Oleh: Herymanto Mau*
Polemik seputar Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/Geotermal Flores telah menyedot begitu banyak perhatian masyarakat terutama mereka yang ruang hidupnya akan menjadi sasaran eksploitasi.
Dinamika yang terjadi di tengah masyarakat bahwa eksistensi geotermal telah membawa dampak perpecahan dan disintegrasi sosial. Konflik yang ditimbulkan geotermal semata-mata merujuk pada keterlibatan pemerintah, perusahaan, masyarakat pro dan kontra serta pihak lain yang turut ‘bermain’ dalam pusaran proyek geotermal. Selain itu, dampak ekologi menjadi isu sentral yang menghipnotis begitu banyak pihak untuk turut terlibat menyuarakan penolakan geotermal di Flores khususnya di Manggarai.
Beberapa fakta yang menjadi titik refleksi bersama yakni fakta penguasaan sumber daya alam dan perpecahan sosial di level masyarakat adat (devide et impera). Masyarakat pro dan beberapa pejabat seolah dijadikan robot dalam ketaatan buta untuk menerima janji surga geotermal, sehingga nurani dan daya kritis mereka terpasung oleh kepentingan jabatan dan uang.
Sedangkan masyarakat yang tegas menolak geotermal masih merawat kewarasan dan daya kritis sebagai senjata mempertahankan ruang hidup dan nilai-nilai budaya setempat. Atau dengan kata lain, diskursus seputar geotermal seolah membuka tabir pertarungan antara kekuasaan versus rakyat jelata, kolonial versus proletar.
Wajah Baru Kolonialisme
Penulis menggunakan istilah kolonialisme dalam cakupan lokal untuk melukiskan semangat agresi perusahaan dan pemerintah daerah untuk menguasai ruang hidup masyarakat adat dengan melegalkan segala cara termasuk pengerahan kekuatan negara, sebagaimana yang diderita oleh bangsa Indonesia ketika kehidupan sosial, politik, ekonomi, agama, dijajah oleh bangsa Belanda, Portugis dan Jepang beberapa dekade yang lalu.
Indonesia dijajah tidak hanya sumber daya alam dan sumber daya manusianya, tetapi juga privatisasi lahan dalam jumlah yang besar sehingga rakyat Indonesia dalam beberapa abad menjadi budak di tanah sendiri. Bentuk penguasaan ini juga yang sedang dipertontonkan oleh perusahaan dan pemerintah daerah dalam hegemoni rencana Perluasan Pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 di wilayah Poco Leok/geotermal Poco Leok.
Sudah menjadi kenyataan bahwa rencana geotermal Poco Leok telah menjadi isu yang menguasai semua jagat pemberitaan media mainstream dan menyedot perhatian penguasa dan perusahaan untuk turut terlibat dalam pusaran proyek tersebut.
Polemik geotermal juga dapat dibaca sebagai penguasaan segelintir orang (pengusaha dan penguasa) atas hajat hidup orang banyak di wilayah Pocoleok. Data terakhir dari sumber primer bahwa terdapat 369 Kepala Keluarga dengan total 1592 jiwa yang menolak rencana perluasan pengembangan geotermal di wilayah Poco Leok.
Rencana pengembangan geotermal di Poco Leok tentunya didukung oleh kelompok predator energi yang siap memangsa setiap detak nadi kehidupan masyarakat adat Poco Leok. Mereka adalah penyandang dana dari Bank Jerman (KfW), implementator PT PLN dan pemerintah daerah.
Motif para predator selain menguasai sumber daya geotermal, juga menguatkan dominasi ekonomi melalui penguasaan lahan dan melemahkan serta meminggirkan masyarakat adat Poco Leok.
Singkatnya, kaum kolonialis berorientasi untuk menghisap dan memindahkan kekayaan sumber daya di wilayah Poco Leok ke tempat investasi lain yang menguntungkan mereka. Motif ini secara tidak langsung akan menghilangkan ruang hidup serta meninggalkan luka kemiskinan bagi masyarakat adat Poco Leok.
Warna pencaplokan dan penguasaan atas sumber daya alam di Poco Leok merupakan ciri khas dari kolonialisme. Rencana geotermal telah mencaplok dan menyabotase hak-hak masyarakat adat Poco Leok sehingga patut diklaim sebagai wajah baru kolonialisme.
Klaim tersebut didasarkan atas fakta bahwa prosedur geotermal Poco Leok adalah prosedur yang sarat koruptif, kolutif, manipulatif, dan represif. Kolusi antara penguasa dan pengusaha yang melanggengkan geotermal Poco Leok menjadi representasi dari penjajah yang berasal dari bangsa sendiri, dari daerah kelahiran sendiri.
Lebih parah lagi jika pihak-pihak yang mengaku berasal dari Poco Leok kemudian membaptis diri sebagai pejuang geotermal yang penuh dengan muatan kepentingan dan keuntungan untuk menggadaikan nilai-nilai budaya, ekonomi, ekologi, dan tanah sebagai ibu (ende dading).
Penulis mencoba membuka sedikit lembaran sejarah kelam geotermal di Indonesia. Tercatat bahwa geotermal yang dikelola oleh PT Sorik Marapi Geotermal Power (SMGP) telah menelan korban jiwa 5 orang pada tahun 2021 yang lalu. Data terbaru bahwa pada tanggal 22 Februari 2024 yang lalu, uji coba pembukaan sumur proyek PLTP Sorik Marapi menyebabkan puluhan warga lokal keracunan karena diduga terpapar gas beracun. Akibat insiden ini, sebanyak 75 warga Desa Sibanggor Julu, Puncak Sorik Marapi akhirnya dilarikan ke rumah sakit.
Sedangkan fakta di Flores seperti di Mataloko menampilkan wajah geotermal yang telah merusak lahan pertanian warga, semburan lumpur yang merusak tanah, semburan gas yang menyebabkan seng rumah warga berkarat dan rusak, hasil komoditi menurun drastis, banyak lahan tidak produktif dan tidak bisa dikelola.
Demikian pun yang terjadi di wilayah geotermal Ulumbu dan di Poco Leok. Banyak kisah warga di sekitar wilayah Poco Leok yang menangis dalam diam karena merasakan langsung dampak buruk dari geotermal Ulumbu.
Dikisahkan warga bahwa telah terjadi pelecehan terhadap nilai-nilai budaya setempat, konflik sosial yang berkepanjangan, warga mendapat tindakan represif dan kekerasan (fisik, psikis, seksual), terjadinya manipulasi data dan fakta oleh perusahaan dan pemerintah daerah, masyarakat adat terancam kehilangan hak atas tanah ulayat dan ruang hidupnya.
Aksi dan reaksi masyarakat kontra geotermal bukanlah sesuatu yang niscaya hadir dan dilakukan tanpa motivasi. Ada sebab yang merangsang terjadinya penolakan geotermal Poco Leok yang jika ditilik lebih jauh maka jelas terimplisit bahwa masyarakat Poco Leok tidak ingin narasi budaya, ekonomi, sosial, ekologi, dan moral mereka dikuasai oleh penguasa dan pengusaha yang bermental feodal.
Dalam bacaan publik, pemerintah daerah dan perusahaan sedang membangun frame feodalisme dalam warna relasi tuan (raja) dan hamba, pemilik modal dan pekerja, pemilik tanah dan pemodal. Relasi tersebut juga meniscayakan adanya kesenjangan ekonomi dalam rusaknya pranata sosial.
Lebih parah lagi, pemerintah daerah yang sejatinya bertujuan menjamin keamanan dan ketertiban, menjamin keadilan, mengarahkan masyarakat ke arah sikap sosial yang baik, namun dalam praktiknya mereka abstain, tidak bertaring dan bahkan dengan sengaja menyangkal orientasi luhur tersebut. Menjadi miris ketika institusi penegak hukum yang dianggap militan dan loyal mengayomi masyarakat justru menjadi tameng perusahaan dan pemerintah daerah untuk merepresi masyarakat adat Poco Leok.
Rencana geotermal Poco Leok telah memberi dampak destruktif bagi kehidupan masyarakat adat setempat. Meski sebagian kalangan menilai adanya dampak positif geotermal bagi pertumbuhan dan kelancaran perekonomian nasional sampai daerah, penyerapan tenaga kerja, hingga stabilitas energi, namun hal ini hanya mengerucut pada aspek-aspek periferal dan pada tataran persepsi.
Sebab, dampak negatif dari geotermal telah mendominasi pentas kehidupan masyarakat Indonesia, Flores dan Manggarai.
Sebagian besar atau mayoritas masyarakat adat Poco Leok selalu menantikan kiprah pemerintah yang idealnya memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak-hak masyarakat adat Poco Leok.
Kewajiban pemerintah untuk menghormati hak-hak masyarakat adat adalah mengakui dan tidak mengintervensi sikap warga Poco Leok menolak geotermal, serta menjauhi segala tindakan serta kebijakan yang menghambat akses warga Poco Leok terhadap pemenuhan haknya.
Selanjutnya pemerintah juga wajib melindungi hak warga Poco Leok agar tidak dilanggar oleh pihak lain terlebih oleh aparat negara dan perusahaan. Kewajiban memenuhi hak masyarakat Poco Leok tampak dalam berbagai kebijakan dan langkah positif pemerintah untuk mendistribusikan keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi, kelestarian lingkungan, menjunjung kearifan lokal/adat, dan keamanan diri masyarakat sebagaimana termaktub dalam Undang-undang 1945 Pasal 28 G ayat (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Dan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Membaca geotermal dalam anatomi di atas, muncul realitas bahwa geotermal menjadi indikator pemiskinan masyarakat adat dan menjadi sistem kolonialisme baru. Pemiskinan terjadi tatkala hak-hak masyarakat akan kesejahteraan, hak atas ruang hidup, hak atas lingkungan yang asri, hak atas kesehatan, dan hak mempertahankan entitas budaya/adat dinegasikan dengan nafsu eksploitasi yang sarat koruptif.
Selain itu, konspirasi penguasa dan pengusaha telah menindas bahkan memutuskan asa hidup masyarakat adat Poco Leok. Akhirnya kita sampai pada konklusi publik yang menyematkan stigma geotermal sebagai extra ordinary crime.
*Herymanto Mau adalah Staf Advokasi JPIC SVD Ruteng