Jean Loustar Jewadut*
Dalam salah satu sesi kelas paralel pada konferensi internasional teologi di IFTK Ledalero-Maumere, 27-28 September 2024, Yohanes De Brito Nanto atau yang familiar disapa Rio Nanto (selanjutnya disingkat RN) memaparkan sebuah bahan diskusi tentang “Teologi Roéng: Pendekatan Pembebasan dalam Pembangunan Pariwisata Super Premium Labuan Bajo”.
Bahan diskusi ini merupakan isi ringkas dari tesisnya pada prodi Teologi di IFTK Ledalero yang juga pernah dipublikasikan pada salah satu media online dengan judul “Teologi Roéng sebagai Model Teologi Pembebasan di Manggarai” (https://horizondipantara.com, 15 Mei 2024).
Secara pribadi, saya mengapresiasi RN yang sudah membuat penelitian dan menuangkannya dalam sebuah kajian ilmiah yang komprehensif.
Saya menulis opini ini sebagai sebuah tanggapan kritis atas bahan diskusi RN. Sebagai catatan awal, saya memberikan tanggapan berdasarkan tulisan yang termuat dalam papara Power Point RN yang dibagikan oleh panitia penyelenggara konferensi internasional teologi yang digelar IFTK Ledalero.
Tentang jalannya diskusi dan tanggapan kritis RN terhadap pertanyaan-pertanyaan audiens pada sesi kelas paralel berada di luar jangkauan saya sehingga tidak dibahas dalam opini ini. Berikut beberapa poin penting yang menjadi tanggapan kritis saya.
Pertama, dalam bahan presentasinya, RN menjelaskan bahwa kesultanan Goa membagi masyarakat Manggarai dalam tiga strata sosial: pertama, Kraeng (bangsawan), kedua, roéng (rakyat biasa).
Roéng adalah masyarakat kebanyakan. Istilah roéng juga berkaitan dengan peran raja sebagai pemimpin pemerintahan. Roéng memiliki kepatuhan terhadap perintah kraeng, dalu, dan gelarang. Ketiga, mendi (budak) (slide 16).
Dalam paparan selanjutnya, RN menjelaskan bahwa terjadi pertentangan kelas antara kraeng dan roéng dan menghubungkannya dengan pertentangan kelas dalam pemikiran Marx.
Marx hidup pada abad ke-19 pada masa pergolakan besar di Eropa ketika ilmu pengetahuan mulai memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bidang industri, yang menginisiasi masyarakat industri. Pada periode hidup Marx terjadi kebangkitan pabrik-pabrik dan, akibatnya, bertambahnya kelas buruh.
Banyak petani dari desa-desa memilih untuk bermigrasi ke kota-kota industri dan mengakibatkan perpecahan masyarakat menjadi dua kelompok kelas besar: proletariat (buruh) dan borjuasi (pemilik modal atau bangsawan).
Menurut Marx, kedua kelas ini selalu berkonflik karena tidak berkomunikasi secara efektif. Buruh sibuk dengan pekerjaan pabrik yang melelahkan dan tidak diberi upah yang adil, sementara kapitalis fokus pada memaksimalkan keuntungan.
Konflik kelas ini, dalam pandangan Marx, tidak dapat dihindari dan tidak dapat diselesaikan di bawah sistem yang ada saat ini, dan akan terus berlanjut hingga tercapainya masyarakat tanpa kelas (Riyanto, 2024:8).
Posisi akademis RN yang menghubungkan pertentangan kelas antara kraeng dan roéng dengan pertentangan kelas antara borjuis dan proletar dalam analisis sosial Marx patut dikritisi.
Pertama, konteks pertentangan kelas Marx ialah masyarakat industri. Konteks ini amat asing dalam kebudayaan Manggarai. Kedua, jika RN mau konsisten dengan alur pemikiran Marx, maka yang mesti dibangun ialah teologi mendi karena nasib mendi dalam masyarakat Manggarai sama seperti nasib kaum proletar dalam analisis Marx.
RN menjelaskan, “Roéng dalam perspektif teologi pembebasan ini berarti “rakyat yang tertekan dan menderita”, seperti kaum petani, buruh, pedagang kecil, pegawai rendahan, orang yang menderita penindasan, eksploitasi ataupun dikuasai oleh orang lain.
Roéng merupakan gambaran orang-orang yang dianggap rendah dalam kalangan masyarakat Manggarai dan sangat identik dengan orang-orang yang tertindas dan hidup dalam kesengsaraan (slide 21).
Identitas seperti yang disebutkan RN lebih cocok dikategorikan sebagai mendi, bukan roéng. Pertanyaannya ialah: Apakah konsep tentang mendi pada abad XXI di Manggarai sudah hilang? Apa saja kriteria-kriteria yang menentukan penggolongan sebuah kelas sebagai roéng dan mendi sehingga RN lebih memilih menggolongkan roéng sebagai kelas proletar sebagaimana dijelaskan Marx?
Kedua, teologi roéng mendapat pengaruh dari pemikiran teologi pembebasan Amerika Latin (slide 22). Dalam analisis saya, roéng kurang memiliki akses untuk membaca, mendalami, dan menganalisis pemikiran teologi pembebasan Amerika Latin.
Pertanyaan kritis: Apakah teologi roéng adalah benar-benar teologi yang berasal dari bawah yang melibatkan roéng? Ataukah teologi roéng hanya menjadi nama, namun yang terlibat di dalamnya ialah tuang (rohaniwan) yang lebih mempunyai akses yang luas terhadap pengetahuan, modal sosial, dan modal ekonomi yang penting dalam sebuah gerakan perlawanan?
Dalam alur berpikir seperti ini, yang terjadi di Manggarai bukan hanya pertentangan kraeng dan roéng, melainkan pertentangan tuang melawan tuang. RN tentu tidak menyangkali bahwa beberapa LSM, salah satunya JPIC yang melibatkan tuang (Rohaniwan) terlibat dalam upaya penyadaran terhadap masyarakat lokal (roéng) yang tanah mereka dirampas untuk kepentingan eksploitatif lalu melakukan gerakan advokasi untuk menentang tuang yang lain, yaitu pemerintah dan para kapitalis.
Hemat saya, pariwisata super premium di Labuan Bajo harus dibaca secara lebih luas, melampaui analisis pertentangan kelas antara kraeng dan roéng seperti yang dijelaskan oleh RN.
Ketiga, RN menjelaskan bahwa teologi roéng berangkat dari sejarah dan kebudayaan masyarakat Manggarai sehingga dapat diterjemahkan pula sebagai teologi rakyat Manggarai (slide 26). Di sini, muncul konsep baru lagi yaitu tentang teologi rakyat sekalipun RN tidak menjelaskannya secara lebih detail.
RN melihat teologi roéng sebagai teologi pembebasan dan teologi rakyat sekaligus. Dengan cara tersebut, RN tampaknya inkonsistensi sebab teologi pembebasan sangat jauh berbeda dengan teologi rakyat.
Terdapat nama dua tokoh yang membidani lahirnya teologi rakyat, yaitu Lucio Gera dan Rafael Tello yang merupakan imam (teolog) yang memfokuskan pelayanan mereka pada kaum miskin di perkampungan kumuh sekitar Buenos Aires di bawah reksa pastoral Bergoglio, Uskup Agung Buenos Aires waktu itu.
Salah satu faktor pembeda paling jelas antara teologi pembebasan dan teologi rakyat ialah pada aspek penghargaan terhadap kebudayaan dan spiritualitas populer dalam masyarakat. Ritus-ritus adat yang sudah berkembang secara turun-temurun dalam masyarakat tidak dipandang sebagai penghalang menuju cita-cita pembebasan atau bahkan menjadi candu yang membuat orang menjauh dari realitas kehidupan.
Aspek inilah yang kurang mendapat tempat dalam gagasan dan praksis teologi pembebasan sebagaimana yang dijelaskan Marx dan juga teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin (Juan Carlos Scannone, 2016:122).
Menurut Scannone, teologi rakyat berhubungan erat dengan penghargaan pada kerohanian populis atau mistik kerakyatan. Paus Fransiskus adalah salah seorang yang melanjutkan ide teologi rakyat.
Cara pandang Paus Fransiskus tentang kerohanian popular dilatarbelakangi oleh penghargaannya terhadap budaya manusia. Aspek penghargaan terhadap budaya manusia ditampilkan secara istimewa oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’.
Dalam ensiklik ini, ditegaskan bahwa keterlibatan Gereja untuk merespons masalah ekologi tidak hanya berlandaskan inspirasi teologis dan ajaran sosial Gereja, tetapi juga melalui inspirasi budaya yang hadir dalam bentuk kekayaan kearifan lokal setiap budaya.
Menurut Paus Fransiskus, pendekatan budaya (kultural) dapat menjadi salah satu upaya untuk menegaskan eksistensi manusia sebagai sarana Allah dalam mengusahakan keutuhan ciptaan.
Paus Fransiskus menulis: “Kita semua dapat bekerja sama sebagai sarana Allah untuk melindungi keutuhan ciptaan, masing-masing sesuai dengan budayanya, pengalamannya, prakarsanya, dan bakatnya sendiri” (LS 14).
Dalam pandangan Paus Fransiskus, budaya lokal yang sifatnya dinamis mesti selalu dilibatkan dalam pembahasan tentang isu lingkungan hidup. Artinya budaya bukan sekadar hanya monumen masa lalu, melainkan sesuatu yang hidup, dinamis, dan partisipatif yang tidak dapat diabaikan kontribusinya dalam diskursus tentang hubungan manusia dengan lingkungan hidup (LS 143).
Saya berpendapat bahwa teologi roéng lebih mendasarkan diri pada teologi rakyat, ketimbang pada teologi pembebasan. Roéng tidak memiliki akses pengetahuan yang memadai tentang teori-teori seperti pertentangan kelas Marx atau tentang teologi pembebasan Amerika Latin.
Mereka tidak memiliki modal pengetahuan, modal sosial, dan modal ekonomi dalam menghadapi pertentangan dengan kelas pemerintah-penguasa. Yang mereka miliki ialah modal kultural (budaya) sebagaimana yang dikedepankan oleh perspektif teologi rakyat.
Contoh yang bisa diangkat untuk menjelaskan teologi rakyat ialah perjuangan warga adat Poco Leok yang menentang proyek geotermal, termasuk kaum perempuan (ibu) yang rupanya dilatarbelakangi oleh salah satu konsep kultural masyarakat Manggarai yang memandang tanah sebagai ibu.
Perjuangan dan kegigihan mereka dalam menolak proyek perluasan PLTU Ulumbu yang melandasi filofosi kultural masyarakat Manggarai menjadi bukti bahwa proyek pemerintah yang digalakkan tersebut tanpa didahului oleh kajian antropologis budaya Manggarai yang memadai.
Pemerintah terkesan memaksakan konsep pembangunan mereka, tanpa mempertimbangkan konsep dan filosofi hidup masyarakat adat setempat.
Warga adat Poco Leok menjadikan kekayaan kultural sebagai rujukan utama untuk menilai proyek-proyek pemerintah. Hal ini penting sebab proyek pemerintah dilaksanakan bukan dalam ruang hampa tanpa identitas sosio-kultural, melainkan melekat erat dengan latar belakang sosio-kultural sebuah masyarakat.
Betapapun majunya teknologi yang berdampak pada kekayaan pembangunan fisik, masyarakat tetap memegang teguh identitas kultural mereka.
Dewasa ini muncul kebutuhan dan kesadaran baru untuk mengharmoniskan relasi antara manusia dengan lingkungan hidup melalui pendekatan budaya seperti yang sudah sering dibuat oleh masyarakat lokal di banyak wilayah, termasuk perempuan Poco Leok di Kabupaten Manggarai, yang baru-baru ini menolak proyek geotermal dengan cara mengedepankan perspektif kultural tentang tanah sebagai ibu (tana hitu ende dami).
Kosmologi orang Manggarai memandang tanah sebagai ibu yang memberi kehidupan dan langit sebagai suaminya (langkok laing tana, tendeng laing awang).
Berdasarkan uraian di atas, upaya RN untuk mendasarkan teologi roéng pada teologi pembebasan adalah sebuah kekeliruan epistemes. Tujuan teologi roéng adalah mengupayakan transformasi sosial berdasarkan energi spiritual dari budaya masyarakat lokal sebagaimana yang ditekankan oleh teologi rakyat, bukan dengan membuat pertentangan kelas. Metode yang dipakai ialah analisis budaya.
Demikian tanggapan kritis saya terhadap bahan presentasi yang disampaikan oleh RN. Di atas semuanya itu, saya berbangga terhadap RN karena telah memantik diskursus tentang realitas pariwisata super premium di Labuan Bajo dan meresponsnya dengan membumikan teologi roéng.
*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Teologi di IFTK Ledalero, Maumere