Ombudsman RI Minta Pemerintah Perhatikan Mutu Fasilitas Dasar Kesehatan

KRIS tidak boleh malah menarik mundur mutu saat ini dan menurunkan standar layanan, tidak boleh adil tetapi adil dalam keburukan.

Ruteng, Ekorantt.com– Ombudsman Republik Indonesia (RI) meminta pemerintah untuk memperhatikan kebutuhan dan mutu fasilitas dasar, serta sumber daya manusia kesehatan (SDMK) rumah sakit.

Pimpinan Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan, disparitas layanan rumah sakit selama ini menjadi penyebab utama maladministrasi pelayanan kesehatan.

“KRIS (Kelas Rawat Inap Standar) diharapkan membawa semangat baru terurainya disparitas layanan kesehatan di rumah sakit, mentransformasikan pelayanan kesehatan menuju pelayanan kesehatan yang adil dan setara, sesuai dengan amanat konstitusi,” harap Jaweng dalam rilis yang diterima awak media pada Selasa, 28 Mei 2024.

Menurut dia, pemerintah wajib memastikan fasilitas dasar rumah sakit sudah terpenuhi sebagai prasyarat pemberlakuan KRIS.

iklan

Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, maupun pemda wajib mengaudit secara menyeluruh pemenuhan fasilitas rumah sakit.

“KRIS hanya dapat terselenggara dengan baik jika fasilitas primer dari rumah sakit sudah tersedia,” imbuh Jaweng.

Ia menegaskan, pemerintah saat ini terkesan hanya berfokus kepada peningkatan kualitas infrastruktur kesehatan, namun cenderung abai terhadap upaya peningkatan kapasitas tenaga kesehatan.

“Kami melihat, hilirisasi SDMK menjadi kunci bagi upaya optimalisasi kelas layanan yang terstandarisasi. Temuan di beberapa daerah, sebagai contoh, fasilitas cath lab jantung sudah tersedia di rumah sakit namun dokter spesialisnya yang tidak ada. Kami meminta Kemenkes memberikan fokus khusus terhadap ketersediaan SDMK ini,” tegas Jaweng.

Ia meminta pemerintah agar perlu menetapkan skema pembayaran iuran yang berkeadilan.

Penetapan iuran baru mesti didahului sosialisasi dan konsultasi publik. Hal ini krusial guna mengantisipasi adanya isu out of pocket ataupun peserta JKN yang beralih menjadi peserta non-aktif.

Selain itu, rencana pemberlakuan iuran baru tersebut mesti merasionalisasi pada kesadaran pengelola rumah sakit untuk membenahi tata kelola layanan mereka.

Jaweng mengatakan, besaran iuran peserta bergantung hasil evaluasi yang dilakukan selama penerapan KRIS di tahap awal.

“Ombudsman Pusat dan kantor-kantor perwakilan di 34 provinsi proaktif memantau dan mengawasi sejauh mana rumah sakit mitra BPJS memanfaatkan fase transisi ke depan untuk sungguh berbenah,” jelas Jaweng.

Ia menambahkan, KRIS harus meningkatkan perbaikan layanan kesehatan masyarakat. Pemberlakuan standar itu tidak boleh sebatas standar ruang perawatan tetapi juga standar layanan medis dan bahkan non-medis.

Keadilan akses yang menjadi inti semangat dari standardisasi tersebut, kata dia, tidak boleh berarti kesetaraan untuk memperoleh layanan yang buruk, tetapi kesetaraan dalam menikmati hak dan jaminan layanan kesehatan yang prima.

KRIS tidak boleh malah menarik mundur mutu saat ini dan menurunkan standar layanan, tidak boleh adil tetapi adil dalam keburukan.

Pada tingkat minimum, setiap warga dan daerah memiliki standar minimum tertentu dalam pemenuhan layanan.

“Keadilan sosial antar-warga dan keadilan regional antar-wilayah menjadi narasi besar yang menjadi semangat di balik pemberlakuan KRIS sebagaimana ditetapkan Perpres Nomor 59/2024 tentang Jaminan Kesehatan,” pungkas Jaweng.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA