Jumat Agung: Momentum Kontemplasi untuk Kesalehan Hidup

Oleh : Albertus Muda, S.Ag*

Hari Kamis Putih malam setelah perayaan Ekaristi, umat beriman Katolik melakukan adorasi di hadapan Sakramen Maha Kudus. Adorasi dalam konteks Kamis Putih malam tentu berbeda dengan adorasi pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus.

Pertanyaannya, di manakah letak perbedaannya? Pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, Sakramen Maha Kudus ditakhtakan dalam monstran. Sakramen Maha Kudus selanjutnya diarak dalam prosesi mengitari setiap armida yang sudah ditentukan sesuai rutenya. Umat mengikuti prosesi perarakan dengan khusyuk dalam suasana doa dan penyembahan.

Sebaliknya, pada Kamis Putih malam, Sakramen Maha Kudus bukan ditakhtakan di dalam monstran, melainkan di dalam sibori. Setelah Doa Penutup, diadakan prosesi dengan urutan: pembawa salib terdepan, diikuti pembawa lilin dan dupa atau wiruk. Suasana dalam perarakan ini, tidak semegah seperti yang dilakukan pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus.

Mengapa Sakramen Maha Kudus tidak ditakhtakan di dalam monstran? Karena sebelum perayaan, tabernakel harus kosong sama sekali. Hosti untuk komuni kaum beriman harus dikonsekrir dalam perayaan kurban pada malam Kamis Putih. Jumlah hosti yang harus dikonsekrir harus cukup juga untuk komuni pada Jumat Agung (Bosco da Cunha, 2011:65).

iklan

Pada Kamis Putih malam, setelah perayaan perjamuan, Sakramen Maha Kudus ditakhtakan, umat beriman Katolik secara bergilir mengadakan adorasi Sakramen Maha Kudus. Adorasi Kamis Putih malam juga lazim disebut dengan malam tuguran. Artinya, malam di mana umat beriman Katolik setia berjaga bersama dengan Tuhan Yesus sebelum memasuki sengsara-Nya.

Malam tuguran ini dilangsungkan dalam suasana doa dan nyanyian hingga pagi harinya. Namun, perlu dijaga agar ketika telah terjadi pergantian waktu, suasana keheningan mesti benar-benar dijaga sebelum diadakan ibadat lamentasi atau ratapan pada hari Jumat Agung.

Kekhasan Jumat Agung

Jumat Agung merupakan waktu Kristus, Anak Domba Allah dikurbankan. Pada hari ini, Gereja merenungkan sengsara Tuhan dan menyembah salib. Gereja merenungkan asal usulnya dari luka lambung Kristus yang wafat pada salib dan berdoa bagi keselamatan seluruh dunia (Bosco da Cunha, 2011).

Pada hari Jumat Agung tidak dirayakan perayaan Ekaristi, melainkan Ibadah Sabda, sekaligus merupakan hari pantang dan puasa. Mengapa tidak ada perayaan Ekaristi? Karena sejak awal mulanya, Gereja mau menampilkan keikutsertaannya dalam detik-detik sengsara dan wafat Yesus.

Gereja mau mengungkapkan cinta yang mendalam kepada Kristus yang tersalib dengan mengadakan upacara penyembahan Salib. Kesaksian Santo Yustinus dari Abad II, yang harus diperhatikan dengan baik yaitu bahwa pada Jumat Agung, diadakan pula Doa Umat Meriah dan diakhiri dengan menyambut Komuni Kudus (Apologia, Abad II).

Beberapa hal yang menjadi kekhasan dalam liturgi Jumat Agung (F.X. Didik Bagiyowinadi, 2005: 144-145). Pertama, imam dan misdinar masuk ke altar secara diam-diam, tanpa diiringi lagu, juga tanpa tanda salib. Mereka langsung meniarap atau berlutut sebagai lambang kedukaan yang mendalam atas wafat Allah Putra.

Kedua, Kisah Sengsara Tuhan (Passio) dibawakan dengan dinyanyikan. Teks yang diambil selalu dari Yoh 18:1-19;42. Sedangkan, Kisah Sengsara pada Minggu Palma diambil dari Injil Sinoptik (Mat, Mrk, Luk) dan tidak dinyanyikan. Setelah Passio dinyanyikan, dinyanyikan pula doa umat meriah oleh imam. Liturgi yang sarat nyanyian ini, menunjukkan keluhuran Jumat Agung.

Ketiga, upacara penghormatan salib. Pada kesempatan ini, umat beriman Katolik maju satu per satu menghormati salib Tuhan dengan mencium kaki-Nya. Umat Katolik menghormati Yesus yang telah mati sebagai tumbal keselamatan umat. Seharusnya kitalah yang dihukum karena dosa-dosa kita, tetapi Yesus mau menjadi pengganti menebus kita demi keselamatan semua manusia.

Kontemplasi Agung

Jumat Agung seperti yang sudah disebutkan di atas, diwarnai dengan kisah sengsara menurut Yohanes. Maka, dengan melihat dan mengalami bahwa seluruh suasana dipenuhi dengan nyanyian, maka hari Jumat Agung bukan merupakan hari dukacita, melainkan hari kontemplasi penuh cinta kasih akan Kristus yang telah mengurbankan diri untuk menyelamatkan umat manusia, demi mendamaikan surga dan bumi, Allah dan manusia (2011:61).

Oleh karena itu, tata perayaan wafat dan sengsara Yesus dari tradisi kuno Gereja, harus dirayakan dengan tepat dan setia dan tidak boleh diubah-ubah sesukanya.

Demikian juga, kegiatan kesalehan seperti jalan salib, prosesi sengsara dan kebaktian terhadap Santa Perawan Maria yang berduka, tidak boleh diabaikan karena alasan pastoral. Akan tetapi, teks dan nyanyiannya hendaknya sesuai dengan liturgi. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak boleh mengganggu ibadat utama, sehingga menjadi jelas bahwa perayaan liturgi jauh lebih penting daripada kegiatan lainnya (PPP No. 72).

Untuk itu, umat beriman Katolik diajak mendalami rahasia sengsara dan wafat Tuhan pada hari Jumat Agung. Kita mesti bermati raga, bermeditasi agar mampu menemukan rencana Allah dalam hari yang Agung ini. Keagungan Allah terpancar di hari ini, di mana Allah memberi diri secara total dan paripurna melalui Putra-Nya untuk menyelamatkan manusia.

Umat beriman Katolik diharapkan untuk menjaga keheningan di hari yang Agung ini. Tidak boleh ada kesibukan kerja atau keributan yang secara langsung dapat mengganggu sesama umat beriman lainnya menjalani permenungan pribadi atau secara bersama di hari ini.

Jumat Agung mesti sungguh dihayati sebagai hari yang istimewa untuk membantu umat baik secara pribadi maupun bersama membangun kesalehan hidup di tengah zaman modern ini. Selamat merayakan Jumat Agung.

*Penulis adalah Penyuluh Agama Katolik Non PNS pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata

 

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA