Oleh: Atro Sumantro*
Kehadiran sastra di era digital merupakan suatu keharusan sekaligus peluang dalam membaca realitas kehidupan manusia yang barangkali akrab dengan fenomena-fenomena sosial masyarakat.
Sastra (Sansekerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman” (Jauharoti Alfin, 2014: 4).
Secara ringkas, lahirnya term sastra ini mengundang tinjauan mendalam terkait pembangunan terstruktur dan merata antara unsur yang satu dengan unsur lainnya. Tinjauan sastra membentuk suatu kajian proporsional dan edukatif terhadap setiap transformasi dimensi kehidupan umat manusia.
Proses digitalisasi yang merangkum seluruh elemen kehidupan akhir-akhir ini pun memaksa sastra melihat kembali peran dan eksistensinya dalam menopang relasi manusia dan teknologi itu sendiri.
Sastra lahir menciptakan suatu ruang terbuka bagi manusia dalam mengapresiasi, mengoreksi, dan memberi nilai pemanfaatan teknologi secara proporsional dalam pengembangan dan pendayagunaan manusia yang kreatif, adaptif, dan konstruktif.
Sapardi menjelaskan sastra sebagai lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Melalui bahasa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Sapardi dalam Jauharoti Alfin, 2014: 5).
Eksistensi sastra dalam realitas kehidupan era digital tidak hanya menggambarkan suatu tuntutan pemanfaatan bahasa sebagai medium apresiasi sastra tetapi juga sebagai media yang mengkritisi pola penggunaan teknologi yang tak berakar pada esensi pemberdayaan manusia itu sendiri, yakni transformasi praktis energi kritis, peka, dan evaluatif.
Hemat saya, proses digitalisasi melalui dorongan apresiasi sastra mampu mendidik manusia yang tahan banting dalam setiap aliran perubahan.
Manusia dan Problem Digitalisasi
Realitas kegelisahan yang terjadi pada zaman digital ini adalah kecendrungan manusia memanfaatkan teknologi secara instan, polos dan tanpa batasan yang akurat terhadap setiap informasi atau hal baru yang ditemukan.
Pelbagai rangsangan yang diciptakan oleh teknologi seolah-olah membuat manusia kehilangan identitasnya sebagai makhluk yang suka mencari kebenaran, menganalisis data dan merangkum kepentingan bersama dalam suatu program pembangunan. Spirit manusia dalam hal penilaian mengalami penurunan yang drastis dibandingkan dengan pengalaman manusia era kemerdekaan Indonesia yang sarat akan pergumulan rasionalitas suatu pandangan atau pun hal baru yang menghampiri usaha kemerdekaan itu sendiri. Manusia yang kaya akan wawasan pemahaman kini merendah dalam digitalisasi yang semakin kompleks dan tak terbendung.
Beberapa permasalahan yang tampak dalam dunia digitalisasi adalah; pertama, lahirnya media-media sosial dengan penyajian informasi yang luas dan datang dari berbagai sudut pandang turut menyudutkan manusia pada suatu konsep pemikiran yang abstrak dan dangkal pada sebuah ide atau informasi yang beredar.
Kehadiran media sosial menawarkan ruang gelap gambaran dunia aktual masa kini. Ibarat gambar tiga dimensi, realitas dunia yang satu menyerupai dunia lainnya, meskipun secara de facto realitas itu terpisah dan berdiri di atas pijakan yang sama sekali berbeda.
Kedua, proses digitalisasi yang terjadi serentak secara besar-besaran dan penerimaan tanpa persiapan yang matang oleh manusia mendorong terciptanya penilaian yang minimalis terhadap setiap karya publikasi yang ditampilkan.
Manusia seringkali bercokol pada pandangan subyektif semata dan memaksakan kehendak pada cara mengapresiasi secara umum tanpa sikap membaca yang kritis dan penilaian kritis terhadap hal-hal yang terkandung dalam karya sastra digital itu sendiri.
Kedua permasalahan umum dalam proses digitalisasi di atas yang mewakili masalah-masalah sosial lain sebenarnya mendefenisikan manusia pada tingkat apresiasi yang berkualitas rendah dan kurang proporsional.
Tindakan manusia melunturkan nilai apresiasi dalam dunia digital berakar hanya pada rasa menghargai dan menghormati ide yang dicetuskan tanpa adanya penilaian yang obyektif dan kritis.
Apresiasi yang kritis atau biasa disebut kritik sastra menjadi kegiatan menilai suatu karya sastra (baik dalam bentuk memberi pujian atau menyampaiakan kekurangan) dan merekomendasikan atau menjustifikasi dengan didasarkan teori guna mendapatkan pemahaman yang sistematis dan objektif dalam bentuk tertulis (Agik Nur Efendi, 2020: 5).
Kegiatan ini akan menjadi suatu daya atau dorongan yang membangun tatkala manusia melihat kekuatan sastra yang kuat yang berasal daripadanya.
Apresiasi Sastra dan Keharusan
Pada hakikatnya apresiasi sastra menuntut kepekaan dalam menilai dan mengkritisi suatu hasil karya. Demikian juga kehadiran apresiasi sastra di ruang digital menjadi suatu keharusan bagi manusia yang senantiasa menginterpretasi nilai dan evaluasi pembangunan yang sementara sedang berjalan.
Pendasaran aplikasi apresiasi sastra ini juga dinyatakan untuk mempererat keseimbangan manusia dengan memanfaatkan teknologi secara proporsional, mencerna informasi secara obyektif serta eksistensi manusia dalam membangun sebuah peradaban manusia.
Upaya apresiasi sastra menanggapi ketidakpastian perubahan itu dengan melakukan tinjauan reflektif yang melibatkan tiga unsur inti; aspek kognitif, aspek emotif dan aspek evaluatif (Bdk, Squire dan Taba dalam Alfin, 2014: 82).
Keterlibatan unsur kognitif menciptakan suatu upaya memperoleh nilai obyektivitas dari pemikiran atau informasi yang didapatkan dari media-media digital, unsur emotif menggambarkan unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca.
Penilaian itu memberikan pemahaman kepada manusia bahwa apresiasi sastra dalam era digital itu sebagai suatu seni yang menciptakan kreativitas, inovasi dan unsur kesinambungan manusia dengan teknologi yang menjadi bahan ciptaan dan kreativitas manusia itu sendiri.
Pada akhirnya, apresiasi sastra bercokol pada unsur mengkritisi layak tidaknya suatu karya sastra diterapkan dalam media digital dengan suatu nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi pada era digital ini.
Pada bagian ini, apresiasi sastra memberikan kontribusi sekaligus peluang dalam membentuk manusia yang konstruktif lewat pendayagunaan media digital. Urgensi apresiasi sastra menekankan suatu pengakuan bonum communae dalam pembangunan karya manusia yang seimbang dan proporsional, atau dengan kata lain kompleksitas pengaruh era digital membawa manusia pada suatu ranah mencari titik kebenaran yang hakiki lewat pemilihan, penilaian, dan tindakan mengkritisi setiap perubahan dalam lingkungan yang global dan menyentuh realitas terdalam kehidupan manusia itu sendiri.
Penerapan teknologi dalam dinamika perubahan yang dinamis dalam kehidupan manusia memerlukan suatu “senjata” yang dinamakan apreasiasi sastra. Keberadaan apreasiasi sastra dalam era digital memaksimalkan penetapan peran manusia yang seharusnya baik secara nasional maupun internasional.
Manusia tidak akan menyentuh realitas kehidupan tanpa menceburkan diri dalam era digital, suatu masa tempat manusia mencapai klimaks peradaban pada perubahan dinamika kehidupan saat ini.
Oleh karena itu, kehadiran apresiasi sastra dalam dunia digital mesti sungguh-sungguh menciptakan suatu kondisi yang memastikan keseimbangan global di setiap lini perkembangan dunia digitalisasi itu sendiri. Dunia digital yang dikontruksikan oleh manusia era digital lewat tinjauan mendalam yang berakar dan bertanggung jawab.
*Penulis adalah Anggota Kelompok Menulis di Koran dan Diskusi Filsafat Ledalero