Konglomerasi Korporasi Melawan Konglomerasi Koperasi

Oleh : Suroto*

Ketika kita mendengar istilah konglomerat atau konglomerasi, alam bawah sadar kita pasti langsung tertuju pada perusahaan swasta besar yang digerakkan oleh modal finansial dan kuasai bisnis dari hulu hingga hilir.

Tapi ini berbeda, konglomerasi sosial adalah penguasaan hulu dan hilir dari bisnis namun ada di tangan masyarakat secara terbuka dengan konsep setiap satu orang satu suara dalam tentukan kebijakan bisnis dan organisasi.

Apakah ini sekadar teori? Tidak, ini sudah terjadi di negara lain dan sedang mulai dipraktekkan dari pedalaman Kalimantan Barat, suatu tempat yang mungkin kita tidak duga sebelumnya.

Agustus lalu, pengurus Koperasi Trisakti (KOSAKTI) diundang oleh Koperasi Keling Kumang Group (KKG), sebuah jaringan konglomerasi sosial koperasi di Kalimantan Barat.

Tujuan kami adalah melakukan observasi lapangan, melihat potensi-potensi ekonomi lokal yang bisa dikembangkan dan juga penjajagan kemungkinan kerjasama dengan organisasi kami KOSAKTI.

KKG ini berkantor pusat di Tapang Sambas, Sekadau. Kantornya ini berada di enclave, sebuah kantong hutan lebat di tengah kepungan perkebunan sawit.

Menurut Munaldus Nerang, pendiri KKG, luasan anclave (kantong) hutan yang masih dapat dipertahankan ini sekitar 3000 an hektare.

Hutan tersebut masih dapat dipertahankan dari serbuan korporasi sawit karena masyarakat memang diberikan kesadaran untuk menolaknya melalui gerakan koperasi.

“Masyarakat di dusun Tapang Sambas ini segera menyadarinya karena mereka melihat di daerah lain ternyata perkebunan sawit itu telah membuat masyarakat menjadi kehilangan tanahnya dan hanya menjadi buruh kebun sawit,” kata Munaldus membuka obrolan saat makan siang.

Saya sendiri sebetulnya sudah sering ke sini. Mungkin sepuluh kali. Tapi saya baru mendengar kalau ternyata hutan rimbun di sekitar kantor itu adalah kantong hutan hasil perjuangan untuk melawan penetrasi korporasi sawit.

Munaldus dan kawan-kawan mudanya sekitar dua puluh lima tahun lalu mengorganisir warga di desanya ini melalui sebuah pengembangan gerakan koperasi kredit (Credit Union).

Gerakan kecil untuk menolong diri sendiri dengan cara bekerjasama di antara mereka sendiri itu telah menjadi rumah demokrasi bagi 174 ribu anggotanya dan asset bersama yang bernilai 1,4 trilyun.

Melalui 5 pilar kerja swadaya, solidaritas, pendidikan, inovasi dan persatuan dalam keberagaman itu, Keling Kumang Group bertumbuh terus jadi sebuah konglomerasi sosial.

Anggota-anggotanya diberikan dukungan oleh koperasi berupa pengembangan usaha produktif seperti peternakan madu, ayam, penanaman padi, pengembangan industri pangan rumah tangga dan lain sebagainya.

Secara kelembagaan, koperasi ini juga telah melakukan spin off (pemekaran)  ke sektor riil. Seperti pendirian lembaga kursus, sekolah dan perguruan tinggi, sektor pertokoan (ritel), sektor jasa perhotelan, sektor pertanian, konservasi alam, jasa konstruksi dan lain sebagainya.

Munaldus adalah dosen Universitas Tanjung Pura. Dia ini lulusan ITB dan Ohio University, Amerika Serikat. Orang yang berpenampilan sederhana dan penuh ketenangan ini tidak tinggal diam ketika warga desanya mengeluhkan terjadinya penyerobotan tanah (land grabbing) oleh korporasi.

Dia tahu, untuk melawan korporasi yang sistematik itu dia gunakan juga kekuatan lawan tanding dengan mengorganisir warga melalui koperasi.

Dia tahu bahwa untuk menyadarkan masyarakat itu tidak mudah. Sebab korporasi-korporasi itu menekan warga dengan berbagai cara. Termasuk mengadu domba warga dan memecah belah ikatan sosial antar-keluarga.

Obrolan dalam sesi makan siang  semakin hangat. Kami membicarakan soal konservasi hutan dan penyelamatan Owa Kalimantan yang langka basis koperasi yang juga mulai dirintis Munaldus. 

Selama ini kita mengenal konsep-konsep konservasi alam itu selalu berbasis pembiayaan dari donor luar. Miskin keterlibatan warga.

Munaldus telah mematahkan mitos besar itu. Melalui koperasi yang dia kembangkan bukan hanya membuat hutan dan habitat di dalamnya selamat, tapi sekarang  melalui kepemilikkan lahan hutan oleh koperasi sebanyak 68 hektare telah juga jadi tempat penyelamatan Owa Kalimantan yang sudah langka itu.

Warga anggota koperasi dengan sukarela menyerahkan binatang yang telah mereka tangkap, mereka juga menyerahkan kepemilikkan lahan hutan pribadi untuk dikelola koperasi. Hutan ini akan mereka jaga secara adat.

Tak hanya itu, Munaldus Nerang juga mulai merintis untuk jadikan kawasan tersebut sebagai wisata hutan yang indah basis koperasi. Dia ingin kelak hutan tersebut tak hanya jadi tempat wisata tapi juga pusat pembelajaran bagi konservasi alam, koperasi dan juga laboraturium hidup untuk penelitian keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.

Kami telah sepakat untuk mendirikan sebuah kelompok epistemik di sini. Munaldus memberi nama Keling Kumang Institute. Ini akan jadi sebuah lembaga think thank dengan kegiatan training kepemimpinan dan keterampilan mutakhir, riset dan pengembangan sumber daya lokal.  Dalam waktu dekat akan segera dilaksanakan lokakarya pembentukkannya.

Munaldus adalah seorang pemimpi yang ingin menjadikan mimpinya itu segera menjadi kenyataan. Seperti praktek konglomerasi sosial koperasi di negara lain yang sebagian dia pernah kunjungi.

Di negara lain, konglomerasi sosial ini sebetulnya telah berkembang pesat. Di negara tetangga kita Singapura seperti NTUC Fair Price misalnya, konglomerasi koperasi ini dimiliki oleh 800 ribu warga mereka dan kuasai pangsa pasar bisnis ritel hingga 73 persen dan sektor strategis lain.

Konsep ini juga berkembang di Spanyol seperti Mondragon Worker Co-operative  yang jadi perusahaan terbesar di Basque, Spanyol dan dimiliki 80 ribu pekerjanya secara equal.

Ini juga berkembang di Srilanka seperti konglomerasi sosial SANASA Group yang dimiliki 3,9 juta warga dan bergerak di 16 sektor ekonomi strategis, dan ini juga berkembang masif di Amerika Serikat di sektor pertanian, listrik, perbankan dan lain-lain yang telah jadikan Amerika Serikat dengan jumlah anggota koperasi terbanyak di dunia, meliputi 40 persen dari penduduk mereka.

Apa yang dilakukan Munaldus dan kawan-kawannya adalah tindakan untuk mengoposisi model pembangunan koperasi yang selama ini selalu dibangun secara top-down (dari atas) dengan jargon pembinaan yang sebenarnya penuh kepentingan agenda nasional yang seringkali berseberangan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara mandiri.

Berangkat dari praktek ini, potensi koperasi sebagai jaringan konglomerasi sosial sebetulnya memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia. 

Gerakan ini juga penting untuk membalikan opini dari masyarakat yang selama ini selalu mengesankan koperasi hanya sebatas usaha simpan pinjam dan ribawi, sebagai urusan bisnis kecil-kecilan.

Untuk menggaet anak-anak muda agar mampu melihat kembali arti penting dan efektifitas koperasi untuk membangun bisnis bersama sama dengan asas subsidiartas. Apa-apa yang tidak bisa dikerjakan sendiri dikerjakan melalui koperasi, sebagai manifestasi dari konsep ekonomi gotong royong, ekonomi solidaritas secara alamiah.

Koperasi sesungguhnya adalah konsep bisnis self-regulated organization, organisasi yang mengatur diri mereka sendiri. Namun dalam praktek, gerakan ini sebetulnya menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam hadapi soal regulasi dalam pengembanganya.

Sebab, selain kita dapati undang-undang perkoperasian yang tidak relevan dengan aspirasi dan identitas koperasi juga banyak produk-produk perundang-undangan perihal ekonomi dan kemasyarakatan yang berlaku diskriminatif terhadap koperasi. 

Dalam undang-undang dan berbagai produk kebijakan, koperasi sengaja disub-ordinasi dengan selalu disebut sebagai bagian dari badan hukum yang selalu musti dibina dan dijadikan sebagai alat penyaluran program pemerintah.

Di antara undang-undang yang secara terang-terangan lakukan diskriminasi dan mensub-ordinasi terhadap koperasi misalnya undang-undang (UU) penanaman modal yang hanya bolehkan investasi asing dalam bentuk perseroan, penggunaan badan hukum yang hanya boleh perseroan dalam UU Rumah Sakit, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan dalam skala masif misalnya adalah Peraturan Menteri Desa yang paksakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) wajib berbadan hukum perseroan dan lain sebagainya.

Sampai hari ini kita juga masih diatur oleh undang-undang koperasi tersendiri yang kualitasnya jauh dari identitas koperasi. Sementara rancangan undang-undang perkoperasian baru paska dibatalkan undang-undang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi belum jelas juntrunganya.

Draftnya juga isinya sangat mengecewakan karena koperasi akan dikerdilkan dan bahkan diberangus hak demokrasinya dengan jadikan Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) yang dipimpin Nurdin Halis selama 20 tahun sebagai wadah tunggal dan semua koperasi dipaksa membayar iuran untuk mereka, organisasi yang selama ini tidak jelas manfaatnya bagi koperasi.

Intinya, kita juga butuh produk perundang-undangan yang ramah terhadap konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi Konstitusi. Akankah kita loloskan RUU Perkoperasian yang kerdilkan koperasi tersebut? atau kita biarkan saja korporasi kapitalis itu menelan semuanya.

*Suroto, Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)

Polikarpus Do Majukan Pendidikan NTT Lewat PKBM

0

Ende, Ekorantt.com – “Jika ingin melakukan tindakan untuk menyelamatkan kaum kecil dan terpinggirkan, lakukan sekarang. Jangan menunda karena kehidupan ini milik Tuhan. Kita tidak tahu kapan akan berakir,” demikian keyakinan Polikarpus Do, Ketua PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) Bintang Flobamora Kupang.

Untuk menjadi seperti sekarang ini, kata Poli, demikian ia disapa, bukan perkara yang mulus. Pria kelahiran Ende 18 Mei 1982 ini ditempa dari tantangan demi tantangan.

Berasal dari keluarga yang sederhana di Kampung Kamubheka, Maukaro sana tak membuat nyalinya ciut. Ia terus berjuang. Di balik perjuangan itu, buah hati pasangan Maria  Riti dan Markus Keu ini pun mampu meraih sukses.

Sejak  tahun 2013 silam, Poli fokus mengembangkan PKBM Bintang Flobamora hingga sekarang. Niatnya adalah menyelamat anak-anak yang putus sekolah.

Anak-anak putus sekolah harus diperhatikan demi mewujudkan visi mencerdaskan anak bangsa. 

Berkat tangan dinginnya, PKBM Bintang Flobamora berkembang pesat dan memberikan kontribusi berharga bagi pendidikan di Kota Kupang dan Propinsi NTT.

Taring PKBM Bintang Flobamora pun tidak perlu diragukan lagi. Tidak hanya berkualitas di level lokal, tapi PKBM besutan Poli ini mengukit prestasi di panggung pendidikan nasional.

PKBM Bintang Flobamora tidak hanya memberi ruang belajar yang terbuka berkualitas tetapi menjadi sarana penyediaan tenaga kerja lewat ruang praktek dan pelatihan-pelatihan. 

Lebih lanjut, Poli menjelaskan, akan mengembangkan program diantaranya; memperkuat kualitas SDM lembaga, Penguatan unit usaha PKBM dan Koperasi, memperluas akses kemitraan, menyediakan sarana PKBM yang lebih memadai, melakukan publikasi dan membuka cabang PKBM Bintang Flobamora di setiap kabupaten.

PKBM Berprestasi

Prestasi teranyar yang diraih PKBM Bintang Flobamora yakni penghargaan di tingkat nasional sebagai Juara 1 penyelenggaraan kelembagaan terbaik PKBM di seluruh Indonesia.

PKBM Bintang Flobamora mampu menyisihkan 5 PKBM lain di Indonesia dalam lomba lembaga PKBM terbaik nasional.

Lomba yang dirangkai sebagai Lomba Kelembagaan dan Warga Binaan oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Kesetaraan, Dirjen PAUD dan DIKMAS Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI di Tangerang ini berlangsung  pada 4-7 Agustus 2019 lalu.

Melalui proses kompetisi yang ketat, hasil pemaparan atau presentasi program dan inovasi program PKBM Bintang Flobamora dinilai oleh para juri sebagai yang terbaik.

Penghargaan ini diserahkan Dirjen PAUD dan Dikmas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Haris Iskandar kepada Ketua PKBM Bintang Flobamora, Polikarpus Do dalam Perayaan puncak Hari Aksara Internasional (HAI) 2019 di Kota Makassar, 7 September lalu

Dalam balutan pakaian adat Ende, Poli, demikian sapaan manisnya, maju ke panggung dan menerima penghargaan yang sangat bermakna ini. Rasa haru dan bangga menyelimuti hatinya.

Poli mangaku bangga karena perjuangan yang telah mulai sejak awal sungguh tidak sia-sia. Selalu ada jalan dalam setiap kesulitan yang dihadapinya. Dengan mendapatkan pernghargaan ini, Poli akan terus mengabdi dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi generasi masa depan bangsa.

 “Juara ini milik masyarakat NTT terutama pegiat PKBM. Kita tidak puas dengan juara nasional. Kita ingin buta aksara dan angka putus sekolah di NTT dari tahun ke tahun terus turun,” tegas Poli.

Komunitas Tato Maumere Tangkal Stigma Negatif tentang Tato

0

Maumere, Ekorantt.com – Komunitas Tato Maumere mendapat kesempatan emas untuk lebih dekat dengan masyarakat dan mengenalkan siapa mereka.

Pertemuan mereka kali ini agak berbeda pasalnya untuk pertama kali komunitas tato itu beriteraksi secara langsung dengan anak-anak sambil membicarakan topik tato. Bicara soal tato tentu pro kontra sudah terbayang di kepala pembaca.

Biasanya Komunitas Tato Maumere berkolaborasi dengan komunitas orang dewasa. Kali ini, Komunitas Tato Maumere bersama Komunitas Huruf Kecil memperkenalkan tato kepada anak-anak. Mereka coba menepis stigma buruk tentang tato itu sendiri dari kalangan anak anak.

Kegiatan yang berlangsung di Taman Patung Teka Maumere pada 7 September lalu ini diikuti oleh belasan anak dari usia 3 sampai 13 tahun yang tergabung dalam Komunitas Huruf Kecil.

Para pegiat komunitas Tato membagikan pengalaman bagaimana mereka memutuskan bertato, bagaimana mereka hidup bermasyarakat, dan bagaimana seharusnya masyarakat menilai mereka termasuk anak-anak.

Anak-anak yang tergabung dalam Komunitas huruf kecil sangat antusias tanpa sekat dan takut bertanya. Pertanyaan sederhana soal apa itu tato, apakah proses tato itu menyakitkan keluar dari imajinasi mereka. Selain itu, mereka juga diajarkan teknik menggambar sederhana.

Ketua Komunitas Tato Maumere, Yosep Tobias Parera alias Dody mengaku penting bagi mereka untuk memberi pemahaman kepada anak-anak.

“Sesuatu yang mereka belum tahu buat mereka menjauh, menjaga jarak, kami tidak ingin itu,” ucap Dody.

“Anak-anak kalau lihat kami mereka lari, takut, ada yang bisik-bisik seolah kami hendak berbuat jahat,” tambahnya.

Komunitas Tato ingin anak-anak tahu bahwa tato tidak identik dengan orang jahat. Justru banyak orang jahat yang tidak bertato. Komunitas Tato menghargainya sebagai seni.

Bagi mereka, tato mengabadikan memori, pengalaman, dan memiliki cerita di baliknya.

Agar maksud dan pesan soal tato bukan kriminal ini tersampaikan dengan baik kepada anak-anak, komunitas tato Maumere melakukan pendekatan yang dapat diterima oleh anak anak.

Bahasa yang digunakan juga tidak sulit, bahasa sehari-hari yang penting anak mengerti dan senang.

Diakui Dody, fakta yang terjadi di masyarakat adalah minimnya pemahaman mengenai orang bertato. Masyarakat menilai sebelah mata, segala perbuatan kriminal, melawan hukum, dialamatkan pada orang bertato.

Padahal sejarah tato di NTT berkembang dari upaya selamat dari perbudakan seks di zaman penjajahan misalnya. Para gadis membuat tato sendiri untuk menandai dirinya sudah menikah agar tidak menjadi bulan bulanan tentara jepang yang sedang birahi.

Komunitas tato berharap anak anak komunitas huruf kecil bisa menjadi agent of change, “mereka mau membawa pesan bahwa tato bukan kriminal, tato bukan jahat,” ucap Dody.

Ketua Komunitas Huruf Kecil, Qikan berharap agar dengan kegiatan ini anak dapat bergaul tanpa sekat, bertumbuh dengan baik, dan memiliki pandangan yang positif.

“Kami mau supaya anak-anak bisa bergaul dengan siapa saja dan tidak menilai orang dari penampilan,” ungkapnya.

Menurut dia, keluarga bukan lagi satu-satunya faktor penentu baik tidaknya tumbuh kembang seorang anak.

Anak butuh lingkungan layaknya keluarga yang terus membagi nilai nilai positif yang bersumber dari kehidupan sehari-hari termasuk dari mereka yang memilih seni rajah tubuh.

Di samping itu hal menarik yang dapat dipetik adalah bagaimana geliat komunitas di Maumere ini saling dukung dan membagi hal baik untuk kemajuan lingkungan dan anak bangsa.

Sudah saatnya semua elemen masyarakat dan pemerintah melek, dan tidak menutup diri, saling bahu membahu melawan persoalan yang tengah kita alami.

Aty Kartikawati

Geliat Desa Koja Doi Bangun Desa Pariwisata

0

Maumere, Ekorantt.com – Desa Koja Doi merupakan salah satu desa yang berada di gugus pulau yang mengitari perairan Teluk Maumere. Desa yang secara administratif berada di Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka ini memiliki fokus untuk mengembangkan desa pariwisata.

Kepada Desa Koja Doi, Hanawi sangat yakin untuk mengembangkan  Desa Koja Doi cocok menjadi desa pariwisata. Pariwisata harus menjadi ikon tersendiri ketika orang bicara tentang Koja Doi. Keyakinannya bukan tanpa alasan.

“Saya berpikir untuk genjot pariwisata karena di sini ada potensi. Kita sudah invetarisir potensi pariwisata. Keindahan Teluk Maumere ada di sini. Kita juga punya mangrove, terumbu karang yang indah, teluk, jalur trekking, lingkungan yang bagus dan tentu saja masyarakatnya juga,” tutur Hanawi di kediamannya di Koja Doi pekan lalu.

Hanawi menuturkan, nama Koja Doi sudah cukup terkenal dengan beberapa keunikannya beberapa waktu belakangan. Sebut saja Bukit Batu Purba yang berada di sisi utara perkampungan Koja Doi.

Bukit batu ini sering dikunjungi wisatawan untuk sekadar mengabadikan momen dengan latar belakang perkampungan dan eloknya biru laut.

“Kita juga punya jembatan batu yang sudah dibangun sejak tahun 1979. Jembatan ini panjangnya 680, menghubungkan Pulau Koja Doi dan Pulau Besar. Ini langka. Keunikan lainnya juga adalah Pulau Koja Doi ini mirip janin bayi kalau dilihat dari lereng bukit di Pulau Besar,” tutur Hanawi.

Beragamnya potensi pariwisata di Desa Koja Doi memantik semangat pihak desa untuk serius mengelola pariwisata. Hal ini menemui titik terang dengan bergulirnya dana desa.

Tapi, kata Hanawi, langkah awal yang sedang mereka godok adalah penguatan kapasitas Sumber Daya Manusia.

“Kita siapkan orang-orang muda, ibu-ibu penenun dan dasawisma. Kita juga rencanakan mengirim anak-anak muda untuk studi banding tentang pengelolaan pariwisata yang baik,” beber Hanawi.

Selain penguatan SDM, secara teknis Desa Koja Doi telah membentuk Bumdes dengan nama Bumdes Monianse. Bumdes Monianse punya perhatian khusus untuk mengembangkan pariwisata desa di samping beberapa unit kerja lainnya.

Kepala Desa Koja Doi, Hanawi

Tahun 2017 lalu, pihak desa mulai mengintervensi dana desa untuk penataan Bukit Batu Purba.

Tingginya perhatian desa terhadap pengelolaan pariwisata di Koja Doi, bagi Manajer Bumdes Monianse, M. Salihun menjadi angin segar bagi usaha Bumdes.

Sejauh ini Bumdes Monianse bersama Pokdarwis getol memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam memajukan pariwisata.

“Masyarakat harus dilibatkan. Mereka bukan penonton. Seperti yang bapak desa omong bahwa kita ubah kebijakan, jadikan masyarakat sebagai pelaku. Luar biasanya, masyarakat paham dan tidak ada kendala yang besar,” kata Salihun.

Salihun menceritakan, sebelum Bumdes ada, geliat membangun pariwisata di Desa Koja Doi sudah dimulai. Sekitar tahun 2001, pihak desa bersama masyarakat memulai kegiatan konservasi dengan melakukan transplantasi terumbu karang di laut sekitar Pulau Koja Doi.

“Dulu masyarakat rajin bom ikan. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Kita sudah sadar. Kalau bom ikan akan mati semua. Sekarang ikan sudah banyak karena mereka punya rumah sudah ada,” ungkap Salihun.

Hal ini benar adanya. Wilayah perairan di sekitar Pulau Koja Doi dipenuhi terumbu karang dengan jenis yang bervariasi. Terumbu karang dengan ukuran besar akan muncul ke permukaan saat air laut surut. Nampak juga biota laut terutama ikan hidup aman dalam pelukan terumbu karang.

Bumdes Monianse, jelas Salihun, sejauh ini berusaha menyusun satu paket pariwisata yang ramah lingkungan atau yang familiar disebut dengan istilah ekowisata.

Setiap tamu diajak untuk ikut merawat identitas Teluk Maumere sebagai taman wisata bawah laut. Aktivitasnya melalui kegiatan tranplantasi terumbu karang dan penanaman manggrove.

La Mane Untu (78), selaku tokoh masyarakat Koja Doi sangat antusias dengan langkah pemerintah desa dalam membangun desa pariwisata. Baginya, ikon desa pariwisata akan menjadi sumber penghasilan baru bagi desa.

Kendati demikian, La Untu berharap agar pariwisata tidak boleh memudarkan identitas orang Koja Doi. Adat istiadat tidak boleh luntur karena pariwisata.

“Setiap tamu atau turis yang datang harus ikut adat-istiadat kita. Jangan ubah kebiasaan di sini. Kita siap untuk mendukung,” tandas La Untu.

Studi Marxisme Mesti Lebih Digiatkan di STFK Ledalero

0

Ledalero, Ekorantt.com – Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero baru saja merayakan emas 50 tahun berdirinya pada Minggu, 8 September 2019 yang lalu.

Berbagai harapan dan doa telah dilitanikan bagi sekolah filsafat dan teologi milik para biarawan misionaris Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi Divini (SVD) itu.

Salah satu harapan dan doa itu adalah agar STFK Ledalero mau dan berhasil membangun dialog dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya.

Berdialog dengan Ilmu Lain

Harapan ini ditegaskan oleh Superior General SVD Pater Paul Budi Kleden, SVD dalam khotbah pada Ekaristi puncak 50 tahun STFK Ledalero, Minggu (8/9/2019).

Dalam khotbahnya tersebut, Pater Budi menggarisbawahi pesan Yesus Kristus tentang pentingnya sebuah perhitungan yang cermat dalam melakukan sesuatu hal.

Perhitungan yang cermat membuat seseorang bisa memulai sesuatu dengan baik dan mengakhirinya dengan baik pula.

Salah satu tugas STFK Ledalero adalah membantu para mahasiswa filsafat dan teologi memulai dengan baik dan mengakhirinya dengan baik pula.

Namun, menurut Pater Budi, kisah hidup setiap anak manusia menunjukkan suatu proses yang kadang kala mengejutkan.

Kehidupan seseorang tidak selalu berakhir sebagaimana yang telah dicita-citakan.

Setiap keputusan memulai sesuatu yang baru selalu berarti masuk ke dalam hidup yang penuh dengan risiko.

Para pendahulu STFK Ledalero seperti Paul Sabon Nama dan Vitalis Djebarus pada saat ambil keputusan ubah status seminari tinggi menjadi sekolah tinggi tidak pernah punya jaminan bahwa keputusan mereka itu akan sukses.

Sama seperti Pendiri SVD Santo Arnoldus Janssen 144 tahun lampau saat ambil keputusan mendirikan Tarekat Misi SVD tidak pernah punya jaminan bahwa karya misi akan sukses.

Dengan demikian, jika seminari dan sekolah tinggi ini berhasil, maka kita patut bersyukur.

Akan tetapi, jika gagal, maka kita mesti tepuk dada sambil katakan bahwa kita tidak layak untuk rahmat sebesar ini.

Pater Budi juga menekankan pesan Yesus Kristus tentang keharusan menyangkal diri.

Menyangkal diri berarti sadar akan kelemahan pribadi dan bergantung pada penyelenggaraan Ilahi.

Sikap seperti inilah yang disebut kebijaksanaan.

Menurut Pater Budi, orang yang bijaksana itu idealistis tetapi juga serentak realistis.

Orang yang bijaksana tidak menjebak dirinya di dalam hamba idealisme dan budak realisme.

Sebagai insan lemah, kita bisa saja terjebak dalam idealisme dengan menjadi seorang moralis kejam yang mencatat litani dosa dan kesalahan orang lain.

Kita juga bisa terjebak dalam realisme dengan menjadi seorang pragmatis yang tidak peduli lagi pada ide-ide tentang kebenaran.

Oleh karena itu, Pater Budi menganjurkan, agar tidak terjebak dalam idealisme, STFK Ledalero perlu dibantu oleh dan berdialog dengan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu lainnya.

Kehadiran program studi – program studi yang lain dapat membikin filsafat dan teologi di STFK Ledalero berpijak pada realitas.

Di samping itu, demikian Pater Budi, agar tidak terjebak dalam realisme atau pragmatisme, para alumni STFK Ledalero tetap perlu menimba inspirasi dari perigi idealisme di STFK Ledalero.

Selain dialog dengan ilmu-ilmu lain, STFK Ledalero juga diharapkan menggiatkan studi marxisme.

Sebab, berdasarkan pengalaman beberapa alumnus, studi tentang marxisme kurang giat dilakukan di bukit sandar matahari itu.

Ruang belajar marxisme di STFK Ledalero dinilai terlampau sempit dan kurang.

Mempelajari Marxisme

Emilianus Y.S. Tolo

Dosen STFK Ledalero Emilianus Y.S. Tolo dalam artikel “Upaya Menggapai Kebijaksanaan” (Flores Pos, 14/9/2019) berpendapat, sudah seharusnya STFK Ledalero meneruskan dan membiarkan para dosen dan mahasiswa mempelajari Marxisme sebagai ilmu dengan bebas dan bertanggung jawab di tengah gelombang pembredelan buku-buku berbau Marxis di Indonesia hari ini.

Menurut dosen muda ini, dalam berbagai kegiatan dalam rangka menyambut dan memeriahkan pesta emas STFK Ledalero, dia mendengar dan menyaksikan logika dialektika materialis Marxis didengung-dengungkan dan diagung-agungkan walau jarang dieksplisitkan secara langsung dalam terminologi Marxis.

“Karena itu, saya berkesimpulan bahwa dialektika materialis Marxis mendominasi hampir semua rangkaian kegiatan pesta emas STFK Ledalero,” tulisnya.

Emil menulis, suara pengetahuan dan kebijaksanaan yang tampak dalam seluruh rangkaian perayaan pesta emas STFK Ledalero didominasi oleh suara yang berdasarkan logika dialektika materialis Marxis. Suara-suara itu, secara tidak langsung menyinyalir bahwa STFK Ledalero hanya akan bisa bertahan dan berkanjang dalam dunia dalam waktu yang lama jika ia tetap setia pada logika dialektika materialis Marxis.

Menurut Emil, jika logika dialektika materialis Marxis menjadi semacam motor penggerak bagi keberadaan STFK Ledalero di dunia, seperti yang dia dengar dan saksikan dalam seluruh rangkaian acara pesta emasnya, maka sudah seharusnya logika dialektika materialis Marxis ini diajarkan dan dihidupkan dalam seluruh proses belajar mengajar di STFK Ledalero.

Dengan demikian, menurut dia, sebagai institusi intelektual, STFK Ledalero harus terus memperkenalkan logika dialektika materialis Marxis bagi para mahasiswa, pengajar, dan semua pekerjanya.

“Karena logika dialektika materialis Marxis bersumber pada Marxisme, maka sudah seharusnya STFK Ledalero meneruskan dan membiarkan para dosen dan mahasiswa mempelajari Marxisme sebagai ilmu dengan bebas dan bertanggung jawab di tengah gelombang pembredelan buku-buku berbau Marxis di Indonesia hari ini,” pungkas dia.

Dari Ledalero untuk Indonesia

Pater Dr. Otto Gusti Nd. Madung, SVD

Ketua STFK Ledalero Otto Gusti Nd. Madung dalam artikel “Dari Ledalero untuk Indonesia” di Media Indonesia (29/8/2019) mengungkapkan, perayaan 50 tahun STFK Ledalero merujuk pada pengakuan formal yang diberikan pemerintahan Republik Indonesia kepada lembaga pendidikan tinggi ini pada tahun 1969.

Akan tetapi, kegiatan belajar mengajar filsafat dan teologi sesungguhnya sudah dimulai pada tahun 1932.

Saat itu, sebagian besar masyarakat Flores belum disentuh perabadan modern dan masih hidup berpindah-pindah di hutan.

Sejak berdirinya, STFK Ledalero telah menghasilkan 5.800 alumnus dengan perincian 19 orang uskup, 1.822 imam Katolik, dan 3.978 (68,5%) awam.

Sebanyak 500-an lebih di antaranya sedang bekerja sebagai imam Katolik atau misionaris di mancanegara.

Menurut Pater Otto, peran filsafat dan teologi tetap relevan dalam dunia dewasa ini yang ditandai dengan spesialisasi dan berorientasi pada teknologi dan ilmu pengetahuan empiris.

Pertama, filsafat dan teologi perlu sebagai strategi budaya.

Filsafat dan teologi kontekstual hendaknya terus dikembangkan dalam dialog dengan ilmu-ilmu lain agar lebih peka dalam menjawabi tantangan zaman dan menawarkan makna bagi pertanyaan-pertanyaan dasar manusia dewasa ini.

Kedua, filsafat ialah metode berpikir kritis dan mandiri.

Peran filsafat sebagai metode berpikir mandiri sangat penting agar masa depan hidup manusia dan tatanan sosial tidak diserahkan pada kekuasaan minus tanggung jawab manusia.

Sementara itu, demikian Pater Otto, peran STFK Ledalero untuk kehidupan beragama di Indonesia adalah berkontribusi membuka ruang komunikasi antara nalar dan teologi, akal budi dan iman.

Pengembangan ilmu teologi dan filsafat berperan penting menumbuhkan daya kritis agama-agama di ruang publik.

Dengan demikian, agama-agama tidak terperangkap dalam bahaya radikalisme dan eksklusivisme yang mengancam kesatuan Indonesia dalam kebinekaan.

Profil STFK Ledalero

Gedung Sekretariat STFK Ledalero. Foto: stfkledalero.ac.id

Sejak didirikan pada tahun 1937 hingga tahun 1969, lembaga pendidikan ini menggunakan nama Seminari Santo Paulus Ledalero.

Pada Januari 1969, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik (STF/TK) berdiri secara resmi sebagai salah satu bagian dari Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero.

Motto sekolah tinggi ini adalah Diligite Lumen Sapientiae atau bernyalalah terang kebijaksanaan.

Dalam sejarah pendidikan Republik Indonesia sampai tahun 2016, berdasarkan peringkat dari Kemenristekdikti, STFK Ledalero menempati urutan ke – 133 dari 3.200 perguruan tinggi di Indonesia dan peringkat ke – 2 di kawasan Nusa Tenggara Timur.

STFK Ledalero terakreditasi B oleh BAN – PT dengan nomor SK 0790/SK/BAN-PT/Akred/PT/VI/2016.

Masyarakat Eban Terima Satgas Pamtas RI-RDTL Sektor Barat Yonif 132/BS secara Adat

0

Kefamenanu, Ekorantt.com – Satuan Tugas (Satgas) Pengamanan Perbatasan Republik Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste (Satgas Pamtas RI-RDTL) Sektor Barat, Yonif 132/BS diterima secara adat oleh tokoh adat di Markas Komando (Mako), Desa Eban, Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Upacara tersebut berlangsung pada Kamis (12/09/2019).

Sebelumnya, Satgas Pamtas RI-RDTL yang lama Yonif Mekanis 741/GN telah selesai bertugas selama kurang lebih 9 bulan di daerah perbatasan tersebut dan digantikan oleh Yonif 132/BS yang akan bertugas 9 bulan kedepan.

Acara tersebut dihadiri Dansatgas Yonif 132/BS, Sektor Barat, Mayor Inf. Wisyudha Utama beserta Perwira Staf dan Seluruh anggota TNI lainnya serta tokoh adat setempat di antaranya Martinus Fobia, Martinus Naben, Antonius Mamok, Milikku Tefa, Gasfar Tefa, Servesius Natun, Baselius Naben, dan Januario Neti. 

Upacara adat yang dilakukan merupakan tradisi setiap pergantian Satgas Pamtas RI-RDTL Sektor Barat yang baru.

Acara dimulai dengan pengucapan tutur adat masyarakat TTU (takanap) oleh tokoh adat di depan gerbang Mako Satgas. Setelah mengucapkan bahasa adat, tokoh adat menggandeng tangan para prajurit TNI dan langsung membawa seluruh prajurit untuk masuk ke dalam halaman Mako sebagai bukti bahwa para prajurit TNI Yonif 132/BS diterima oleh masyarakat setempat. 

Dalam sambutannya, Dansatgas 132/BS Mayor Inf. Wisyudha Utama mengucapkan terimakasih kepada tokoh adat, tokoh agama, pemerintah desa dan masyarakat setempat yang berada di sekitar Mako Satgas Sektor Barat karena telah berkenan menerima pihaknya untuk bertugas sepanjang perbatasan RI-RDTL di daerah Kabupaten TTU, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Malaka.

“Bagaimanapun juga, kita yakin pada peribahasa orang tua, di  mana bumi di pijak di situ langit di junjung. Terima kasih sudah menerima kehadiran kami sebagai pendatang baru. Tujuan kami di sini bukan hanya menjaga patok perbatasan tapi murni dari niat kami untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Apabila masyarakat butuh bantuan, kami siap membantu,” ujar Utama. 

Mewakili masyarakat, kepala adat setempat, Januario Neti menyampaikan ucapan terima kasih atas hadirnya Satgas Pamtas Sektor Barat Yonif 132/BS. Menurutnya, selama ini satgas bukan hanya menjaga patok-patok perbatasan saja, melainkan dengan niat yang mulia hadir di wilayah perbatasan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat perbatasan dan terbukti telah membantu masyarakat dengan program-programnya berupa pembangunan rumah layak huni bagi keluarga tidak mampu, atau pembuatan sumur resapan bagi masyarakat. Itu semua dilakukan dengan tuntas.

“Kami sangat berterima kasih kepada bapak-bapak TNI dari Yonif 132/BS. TNI di sini sangat diterima masyarakat perbatasan. Karena menurut saya, TNI adalah benteng pertahanan NKRI untuk menjaga kami dan mengayomi seluruh rakyat,” jelas Neti.

Santos

Waria di 50 Tahun STFK Ledalero

1

Ledalero, Ekorantt.com – Malam kedua bazar perayaan 50 tahun STFK Ledalero, Kamis (5/9/2019) mendadak riuh.

Tepuk tangan dan sorak-sorai muncul dari segala arah.

Tepuk tangan itu mengiringi parade busana yang ditampilkan oleh para waria di atas panggung hiburan yang dibangun di halaman depan aula St. Thomas Aquinas, Ledalero.

Waria-waria itu berdandan cantik.

Aneka ragam busana mereka kenakan, mulai dari gaun, terusan, hingga modifikasi busana tradisional Papua.

Mereka berjalan begitu anggun.

Senyum merekah di wajah mereka. Seolah menyahut setiap tepukan tangan dan sorak sorai para penonton malam itu.

Pater Fredy Sebho, SVD mengakui, sejak awal, rencana melibatkan para waria di perayaan emas STFK Ledalero mendapat persetujuan dan apresiasi tidak saja dari dirinya selaku koordinator acara, tetapi juga dari seluruh anggota panitia.

Baginya, sudah saatnya eksistensi para waria, khususnya waria di Kabupaten Sikka diakui dan diterima baik oleh Ledalero sebagai institusi pendidikan yang inklusif maupun Gereja dan masyarakat secara umum.

Para waria yang tergabung dalam Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas) dilibatkan sejak simposium dan bazar hari pertama pada Rabu (4/9/2019) hingga perayaan puncak 50 tahun STFK Ledalero, Minggu (8/9/2019).

Pada bazar malam pertama, Rabu (4/9/2019), Mayora, seorang waria asal Habi menampilkan stand up comedy.

Salah satu yang terekam cukup kuat di ingatan penonton tentang penampilan Mayora malam itu adalah kampanye-kampanyenya tentang visi masyarakat inklusif di Maumere.

Malam itu, Mayora memimpikan Maumere hadir sebagai istana cinta kasih, tempat semua orang bisa hidup dan bereksistensi, saling menerima dan  bertenggang rasa.

Ia mengajak semua penonton untuk menghargai keanekaragaman baik agama, suku, ras, maupun gender dan seksualitas.

Tampil memukau di malam pertama, Mayora lantas didapuk sebagai master of ceremony di malam kedua hingga acara resepsi pada puncak perayaan 50 tahun STFK Ledalero. 

Pada bazar malam kedua, Mayora bersama Virgin, Yani, Yolanda dan beberapa waria lain menampilkan parade busana.

Parade busana itu menjadi acara yang paling memukau penonton selama tiga hari perhelatan bazar.

Yani, seorang waria muslim mengaku sangat bahagia mengalami sambutan yang hangat dari publik Ledalero malam itu. 

“Saya merasa sangat senang, terhibur dan dihargai sekali. Luar biasa. Saya baru pertama kali mengalami hal seperti ini. Penontonnya juga sangat antusias menyaksikan penampilan perwakas,” kata dia. 

Pada malam ketiga, berkolaborasi dengan Komunitas KAHE, Perwakas menampilkan sebuah teater.

Ricky, Aty, Tika, dan Rendy dari KAHE memainkan lagu Bunga dan Tembok karya Wiji Thukul.

Yani dan Yolanda merespons teks yang dibawakan oleh Adinda.

Teks itu adalah hasil transkripsi dari wawancara yang dilakukan oleh Mario Nuwa dan Ryn Naru dari Komunitas KAHE dengan beberapa orang waria.

Teks itu dikomposisikan lagi oleh Eka Nggalu sebagai sutradara.

Jimmy merespons suasana di atas panggung dengan sebuah tarian di antara para penonton.

Pertunjukan kolaborasi antara KAHE dan Perwakas berlangsung sekitar 20 menit.

Teater yang Kontroversial

Kontroversi terjadi setelah penampilan teater kolaborasi KAHE dan Perwakas.

Mula-mula, kontroversi itu dipicu oleh Melki.

Dia merasa, bahasa yang terdapat di dalam teks tersebut tidak pantas dibacakan di depan para biarawan.

Menurutnya, bahasa terlalu vulgar.

Usai acara, Melki menemui Adinda dan keduanya sempat terlibat adu mulut.

Namun, situasi bisa diredakan oleh beberapa waria dan anggota Komunitas KAHE.

Pater Maxi Manu, SVD punya pendapat sendiri.

Ketika menemui beberapa anggota Komunitas KAHE keesokan harinya, Sabtu (7/9/2019), ia mengatakan bahwa bahasa dalam teks pertunjukan KAHE dan Perwakas terlalu vulgar.

Pater Maxi menimbang kehadiran para audiens di bawah umur pada acara  malam hari itu.

Menurut dosen psikologi di STFK Ledalero itu, bahasa-bahasa yang kasar dan terkesan vulgar tidak baik untuk anak-anak. 

“Ada orang tua yang menarik anaknya untuk pulang ketika mendengar kalimat-kalimat itu,” ujar P. Maxi. 

Pater Maxi juga menyoroti keterlibatan Waria yang menurutnya tidak mampu mengontrol kebebasan dan ruang yang sudah diberikan.

Ia mengaku sudah berbicara dengan Pater Otto Gusti, SVD selaku ketua sekolah untuk tidak memberi kesempatan kepada Waria tampil di acara puncak 50 tahun STFK Ledalero, Minggu (8/9/2019).

Hal ini tentu tidak terbukti.

Sebab, sekali lagi, Mayora tampil sebagai master of ceremony di resepsi puncak.  

Frater Charys Djuwa Dobe Ngole, SVD, mahasiswa tingkat V STFK Ledalero ketika dihubungi EKORANTTpada Senin (9/9/2019) juga mengakui bahwa ada polemik mengenai pementasan teater tersebut di kalangan para frater.

Pendapat-pendapat kontra kurang lebih mempersoalkan bahasa yang vulgar, paragraf yang secara terang-terangan menyebut biarawan munafik, batasan antara seni dan bukan seni, hingga kesalahan para penampil yang tidak mempertimbangkan audiens anak-anak. 

Ia menilai KAHE dan Perwakas kurang bijak mempertimbangkan penonton.

Meski demikian, ia setuju dengan substansi dari pertunjukan tersebut. 

“Penampilan Waria di Ledalero adalah sesuatu yang baru. Saya juga melihat kehadiran Waria di acara 50 tahun STFK Ledalero sebagai sebuah wujud nyata dari option for the poor yang selama ini digaungkan-gaungkan. Meski skalanya tentu tidak luas. Kalau teks teater itu berangkat dari sebuah riset dan disampaikan dalam sebuah karya seni, itu tidak jadi soal. Teks tidak lantas dibaca sebagai usaha mendobrak satu institusi yang sudah mapan atas dasar sentimen tertentu, tetapi harus dilihat juga dalam konteks pemurnian. Teologi kontekstual yang dikembangkan di STFK tidak berbicara tentang sesuatu yang ideal, tetapi juga sesuatu yang harus dibuat dan diperjuangkan sesuai dengan realitas. Dalam konteks teater kemarin, penerimaan terhadap waria,” kata calon imam Serikat Sabda Allah yang baru saja mengikrarkan kaul kemurnian, kemiskinan, dan ketaatan pada 15 Agustus 2019 lalu ini. 

Khanis Suvianita, peneliti Waria yang kala itu menyaksikan acara tersebut, memberikan beberapa catatan terkait hal ini.

Menurutnya, penggunaan bahasa jalanan memang rentan ditanggapi secara negatif oleh masyarakat yang masih tabu dengan diksi-diksi yang merujuk pada hal-hal seksual, apalagi jika kata-kata itu menyinggung biarawan dan dilontarkan di tengah umat yang masih memandang biarawan dengan penuh keagungan.

Meski demikian, ia merasa, tabu seperti itu memang perlu cairkan secara terus-menerus lewat berbagai cara.

Lebih jauh, Khanis mewanti-wanti Komunitas KAHE untuk bersikap bijak.

Sebab, yang paling dirugikan oleh kejadian seperti ini adalah Waria.

Citra Waria bisa saja menjadi semakin buruk karena yang dilihat sebagai penampil di acara tersebut adalah mereka.

Meski demikian, Khanis mengapresiasi keberanian dan kemauan KAHE untuk mengadvokasi Waria lewat kesenian.

Itu pilihan yang berisiko penolakan.

Adinda, Waria yang membacakan teks tersebut, merasa bahwa teks tersebut bukanlah sesuatu yang vulgar dan tidak dimaksudkan untuk menghina. 

“Masing-masing orang punya pendapat tentang teks itu, tergantung cara dia mendengar. Tetapi, menurut saya, itu adalah sebuah kejujuran. Tidak direka-reka. Narasi itu hasil wawancara bukan hasil karangan. Jika ada biarawan yang tersinggung, mungkin pantas. Sebab, teks itu menyebut mereka. Saya sendiri punya pengalaman buruk dengan biarawan. Harapan saya, teater yang vulgar itu tidak buat orang semakin membenci kami,” kata dia. 

Yani juga mengakui bahwa teks tersebut adalah pengalaman asli mereka.

Ia menyebutnya sebagai pengalaman metamorfosis diri.

“Banyak orang yang menerima kami malam itu. Teks itu bukan hal yang vulgar. Itu adalah sebuah kejujuran. Itu metamorfosis hidup yang kami alami. Kami mau masyarakat tahu betapa sulit perjuangan kami dan ketika mereka tahu, kami harap mereka mau menerima kami,” ungkap dia.

Komunitas KAHE mengucapkan permohonan maaf sekiranya teater tersebut menyinggung atau membuat situasi di bazar STFK Ledalero menjadi tidak nyaman.

Pemilihan teks tersebut tidak bermaksud memojokkan siapapun, tetapi hendak menampilkan realitas Waria apa adanya.

KAHE tidak ingin terjebak sebagai representasi dari Waria, tetapi memilih untuk menghadirkan suara Waria apa adanya, dengan menampilkan transkrip wawancara tersebut, setelah mendapat persetujuan dari para Waria. 

Visi Masyarakat Inklusif 

Lebih jauh, Khanis Suvianita mengakui bahwa fenomena yang ia temui di Maumere membuktikan, sesungguhnya agama begitu ramah terhadap Waria.

Dalam pengamatan awalnya, ia berpendapat, institusi agama, dalam hal ini Gereja Katolik, menerima kehadiran Waria.

Situasi ini berbeda dengan yang ditemuinya di Jawa.

Di Jawa, banyak kampanye negatif tentang Waria justru dimulai dari indoktrinasi-indoktrinasi yang dilakukan dalam aktivitas-aktivitas keagamaan.

Di Flores, ia bisa menjumpai seorang Waria aktif sebagai seorang koster, pelayan altar hingga ketua Orang Muda Katolik (OMK).

Dalam pemakaman seorang Waria, Waria tersebut diberkati oleh pastor dan di tidak dipanggil dengan kata ganti orang almarhum atau almarhumah, tetapi dengan nama yang sering dipanggil semasa hidupnya. 

Khanis sendiri optimis bahwa keramahan Gereja terhadap waria akan berdampak pada penerimaan umat terhadap kaum yang selama ini dipandang dengan penuh stigma negatif itu.

Hanya saja, aspek teologi dan pastoralnya perlu dirancang secara teliti dan sungguh-sungguh menimbang dan berpihak pada Waria tanpa menyepelekan dinamika di kalangan umat.

Frater Charys sendiri melihat kehadiran Waria di acara 50 tahun STFK Ledalero sebagai satu statement yang kuat dan sangat positif dalam hal penerimaan terhadap eksistensi waria.

STFK Ledalero, yang memiliki nama besar, bisa membangkitkan perdebatan dan wacana mengenai Waria di kalangan Gereja Katolik universal.

Lebih dari itu, STFK Ledalero bisa mempengaruhi semakin banyak umat dan masyarakat untuk menerima serta bersolider dengan orang-orang yang terpinggirkan.

“Secara dogmatis-magisterium, Gereja belum mengakui Waria. Namun, Gereja perlu menimbang kenyataan-kenyataan pastoral yang terjadi di lapangan. Menurut saya, perlu ada diskursus antara hal-hal yang sifatnya rigid dan kenyataan-kenyataan pastoral. Ensiklik Paus, Amoris Laetitiae, yang berbicara tentang belas kasih Allah yang besar dan Allah yang mengampunijadi salah satu contoh bagaimana Paus Fransiskus mencoba membuka diskursus antara kenyataan-kenyataan pastoral semacam ini dan dogma-dogma. Option for the poor dan option with the poor bukan pertama-tama melihat orang kecil dalam sudut pandang benar atau salah, tetapi karena mereka adalah kelompok yang menderita dan terpinggirkan,” kata Frater Charys. 

Pater Fredy Sebho sendiri melihat kehadiran Waria dalam seluruh rangkaian acara 50 tahun STFK Ledalero sebagai sebuah bentuk ekumene yang sangat konkret.

Menurutnya, mengajak Waria berdialog, melihat Tuhan dari perspektif Waria dan mendengarkan Waria berbicara tentang Tuhan-nya adalah aplikasi teologi kontekstual yang sangat nyata di Maumere.

Penerimaan terhadap Waria dan upaya-upaya mendekatkan diri dengan Waria melalui pelayanan doa dan katekese misalnya, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan oleh STFK Ledalero maupun oleh Gereja Katolik di Maumere. 

Dalam khotbah di misa puncak 50 tahun STFK Ledalero, Superior General SVD Pater Budi Kleden, SVD mengajak segenap keluarga besar STFK Ledalero untuk menjadi pejuang bagi kemerdekaan diri sendiri dan orang lain dari berbagai macam belenggu.

Kiranya, ajakan ini juga menjadi visi bagi usaha penerimaan dan pengakuan terhadap keberadaan Waria di tengah masyarakat Maumere yang tumbuh dalam tradisi Katolik yang kental, juga dalam karya-karya misi para alumni STFK Ledalero ke belahan dunia lain yang sarat dengan ragam perbedaan.

Seperti kata Pater Budi Kleden, SVD, cinta kepada kebenaran memberikan ruang bagi yang lain untuk menjadi dirinya. 

50 Tahun STFK Ledalero

Para imam konselebrantes melepaskan burung merpati usai peayaan Ekaristi 50 Tahun STFK Ledalero, Minggu (8/9/2019).

Penampilan para Waria di Ledalero merupakan bagian dari rangkaian acara memeriahkan perayaan 50 tahun STFK Ledalero yang jatuh pada Minggu, 8 September 2019.

Dalam pertanggungjawaban publiknya usai Ekaristi, Minggu (8/9/2019), Pater Yos Keladu Koten, SVD mewakili Panitia Emas STFK Ledalero memaparkan, rangkaian kegiatan menyongsong perayaan 50 tahun STFK Ledalero dibuka secara resmi pada 15 September 2018 lalu.

Selama satu tahun, panitia telah menggelar aneka kegiatan sebagai berikut.

Pertama, kegiatan ilmiah. Di antaranya pertama, penerbitan buku ilmiah “STFK Ledalero Separuh Kenangan” dan “HIDUP Sebuah Pertanyaan: Kenangan 50 Tahun STFK Ledalero” pada September 2018, kedua, seminar, kuliah umum, dan simposium internasional yang menghadirkan para pembicara lokal, nasional, dan internasional seperti Ignas Kleden, Karl Steinback, Johny Plate, Viktor Laiskodat, Robby Idong, Prof. Azzyumirad, Paul Budi Kleden, dan Prof. Stephen B. Bevans, dan ketiga, sayembara penulisan artikel ilmiah tingkat nasional.

Kedua, kegiatan sosial. Di antaranya pertama, penghijauan, kedua, silaturahmi lintas agama, ketiga, penggalangan dana gempa di Lombok, keempat, bakti sosial, kelima konser amal, dan turnamen sepak bola antartingkat.

Ketiga, pengembangan STFK Ledalero. Di antaranya pembukaan Prodi Pendidikan Agama Katolik dan Prodi-Prodi lainnya yang sedang dikaji.

Menurut Pater Yos, sumber dana pelaksanaan kegiatan emas STFK Ledalero berasal dari donatur sebesar Rp2,8 Miliar dan para alumni sebesar Rp400 Juta.

Panitia berjanji akan menggunakan dana tersebut untuk membiayai pengembangan STFK Ledalero.

Dalam acara puncak emas STFK Ledalero itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT beri bantuan kepada STFK Ledalero sebesar Rp500 Juta.

Bantuan uang tunai itu diserahkan langsung oleh Kepala Bagian Keuangan Setda Provinsi NTT kepada Ketua STFK Ledalero Pater Otto Gusti Nd. Madung, SVD.

Profil STFK Ledalero

Sejak didirikan pada tahun 1937 hingga tahun 1969, lembaga pendidikan ini menggunakan nama Seminari Santo Paulus Ledalero.

Pada Januari 1969, Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Katolik (STF/TK) berdiri secara resmi sebagai salah satu bagian dari Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero.

Motto sekolah tinggi ini adalah Diligite Lumen Sapientiae atau bernyalalah terang kebijaksanaan.

Dalam sejarah pendidikan Republik Indonesia sampai tahun 2016, berdasarkan peringkat dari Kemenristekdikti, STFK Ledalero menempati urutan ke – 133 dari 3.200 perguruan tinggi di Indonesia dan peringkat ke – 2 di kawasan Nusa Tenggara Timur.

STFK Ledalero terakreditasi B oleh BAN – PT dengan nomor SK 0790/SK/BAN-PT/Akred/PT/VI/2016.

Perayaan puncak Emas STFK Ledalero dihadiri oleh Uskup Maumere Mgr. Martinus Edwaldus Sedu, Uskup Larantuka Mgr. Frans Kopong Kung, Superior General SVD Pater Budi Kleden, SVD, Provinsial SVD Ende Pater Lukas Jua, SVD, Kepala Biro Humas Setda Provinsi NTT Marius Jelamu, dan Kasubid Pendidikan Tinggi Dirjen Bimas Katolik Bosco Otto.

Uskup Edwaldus memimpin perayaan Ekaristi sebagai selebran utama didampingi Uskup Frans serta puluhan imam konselebrantes.

Koor gabungan mahasiswa STFK Ledalero dan umat Paroki Santo Thomas Morus Maumere.   

105 penari dari SMK St. Yohanes XXIII ikut memeriahkan perayaan tersebut.

Ad multos annos, STFK Ledalero. (eka/sil)

Perayaan HUT ke 97 Kota Kefamenanu, Dari Peristiwa Budaya Hingga Terobosan Peningkatan Ekonomi Rakyat

0

Kefamenanu, Ekorantt.com –  Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) resmi membuka rangkaian kegiatan memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke 97 Kota Kefamenanu.

Acara pembukaan pameran rakyat tersebut ditandai dengan pemukulan gong oleh Sekda Kabupaten TTU Fransiskus Tilis, didampingi Forkompida TTU.

Bupati TTU Raymundus Sau Fernandes dalam sambutan yang dibacakan oleh Penjabat Sekda Kabupaten TTU, Fransiskus Tilis mengatakan, pada tanggal 22 September 1922, setelah melalui sebuah proses panjang dan melelahkan, pemerintah Hindia Belanda akhirnya memilih sebuah tempat yang kemudian dikenal dengan nama Kefamenanu sebagai Pusat pemerintahan dan militer Onderafdeeling Noord Midden Timor.

“Itulah cikal bakal tumbuhnya Kota Kefamenanu yang dirintis Pemerintah Onderafdeeling Noord Midden Timor di bawah Kepala Pemerintahan Mr. Peddemors,” ujarnya.

Fransiskus menjelaskan, dari situlah Kota kefamenanu terus bertumbuh dan berkembang hingga mencapai usianya yang ke-97 tahun.

Kefamenanu yang saat itu dibangun dengan radius kurang dari 1 kilometer, saat ini telah bertumbuh dan berkembang hingga mencapai radius 9 Kilometer dan mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibanding 97 tahun yang lalu dengan jumlah penduduk yang semakin banyak dan majemuk.

Menurut Fransiskus, masyarakat patut berbangga dan mengapresiasi perkembangan ini.

“Walaupun belum dapat disejajarkan dengan kota-kota besar lainnya, masyarakat patut mengapresiasi trend kemajuan ini, serta tetap menatap penuh harapan menuju masa depan, karena Kota kefamenanu akan terus berbenah menjadi kota yang humanis, dan ramah bagi semua penghuninya.”

Dijelaskannya, saat ini Kota Kefamenanu adalah salah satu Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) karena merupakan salah satu kota kabupaten yang terletak di batas negara.

Kota Kefamenanu merupakan salah satu Kota di perbatasan yang perlu ditata secara serius karena menampakkan wajah Indonesia di mata dunia internasional. Posisi geostrategis ini telah mendorong pemerintah pusat untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di daerah ini.

“Oleh karenanya, pada kesempatan yang berbahagia ini pula, atas nama pemerintah daerah, saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berkontribusi bagi pembangunan daerah ini,” ujarnya.

Fransiskus lebih lanjut mengatakan, Kota Kefamenanu sebagai ibukota kabupaten, membutuhkan percepatan penataan dan pembangunan infrastruktur. Karena selain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pusat pemerintahan dan pelayanan publik, kota ini juga mesti menjadi pusat budaya Timor Tengah Utara (TTU).

Atas dasar itulah, ungkap Fransiskus, dalam RPJMD Kabupaten Timor Tengah Utara Tahun 2010-2015 dan 2016-2021, pemerintah daerah mencanangkan pengembangan Kota Kefamenanu sebagai ume naek ume mese. Kota ini dibangun dan ditata sebagai sebuah rumah besar, rumah yang menyatukan.

“Kota ini menjadi tempat semua orang tinggal bersama sebagai saudara dalam perbedaan. Ume naek ume mese didasari filosofi nekaf mese ansaof mese tafena hit pah Timor Tengah Utara,” ungkapnya.

Dijelaskannya, pameran pembangunan ini merupakan salah satu kesempatan yang baik untuk saling berbagi informasi dan membangkitkan asa untuk perubahan Kota Kefamenanu dan Kabupaten TTU yang kita cintai.

Kesempatan ini juga menjadi sarana penyebarluasan informasi kepada masyarakat terkait hasil-hasil pembangunan.

Selain itu, melalui pameran pembangunan ini, industri kecil dan menengah diberi kesempatan untuk menjual dan mempromosikan hasil karyanya, serta menjadi ajang bagi pameran kebudayaan daerah.

Oleh karena itu, Fransiskus berharap, seluruh masyarakat kota Kefamenanu dan masyarakat kabupaten Timor Tengah Utara pada umumnya terlibat serta menikmati beragam acara hiburan bernuansa budaya dalam kegiatan pameran pembangunan ini.

“Acara ini merupakan acara kita bersama. Maka mari kita bersama-sama menjaga keamanan, kenyamanan dan kesuksesan seluruh rangkaian acara hingga pada puncaknya pada tanggal 22 September yang akan datang,” pungkasnya.

Fransiskus juga berharap, kiranya momentum peringatan HUT kota Kefamenanu tahun ini semakin menumbuhkan rasa optimis bagi sekalian demi masa depan Timor Tengah Utara yang lebih sejahtera.

Untuk diketahui rangkaian kegiatan memperingati HUT ke 97 kota Kefamenanu diisi dengan berbagai kegiatan seperti kegiatan pameran pembangunan, pasar rakyat, pagelaran seni budaya, dan panggung hiburan. Kegiatan pembukaan pameran berlangsung di lapangan Oemanu, Kota Kefamenanu, (11/09/2019).

Santos

Papua, Wajah Kekerasan, dan Imajinasi Kita (2/Habis)

0

Kasus Papua dan Imajinasi Kita

Foto: Sosialispapua.com

Temuan Zizek tentang modus-modus kekerasan dan kolegialitasnya dengan kapitalisme neoliberal juga dapat ditempatkan dalam kasus Papua dan kebangkitan identitas yang kian menggema hari-hari ini. Atensi, empati, dan perhatian kita lebih banyak terkonsentrasi pada kekerasan subjektif seperti sentimen reaksioner, proteksionisme rasial, intoleransi agama, retaknya nasionalisme, rapuhnya loyalitas terhadap Negara, separatisme, konflik horizontal, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, kondisi ini dalam satu dan lain hal juga didukung oleh beberapa faktor. Dalam kenyataan, kita umpamanya menemukan bahwa pelbagai institusi di dalam masyarakat,seperti partai politik, pendidikan, media massa, dan jurnalism, dengan satu dan lain cara mereproduksi kesadaran naif. Kerja lembaga pendidikan umpamanya mereproduksi pengetahuan dengan mengensensialkan identitas agama dan suku. Mekanisme sensus penduduk juga memakai kategori distingtual berbasis identitas dalam memantau kondisi demografis kita. Dalam pelbagai kesempatan elektoral, para politisi borjuis secara terang-terangan mengeksploitasi identitas sebagai ideologi politik dalam perebutan kekuasaan (Koli, 2018).

Kekacauan ini menjadi semakin pelik ketika jurnalisme massa pasca-Orde Baru dibajak dan menjadi jejaring pengabdi oligarkis. Sebagaimana ditulis Djalong (developmentdemocracysecurity.org), “mass media has been decisive instrument of oligarchy politics, giving impressions of increasing people’s participation, but concealing the depoliticization of democratic citizenship issues such as equal acces to justice, liberty and equality in multiple fronts of public matter.”

Faktor lain yang juga determinan adalah militeristic approach atau pendekatan keamanan yang dipakai pemerintah untuk mendamaikan konflik-konflik horizontal. Intervensi aparatus militer secara berlebihan telah membenturkan psikologi serta kesempatan kita untuk bergumul dengan kendala-kendala objektif. Akibatnya, kalangan akar rumput selalu melihat persoalan konfliktual seperti itu hanya dalam kontur identitas tanpa pernah membayangkan pertautannya dengan geliat kapitalisme dan oligarki predatoris yang melatarinya.

Di tengah kegelisahan, kekalutan, dan tekanan itu, niscaya kita membutuhkan suatu kekuatan, tekad, dorongan, dan aksi untuk mampu melampauinya. Kekuatan untuk melampaui ini hanya menjadi mungkin apabila kita mampu membangun imajinasi akan riil.

Imajinasi tidak merujuk pada aktivitas semu berisi fantasi dan ilusi yang mengawang. Imajinasi menandai daya refleksif dan kapasitas dialektika kita untuk senantiasa berkonfrontasi dengan realitas. Imajinasi dengannya merupakan suatu ketekunan filosofis yang tidak akan pernah memberikan jawaban-jawaban final. Imajinasi juga memampukan kita untuk menangguhkan kesimpulan yang terlampau dini sambil berani untuk menerobos, terjun menuju lapisan yang lebih dalam, dan menemukan akarnya. Imajinasi juga memberanikan kita untuk bergerak dari milieu ketaatan prudensial akan hukum menuju kepada penemuan jawaban yang jauh lebih radikal dan komprehensif. Dengan menghidupi imajinasi, kita mampu menyadari watak dialektis dari usaha penemuan diri manusia yang tidak tunduk dan terpenjara dalam suatu jawaban tunggal.

Kebutuhan yang sama juga perlu kita dudukkan dalam memotret masalah Papua. Penelusuran imajinatif kita seharusnya sampai pada kekerasan objektif berisi beban-beban struktural yang secara inheren menjadi faktor dominan di balik luapan emosi serta respon anarkis masyarakat Papua.

Apabila kita memeriksa kendala-kendala struktural tersebut, kita akan berjumpa dengan penampakan riil kekerasan yang jauh lebih menarik sekaligus menikung tajam sentimen kemanusiaan kita. Ada cerita tentang keterasingan, marjinalisasi, dan depolitisasi masyarakat Papua yang selama ini dibiarkan. Ada cerita tentang konsentrasi kekayaan pada segelintir kelompok elite tertentu yang berhasil mengamankan pundi-pundi hasil mencuri dari tanah Papua yang kaya. Ada cerita tentang kerinduan dan aspirasi masyarakat Papua yang tak diperhatikan pemerintah. Ada cerita tentang agresivitas aparatus militer kita yang membungkam nalar dan asa masyarakat Papua akan hidup dan berkeadilan. Ada narasi tentang pembangunan yang menganaktirikan masyarakat Papua dan lebih banyak lagi.

Dengan menghidupkan imajinasi kita akan penampakan yang riil, kita pun sadar bahwa pelbagai segi kehidupan kita sebenarnya bertalian erat dengan bentuk-bentuk subtil kekerasan objektif tersebut. Di banyak tempat, kita menyaksikan manusia-manusia Indonesia yang semakin sulit mendapatkan pekerjaan dan terjajah di tanahnya sendiri. Ada juga kisah tentang segelintir kecil kelompok yang mampu memanfaatkan bonus demografi kita untuk meraup profit. Ada narasi tentang kedigdayaan oligarki dan kesenjangan sosial yang akut di sana. Ada narasi tentang keputusasaan. Ada cerita tentang manusia-manusia Indonesia yang kehilangan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik. 

Akhirulkalam, kita tahu bahwa kebencian, amarah, dan kekerasan hanya akan terjadi ketika kita tidak lagi mampu berimajinasi, berpikir, dan berefleksi. Dengan demikian, kita tak perlu tenggelam dalam simpati berwatak sentimentalis dan ultranasionalis untuk peduli dengan masalah di Papua. Kita hanya perlu menjadi subjek radikal yang mampu berdialektika, mendiseminasi akar masalah, dan merekomendasikan solusi yang tepat.

*Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

Daftar Rujukan

Djalong, Vicky. “Media and religion in the service of oligarchy”. democracydevelopmentandsecurity. Org, diakses pada Oktober 2017.

Greene, Graham. The Power and the Glory. Harmondsworth: Penguin, 1971.

Koli, Doni.  “Oligarki Dalam Kerangka Analisis Subyek Zizekian dan Populisme Kiri Sebagai Opsi Solutif Dekonstruksi Oligarki di Indonesia.” islambergerak.com, 16 November 2018

Zizek, Slavoj. “Slavoj Zizek: Political correctness solidifies hatred, it doesn’t”. https://youtu.be/oozLotGygso, diakses pada Maret 2019.

Zizek, Slavoj. The Universal Exception: Selected Writings. Eds. Rex butler and Scott Stephens. London and New York: Continuum, 2006.

Zizek, Slavoj. Violence. New York: Picador, 2008.

Papua, Wajah Kekerasan, dan Imajinasi Kita (1/2)

0

Oleh

Doni Koli*

“Kebencian hanya terjadi ketika seseorang kehilangan kemampuan dalam berimajinasi” (Graham Greene, 1971: 171 )

Kasus bertema “Papua” menjadi tranding topic akhir-akhir ini. Kisruh yang bermula lewat aksi pengepungan dan persekusi rasial atas mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang oleh ormas reaksioner terpicu berita penghinaan terhadap bendera Merah Putih memantik reaksi keras dari saudara-saudara kita di Papua. Aksi massa dan demonstrasi anarkis pun menyeruak di ruang publik. Rahim Papua seolah-olah sedang menggelontarkan kemarahan eksplosifnya.

Bicara soal Papua atau memetakan persoalan yang sedang terjadi di Papua memang bukan perkara yang mudah. Di sana-sini, kita menemukan banyak informasi dan opini yang menyebut rangkaian kejadian di sekitar kisruh Papua sebagai polemik identitas. Ada yang menyebutnya sebagai kemunduran nasionalisme, separatisme, kekerasan rasial, heterofhobia, retaknya kesadaran sebagai suatu nation-state, dan sebagainya.

Kisruh Papua hanyalah satu di antara sekian banyak problem kekerasan identitas yang menggema di Indonesia. Kita sering berjumpa dengan aneka narasi konfliktual berbau identitas. Dari lapangan sepak bola hingga kontestasi elektoral, kita berjumpa dengan remah-remah berbau identitas. Polemik identitas memang bak jamur menggunung dan menyindir nalar hingga kita pun rasanya perlu mendudukan rumusan masalah spekulatif ini: apakah kisruh Papua dan konflik-konflik horizontal tersebut hanya dapat dipotret dengan sudut pandang identitas? Atau, kasus Papua hanya merupakan puncak gunung es dari sebuah genealogi kekerasan yang tak kita sadari selama ini? Dalam artian kisruh Papua hanyalah wilayah permukaan dari wajah kekerasan yang jauh lebih akut dan parah.

Tanpa sadar, kita selama ini  dengan legawa menerima kekerasan bercorak identitas itu sebagai persoalan utama dan abai akan kendala-kendala objektif seperti krisis ekonomi politik berlapis-lapis dan selebrasi kemenangan sejumlah elit oligarkis yang mendapat keuntungan di tengah gejolak identitas seperti ini. Kita sedemikian larut dalam aneka perdebatan pragmatis tanpa preseden yang jelas, dengan perkara-perkara yang tak kunjung terselesaikan. Parahnya, imajinasi kita akan perkara yang jauh lebih objektif kian tergerus dan terlepas dari wacana dan perdebatan.

“Objective Violence” dan Akal Bulus Kapitalisme Neoliberal

Foto Ilustrasi: Pinterpolitik.com

Dalam kisruh Papua, informasi dan opini yang berseliweran menggiring isi pikiran kita pada kesimpulan tunggal ini: kekerasan identitas. Di sana-sini, media memborbardir kita dengan isu-isu seputar retaknya nasionalisme, aksi separatisme, dan hinaan rasial. Celoteh dan simpati ultranasionalis serentak moralis tampil bersahutan. Ada yang bilang bangsa kita tidak menjaga kultur toleransi, anti pancasilais, tidak mencintai keberbedaan sebagai kekayaan dan esensi bangsa kita. Pemerintah menetapkan kasus Papua sebagai darurat nasional yang perlu dikawal. Beberapa jenderal purnawirawan militer menilai bahwa kisruh di Papua tak lepas dari intervensi sejumlah provokator separatis. Akan tetapi, kesimpulan seperti itu seringkali tidak memuaskan, pragmatis, mematikan diskusi dan jauh panggang dari persoalan yang sesungguhnya.

Lantas, apa saja modus-modus kekerasan dapat dipetakan di balik kisruh Papua?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya merujuk pada gagasan bernas Slavoj Zizek, filsuf Marxis yang secara tekun dan mendalam meneliti bentuk-bentuk kekerasan. Dengan bertitik tolak pada pelbagai bentuk konflik kemanusiaan global, Zizek berusaha menelanjangi rangkaian klise dan akal bulus kapitalisme neoliberal yang sejatinya adalah arsitek ideologis utama di balik semua konflik.Zizek menemukan bahwa problem utama para intelektual dalam memetakan semua bentuk kekerasan itu adalah pengabaian terhadap kendala-kendala objektif yang melanggengkan kekerasan. Dengan demikian, indikator dan solusi yang dipakai untuk memoret dan menyelesaikan masalah tersebut tidak tepat sasar.

Dalam bukunya yang berjudul Violence (2008: 1-30), Zizek membedakan dua modus kekerasan yakni, subjective dan objective violence.

Subjective violence adalah “obvious signals of violence that appear in front of our mind” (Ibid., p. 1). Subjective violence adalah tanda-tanda kekerasan yang secara gamblang dapat kita saksikan penampakan riilnya dalam rupa-rupa kekerasan kasat mata seperti aksi teror dan kejahatan, peperangan, invasi militer, kerusuhan sipil, perkelahian antar etnis dan konflik internasional. Subjective violence dialami sebagai kekacauan dari suatu keadaan yang normal dan damai. “It is seen as a perturbation of a normal, peaceful state of things” (Ibid., p. 2).

Kendati demikian, subjective violence bukanlah suatu penampakan kekerasan yang disokong oleh kedalaman realitas di baliknya. Zizek menulis, “Subjective violence is not an appeareance sustained by the depth reality behind it, but a decontextualized appeareance. Subjective violence is experienced as such against the background of a non-violent zero level”(Ibid.). Subjective violence adalah penampakan kekerasan yang telah terdekontekstualisasi.

Sementara itu, objective violence menurut Zizek adalah penampakan kekerasan an sich atau inheren yang menyokong kekerasan subjektif. “Objective violence is precisely the violence inherent to the normal state of things”(Ibid.).

Zizek membedakan dua bentuk objective violence yakni simbolic violence atau kekerasan simbolisyang terinkorporasi dalam bahasa kekuasaan dan bentuk-bentuknya yang direproduksi dalam percakapan sehari-hari dan systemic violence atau kekerasan sistemik yang merujuk pada efek-efek katastrofi dan struktural dari pelaksanaan suatu sistem ekonomi politik predatoris bernama kapitalisme neoliberal.

Menurut Zizek, objective violence adalah format kekerasan yang seringkali tidak terlihat secara kasat mata. “Objective violence is thus like the notorious dark matter of physics. It is purely objective, systemic and anonymous” (ibid., hlm. 13). Objective violence menjadi tidak terlihat karena dia menyokong pelbagai bentuk subjective violence, diproposalkan oleh suatu sistem ekonomi predatoris dan digarap oleh para “invincible agent” berisikan segelintir elite pengabdi kapitalisme neoliberal yang berkoalisi dengan konsiderasi kekuasaan politik.

Zizek menulis bahwa perhatian kita seringkali terpaut hanya pada kekerasan subjektif, yang tiada lain hanyalah tampilan permukaan dan abai untuk memeriksa kekerasan objektif. Padahal, kekerasan objektif itulah yang menyokong pelbagai bentuk kekerasan subjektif. “We’re talking here of the violence inherent in a system, the more subtle of coercion that sustains relation of domination and exploitation” (Ibid., p. 9).

Pengabaian ini sendiri menurut Zizek bukan tanpa alasan. Sebagaimana diakuinya juga, “my underlying promise is that there is something inherently mystifying direct confrontation with it” (Ibid., p. 3). Ada upaya-upaya sistemik untuk memistifikasi konfrontasi langsung subjek dengan penampakan kekerasan yang riil.

Menurut Zizek, mistifikasi itu menjadi sangat mungkin ketika modus-modus kekerasan objektif tersebut memiliki kolegialitas yang mendalam dengan ideologi kapitalisme neoliberal. “The notion of objective violence needs to be thoroughly historycised: it took on a new shape and boundary with capitalism” (Ibid., p. 14).

Kolegialitas senyap itu hadir melalui program multikulturalisme dan toleransi neoliberal. Dalam terminologi umumnya, strategi kebudayaan neoliberal itu terkonfirmasi lewat ekspansi rumusan nasihat-nasihat moral bertajuk political correctness (https://youtu.be/oozLotGygso). Sepintas lalu, proyek humanisme neoliberal itu terlihat sejuk dan mendamaikan. Ia mengajak kita untuk senantiasa merawat identitas partikular kita sambil sesekali melihat sambil lalu identitas orang lain. Para penganjur multikulturalisme neoliberal ini mendorong kita untuk senantiasa menempatkan soal-soal subjektif seperti identitas, keberagaman, dan persaudaran universal sebagai high priority cases. Ia mengajak kita untuk semakin peka dan menghabiskan banyak waktu untuk mengurusi korban intoleransi, membicarakan kemanusiaan universal, merawat identitas partikular, merayakan keberagaman, dan abai akan persoalan sesungguhnya yang melatari semua masalah itu.

Padahal, di balik nasihat moral yang kelihatannya sejuk dan adem itu, terselip narasi-narasi ideologis seperti positivisme identitas, narsisme budaya, dan supremasi modernitas. Para penganjur toleransi neoliberal yang tak ubahnya bandit-bandit berwajah malaikat ini menaruh empati dan perhatian yang besar pada korban-korban intoleransi, melabelinya sebagai bencana kemanusiaan luar biasa, menciptakan pelaku dan penjahat-penjahat boneka yang dituduh rasis dan radikal, menyerukan perdamaian sambil pada saat yang sama memproduksi ketakutan yang mengobok-obok nalar dan pikiran kita dengan meningkatkan efek horor yang menyertai kasus-kasus tersebut. Kelompok itu dapat kita jumpai bentuknya lewat jurnalisme media-media pro-kapitalis, agen-agen sosial, lembaga donor internasional, LSM-LSM bentukan kapitalis, dan negara-negara adidaya (Ibid., p.10).

Akhirnya, sasaran utama para penganjur toleransi neoliberal ini adalah memastikan kedigdayaan kapitalisme sambil membiarkan masyarakat senantiasa berseteru dalam konflik tanpa akhir. Sebagaimana disimpulkan Zizek dalam bukunya, Universal Exception (2007: 173), “koeksistensi hibrida dari aneka ragam dunia kehidupan yang berbeda-beda adalah tampilan luar belaka dari kebalikannya, yakni kehadiran kapitalisme secara masif sebagai sistem dunia yang universal. Inilah homogenisasi yang belum ada presedennya dalam dunia kontemporer”.

Secara sepintas, kita memang melihat kebangkitan atensi serta perayaan atas keberagaman dalam kehidupan manusia. Namun, gerakan ini ini bukanlah aksi yang punya kedaulatan otentik (Robet, 2010: 40). Di tengah perjuangan, berikut fragmentasi sosial yang jauh lebih parah itu, ada semacam kejahatan ontologis, yakni pembiaran terhadap homogenitas kapitalisme neoliberal sebagai sistem dunia yang utuh dan paripurna. Alih-alih berupaya untuk mengubah dunia, kita malah didorong untuk kembali ke dalam asketisme romantik dengan terlibat ke dalam bentuk-bentuk gugus seksualitas, estetika, identitas, serta pelbagai gugus subjektif lainnya. Ekses yang jauh lebih parah dari strategi kebudayaan neoliberal ini adalah kematian imajinasi dan daya refleksif kita akan akan kemungkinan hidup aman, damai, dan berkeadilan. Dalam konteks ini, termaktub imperatif esensial kapitalisme “we have to keep act and no time to reflect”. Kita didorong untuk senantiasa bertindak dan menyibukkan diri sambil kehilangan waktu untuk berpikir dan berefleksi. (Bersambung)