Oleh: Charles Jama*
Caci merupakan hasil proses kreatif yang bersumber dari pengalaman dalam merespons alam. Secara ontologis, arti ini berkaitan dengan definisi Caci sebagai simbol kemakmuran etnik Manggarai. Hal ini berhubungan dengan pesta adat penti, satu pesta tahun baru adat yang didasari pada pergantian musim tanam dan panen serta musim panas dan hujan.
Sebelum mengenal sistem mata pencaharian yang digeluti saat ini, masyarakat etnik Manggarai mengenal pola berburu dan meramu serentak berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Dalam perkembangannya, masyarakat etnik Manggarai mulai mengenal sistem pertanian. Pola berburu dan meramu beralih ke sistem pertanian dan hidup mulai menetap pada satu lokasi.
Agar panen berhasil, ritual kesuburan pertanian dilakukan dan dikenal dengan cepa. Dalam ritual ini, pekik sukacita, penghormatan serta permohonan terhadap Ibu Bumi dan Bapa Langit diekspresikan. Ekspresi sukacita dengan pekikkan cacaca..cicicici kemudian dikonstruksi kembali di halaman kampung. Berawal dari konstruksi inilah munculnya pertunjukkan Caci.
Caci tentunya adalah puncak ekspresi seni dan karya kehidupan untuk memberi semangat baru dalam proses membaca kehidupan. Caci adalah juga tari sukacita yang memberi kekuatan kepada bumi dan alamnya. Ia menjadi proyeksi manusia Manggarai terhadap alamnya. Berpijak pada konsep ekofeminisme, Caci adalah estetika yang mengagungkan kaum perempuan dan ritual kesuburan pertanian.
Caci sering dimaknai sebagai tarian kesuburan (fertility dance). Akan tetapi Caci bukanlah tarian. Bahwa Caci mengandung unsur seni gerak itu tidak dapat disangkal. Gerak tari dalam estetika Caci menggambarkan kedekatan manusia dengan alam dan manusia dengan penciptanya.
Ada dua gerak tari yang menegaskan etnik Manggarai dekat dengan alam yaitu gerak kaki yang menempel pada tanah dan juga tangan yang terlentang; sementara telapak tangan yang menghadap ke atas adalah simbol pujian terhadap Sang Pencipta.
Kostum Caci juga merepresentasikan kedekatan manusia dengan alam dan Sang Pencipta. Tubi Rapa yang dikenakan oleh pemain Caci adalah biji-bijian alamiah yang berwarna-warni.
Songke yang dikenakan pe-Caci (pemain Caci) bukan saja sebagai pelindung tubuh bagian bawah, akan tetapi memiliki makna kedekatan manusia dengan Sang Pencipta. Manusia akan kembali pada kehidupan yang kekal, Sang Pemilik Kehidupan (Mori agu Ngaran).
Filosofi Caci yang Terdistorsi
Sampai hari ini, estetika Caci tetap dipertunjukkan. Estetika ini eksis karena kecintaan etnik Manggarai terhadap kebijaksanaan hidup dan pengetahuan yang tersimpan rapi di dalamnya. Fitur pembentuk estetik dalam Caci adalah hasil dari ide dan pengalaman empiris.
Pada era ini, Caci dimaknai sebagai penolakan terhadap bentuk eksploitasi terhadap alam dan perempuan. Seperti halnya terjadi pada eksploitasi tubuh Putri NTT oleh desainer kostum Caci. Sarung yang dikenakan oleh pemain Caci untuk menutup bagian bawah tubuh, dalam desain ini didistorsi oleh kepentingan estetika seperti lipstik, fasion dan make-up.
Distorsi terhadap estetika Caci tidak saja dilakukan oleh seniman-seniman modern yang berasal dari luar etnik Manggarai. Ruang dalam estetika Caci itu sendiri didistorsi oleh pelaku-pelaku seni Caci. Misalnya, pada beberapa pertunjukan Caci terjadi keributan akibat posisi pe-Caci yang salah.
Distorsi lain yang sering dijumpai adalah cara menangkis atau memperlakukan perisai, lokasi pertunjukan Caci yang tidak mendasar pada filosofi Caci sering dilakukan, baik pada pertunjukan Caci tradisi maupun Caci kontemporer (gereja, pemerintah dan pariwisata).
Caci adalah pandangan dunia etnik Manggarai karena melaluinya, etnik ini melihat dunia mereka sekaligus mencintainya. Prinsip estetika Caci ada pada aura yang memancarkan pengetahuan hidup dari dalam. Ia bukan estetika fashion, make-up dan lipstik.
Resistensi terhadap distorsi estetika Caci tergambar dalam komentar kritis terhadap foto kostum yang dikenakan oleh Putri Indonesia NTT 2022. Resistensi ini sebagai gambaran bahwa etnik ini mencintai budaya Caci yang telah terdistorsi.
Matinya Estetika Caci
Roland Barthes seorang ahli semiotik menulis tentang metafora matinya pengarang. Ia menjelaskan, matinya pengarang yaitu suatu keadaan di mana seniman tercabut dari karya seninya. Artinya, tidak ada lagi roh seniman dalam karya yang dihasilkan. Pembaca memiliki otoritas dalam membaca atau menafsirkan isi teks, atau dalam kalimat lain pembaca diberi kebebasan untuk menciptakan makna baru.
Matinya estetika Caci merupakan petanda hilangnya aura atau estetik otentik Caci akibat dari hadirnya ideologi baru dalam estetika Caci. Ideologi baru ini lebih mendominasi. Implikasinya adalah seniman melakukan kreasi tanpa memikirkan kembali nilai estetika otentiknya. Kreasi seni tradisi tercabut dari akar budaya. Hal inilah yang terjadi pada desain kostum Caci yang dikenakan oleh Putri Indonesia NTT.
Sebagai sebuah kreasi seni, desain kostum ini mengandung aspek imajinasi yang mampu menyentuh penyaksinya. Daya imajinasi yang dibangun adalah seorang perempuan yang hebat dan tangguh. Bahkan dapat memunculkan persepsi kepahlawanan seperti yang dikisahkan dalam film-film laga seperti film Wonder Women dan Justice League. Kostum yang dikenakan ini memberi nilai heroik bagi yang mengenakannya dan barangkali bagi penyaksi lain.
Desain kostum ini “seperti” terinspirasi dari film tersebut yang diperan oleh Gal Gadot. Dalam perspektif kreatif, ide mendesain kostum Caci seperti yang hadir dalam foto Putri Indonesia NTT 2022 tidak ada salahnya. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah subjek atau orang yang mengenakan kostum Caci. Apabila kostum ini dikenakan oleh seorang laki, maka proses kreatif ini secara filosofis diterima.
Mengapa? Karena Caci adalah sebuah karya seni pertunjukkan yang dilakonkan oleh laki-laki. Artinya, estetika Caci hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dengan syarat-syarat tertentu. Salah satunya adalah laki-laki dewasa yang memiliki kemampuan memukul dan ketangkasan menangkis lawan.
Syarat lain sebagai seorang pe-Caci adalah mengenakan kostum yang sesuai dengan estetika Caci. Pertama, menggunakan penutup kepala yang disebut panggal; kedua, menggunakan ndeki sebagai pelindung tubuh bagian belakang; ketiga, mengenakan nggorong sebagai simbol laki-laki dewasa, keempat, sarung dan celana panjang putih untuk menutup tubuh bagian pinggang ke bawah; kelima, pe-Caci tidak menggunakan baju.
Tidak mengenakan baju dalam pertunjukan Caci bertujuan mendeteksi kehebatan seorang pemain Caci. Kelima syarat tersebut adalah hal yang harus dipenuhi oleh seorang pe-Caci.
Merujuk pada kelima syarat minimal kostum Caci, maka kostum Caci yang dikenakan oleh Putri Indonesia NTT 2022 keliru secara filosofi Caci. Berikut ini alasan-alasannya.
Pertama, Caci diperuntukkan dan diperankan oleh laki-laki dewasa. Kedua, Caci dipertunjukkan untuk menghormati perempuan. Ketiga, Caci adalah ruang pemurnian bagi seorang laki-laki dan ruang sakral (seorang pe-Caci tidak boleh melakukan perbuatan dosa sebelum Caci). Apabila hal ini dilanggar, pe-Caci akan terluka dan bahkan menyebabkan kematian.
*Penulis adalah Dosen Seni Undana Kupang