Estetika Caci itu Telah Mati di Dalam Dirinya?

(Jawaban atas Opini Ivander Sandi Suryanto)

Oleh: Charles Jama*

Sebelum membahas topik ini, saya ucapkan terima kasih atas tanggapan opini saya oleh Ivander Sandi Suryanto. Suatu tanggapan yang positif untuk menyadarkan masyarakat pendukung estetika Caci agar tetap memelihara, menjaga, dan terutama secara kritis berinovasi dalam karya seni berbasis seni pertunjukan Caci. Point penting dalam tanggapan ini adalah bentuk dialektika dalam memerkaya apresiasi seni tradisi khususnya seni pertunjukan Caci.

Ivander Sandi Suryanto dalam opininya “Di Balik Breldy Anggela (Tanggapan atas Opini Charles Jama)” kurang lebih menyoroti tiga hal ini.

Pertama, menyoal tentang problem Caci yang terjebak dalam distorsi bukan baru muncul pada tahun 2022 akan tetapi sejak Caci itu lahir.

Kedua, Caci yang hanya dikususkan bagi laki-laki menandakan ketidakadilan gender dan menunjukkan suburnya subordinasi yang mengakibatkan perempuan akan terus berada pada kubangan patriarki.

Ketiga, mengafirmasi desain kostum yang dikenakan oleh Putri Indonesia NTT 2022 sebagai bagian dari promosi budaya dan jika persoalakan, maka estetikanya semakin kaya dan dasyat.

Lahirnya Estetika Caci

Estetika Caci lahir dari ruang refleksi estetik yang kritis untuk etnik Manggarai. Dalam berbagai cerita tentang sejarahnya, Caci mengisahkan tentang penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan. Baik perempuan dalam definisi literal maupun perempuan dalam pehaman metaforis.

Laki-laki yang memerankan pertunjukan Caci adalah laki-laki dewasa yang memenuhi beberapa kriteria dalam Caci: pertama, kemampuan memukul (mberes paki), kedua, ketangkasan dalam menangkis (inos tiba), ketiga, memiliki kemampuan seni (lomes; bokak di;a, kelong di’a, selek di’a).

Tiga kriteria ini mesti dimiliki oleh seorang peCaci agar menjadi sempurna dalam ekspresi estetik Caci. Karena estetika ini diperuntukkan untuk menghormati dan menghargai perempuan. Perempuan bukanlah pelengkap dan hanya sebatas mengurus dapur, sumur dan ranjang.

Implikasi dari tiga syarat tersebut adalah peCaci menjaga kemurnian tubuhnya melalui “selibat”. Artinya, seorang peCaci tidak boleh menyentuh atau melukai baik fisik maupun psikis perempuan. Karena Caci memperjuangkan harkat dan martabat perempuan.

Konteks ini menegaskan bahwa perempuan memiliki peran dan nilai penting dalam kultur etnik Manggarai. Tidak sebaliknya, perempuan dieksploitasi seperti yang terjadi pada Breldy Anggela.

Terbukanya bagian tubuh pinggang ke bawah dalam desain kostum ini adalah bentuk eksploitasi tubuh perempuan. Padahal dalam pertunjukan Caci, bagian tubuh inilah yang dilindungi dan tidak boleh dipukul.

Pertanyaannya adalah, apakah desainer kostum itu sedang mendekonstruksi nilai yang dilarang dalam Caci dengan menonjolkan tubuh bagian pinggang ke bawah? Atau desainernya sedang mendobrak kemapanan kultur patriarki dengan mengeksploitasi perempuan dengan alasan kesetaraan gender?

Jika demikian, wajar para peCaci atau pendukung seni pertunjukan Caci melakukan resistensi terhadap hal yang mengganggu budaya mereka. Budaya yang menjaga martabat perempuan melalui pertunjukan Caci. Terutama perempuan secara metaforis merupakan ibu bumi dalam imajeri etnik Manggarai yang disimbolkan sebagai nggiling.

Dalam sebuah kisah pertunjukan Caci di 2018 lalu, pernah seorang peCaci mengalami luka pada wajahnya (beke/rowa). Saat peCaci itu dibawa ke rumah untuk diobati, beberapa perempuan menghibur bahkan menangisinya. Nada kesedihan keluar dari mulut mereka. Ada ucapan spontan bahwa ia terluka karena tidak direstui oleh istrinya untuk bermain Caci.

Kisah ini mengafirmasi bahwa Caci lahir dari ruang estetik etnik Manggarai untuk mengontrol dan menjaga relasi yang harmonis pada ruang batin antar perempuan dan laki-laki.

Selanjutnya menciptakan keselarasan dengan alam melalui penjagaan ketat terhadap bentuk-bentuk eksploitasi alam.

Melawan Matinya Estetika Caci

Matinya estetika Caci adalah keadaan aura Caci itu dikeluarkan dari bentuk atau tubuh estetikanya. Nilai-nilai estetiknya yang khas tercabut akibat berbagai kepentingan, terutama kepentingan komodifikasi yang hadir melalui berbagai kultur modern.

Roh estetika Caci tidak lagi menjadi ruang refleksi kritis, tetapi menjadi mesin produksi industri budaya. Seperti yang terjadi dalam pertunjukan pariwisata, pemerintah dan Ajang Putri Indonesia baru-baru ini. Estetika Caci yang memenuhi syarat unsur kesakralan dalam Caci menjadi lebih profan, berpindah dari panggung tradisi ke panggung popular.

Matinya estetika Caci karena dipaksa memenuhi hasrat pemberi makna. Akibatnya, estetika Caci menjadi sesuatu yang lain dan asing bagi pendukungnya. Sesuatu yang asing tentu sulit diterima dan membutuhkan proses penerimaan yang lama. Hal terburuk adalah keterpecahan sosial akibat adanya perbedaan pandangan. Kecuali yang menerima mampu memfilter dan menerima perbedaan. Hal yang lebih ditakuti adalah hilangnya keotentikan estetika Caci.

Meskipun ada argumentasi rasional dan realitas bahwa budaya terus berkembang, tidak berarti kematian estetika Caci diterima. Yang diterima adalah perkembangan kebudayaan, namun nilai-nilai estetika otentiknya tetap dipertahankan.

Cara mempertahankan nilai estetika otentiknya adalah dengan tidak serampangan dalam berkreasi. Desain kostum yang dikenakan oleh Breldy Anggela, sebuah jalan kematian bagi estetika Caci. Barangkali dalam pandangan lain estetika Caci sedang bergeser. Namun pergeseran itu jauh dari jalan pikiran masyarakat etnik Manggarai yang kritis menerima perubahan kebudayaan.

Terdapat pandangan bahwa seperti apa keotetikan estetika Caci, apakah ada jaminan bahwa yang ditampilkan saat ini adalah sebuah keaslian Caci? Pertanyaan ini pernah disinggung dalam sebuah diskusi budaya yang mengambil tema tentang Caci. Estetika Caci sebenarnya masih menyimpan keotentikannya. Yang menjadi soal adalah seberapa dalam menggali keaslian itu.

Estetika Caci menyimpan garis imajiner sebagai perekam keaslian estetikanya yang dapat dilacak melalui seluruh rangkaian peristiwa estetika Caci tradisi. Pertanyaan tentang sulitnya mencari keotentikan estetika Caci, karena yang membacanya terjebak dalam kamar modernitas dan terhegemoni oleh kepentingan komodifkasi seni tradisi.

Kematian estetika Caci selain terjadi pada kamar luar, juga terjadi pada kamar dalam. Di kamar dalam, estetika Caci diekspresikan dengan bebas pada panggung popular (Caci oleh pemerintah, pariwisata, dan gereja katolik).

Kemudian, dalam panggung tradisi terdapat distorsi dan bias gender secara simbolik dilakukan oleh peCaci. Misalnya, pekikan (paci; ata peang ko ata one). Dalam pertunjukan Caci tradisi, pekikkan ini selalu dilarang oleh tetua adat, begitupun cara menangkis yang tidak sesui dengan nilai estetika otentiknya.

Fitur Kostum Caci yang Dapat Dikreasikan

Resistensi terhadap desain kostum yang dipakai oleh Putri Indonesia NTT 2022 tidak menjamin bahwa estetikanya semakin kaya dan dasyat. Dampaknya hanya pada viralnya Caci. Tentang kedasyatan dan kayanya estetika Caci telah ada dalam estetika Caci itu sendiri.

Ada beberapa fitur estetika yang dapat dikreasikan untuk kepentigan tertentu, misalnya untuk kostum. Berikut ini merupakan fitur kostum Caci yang dapat dikreasikan yaitu, ambung dan rangga pada panggal, jojong, nggiling, selendang, slepe, stangan dan sarung.

Fitur-fitur seni ini dapat dikreasikan menjadi kostum perempuan karena merupakan representasi perempuan. Ambung dan rangga pada panggal merupakan simbol perpaduan perempaun dan laki-laki.

Jojong adalah simbol perempuan karena ia mewakili rambut perempuan yang terurai. Nggiling adalah adalah simbol ibu bumi. Slendang, slepe, stangan dan sarung adalah estetika ekofeminisme. Fitur-fitur ini berperan dalam menjaga dan menghidupi peCaci.

*Dosen Seni Universitas Nusa Cendana

spot_img
TERKINI
BACA JUGA