hidup dalam persekutuan. Oleh Kristus Tuhan, perkawinan dua orang Katolik diangkat menjadi sakramen yang melambangkan kasih dan kesetiaan Tuhan terhadap GerejaNya.

Perkawinan yang sah dilakukan di hadapan wakil resmi Gereja (uskup, imam, diakon) dan dalam upacara resmi Gereja (Kanon 1108-1110). Setiap perkawinan yang sah bersifat suci, monogami, dan tidak bisa diceraikan oleh siapapaun atau lembaga manapun. “Yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Gereja Katolik tidak mengenal poligami dan perceraian.

Selanjutnya, Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan harus berdasarkan kesepakatan kedua calon mempelai yang telah memenuhi syarat-syarat yang diamanatkan undang-undang (pasal 6).

Suatu perkawinan dapat sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Tidak ada perkawinan yang sah di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Artinya, setiap warga negara Indonesia yang akan menikah harus menikah pada lembaga agamanya masing-masing dan tunduk pada aturan perkawinan agamanya. Jika hal itu tidak dapat dipenuhi, maka perkawinan itu tidak sah.

Selanjutnya perkawinan yang sah harus dicatat di hadapan pegawai pencatat nikah yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada prinsipnya mendukung perkawinan monogami tetapi tetap membuka ruang bagi poligami (Pasal 3,4,5,6) dan memungkinkan terjadinya perceraian dan perkawinan kembali.

Perjumpaan yang Problematis dan Konfliktual

Setiap aturan hukum bersifat mengikat pihak-pihak yang ada di lingkupnya. Hukum negara mengikat warga negara, hukum agama mengikat penganut agama dan hukum adat mengikat masyarakat adat. Pada umumnya, setiap hukum dirumuskan dengan tujuan khusus untuk tujuan kebaikan. Hukum Negara, hukum agama dan Hukum Adat tentunya memiliki spirit yang sama yaitu berusaha menempatkan perkawinan sebagai yang fundamental bagi manusia dan menjamin hak, kenyamanan, dan kemudahan para pihak mencapai tujuan perkawinan itu sendiri. Perjumpaan ketiganya dapat saling memperkaya spirit tersebut.

Namun, idealisme itu tidak selalu terjadi, khususnya karena ketiga hukum tersebut memiliki perbedaan. Perbedaan sebenarnya wajar saja, karena tidak mungkin dan juga ganjil kalau segala hukum, aturan, dan tradisi sama dan seragam dimana-mana. Hanya saja, ketika semua hukum ini bertemu dan berlaku pada pribadi yang sama, perjumpaan hukum ini menjadi hal yang problematis, kontoversial dan bahkan konfliktual manakala perbedaan tidak bisa diharmonisasi.

Ada beberapa masalah yang sadar atau tidak sadar terjadi di dalam perjumpaan hukum negara, agama dan adat di Manggarai.

Pertama, sejauh ini hukum perkawinan negara sama sekali tidak mengakomodir legalitas perkawinan adat, melainkan hukum agama saja. Akibatnya mereka yang sudah melakukan perkawinan adat namun tidak atau belum bisa mendapatkan legalitas agama akan mengalami kesulitan sebagai warga negara.

Dengan tidak tercatatnya perkawinan pada lembaga negara, ada banyak hak sebagai warga sipil yang tidak dapat diperoleh secara penuh bagi pasangan tersebut maupun bagi anak-anak yang lahir dari pasangan ini. Dengan tidak terpenuhinya hak-hak asasi warga negara, dalam hal ini pasangan atau anak-anak yang dilahirkan, maka martabat, keluhuran dan kualitas manusia menjadi rendah.

Kedua, hukum perkawinan Katolik juga tidak mengakui legalitas perkawinan adat. Orang yang sudah menikah adat dan sifatnya legal, mengikat dan sakral belum cukup jika ia tidak menikah seturut Hukum agama Katolik. Ada sejumlah kasus yang memang menghalangi seseorang bisa mendapatkan legalitas perkawinan Katolik. Pasangan semacam ini dianggap “kawing kampong” dan  “ka’éng oné nendep”.

Pasangan  demikian mengalami peminggiran hak, stigma buruk, dan perlakuan yang tidak menggambarkan kasih Allah kepada manusia. Akibat lain dari hal ini adalah pasangan Manggarai merasa cukup menikah secara gereja dan mengesampingkan adat dan bahkan menganggap adat tidak perlu. Di lain pihak, ketakutan “itang agu nangki” jika perkawinan belum diresmikan secara adat, juga menghantui kehidupan sebuah keluarga. Bayang-bayang ketakukan ini sangat tidak sehat bagi sebuah keluarga.

Ketiga, tata cara atau upacara untuk legalitas perkawinan Katolik sangat berpusat pada tata cara barat yang menekankan pertukaran perjanjian antar-pasangan, antar-pria dan perempuan yang menikah. Di sini Gereja ditantang untuk masuk di dalam inti budaya dan keyakinan lokal, yang menonjolkan komitmen kedua keluarga besar dalam menjaga kelanggengan perkawinan tersebut.

Maka, seharusnya ritus perkawinan adat Manggarai dan ritus perkawinan Katolik “dikawinkan” sehingga inti hukum dimana perjanjian antara dua pribadi tidak diabaikan namun dikukuhkan keluarga besar sesuai konteks lokal.

Keempat, hukum perkawinan negara dan adat memberi ruang bagi perceraian, namun hukum perkawinan agama tidak memberi celah bagi hal tersebut. Baik negara, agama, dan budaya menginginkan agar keluarga menjadi rumah cinta yang aman, bahagia, sejahtera dan adil.

Namun, visi ideal ini tidak selalu dapat dicapai oleh setiap pasangan keluarga. Perkawinan bisa saja berakhir gagal dan masing-masing pasangan memilih berpisah di jalannya sendiri. Keluarga yang broken tetaplah warga negara, warga agama, dan anggota budaya. Perbedaan hukum mengenai perceraian atau tata cara mengatasi masalah perkawinan bisa menjadi sumber ketidakadilan, kecurigaan, dan bahkan kontroversi.

Kelima, baik hukum negara dan hukum agama, tidak mengijinkan perkawinan tungku cu-cross cousin marriage, salah satu jenis perkawinan yang didukung dalam budaya Manggarai. Bagi gereja dan negara, aspek kualitas kesehatan dari keturunan yang dihasilkan dari jenis perkawinan ini menjadi dasar pelarangan atau pencegahannya.

Bagi orang Manggarai, ikatan keluarga yang semakin diperkokoh dan implikasinya pada akses sosial budaya menjadi pertimbangan dukungan terhadap model perkawinan ini. Perbedaan nilai dan pilihan ini menjadi kesulitan bagi pasangan tungku cu.

Keenam, salah satu isu krusial dewasa ini adalah perkawinan campur beda agama. Sejauh ini, baik Negara, Agama, dan Adat belum benar-benar ramah terhadap perkawinan ini yang menyebabkan banyak orang terpaksa harus melepaskan agamanya atau berpindah agama demi sebuah legalitas perkawinan, atau harus mengalami penderitaan dalam perjuangan cinta mereka. Bersambung…

*Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Religi dan Budaya, Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.Redaksi membagi tulisan ini dalam tiga bagian dan ini adalah bagian kedua.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA