Ruteng, EKORA NTT – Dr. Yohanes Servatius Lon telah resmi dilantik sebagai Rektor Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng pada Jumat (13/9/2019). Seluruh civitas akademika UNIKA St. Paulus Ruteng bersyukur atas pelantikan rektor pertama lembaga itu.
Pelantikan itu berlangsung di aula gedung utama UNIKA St. Paulus Ruteng, dimulai pukul 10:30. Sebelum acara pelantikan berlangsung, acara didahului dengan perayaan ekaristi kudus yang dipimpin oleh Administrator Apostolik Ruteng, Mgr. Silvester San, Pr.
Perayaan ekaristi tersebut merupakan ungkapan syukur atas pemberkatan gedung utama kampus, pembukaan tahun akademik 2019/2020, dan sekaligus pelantikan rektor pertama UNIKA St. Paulus Ruteng.
“60 tahun lembaga ini telah didirikan. Selama kurun waktu yang begitu lama, lembaga ini telah melakukan yang terbaik. 60 tahun juga dia telah memberikan yg terbaik bagi daerah, Kabupaten Manggarai”, ungkap Bupati Manggarai dalam sambutan singkatnya.
Menurut Bupati, ada tiga alsan kunci yang menjadikan UNIKA St. Paulus Ruteng begitu signifikan dan menjadi yang terbaik di Ruteng. Tiga alasan itu antara lain, (1) lembaga ini bekerja secara nyata. Tanpa bekerja lembaga ini tidak akan bisa menghasilkan dan memberikan yang terbaik, (2) lembaga ini bertumbuh dan berkembang secara ilmiah, (3) lembaga ini terbuka, selalu ada ruang untuk bekerjasama.
Setelah perayaan ekaristi selesai, dibacakan Surat Keputusan (SK) Yayasan St. Paulus Ruteng tentang penetapan Rektor UNIKA St. Paulus Ruteng. Usai pembacaan SK, dilanjutkan dengan pengambilan Sumpah Jabatan Rektor bersama semua pejabat struktural UNIKA St. Paulus Ruteng.
Dalam pidato perdana sebagai rektor, Dr. Lon menyatakan ucapan syukur dan perasaan bangganya untuk segala kepercayaan dan tanggungjawab yang diembankan kepadanya.
“Jabatan rektor, mempunyai tanggung jawab yang berat. Namun, menyaksikan kehadiran Bapak/Ibu hari ini, saya berani mengambil sumpah jabatan. Saya tahu, saya tidak berjalan sendiri karena civitas akademika kampus ini berjalan bersama saya dalam menjalankan visi misi lembaga ini. Kita akan berjuang bersama agar bisa seperti yang terungkap dalam filsafat Manggarai langkas haeng ntala, uwa haeng wulang” kata ahli Hukum Gereja itu.
“Kita berharap agar kampus kita menjadi kampus yang unggul, ternama, terbaik, mampu menghasilkan tenaga pendidik yang unggul, cerdas, dan berkompetensi serta siap berkompetisi di era global” tutur Dr. Lon.
Turut hadir dalam acara pelantikan itu Bupati dan Wakil Bupati Manggarai bersama jajarannya, Administrator Apostolik Keuskupan Ruteng, Mgr. Silvester San, Pr, Ketua Yayasan St. Paulus Ruteng bersama sekretaris, designer gedung utama kampus, engineer gedung baru, para dosen, pegawai, karyawan/i dan mahasiswa/i UNIKA St. Paulus Ruteng.
Ruteng, Ekorantt.com – Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng memilih Ketua dan Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) pada Rabu (11/9/2019).
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UNIKA St. Paulus Ruteng, melibatkan seluruh mahasiswa .
Kegiatan ini merupakan sidang umum pertama UNIKA Indonesia St. Paulus Ruteng setelah peralihan status dari Sekolah Tinggi menjadi Universitas pada tanggal 29 Mei 2019 lalu. Sebelumnya kampus ini dikenal sebagai STKIP St. Paulus Ruteng.
Persidangan berlangsung di aula Missio, pukul 15:00 dipandu oleh Wakil Ketua KPU BEM lama Arnoldus Yansen Pangkur. Turut hadir dalam persidangan itu beberapa dosen UNIKA St. Paulus dan Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Dr. Inosensius Sutam. Sementara Tempat Pemungutan (TPS) berlangsung di ruangan kuliah lembaga itu.
Kegiatan ini dibuka secara langsung oleh Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Rm. Egis. Dalam sambutannya, ia mengemukakan pentingnya berorganisasi bagi mahasiswa. BEM adalah salah satu organisasi mahasiswa yg paling tinggi levelnya dalam struktur kepengurusan mahasiswa.
Romo Egis juga menegaskan, BEM merupakan salah satu wadah atau corong aspirasi mahasiswa yang selalu berhubungan dengan kegiatan-kegiatan kemahasiswaan.
Beliau menghimbau sekaligus menantang pengurus BEM terpilih untuk bersaing dengan BEM yang ada di kampus-kampus lain.
Warek bidang kemahasiswaan itu juga mengharapkan agar pelaksanaan pemilihan BEM kampus hijau dilaksanakan secara demokratis dan damai.
Adapun dua paket calon yg berkompetisi dalam kegiatan itu yakni paket SAH: Marselinus Safio Bas-Edigius Mera dan Paket AKSI: Aleksius Jeka-Alan S.P.D. Pesandreng.
Sebelum pemungutan suara berlangsung panitia KPU BEM membacakan tata tertib dan simulasi pencoblosan.
Paket SAH yang keluar sebagai pemenang mengusung visi “mewujudkan BEM FKIP UNIKA St. Paulus Ruteng sebagai organisasi yang profesional dalam membangun dan mengayomi serta dapat menjadi corong aspirasi yang kritis mahasiswa, guna membentuk generasi yang unggul.”
Visi itu diturunkan menjadi beberapa misi, antara lain (1) melahirkan pengurus SEMA yg disiplin dan bertanggung jawab kepada lembaga, (2) Melaksanakan program kerja sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, (3) melakukan koordinasi dengan organisasi internal kampus dan ekstra kampus, (4) memberikan pelayanan terdepan dan teroptimal dalam menerima, menampung, dan menyampaikan aspirasi mahasiswa.
Setelah persidangan selesai panitia mengarahkan mahasiswa untuk bergerak ke TPS yg sudah dibagikan sesuai tingkat prodi.=
Pencoblosan berlangsung dari pukul 15:30-18:00. Pada pukul 18:30 ketua KPU BEM mengumumkan hasil rekapitulasi pemilihan.
Berdasarkan rekapitulasi perolehan suara, paket SAH memperoleh 982 suara sedangkan paket AKSI memperoleh 344 suara. Total suara yang hadir dan ikut memilih adalah 1326.
Hasil perolehan suara itu menunjukan bahwa paket SAH: Marselinus Safio Bas- Edigius Mera terpilih dan menang atas paket AKSI: Aleksius Jeka-Alan S.P.D. Pesandreng.
Kegiatan itu dilanjutkan dengan pelantikan pengurus BEM UNIKA terpilih. Pelantikan diwakili oleh Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Dr. Inosensius Sutam.
Kegiatan pemilihan BEM UNIKA berakhir dengan penandatanganan berita acara dan doa penutup.
Kebijaksanaan sejati hanya bisa diperoleh kalau mampu memeluk antara idealisme dan realisme. Yang idealis serentak realis. Jangan menjadi ‘budak idealisme’ dan ‘hamba realisme’.
(Paulus Budi Kleden dalam Misa Syukur Emas STFK Ledalero)
Gegap gempita malam pameran dan pementasan 50 tahun STFK Ledalero tetap membekas dalam ingatan. Ingatan itu mengental mesra dalam kenangan beberapa malam di bukit Ledalero yang masyhur dan terkenal itu. Malam itu, tergerus hasrat untuk terus bertahan mengalami kebahagiaan bersama para alumni STFK Ledalero, meski tak sebanyak yang diperkirakan. Euforia bahagia pun semakin bergelora di tengah desakan berjubel umat. Betapa kegembiraan atas kiprah STFK itu pun patut dirayakan.
Seorang sahabat mengusik keindahan malam itu, “Pastor, pastinya 25 tahun lagi, perayaan lebih meriah lagi di bukit ini. Seabad saja begini, apalagi dua abad.”
Kata-kata itu terus
mengusik pikiran di tengah pementasan dan pertunjukan, ketika menyaksikan bentangan sejarah
dan profil STFK terurai lengkap. Begitu mengagumkan. Kami terus terus berbagi kisah.
Saat itu, pikiran ini berbisik dalam keramaian ,”sahabatku, jangan sampai 25 tahun lagi, perayaan malah tak semeriah ini. Saat gereja-gereja mulai sepi dan kosong. Saat umat menjadi lebih sekular dan mungkin tak peduli (apatis) lagi dengan pendidikan filsafat yang bernafaskan kekatolikan. Ketika gereja dan biara-biara kosong, dilepaskan dan dijual entah jadi apa – hotel, bar, atau gelanggang olahraga.”
Hentakan pemikiran ‘senakal’ atau ‘sekotor’ ini mungkin tak patut lahir di malam itu. Terasa aneh, mungkin. Namun, terjelma nyata dan pasti di tengah zaman yang akan selalu berkembang. Euforia kebahagiaan itu beriringan bersama sebuah peradaban yang semakin maju dan canggih, semakin dahsyat dan menakjubkan. Ada banyak identitas dan nama yang tercipta dalam kesatuan entitas seperti sekularisme, modernisme, dan humanisme universal.
Ibarat sebuah kereta, mengutip Antonny Giddens, bergerak sangat cepat, analogi kemajuan itu pun berkembang pesat tak terkendali. Bisa jadi, ada manusia yang ketinggalan kereta kemajuan.
“Tempusflugit.” Demikian adagium tua melukiskan waktu yang terbang begitu cepat dalam zaman. Ia tidak hanya terbang kosong, tetapi juga terbang bersama pengaruh-pengaruhnya. Zaman pun menghadirkan alternatif, menggugat takhta magis STFK Ledalero dan membungkam monolitik jalan kebenaran.
Hentakan Tsunami Peradaban
Tak mudah beriman di tengah geliat zaman yang semakin sekular, mendunia, dan mengental dalam tsunami peradaban. Dunia pernah dihentakkan oleh sebuah masa pencerahan, Aufklarung, ketika sebuah kesadaran kemanusiaan perlahan-lahan mempertanyakan iman dan terutama legitimasi institusi keagamaan. Gelombang kesadaran itu terus berpacu dalam sebuah revolusi betapa hidup beriman bukanlah satu-satunya dogma kemajuan.
Zaman bisa berkembang tanpa agama sekalipun. Tempat Tuhan Allah pun dapat digeser oleh sejuta perkembangan. Institusi Gereja pun mengalami betapa kerasnya kesadaran sejarah manusia dalam fase antitesis ini.
Perguliran perubahan cepat sudah dialami sejak peralihan sistem pertanian tradisional yang dikuasai pemilik hak ulayat dan warisan monarki. Getaran itu terus bergelora dalam perombakan sistem industri manual, kerja tangan menuju industri mesin. Tenaga kerja manusia digeser oleh mesin-mesin industri, yang bisa memproduksi secara lebih efektif dan efisien. Tsunami peradaban itu pun semakin mengental dalam arus cepat perubahan yang ditimbulkan oleh derap cepat revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Inosentius Sutam, Dosen Teologi STKIP Ruteng, menguraikan konsep tanda-tanda zaman dalam Konstitusi Gaudium et Spes. Inilah sebuah dokumen konsili yang menampung pelbagai masalah Gereja yang tidak tertampung dalam dokumen-dokumen yang lain, yakni roh sekular, roh demokrasi, kebebasan dan kemerdekaan dan roh persaingan yang mengarah pada konflik, kekerasan, dan perang.
Roh sekular sudah mulai muncul pada masa renaisans (akhir Abad Pertengahan). Ia berkembang di Barat didorong oleh kebudayaan yang berbasis IPTEK, komunisme, kapitalisme, kebudayaan pop, dan kebudayaan massa yang muncul di tahun 1960-an. Pada Abad Pertengahan, kekristenan adalah faktor yang mempersatukan semua peradaban. Gereja menjadi penguasa sosial dan budaya terbesar. Namun, di zaman yang semakin sekular, Gereja tidak lagi menjadi sumber harmoni bagi kebudayaan. Keberadaannya dipertanyakan.
Gagasan di atas diperkaya oleh pendapat Ignas Kleden dalam tulisannya “Globalisasi dan Implikasi Sosial Budaya”( 2000;18-25). Tulisan itu menunjukkan kekuatan globalisasi informasi. Pertama, mengecilnya ruang dan waktu (time space compression) yang membuka setiap isolasi. Kedua, batas-batas teritorial suatu Negara menjadi tidak relevan. Ketiga, gejala yang amat dahsyat pengaruhnya melalui era Cyberspace, yakni tidak relevannya kategori-kategori dalam social space atau ruang sosial. Ada banyak kemudahan yang terasa dan juga ada banyak efek penyalahgunaan kebebasan dalam kemajuan itu.
Selebrasi dan Bahaya Romantisme
Rangkaian perayaan emas STFK Ledalero tergolong akbar dan memukau. Rangkaian selebrasi kegembiraan teolog, filsuf dan kandidat-kandidatnya. Di tengah perhelatan akbar yang berpuncak dalam perayaan Ekaristi pada 8 September 2019, ada sebuah awasan paling penting agar tidak terjebak dalam selebrasi semata dan tenggelam dalam nama besar di masa lalu atau bahaya romantisisme berlebihan. Simposium internasional kurang lebih tiga hari, sungguh menghadirkan pesona intelektual dengan tepuk tangan membahana dari mahasiswa-mahasiswi STFK Ledalero.
Ketika teolog, misiolog, dan filsuf dari bukit Ledalero dengan
retorika filosofisnya membius ribuan audiens, ada kritik pula pada orang-orang
hebat itu. Apakah
ide-ide itu dapat dengan mudah dihidupi oleh pengagum dan dapat menjadi
inspirasi yang kuat untuk bisa mengubah dunia, mulai dari sekitar Ledalero
hingga ke belahan dunia lain? Ketika John Prior menjadi sebuah prototipe
misiolog pendobrak dengan gaya berpikir yang melawan kemapanan dan menjadi
figur idola mahasiswa pembenci kemapanan, kita tetap sampai pada sebuah gugatan paling mendalam, seberapa kuat kita
akan konsisten pada cita-cita perjuangan melawan kemapanan yang tidak adil,
rezim yang korup,
dan biadab?
Saya sependapat dengan
suara Superior General SVD sejagat, Paul Budi Kleden pada puncak perayaan,
perlu ada keseimbangan antara idealisme dan realisme.
“Jangan menjadi ‘hamba
idealisme’ dan ‘budak realisme’. Hamba idealisme hanya bisa membawa dan
menghasilkan moralis kejam, menjadi hakim yang melacak dan menghakimi kelemahan
dan kekurangan orang lain tanpa ampun. Sebaliknya, budak realisme menghasilkan pribadi pragmatis
yang melegalkan segala cara (mengorbankan kemanusiaan) untuk kepentingan
pribadi. Jadilah pribadi yang mampu membongkar tembok kemapanan (status quo),
berani keluar dari situasi yang menindas, entah karena nasib atau karena sebuah
sistem.”
STFK Ledalero bisa ada pada dua tegangan ini: antara idealisme dan realisme. STFK Ledalero memang tidak mungkin membentuk sebuah manusia sebagai paket jadi (to have), tetapi ia menghadirkan inspirasi bagi manusia yang akan menjadi (to be) di tengah perjalanan hidupnya. Hati-hati dengan selebrasi atau pujian. Ketika idealisme itu hanya menjadi penghias dari kebanggaan berlebihan STFK di masa silam, bahaya romantisme mengintip.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, arah
perubahan gerak oligarki pasca reformasi semakin hari semakin mengkhawatirkan. Penetrasi gerakan populis
ke dalam percaturan politik bisa dilakukan dengan berbagai bentuk.
Menurut Hadiz, kebangkitan radikalisme Islam
yang tak terhindarkan dalam politik Indonesia sangat berkaitan erat dengan
kemampuan elite-elite oligarki untuk mengerahkan agen sosial
politik Islam demi kepentingan mereka.
Ekspresi identitas Islam radikal yang sejalan
dengan interpretasi yang kaku terhadap moralitas Islam yang diperjuangkan oleh
FPI dan kelompok-kelompok garis keras lainnya pada dasarnya sengaja dipelihara
dan diperbaharui dalam
persyaratan politik oligarki saat ini.
Dengan memfasilitasi ekspresi frustrasi masyarakat
luas melalui penggunaan leksikon politik yang didominasi agama, elite oligarki Indonesia memastikan bahwa politik
Islam Indonesia akan semakin bergerak ke arah yang konservatif.
Lebih dari itu, kita melihat bahwa
konservatisme sosial dan politik yang dihasilkan sedang diarusutamakan dengan
bantuan elite oligarki
yang biasanya tidak dianggap sebagai agen sosial politik Islam.
Kebangkitan ekstremisme agama seperti itu dapat menghadirkan ancaman langsung terhadap tatanan sosial pluralis Indonesia dan demokrasi yang dipuji secara internasional. Di satu sisi, ketakutan semacam itu mewakili kembali kekhawatiran yang lebih tua, yang diungkapkan selama tahun-tahun awal reformasi, bahwa demokrasi akan menghasilkan kekuasaan politik radikalisme Islam, yang seharusnya dapat dijinakkan.
Mengingat tidak adanya tradisi kiri sejak
penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang keras pada tahun 1960an hingga
hari ini, telah menjadi semakin jelas bahwa benteng yang paling tahan lama
melawan politik Islam garis keras nyaris tidak terlihat secara jelas dan tegas.
Masalah bagi demokrasi Indonesia adalah bahwa
tekanan-tekanan ini biasanya terjalin dengan kepentingan sosial yang tertanam
di dalam aparatus Negara, termasuk militer, yang secara historis lebih
mementingkan kontrol sosial daripada perwakilan sosial.
Dalam hal kebijakan, reaksi utama yang
dilakukan pemerintah untuk mencegah konservatisme dilakukan dengan
mempromosikan simbol-simbol budaya yang terkait dengan nasionalisme Indonesia,
yang pada akhirnya justru terjebak dalam gelombang hiper nasionalisme yang
membahayakan.
Dinamika politik yang terjadi berkaitan erat
dengan kapasitas oligarki Indonesia untuk berubah dalam situasi politik dari
waktu ke waktu sebagai strategi adaptasi yang mumpuni. Karena oligarki
Indonesia pada saat ini jauh lebih terdesentralisasi daripada pada masa puncak
Orde Baru, persaingan di antara faksi-faksinya untuk merebut kekuasaan dan
sumber daya telah terjadi lebih kuat melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang
demokratis.
Keberadaan jaringan oligarki yang terdesentralisasi
memungkinkan mereka langsung berdiri bersama akar rumput dalam menggulirkan
sebuah isu sehingga mobilisasi agenda moralitas konservatif — baik Islam maupun nasionalis — dapat menjadi fitur yang lebih mengakar.
Bagaimanapun, hingga hari ini, isu moralitas,
meskipun terlihat amat semu, tetap saja memiliki potensi yang kuat untuk
menghubungkan para elite oligarki yang terpisah dengan basis dukungan sosial yang lebih luas.
Glorafikasi moralitas dalam slogan-slogan populis dapat menjadi senjata yang
efektif untuk menarik masa rakyat.
Agenda populis dengan basis konservatisme
agama dan nasionalisme bukan tanpa masalah. Menurut Hadiz, banyak diskusi tentang kebangkitan populisme di Indonesia dalam Pemilu selalu
berusaha untuk “menangguhkan” perbedaan, untuk membawa mereka ke belakang
proyek politik tertentu.
Dengan kata lain, ada kecenderungan dalam
populisme untuk mengedepankan homogenitas di hadapan heterogenitas sosial yang
sebenarnya sedang bertumbuh. Polarisasi
yang terbentuk oleh isu-isu sektarian dan rasial selama masa pilpres 2019
menunjukkan hal itu secara gamblang.
Jargon kesamaan nasib akibat pengalaman
marginalisasi sistemik sejak zaman kolonial dan “Islam sekarang ditekan” dapat
membentuk dasar ideologi populisme, di mana orang-orang yang tertindas dan
saleh disandingkan dengan elite yang rakus dan setiap tindakan memperkarakan ulama yang melanggar hukum
diproyeksikan sebagai tindakan persekusi untuk menghabisi Islam.
Namun, mengingat ketidakmampuan gerakan populisme Islam di
Indonesia dalam menggorganisasikan diri lebih kuat, misalnya, melalui
penyediaan manfaat material melalui akses ke layanan sosial, seperti yang
terjadi di beberapa bagian Timur Tengah, membuat gerakan ini tidak memiliki
kelompok yang kuat dan loyal, sehingga, keberadaan kelompok ini tidak lebih
dari sekadar alat untuk menciptakan gimik demi
mengejar keuntungan politik yang lebih luas.
Apa yang mungkin kita saksikan secara efektif
di Indonesia adalah fase yang lebih baru dari variasi konflik akibat merebaknya
populisme agama dan nasionalis yang didukung oleh referensi moralitas Islam
atau hiper-nasionalisme yang berkembang dari dominasi oligarki dan mekanisme
persaingan intra-oligarki atas kekuasaan dan sumber daya dalam demokrasi
Indonesia — sesuatu yang sampai hari ini
tidak memiliki obat institusional yang jelas, bahkan, sangat sulit menghadirkan
platform politik yang bisa melepaskan diri dari cengkraman oligarki.
Masuknya Kelompok
Baru
Kita tentu mengingat sesumbar Partai
Solidaritas Indonesia — salah satu partai koalisi Jokowi — soal arah idealisme politik mereka yang ingin
terlepas dari longkatan elite lama termasuk oligarki.
Pada
akhirnya, kehadiran Sunny Tanuwidjaja dan Jeffrie Geovanie di dewan
penasihat partai — keduanya terkait erat dengan aliansi oligarkis — tampaknya menunjukkan bahwa
PSI sama seperti partai klientel lama. Mereka sama sekali tidak berbeda.
Geovanie
memainkan peran sentral dalam kegiatan PSI. Dia tidak hanya mendanai, tetapi juga
“meminjamkan” ruang kantor. PSI mengklaim bahwa mereka bergantung pada
sumbangan untuk mendanai operasinya dan telah berjanji untuk menerbitkan
laporan keuangan. Namun, laporan seperti itu belum pernah
dipublikasikan hingga hari ini.
Banyak
kegiatan PSI yang tampaknya mustahil dilakukan hanya melalui crowdfunding. Kegiatan-kegiatan ini
termasuk pendirian kantor-kantor baru di semua provinsi, penyelenggaraan
pertemuan nasional di tempat-tempat mewah, dan iklan partai serta kader-kadernya
di beberapa jenis media. PSI sudah tidak dapat dibedakan dari
partai-partai politik Indonesia yang lebih tua.
Target
utama PSI adalah kaum milenial. Akan tetapi, arah politik yang mereka mainkan tampaknya hanya
melayani kepentingan kelas menengah. Sementara itu, kaum milenial kelas
bawah lebih memilih untuk terlibat dengan berbagai kelompok main hakim
sendiri yang lebih langsung menangani kebutuhan subsistem mereka.
PSI
menargetkan segmen pemuda sebagai basis masa, tetapi justru dengan cara
mempertahankan konservatisme dan main hakim sendiri — sebagai ciri permainan
oligarki — melalui dukungan kelompok-kelompok seperti GP Ansor. Berharap bahwa
PSI akan memberikan alternatif bagi perubahan arah demokrasi dengan melepaskan
diri dari cengkraman oligarki tampaknya sangat naif.
Melawan Oligarki
Foto Ilustras: Ipminstitusi.com
Semua gambaran situasi yang ada menunjukkan bahwa keberadaan oligarki dalam sistem politik terlihat sulit untuk dilawan, tetapi bukan berarti kita dapat membiarkan mereka terus berurat akar dan mencengkram demokrasi. Setidaknya, ada beberapa langkah untuk membatasi arah laju oligarki.
Pertama, memperluas peraturan Pemilu dengan penambahan perspektif,
apakah pendanaan partai dengan pembiayaan yang kecil dapat menjadi metode
alternatif kontra-oligarki.
Kedua, meskipun dengan pengaruh dan peran yang sangat
terbatas, diperlukan keterlibatan CSO, Serikat Buruh, dan aktivis hak asasi
manusia dalam struktur politik yang langsung bermain dari dalam.
Ketiga, diperlukan organisasi advokasi berbiaya rendah
yang dapat mengubah lanskap politik kontemporer, dengan menarik kegagalan pasar
dan kegagalan tata kelola menjadi perhatian publik.
Terakhir, perlu ada upaya dari berbagai pihak untuk membangun kembali basis massa dalam masyarakat sipil dan dilanjutkan dengan merancang prosedur internal untuk memastikan pemilihan kandidat berdasarkan kapasitas, semangat, visi, dan dedikasi, bukan oleh patronasi dan modal keuangan.
Artikel ini merupakan versi panjang dari naskah artikel Penulis berjudul “Oligarki dan Masalah yang Mengakar dalam Demokrasi Indonesia” yang menjadi salah satu pemenang lomba blog 74 Tahun Indonesia Merdeka di Indonesiana Tempo.
Penulis adalah Pengajar Pada Prodi Keperawatan Universitas Citra Bangsa Kupang
Maumere, Ekorantt.com
– Revolusi hijau dicanangkan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Timur di bawah kepemimpinan Viktor B. Laiskodat-Josef Nae Soi. Salah satu
langkah yang ditempuh yakni pembudidayaan kelor.
Kelor dijadikan sebagai komoditi unggulan yang bisa
meningkatkan ekonomi masyarakat sekaligus digunakan untuk memerangi masalah stunting yang terjadi di NTT.
Pada acara wisuda Universitas Nusa Nipa Maumere 2 September
lalu, Wagub Nae Soi mempertegas kembali komitmen pemerintah provinsi NTT
tentang masa depan kelor dan khasiatnya dalam mengatasi kasus stunting.
Ia menabuh genderang perang melawan stunting dengan mengajak
masyarakat untuk menanam dan mengonsumsi kelor.
“Kita harus perang lawan stunting bapa mama, setan saja takut
sama kelor,” kata Wagub Nae Soi diiringi tawa dan tepukan.
Ia tantang undangan yang hadir di Aula Nawacita-Unipa bahwa kelor
memiliki daya dan kekuatan magis yang tinggi, “penyakit pasti takut kelor,
setan saja takut kok”.
Menurut Wagub Nae Soi, kelor menjadi bahan pangan lokal yang
memiliki potensi untuk dikembangkan di bumi NTT. Hal ini benar mengingat dalam
sejumlah riset ditemukan bahwa kelor memiliki kandungan gizi yang tinggi dan
variatif.
Wagub Nae Soi mengajak masyarakat NTT untuk menanam kelor
mulai dari pekarangan rumah. Kelor bukan lagi tumbuhan yang hina dina tapi
menjadi bahan pangan yang dicari-cari.
“Saya setiap pagi minum teh kelor, sekarang kemana mana juga
saya bawa. Ada yang mengira saya baru berusia 55 tahun. Padahal saya lahir
tahun 1952. Rahasianya adalah kelor,” ungkap Wagub Nae Soi.
Program revolusi hijau ini didukung oleh berbagai elemen.
Duta pangan NTT 2018, Resa Buang pun menjadikan tanaman anti oksidan ini
sebagai pangan lokal nomor satu yang dikembangkan tahun ini.
Daun kelor memiliki kandungan 92 nutrisi dan 46 jenis
antikoksidan. Kelor mujarab dalam mengatasi sekitar tiga ratus penyakit dan
memiliki hampir semua vitamin yang terkandung di dalam sayur dan buah-buahan.
Kini daun kelor dijuluki ramuan ajaib paling bergizi di muka
bumi. Tidak ada efek samping yang ditimbulkan saat konsumsi, juga telah diuji
coba dan terbukti secara ilmiah.
Tanaman ini dapat dikonsumsi oleh anak-anak kecil dan orang
dewasa. Saat ini, mulai banyak diproduksi kapsul herbal yang berbahan baku
ekstrak daun kelor.
Olahan daun kelor ini juga sangat dianjurkan bagi ibu hamil
dan menyusui karena manfaatnya untuk meningkatkan produksi air susu ibu (ASI)
dan mengandung unsur zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan oleh ibu hamil,
seperti beta (B3), kalsium, zat besi, fosfor, magnesium, zink, dan vitamin C.
Dengan kandungan nutrisi yang tinggi, kelor lumrah dijadikan
alternatif untuk meningkatkan status gizi ibu hamil di berbagai belahan dunia.
“Kalau di Eropa sana ada yang mengatakan revolusi putih, di
sini kita revolusi hijau. Tanam kelor untuk stunting. Tanam kelor untuk usir
darah tinggi. Tanam kelor untuk usir kolesterol,” ajak Wakil Gubernur NTT.
Masyarakat harus bangkit mulai dari kemampuan sendiri dan
kelor menjadi salah satu harapan untuk bangkitnya orang NTT.
Ende, Ekorantt.com
– Panggung The Voice Indonesia season lima kembali menghadirkan
bibit baru penyanyi Indonesia. Bakat-bakat muda dari seluruh penjuru Indonesia siap
menampilkan yang terbaik demi menjadi jawara.
Kali ini tiga anak muda asal Ende, Nusa Tenggara Timur ikut
mewarnai tahapan Blind Audition. Ketiganya
adalah Heribertus Putra (Putra), Echa Adelina (Echa), dan Yakobus Ndopo (Onno).
Ketiganya bersahabat dan tergabung di sebuah band lokal di Ende.
Saat mengikuti Blind
Audition yang disiarkan tanggal 12 September lalu di Jakarta, mereka saling
dukung dari belakang panggung. Ketika salah satu diantara mereka tampil, dua
yang lainnya mati-matian mendukung.
Putra membawakan lagu Haven’t
Met You Yet, Echa membawakan lagu Skinny
Love dan Onno melantukan Night
Changes.
Setelah dua penampilan sahabatnya tidak berhasil menggugah
para coach, Onno, pria 22 tahun,
berhasil melaju ke fase berikutnya setelah Coach
Armand Maulana dan Titi DJ dibuat takluk dan memutar kursi untuknya.
Perasaan bahagia juga terpancar dari wajah Putra dan Echa.
Keduanya berlari menuju panggung untuk memberikan pelukan hangat kepada Onno.
Di atas panggung The Voice, tiga sekawan ini menceritakan
jerih payah mereka untuk bisa mengikuti audisi di Kota Maumere beberapa waktu
lalu, sebab audisi di daratan Flores hanya diadakan di Maumere saja. Jarak Ende ke Maumere kurang lebih 156 km.
Mereka berangkat dengan mengendarai sepeda motor dari Ende
pukul 19.00 dan tiba pukul 01.00 dini hari di Maumere. Tidak hanya menempuh
jarak yang jauh, perjalanan mereka malam hari itu dilewati dengan banyak
tantangan.
“Dalam perjalanan tuh banyak tantangannya, kita sampai tabrak
anjing. Hampir digebuki juga gara-gara itu, terus ketemu ular di jalan,” cerita
Echa.
Para coaches kaget
dan terharu mendengar cerita perjuangan mereka. Setelah melalui perjalanan yang
melelahkan itu, keesokan pagi pukul 09.00 wita mereka harus antri untuk
mengikuti audisi.
Beruntung tiga sahabat ini berhasil lolos dan berangkat ke
Jakarta walaupun Putra dan Echa tidak lolos dalam babak Blind Audition.
Walau demikian, Putra dan Echa memiliki kesempatan kedua untuk lolos ke fase berikutnya. Caranya, masyarakat NTT menvote mereka melalui aplikasi Ruangguru.
Bajawa, Ekorantt.com – Perhelatan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Ngada akan terjadi tahun depan, 2020. Beberapa tokoh politik kawakan Ngada, telah memproklamasikan kesediaanya untuk ikut berkontestasi dalam pesta demokrasi lima tahunan di daerah itu.
Salah satunya adalah Dorothea Dhone. Mantan Anggota DPRD Kabupaten Ngada yang pernah maju dengan motto “Ngada Unggul” itu telah menyatakan diri siap berkompetisi di Pilkada Ngada 2020.
“Saya menyatakan diri siap menuju pesta Demokrasi Pemilukada Kabupaten Ngada tahun 2020”, kata Dorothea kepada awak media, Kamis (12/09/2019).
Tidak tanggung-tanggung. Politisi Partai Nasional Demokrasi (NasDem) itu, bakal maju sebagai Calon Bupati Ngada.
Ia menegaskan bahwa dirinya akan tetap maju, entah secara independen maupun melalui partai politik, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam ketentuan negara berdasarkan regulasi yang sah.
“Dengan ini saya nyatakan bahwa maju melalui jalur perseorangan maupun dukungan Partai Politik dan Koalisi Parpol adalah sarana yang sama baik dan legal milik masyarakat Bangsa Indonesia dalam berdemokrasi, termasuk bagi suksesi paket calon-calon pemimpin yang akan melayani rakyat” tambahnya.
Dorothea juga mengajak masyarakat untuk tidak lagi memperkarakan hal-hal yang sebenarnya sah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan dan ketentuan Pemilu negara. Ada pandangan yang cenderung negatif di masyarakat mengenai calon pemimpin yang maju melalui partai politik.
“Tentang siapa Calon Wakil Bupati dalam skema paket menuju Pemilukada, saya memastikan bahwa pada waktunya saya akan mendeklarasikan di hadapan rakyat. Begitu juga tentang Visi, Misi dan Program, semuanya akan digelar secara langsung kepada masyarakat, bangsa dan negara ini” pungkasnya.
Dalam sistem demokrasi modern, secara teori, partai politik bersifat inklusif, terbuka untuk semua warga Negara. Masing-masing orang memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing masuk dan urun rembuk ke dalam struktur partai.
Namun,
di Indonesia, pada kenyataannya, partai politik yang ada rentan disandera oleh berbagai kepentingan
kelompok sehingga sifatnya berubah menjadi amat eksklusif, bahkan, cendrung feodal karena
diwariskan secara turun temurun melalui patronasi kekeluargaan maupun kolega.
Partai
politik yang ada terkesan lambat beradaptasi dengan sistem politik baru
Indonesia yang dihembuskan oleh semangat reformasi pada dua dekade yang lalu
Kelompok Oligarki
Foto: Indoprogress.com
Salah satu faktor penyebab melemahnya proses demokratisasi melalui partai politik adalah adanya cengkeraman yang kuat pada sistem partai oleh sekelompok orang. Orang-orang ini menggunakan kekuatan material untuk mendominasi struktur partai, mengendalikan arah politik, dan menghalangi setiap upaya perbaikan sejak dari akar rumput.
Dalam
buku Republik, Plato menamai sekelompok orang ini dengan sebutan
oligarki, yaitu bentuk pemerintahan yang dilakukan oleh “orang-orang serakah”
yang sangat mencintai uang sehingga “mereka enggan membayar pajak” untuk
kebaikan bersama.
Meskipun
dalam bahasa Yunani oligarki secara harfiah berarti pemerintahan oleh
segelintir orang, Plato menggantikannya dengan sedikit orang kaya untuk
membedakan oligarkidari timokrasi
Jeffrey
Winters dalam bukunya Oligarchy menyebut oligarki, sebagai
kelompok minoritas berbasis materi yang mengarahkan kekuatan materialnya secara
politis untuk mempertahankan kekayaannya dari berbagai ancaman seperti Negara,
oligarki lain, masa rakyat, atau kombinasi ketiganya.
Ketika
menghalau ancaman yang datang, para oligarki menempuhnya dengan beragam cara, dari
menggunakan kekuatan perlindungan pribadi, instrumen koersif, supremasi hukum, hingga
kesepakatan bersama untuk mempertahankan kekayaan mereka.
Winters
berpendapat bahwa ada empat jenis oligarki, yang masing-masing berupaya menjaga
kekayaannya melalui cara yang berbeda. Oligarki ini dikategorikan berdasarkan
sifat (pribadi atau kolektif) dan bentuk pendekatan (paksaan atau kompromi)
Empat
jenis oligarki tersebut adalah (1) oligarki yang berperang, seperti jendral perang.
Mereka adalah oligarki yang memiliki milisi bersenjata. (2) Oligarki mafia yang bersifat
kolektif yang juga bersenjata. (3) Oligarki berbentuk sultanistik yang bergerak melalui sistem koneksi pribadi. (4) Oligarki dalam pemerintahan
yang bersifat kolektif dan dijalankan melalui supermasi hukum.
Di
Indonesia, kelompok oligarki memiliki sejarah panjang dan hidup berkelindan
dengan perubahan gerakan politik dari waktu ke waktu. Meski terus berganti rupa,
namun, wataknya selalu sama. Reorgansiasai adalah kunci bagi oligarki bertahan
dari setiap perubahan.
Menemukan Diri Kembali
Pasca
reformasi, oligarki yang dipelihara Orde Baru menemukan kembali dirinya dengan
menjajah institusi demokrasi Indonesia melalui partai dan parlemen. Mereka
akhirnya dapat kembali eksis berkat disorganisasi masyarakat sipil yang endemik
dan sistematis yang ditopang oleh puluhan tahun pemerintahan otoriter yang kaku
dan seringkali brutal.
Konsekuensinya
jelas, kekuatan sosial yang secara efektif mewakili bentuk alternatif politik
liberal atau sosial demokrat hampir tidak terlihat setelah jatuhnya Soeharto.
Hingga hari ini, yang kiri tentu akan selalu dibenci serentak akan dilenyapkan
secara represif.
Secara
garis besar, Robison dan Hadiz menjelaskan bahwa upaya reorganisasi oligarki di
Indonesia dilakukan di bidang ekonomi dan politik. Kunci keberhasilan
reorganisasi oligarki tersebut terletak pada kelenturan jaringan otoritas
politik dan kepentingan ekonomi yang menopang dan mencirikan oligarki serta
menjalar di dalam institusi Negara itu sendiri.
Masih
menurut Robison dan Hadiz, salah satu upaya bertahan hidup, jaringan oligarki
memanfaatkan ruang yang disediakan oleh proses desentralisasi. Dengan didukung
kekayaan material yang berlimpah, jaringan oligarki lama ini berusaha tetap
menjadi kekuatan dominan di tingkat lokal. Hal itu dilakukan dengan menguasai
partai politik, memainkan politik uang dan suap, serta mengerahkan aparat
kekerasan non-Negara untuk menghalau segala macam ancaman.
Dengan
demikian, elemen-elemen oligarki tetap hidup dengan bentuk jaringan patronase
baru yang bersifat desentralistik, lebih cair, dan saling bersaing satu sama
lain dengan memanfaatkan berbagai perubahan institusi.
Selain
itu, menurut Crouch, oligarki dewasa ini berevolusi melalui pengambil alihan
peran masyarakat sipil– terutama kelas menengah yang memiliki kepedulian dan kesadaran
politik untuk membangun tatanan politik yang berkeadilan, berkemanusiaan, dan
sederajat (equal).
Namun,
Berbeda dengan karakter kelas menengah penggerak demokrasi, oligarki lebih berorientasi
pada pendekatan populisme untuk menopang kekuasaan yang lebih eksklusif, terutama
dalam soal formulasi dan implementasi kebijakan pemerintah.
Mereka
berusaha menciptakan wacana politik baru berikut “opsi-opsi solusi praktis” sebagi
sikap politik publik yang diklaim sebagai “kepentingan umum” atas berbagai
persoalan yang dihadapi masyarakat.
Slogan populisme yang dimunculkan, alih-alih digunakan
sebagai kekuatan antagonis terhadap oligarki, justru gagal menjadi kekuatan perlawanan
alternatif terhadap praktik-praktik demokrasi Indonesia yang telah dikooptasi
secara sistemik oleh oligarki predator.
Agenda
populis semata-mata diarahkan untuk merealisasikan kepentingan pribadi termasuk
mengamankan sumber daya ekonominya, sehingga dapat dipastikan berbagai jargon
politik yang dikumandangkan orang-orang ini hanya bersifat superfisial, karena
telah dikacaukan oleh agenda pribadi. Dalam kondisi seperti ini, nuansa dan atmosfir
oligarki menghantui dinamika kehidupan politik riil.
Keterlibatan dalam Politik
Foto: Law-jutice.co
Keterlibatan oligarki dalam politik hampir pasti dilatarbelakangi oleh upaya untuk menjaga kekayaan pribadi— apa yang disebut Winters sebagai “Industri Pertahanan Kekayaan”. Politik menjadi kanal potensial untuk menjalankan kekuasaan demi menjaga kekayaannya. Mereka dapat bebas memilih untuk mendukung, mensponsori, atau bahkan menjadi elit politik.
Penetrasi yang berujung pada kenaikan
dan perluasan pengaruh oligarki ke dalam partai politik Indonesia dapat
ditelusuri sejak pemilihan umum (Pemilu) langsung dilakukan pada tahun 2004. Pada saat itu,
secara signifikan Pemilu mulai menelan banyak biaya untuk kampanye, konsultan, survey
elektabiltas, dan iklan media. Diperkirakan biaya kampanye presiden meningkat
10 kali lebih banyak dengan adanya penerapan sistem pemilihan langsung.
Pemilu yang menekankan banyak biaya, memungkinkan
oligarki masuk melalui sistem pendanaan kampanye, ruang ini selanjutnya dieksploitasi
untuk menekan pimpinan partai melalui upaya memengaruhi keputusan politik
partai yang bisa menguntungkan diri sendiri.
Ancaman kekuasaan oligarki di Indonesia sangat nyata, dan itu
dapat dilihat melalui ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan yang miskin.
Kesenjangan kekuasaan material dalam masyarakat Indonesia merupakan salah satu
yang terbesar di dunia.
Menurut Arif Budimanta, kekayaan nasional Indonesia masih
dikuasai segelintir orang. 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 74,8%
kekayaan nasional, dengan pertumbuhan dalam 10 tahun sebesar 317,1% atau 4 kali
dibandingkan pertumbuhan nasional.
Dalam
perkembangan dua dekade pasca reformasi, kelompok oligarki mengalami pasang
surut keterikatan. Namun, mereka tidak pernah secara serius untuk berpisah. Semakin
mudah mereka saling meninggalkan, semakin mudah pula mereka membentuk koalisi.
Kasus
friksi dalam sejarah panjang Partai Golkar menggambarkan bagaimana perseteruan
antara oligarki di satu waktu, tetapi dapat mesra di waktu yang lain. Mereka bisa
memisahkan diri membentuk partai baru di satu sisi, pada sisi yang lain mereka
bisa bersatu untuk memberikan dukungan politik.
Kasus
Wiranto dan Surya Paloh adalah contohnya. Setelah
gagal bersaing menjadi Ketua Umum Golkar pada tahun 2004 dengan Akbar Tanjung,
Surya Paloh, Marwah Daud, Agung Laksono, Aburizal Bakrie, dan Jusuf Kalla, Wiranto
akhirnya keluar dan mendirikan Partai
Hanura pada tahun 2006.
Sedangkan
Surya Paloh, calon Ketua Umum Golkar dalam Munas
2009, setelah gagal bersaing dengan Aburizal Bakrie, Tommy Soeharto, dan Yuddy
Chrisnandi, ia mendirikan ormas Nasional Demokrat (Nasdem) yang kemudian
menjelma sebagai partai politik.
Pada akhirnya, Hanura di bawah pimpinan Wiranto dan Nasdem
dibawah pimpinan Surya Paloh adalah partai yang berkoalisi sejak tahun 2014
untuk mendukung Jokowi di Pilpres dan menyokong pemerintahan.
Selain Wiranto dan Surya Paloh dari Golkar, situasi yang
cukup unik juga terjadi pada Hary Tanoesoedibjo, pada tahun 2011, ia menduduki posisi sebagai Ketua Dewan Pakar dan juga Wakil
Ketua Majelis Nasional Partai Nasdem.
Setelah dua tahun berada di partai Nasdem, pada tahun 2013, ia bergabung dengan Partai Hanura dan menduduki posisi Ketua
Dewan Pertimbangan. Bahkan, pada tahun 2014, ia
menjadi Calon Wakil Presiden dari Hanura berpasangan dengan Wiranto.
Selanjutnya, pada tahun 2015, Hary Tanoesoedibjo
mendeklarasikan Partai Politik baru, yaitu Partai Persatuan Indonesia, yang
akhirnya pada Pemilu 2019 berkoalisi dengan Nasdem dan Hanura untuk mendukung
Jokowi dalam Pilpres.
Pada perhelatan Pilpres tahun 2019 yang terjadi belum lama
ini, kelompok oligarki terpecah dalam dua kelompok untuk mendukung dua pasang
kandidat presiden. Menurut laporan JATAM bahwa sebanyak 86 persen dari biaya
kampanye kedua kandidat adalah kontribusi oligarki pertambangan dari
masing-masing kubu.
Di
kubu Jokowi, ada Surya Paloh yang memiliki dua tambang di Aceh, PT
Emas Murni seluas 10 ribu hektar dan PT Bara Lestari seluas 4.629
hektar. Oesman Sapta Odang memiliki tambang di Riau dengan PT Karimun
4.087 hektar dan PT Mangan Industri seluas 27.609 hektar.
Lalu, ada Luhut Binsar Panjaitan
yang mengendalikan tambang di Kalimantan dengan PT Toba Bara Sejahtera
Tbk. Tambang itu terletak di tiga lokasi berbeda seluas 7.087 hektar dan
perkebunan kelapa sawit seluas 8.634,21 hektar di Kutai, Kalimantan Timur.
Selain
itu, ada Hary Tanoesoedibjo yang menguasai 40.439 lahan dengan enam
perusahaan pertambangan di Musi, Sumatera dan satu tambang 2.003 hektar di
Samarinda.
Sementara
Erick Thohir dan saudaranya Garibaldi Thohir menguasai lahan seluas 482.171
hektar dengan perusahaan pertambangan yang tersebar di seluruh Kalimantan.
Selanjutnya,
ada Sakti Wahyu Trenggono, bendahara Tim Nasional Widodo, yang memiliki luas
11.556,48 hektar di Banyuwangi, Jawa Timur. Kemudian Saleh Husin, Wakil
Ketua Umum Partai Hanura, memiliki luas 81.276 hektar di Kalimantan Timur.
Sama
seperti Jokowi, di pihak Prabowo, ada adiknya Hasyim Djojohadikusumo, yang
memiliki sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan, industri
kertas, kehutanan, pertambangan, perikanan, dan jasa profesional.
Luas
lahan bisnis pertambangan dan perkebunan Prabowo yang tersebar di delapan titik
di Kalimantan Timur adalah 264.683 hektar. Sementara di Aceh, Prabowo
memiliki luas lahan sebesar 97.300 hektar.
Selanjutnya,
ada Ferry Mursyidan Baldan yang memiliki perusahaan tambang di tiga lokasi di
Kalimantan Timur dengan luas 5.368 hektar.
Sedangkan, nama-nama seperti Sandiaga
Salahuddin Uno, Tommy Soeharto, Maher Al Gadrie, Sudirman Said, dan Zulkifli
Hasan dilaporkan menjadi pemain lama di sektor pertambangan dan energi,
meskipun wilayah tersebut belum dirinci.
Bentuk dukungan para oligarki dalam Pilpres, selain melalui pendanaan dalam jumlah besar, juga dilakukan dalam bentuk kampanye melalui media, lagi-lagi melalui kehadiran Surya Paloh, Hary Tanoesoedibjo, danErick Thohir sebagai mogul media.
Dalam laporan Tempo dijabarkan bahwa Surya Paloh
adalah pemilik kelompok usaha media massa bernama Media Group. Beberapa media
cetak di dalam grup media Surya Paloh ini yaitu harian Media Indonesia, Lampung
Post, dan Tabloid Prioritas. Di media elektronik, Surya Paloh juga memiliki
stasiun televisi yaitu Metro TV. Sedangkan Media online Surya Paloh memiliki
Medcom.id, MediaIndonesia.com, MetroTVNews.com, serta Lampost.co.
Hary Tanoesoedibjo dikenal sebagai pemilik usaha
media massa bernama MNC Group berskala besar dari media cetak, media
elektronik, hingga media daring. Dari usaha media eloktronik Hary Tanoesoedibjo
memiliki empat stasiun televisi yaitu MNC TV, RCTI, GTV, dan iNews TV. Hary
Tanoe juga mempunyai beberapa stasiun radio antara
lain MNC Trijaya FM, Global Radio, dan V Radio.
Untuk media cetak, Hary Tanoe memiliki harian Koran
Sindo dan majalah Sindo Weekly. Selain itu, ada beberapa majalah di dengan
segmen tertentu di dalam MNC Group antara lain tabloid Genie, Mom & Kiddie,
dan HighEnd Teen. Sedangkan pada segmen pasar media daring, Hary Tanoesoedibjo memiliki
beberapa portal berita online seperti Okezone.com, Sindonews.com, dan iNews.id
Sama seperti Hary Tanoesoedibjo dan
Surya Paloh, Eric Tohir juga dikenal sebagai pemilik Mahaka Group yang
merupakan perusahaan induk yang berfokus di bisnis media massa dan hiburan.
Bisnis media massanya adalah surat kabar nasional harian Republika, Harian
Indonesia, Majalah a+, dan Majalah Golf Digest Indonesia.
Untuk media elektronik, Erick memiliki dua stasiun
televisi yaitu Jak TV dan Alif TV.
Selain itu, Erick memiliki beberapa stasiun radio seperti Gen FM, Jak
FM, Hot FM, Most FM, dan Kis FM. Di bidang media online, dia memiliki portal
berita Republika Online dan Sportku.com.
Keberadaan oligarki di dalam Pilpres telah menuai kritik
yang luas. Dikhawatirkan akan ada pemberitaan yang tidak berimbang soal Pilpres
dan pada akhirnya dapat menawan agenda kerja dari presiden di kemudian hari.
Oligarki media memainkan peran penting dalam pembingkaian
dan hasil pemilihan presiden. Kasus deklarasi kemenangan Prabowo yang
disiarkan oleh TV One secara berulang pada 2014 yang lalu menunjukkan hal itu. Ini berlanjut selama kampanye pemilihan
presiden 2014 ketika media arus utama semacam Metro TV berkontribusi terhadap
kesuksesan Joko Widodo secara keseluruhan.
Metro TV dan TV One berada dalam posisi yang
saling berhadap-hadapan, bukan karena ideologi tetapi lebih karena kepentingan politik pemilik
yang berada pada posisi politik yang berseberangan, yakni Aburizal Bakrie dan Surya Paloh.
Perpaduan kontrol media dan kepemimpinan partai politik
dalam kekuasaan oligarki juga membawa konsekuensi serius bagi kebebasan pers
dan kualitas demokrasi secara umum. Ada bukti bahwa oligarki kadang-kadang
menggunakan paksaan untuk menyinggung kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan
kebebasan berserikat.
Pada akhirnya, berbagai pemberitaan di kanal arus utamanya,
tetap menjadi cerminan persaingan kaum oligarki media. Alih-alih mencerminkan
kepentingan publik, keberagaman pemberitaan di media adalah wajah dari berbagai
kepentingan aktor oligarki pemiliknya.
Pengalaman dari banyak Negara menunjukkan, ketika oligarki media menguat, para pemilik media masuk ke gelanggang
politik dengan menggunakan medianya sebagai senjata utama untuk menggiring
opini publik.
Para pemilik media masuk ke gelanggang politik tidak sekadar dalam kerangka politik elektoral. Ada kepentingan bisnis juga di sana. Masuk ke gelanggang politik memungkinkan pemilik media selangkah lebih maju dalam mempengaruhi regulasi agar menguntungkan bisnis media. Sulitnya merevisi Undang-Undang Penyiaran (yang sudah diajukan sejak 2009) menjadi salah satu contoh paling gamblang dari hal tersebut. (Bersambung)
Larantuka, Ekorantt.com – Di tengah gegap
gempita pembukaan Festival Lamaholot 2019 (12/9), nampak sekelompok remaja yang
nyaris tenggelam dalam lautan massa pengunjung festival.
Mereka
menyebar di sekitar area festival dan menyelinap di antara pengunjung yang lagi
asyik menikmati suguhan atraksi. Mengenakan pakaian seragam Pramuka, mereka
memungut sampah yang bertebaran, kemudian dimasukkan ke tempat sampah yang telah
disiapkan panitia festival.
Mereka
adalah sekelompok anak-anak Praja Muda Karana (Pramuka) dari Gugus Depan
(Gudep) Sekolah Menengah Pertama Katolik (SMPK) ST. Isodorus Lewotala. Mereka
menamai kelompok ini dengan nama Pasukan Semut.
Pasukan
Semut beranggotakan 50 siswa/i dan bertugas membersihkan sampah plastik sisa
kegiatan dari Festival Lamaholot.
“Anak-anak
ini memungut sampah, tidak hanya usai kegiatan, tapi saat kegiatan berlangsung.
Pasukan Semut memungut sampah plastik yang tercecer untuk ditempatkan pada
tong-tong sampah yang telah disediakan panitia,” tutur Lasarus Rugi Lando
selaku Pembina Umum Pramuka Gudep SMPK ST. Isodorus Lewotala kepada Ekora NTT.
Lasarus menjelaskan, pembentukan Pasukan Semut merupakan respon terhadap lahirnya Peraturan Bupati Kabupaten Flores Timur tentang pengurangan penggunaan produk plastik.
“Baru
kemarin yah, pada hari pembukaan festival, Pa Anton Hadjon menandatangani
Perbup tentang penggunaan produk plastik,” kata Lasarus.
Sebagai
pembina pramuka, kata Lasarus, dirinya mengajak siswa/i pramuka, membentuk pasukan
semut untuk membersihkan sampah-sampah plastik selama kegiatan festival
berlangsung.
Tidak
hanya untuk menyukseskan kegiatan Festival Lamaholot, menurut Lasarut, Pasukan
Semut dibentuk sebagai simbol bahwa lembaga pendidikan mesti menjadi pioner
dalam hal kebersihan lingkungan
“Anak-anak
sekolah sebagai warga di sini diajak untuk meciptakan situasi dan keadaan yang
nyaman bagi para tamu dan pengunjung. Yah, salah satunya membersihkan sampah. Jika
sampah berserakan pasti pengunjung tidak nyaman,” tuturnya bersemangat.
Untuk
diketahui, Bupati Flores Timur Antonius Hubertus G. Hadjon menandatangani
Peraturan Bupati Fores Timur Tentang Pengurangan Penggunaan Produk Plastik
dengan No 43 tahun 2019 bertempat di lapangan desa Bantala pada pembukaan Festival
Lamaholot, Rabu (11/09/2019) Sore
Penandatanganan
ini disaksikan Sekertaris Daerah (Sekda) Flores Timur, Igo Geroda, Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) Flores Timur di hadapan Komunitas Masyarakat Adat
Lewolema dan Tamu Undangan Festival Lamaholot 2019.
Yogyakarta, Ekorantt.com – Sebanyak 30 Jejaring Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia menyatakan sikap menolak RUU KPK yang diusulkan oleh DPR dengan mengirimkan nota keberatan kepada Presiden Joko Widodo. Pernyataan sikap dan pengiriman nota keberatan kepada presiden menolak RUU KPK disampaikan di Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) FH UGM, Rabu (11/9/2019).
Berdasarkan informasi yang disampaikan Humas UGM, beberapa perwakilan Pusat Kajian Antikorupsi perguruan tinggi secara bergantian menyampaikan keberatan terhadap RUU-KPK yang diusulkan DPR. Mereka menagih komitmen dan janji presiden untuk tidak membiarkan upaya-upaya pelemahan terhadap KPK dengan menolak RUU KPK.
Puluhan Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi masih menaruh harap kepada
Presiden Republik Indonesia agar mengurungkan niat untuk mengirimkan
atau menandatangani surat persetujuan terhadap RUU KPK.
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Oce Madril,
mengatakan melalui surat tersebut Jejaring Pusat Kajian Hukum dan
Antikorupsi Perguruan Tinggi seluruh Indonesia keberatan terhadap
perubahan UU KPK. Menurutnya, kerja pemberantasan korupsi seringkali
terhambat akibat adanya upaya-upaya pelemahan KPK.
“Salah satu upaya pelemahan yang terjadi adalah mendelegitimasi KPK
melalui perubahan UU KPK seperti yang saat ini terjadi,” ujarnya.
Upaya mengubah UU KPK telah berkali-kali digunakan untuk melumpuhkan
kewenangan hingga mengganggu independensi KPK. Hal ini tentu menjadi
ancaman serius bagi KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Segala bentuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi sama saja dengan mengkhianati amanat reformasi,” lanjutnya.
Melalui surat tersebut, sebanyak 30 Jejaring
Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi Perguruan Tinggi seluruh Indonesia
menagih janji Presiden Jokowi terkait penguatan KPK.
“Kami mempunyai harapan sesuai janji politik pada Pilpres 2014 dan
Pilpres 2019, Presiden akan memperkuat KPK dan akan menghadirkan negara
yang kuat untuk pemberantasan korupsi,” imbuhnya.
Dekan FH UGM, Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., menyatakan apa
yang dilakukan para akademisi dan kalangan intelektual menyikapi RUU KPK
semata-mata sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinan. Sebab, jika mau
menilik perjalanan sejarah di tingkat nasional maupun negara-negara
lain maka upaya pemberantasan korupsi maupun pembentukan lembaga anti
korupsi seperti KPK itu merupakan amanah reformasi.
“Artinya ini adalah kesepakatan nasional bagaimana bangsa dan negara
ini membangun peradaban dan membangun tata kelola negara ke depan
sehingga hal ini tentu harus dipertahankan karena selama ini yang
terjadi dengan upaya pemberantasan korupsi terbukti sangat efektif dan
itu dilakukan terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,” katanya.