Per Juli 2019, 64 Jenazah Pekerja Migran Dikirim ke NTT

0

Kupang, Ekorantt.com – Pada momen HUT Kemerdekaan RI Ke-74, Gubernur NTT Viktor Laiskodat menyampaikan data tentang jumlah pekerja migran asal NTT yang meninggal serta upaya pemerintah menanggulangi persoalan ketenagakerjaan di NTT.

Sesuai tema peringatan HUT RI tahun ini, pembangunan bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu daya ungkit dalam peningkatan Sumber Daya Manusia di daerah ini.

Pada bulan Februari 2019, penduduk usia kerja berjumlah 3.576.769 jiwa, terdiri atas angkatan kerja sebesar 2.536.377 jiwa (70,91%) dan bukan angkatan kerja sebanyak 1.040.392 jiwa (29,09 %).

Pemerintah memfokuskan pada peningkatan kualitas angkatan kerja yang didominasi oleh lulusan SD ke bawah sebanyak 1.350.397 orang (53,24%) dan SLTP  sebanyak 302.602 orang (11,93%), sedangkan SLTA/SMK  sebanyak 546.336 orang (21,32%) serta Diploma/Perguruan Tinggi sebanyak 338.042 orang (13,33%).

Berdasarkan data yang ada, Pekerja Migran Indonesia asal NTT yang bekerja di luar negeri pada tahun 2018 sebanyak 1.613 orang, didominasi oleh pekerja sektor informal sebanyak 1.206 orang dan tenaga kerja formal sebanyak 407 orang.

Pemerintah Provinsi NTT saat ini sedang menata kembali Pekerja Migran Indonesia asal NTT yang telah berada di luar negeri maupun calon Pekerja Migran Indonesia asal NTT yang akan bekerja di luar negeri.

Penataan  ini  didasarkan  pada tingginya kasus perdagangan manusia  dan  banyaknya   pelanggaran   terhadap   hak-hak  Pekerja Migran Indonesia asal NTT di luar negeri, bahkan berujung pada kematian.

Pada tahun 2016 sebanyak 46  Jenazah  (4 Legal, 42 Ilegal),  tahun 2017 sebanyak 62 Jenazah (1 Legal, 61 Ilegal),  tahun 2018  sebanyak  105 Jenazah (3 Legal, 102 Ilegal) dan sampai dengan bulan Juli 2019 sebanyak 64 Jenazah (1 legal, 63 Ilegal).

“Keadaan ini harus kita benahi bersama agar tidak boleh terjadi lagi di masa mendatang. Pemerintah Provinsi telah menetapkan Surat Keputusan Gubernur NTT Nomor: 357/KEP/HK/2018 tanggal 14 November 2018 tentang Penghentian Pemberangkatan Calon Pekerja Migran Indonesia/Pekerja Migran Indonesia asal Provinsi Nusa Tenggara Timur ke Luar Negeri.

Penghentian ini harus dimaknai bahwa pertama, sebagai bentuk perlawanan Pemerintah dan masyarakat Nusa Tenggara Timur terhadap para pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Kedua, sebagai langkah pembenahan secara menyeluruh terhadap sistem dan tata kelola pelayanan penempatan Calon Pekerja Migran Indonesia agar menjadi lebih baik dan terintegrasi mulai dari hulu sampai ke hilir guna meningkatkan kualitas Calon Pekerja Migran Indonesia dan memberikan perlindungan serta jaminan kepastian kerja serta pemenuhan hak-haknya di Luar Negeri.

Tingginya pelanggaran hak Pekerja Migran Indonesia  asal NTT karena banyak Pekerja Migran Indonesia yang non prosedural, sehingga melalui pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Tenaga Kerja Non Prosedural Provinsi NTT, telah diamankan calon Pekerja Migran Indonesia Asal NTT yaitu tahun 2016 sebanyak 443 orang, tahun 2017 sebanyak 662 orang, tahun 2018 sebanyak 1.379 orang dan per Juli 2019 sebanyak 684 orang.

Upaya yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi NTT dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja NTT adalah melalui berbagai pelatihan peningkatan kemampuan dan keahlian angkatan kerja yang disesuaikan dengan standar luar negeri, terutama di negara-negara yang paling banyak menyerap tenaga kerja NTT.

Sementara itu, sebelumnya, data Jaringan Nasional (Jarnas) Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) PMI NTT menunjukkan,  PMI asal NTT yang meninggal di luar negeri mengalami peningkatan setiap tahun.

Pada tahun 2016, empat puluh enam (46) PMI asal NTT, dengan rincian dua puluh enam (26) laki-laki dan dua puluh (20) perempuan, meninggal.

Dari 46 orang meninggal itu, empat (4) PMI prosedural dan 42 lannya PMI non-prosedural.

Pada tahun 2017, PMI meninggal sebanyak 62 orang, dengan rincian 43 laki-laki dan 19 perempuan.

Dari 62 orang meninggal itu, satu (1) PMI prosedural dan 61 lainnya PMI non-prosedural.

Pada tahun 2018, jumlah PMI meninggal meningkat menjadi 105 PMI, dengan rincian 71 orang laki-laki dan 34 orang perempuan.

Dari 105 orang meninggal itu, tiga (3) PMI prosedural dan 102 lainnya PMI non-prosedural.

Sementara itu, pada Agustus 2019, sebanyak 74 jenazah dikirim ke NTT.

Pertumbuhan Ekonomi NTT Capai 6,36% pada Triwulan II 2019

0

Kupang, Ekorantt.com – Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat di Aula Fernandez, Jumat (16/8/2019) mengungkapkan, secara makro, pertumbuhan ekonomi NTT Tahun 2018 sebesar 5,13%, masih berada sedikit di bawah nasional sebesar 5,17%.

Pada triwulan II 2019, pertumbuhan ekonomi NTT sebesar 6,36%, berada di atas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,04%.

Inflasi di Provinsi NTT pada tahun 2018  mencapai 3,07%, dan masih berada dalam rentang target inflasi nasional.

Salah satu upaya menekan laju inflasi di NTT adalah dengan mewujudkan kemandirian ekonomi lokal melalui peningkatan kualitas dan kuantitas serta optimalisasi pemanfaatan produk-produk lokal NTT yang telah digagas dalam wadah  “Masyarakat Ekonomi NTT”, sebagaimana yang telah dideklarasikan pada bulan Juni 2019 lalu oleh Pemerintah Provinsi NTT bersama Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pelaku Ekonomi se-NTT.

Melalui Masyarakat Ekonomi NTT ini, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sementara menata pengelolaan potensi daerah, dengan melibatkan peran Koperasi, BUMDes, Bank NTT, serta Perusahaan Daerah seperti PT. Flobamor dan PT. Jamkrida NTT.

“Pemerintah, pelaku ekonomi, dan masyarakat NTT harus menjadi “tuannya perekonomian NTT” dengan menciptakan ketahanan ekonomi NTT melalui pemanfaatan produk lokal NTT dan proteksi terhadap produk lokal NTT. Setelah ketahanan lokal sudah tercapai, masyarakat Ekonomi NTT akan membidik pasar regional, nasional, bahkan internasional,” kata Viktor.

Menurut Viktor, masyarakat NTT yang unggul hanya dapat dicapai apabila kita terus berlari dan melakukan lompatan-lompatan kemajuan yang tentunya membutuhkan keiklasan, kejujuran, kerja keras, inovasi, keberanian dan ketegasan dalam bertindak.

Keberanian dan ketegasan dalam bertindak tersebut telah dilaksanakan dengan beberapa kebijakan Pemerintah Provinsi NTT

Di antaranya adalah penataan kembali Pekerja Migran Indonesia asal NTT yang telah berada di luar negeri maupun yang akan dikirim ke luar negeri, moratorium pertambangan di NTT untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dari dampak buruk pertambangan, penutupan sementara Taman Nasional Komodo selama 1 tahun untuk Konservasi Satwa Komodo dan ekosistemnya dalam rangka meningkatkan nilai wisata komodo, serta launching produk minuman Sophia untuk meningkatkan nilai produk minuman lokal NTT yang berstandarisasi.

“Kebijakan-kebijakan ini semata-mata dilaksanakan untuk mengangkat martabat masyarakat NTT, pelestarian lingkungan hidup dan yang paling utama adalah pemenuhan kesejahteraan seluruh masyarakat NTT,” jelasnya.

Klaim Pencapaian Gubernur NTT di HUT Kemerdekaan RI Ke-74

0

Kupang, Ekorantt.com – Dalam momen Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI Ke- 74, Gubernur NTT Viktor Laiskodat merincikan beberapa klaim pencapaian pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur selama masa kepemimpinannya bersama Wakil Gubernur Josef Nae Soi di Aula Fernandez, Jumat (16/8/2019) sebagai berikut.

Pertama, bidang Pendidikan.

Kesempatan masyarakat untuk mengenyam pendidikan di tiap jenjang pendidikan semakin baik yang tergambar dari  besaran Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM).

Pada tahun 2018, realisasi APK masing-masing untuk tingkat pendidikan SD sebesar 116,58%, SMP sebesar 88,51% dan SMA/SMK sebesar 77,81%.

Sedangkan, realisasi APM, untuk jenjang pendidikan SD sebesar 96,12%, SMP sebesar 68,14% dan SMA/SMK sebesar 53,67%.

“Kita harus bangga kepada 19 orang siswa-siswi NTT yang telah memperoleh nilai sempurna atau 100 pada Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang lalu. Ini pencapaian yang sangat baik dan harus bisa memotivasi siswa-siswi maupun tenaga pendidik lainnya,” kata Viktor.

Menurutnya, mulai tahun pelajaran 2018/2019 Pemerintah Provinsi NTT mencanangkan untuk seluruh SMA, SMK dan SLB di NTT sudah menerapkan Kurilkulum 2013  atau K13.

Untuk melaksanakan K13 secara menyeluruh, maka Pemerintah Provinsi telah melakukan program bimbingan dan pelatihan bagi pendidik dan tenaga kependidikan sebanyak 470 orang dan kepala sekolah sebanyak 114 orang.

Dari waktu ke waktu, Pemerintah terus mengupayakan peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pengajar beserta sarana/prasarana penunjang pendidikan lainnya, dan diprioritaskan pada sekolah-sekolah yang berada pada daerah-daerah terpencil dan terisolasi.

Kedua, bidang kesehatan.

Pembangunan bidang kesehatan saat ini menitikberatkan pada penekanan jumlah balita stunting atau balita yang mengalami tinggi badan kurang, penurunan Angka Kematian Bayi (AKB), penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Penanganan stunting merupakan titik awal pengembangan SDM NTT yang bermutu dan kompetitif.

“Memang kita sadari bahwa prevalensi balita stunting di daerah ini masih cukup tinggi yaitu pada tahun 2018 sebesar 42,46%, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 30,8%. Kondisi ini menjadi prioritas utama dan sementara kita perangi bersama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota serta stakeholder terkait lainnya,” kata Viktor.

Menurutnya, penanganan balita stunting dilakukan selain melibatkan berbagai sektor seperti kesehatan, ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan sektor terkait lainnya, juga melalui intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu pada masa kehamilan sampai dengan anak berumur dua (2) tahun.

Salah satu upaya yang saat ini gencar dilakukan Pemerintah dalam mengatasi kekurangan gizi dan stunting, yaitu melalui pemberian makanan tambahan dengan nilai gizi yang tinggi dan nutrisi yang berbahan marungga kepada ibu hamil dan balita di fasilitas-fasilitas kesehatan masyarakat sampai dengan Posyandu.

Selain itu, parameter-parameter kesehatan lainnya, yaitu Angka Kematian Ibu dan Jumlah Kematian Bayi.

Angka Kematian Ibu pada tahun 2018 sebesar 158 kasus, lebih rendah 5 kasus di bandingkan tahun 2017.

Pada  semester pertama  tahun 2019 tercatat sebanyak 54 kasus.

Sedangkan Kasus Kematian Bayi pada tahun 2018 sebesar 1.265 kasus dan pada semester pertama tahun 2019 tercatat sebanyak 450 kasus.

Penyebab kasus kematian bayi didominasi oleh permasalahan infeksi dan perdarahan.

“Kita berharap di tahun ini dan di masa mendatang realita kehidupan Ibu dan anak semakin baik dan sejahtera. Berbagai intervensi pemerintah yaitu, Penguatan Strategi Revolusi KIA, Program Indonesia Sehat melalui Pendekatan Keluarga (PIS-PK) dalam mendukung Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), pemenuhan ketersediaan sarana/prasarana kesehatan serta paramedis dan tenaga kesehatan lainnya,” katanya.

Pada kesempatan ini, Gubernur mengajak semua elemen masyarakat mendukung Gerakan NTT Bersih, dengan menjaga kebersihan mulai dari diri sendiri dan tempat tinggal dan beraktivitas untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan asri.

“Perlu kita sadari bahwa kepedulian dan aksi nyata kita semua untuk memerangi sampah, untuk mewujudkan lingkungan yang bersih menjadi salah satu faktor penting gerak langkah dan aksi kita dalam mendukung pariwisata sebagai prime mover pembangunan ekonomi di Nusa Tenggara Timur,” ungkap Viktor.

Ketiga, bidang pariwisata.

Sektor pariwisata diandalkan sebagai penggerak ekonomi NTT ke depan.

Selain satwa komodo, NTT juga memiliki sejumlah objek wisata yang telah mendunia, di antaranya, Pulau Sumba sebagai pulau dengan alam terindah di dunia (the most beautiful Island in the world) dengan kekayaan budayanya, Pulau Rote dengan keindahan dan eksostisme Pantai Nembarala, Pulau Sabu dengan Kelaba Maja, Pulau Alor dengan keindahan bawah lautnya, Pulau Flores dengan Danau Kelimutu dan keindahan alamnya, serta berbagai wisata budaya dan wisata religi lainnya seperti Porsesi Samana Santa di Larantuka.

Agar dapat meningkatkan laju kunjungan wisatawan ke semua obyek wisata tersebut, Pemerintah mengupayakan konektivitas antarobjek wisata atau yang lebih dikenal dengan “Pariwisata Estate in Ring of Beauty”.

Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan investasi di bidang pariwisata, dibutuhkan adanya peningkatan atraksi, aksesibilitas, akomodasi, amenitas, dan awareness atau kesadaran.

Saat ini, Pemerintah memprioritaskan pengembangan pariwisata estate pada destinasi-destinasi baru dan akan terus diupayakan dengan menggandeng semua sektor untuk meningkatkan rantai nilai ekonomi.

Pada tahun 2018, jumlah kunjungan wisatawan di NTT menunjukkan tren  yang  terus meningkat menjadi sebesar 1.132.269 orang, dengan rincian wisatawan mancanegara sebanyak 197.106 orang dan  wisatawan nasional sebanyak 935.163 orang.

Adapun pertumbuhan hotel pada tahun 2018 sebanyak 502 hotel, yang dapat mengindikasikan bahwa usaha-usaha pariwisata yang berkontribusi langsung kepada pemenuhan kebutuhan wisatawan ikut juga bertumbuh antara lain usaha transportasi wisata, usaha kuliner, dan jasa wisata lainnya.

Upaya yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTT adalah mengembangkan Konsep Pembangunan Pariwisata Estate, dengan pola Community Based Tourism.

Pola ini mengandalkan pembangunan pariwisata secara kolaboratif, lintas tupoksi dan lintas kepentingan, serta menjadikan desa dan masyarakat sebagai pelaksana dan penerima manfaat.

Khusus kebijakan penutupan sementara Taman Nasional Komodo, harus dimaknai sebagai bentuk upaya konservasi terhadap satwa Komodo yang merupakan satu-satunya di dunia, serta wujud perbaikan tata kelola Wisata Komodo sehingga  dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat NTT.

Keempat, bidang kelautan dan perikanan.

Kondisi Geografis NTT berbentuk kepulauan dan memiliki luas laut kurang lebih 200.000 km2 serta panjang garis pantai 5.400 km, maka pembangunan sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu daya ungkit peningkatan perekonomian NTT.

Potensi-potensi yang dikembangkan pada sektor kelautan perikanan adalah perikanan tangkap dan budidaya, rumput laut, mutiara dan pengembangan garam.

Hal yang perlu dibenahi adalah peningkatan kualitas SDM bidang kelautan dan perikanan serta penyediaan sarana/prasarana penunjangnya.

Potensi lestari perikanan tangkap sebesar 491.700 ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 393.360 ton per tahun, namun hasil produksi pada tahun 2018 baru sebesar 147.916,64 ton.

Pengembangan perikanan tangkap dititikberatkan pada penyediaan sarana prasarana tangkap, pengolahan untuk meningkatkan hasil dan nilai produksi, serta pemasaran.

Produksi rumput laut pada tahun 2018 sebesar 1,9 juta ton lebih. Pada bulan Mei 2019 lalu, tercatat dalam sejarah  untuk pertama kalinya NTT melakukan ekspor langsung produk olahan rumput laut berupa ATC Chips sebanyak 25 ton ke Argentina.

Pemerintah akan mengintervensi sektor ini mulai dari pembibitan, proses pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran di semua sentra produksi rumput laut, agar terjaga kualitas dan kuantitasnya, sehingga ekspor rumput laut NTT dapat berkesinambungan dengan pasar yang semakin luas.

Untuk pengembangan garam, kondisi cuaca NTT sangat menunjang untuk pengembangan garam yang berkualitas tinggi.

“Dari segi kuantitas, NTT punya garis pantai yang panjang sehingga dengan pengelolaan yang baik, maka saya optimis garam NTT dapat memenuhi kabutuhan garam nasional saat ini,” ungkapnya.

Kelima, bidang pertanian.

Sektor pertanian merupakan sektor yang dominan dengan penyerapan tenaga kerja tertinggi.

Tahun 2019, Pemerintah memprioritaskan peningkatan produksi dan produktivitas mutu tanaman pangan dan perkebunan, meliputi pengembangan intensifikasi padi seluas 37.500 ha; pengembangan komoditi jagung seluas 34.000 ha, kedelai seluas 8.030 ha, bawang merah seluas 570 ha, bawang putih seluas 560 ha, pengembangan kawasan marungga seluas 135 ha dengan sistem pola tanam alley cropping, pengembangan kawasan aneka cabai seluas 450 ha, kawasan jeruk seluas 35 ha, kawasan mangga seluas 82 ha, kawasan kopi seluas 550 ha, kawasan kakao 600 ha, pengembangan tanaman kelapa seluas 1.300 ha, tanaman jambu mete seluas 1.000 ha, tanaman cengkeh seluas 2.580 ha, tanaman vanili seluas  10 ha, tanaman pinang seluas 30 ha dan tanaman tembakau seluas 160 ha.

Pengembangan sektor pertanian ini didukung dengan penyediaan sarana prasarana pendukung, yaitu alat dan mesin pertanian serta penyediaan infrastruktur pengairan.

Keenam, bidang peternakan.

Dalam bidang peternakan, masyarakat peternak NTT setiap tahun secara terus menerus berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan daging sapi/kerbau secara nasional, rata-rata sebesar 12 juta Kg per/tahun.

Mengingat sampai saat ini Indonesia masih mengimpor daging sapi untuk konsumsi nasional, maka pembangunan peternakan difokuskan untuk mampu menutup impor daging melalui peningkatan produksi untuk mencapai populasi 2 juta ekor sapi dari saat ini 1.027.000 ekor sapi, dengan dukungan pengembangan industri pakan ternak ruminansia dan pengembangan sentra-sentra pembibitan sapi pada kawasan peternakan di Pulau Sumba, Kabupaten Kupang, TTS, Malaka, Manggarai, Manggarai Barat dan Ngada. Kita juga akan mengembangkan sapi Wagio sehingga pada saatnya Nusa Tenggara Timur bisa menyiapkan daging Premium.

Pengembangan industri pengolahan produk peternakan dengan mengutamakan industri yang masif, berbasis budaya dan kearifan lokal seperti industri daging se’i untuk mendukung pengembangan destinasi kawasan pariwisata, sedangkan pengembangan produk perunggasan dipadukan dengan pengembangan pabrik pakan untuk memenuhi permintaan daging ayam dan telur ayam, sehingga mampu mengendalikan inflasi daerah dan meningkatkan pendapatan peternak unggas.

Ketujuh, bidang perindustrian dan perdagangan.

Di era digitalisasi ini, pengembangan perindustrian dan perdagangan di Provinsi NTT diarahkan pada beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, Peningkatan SDM Industri Kecil Menengah serta Usaha Kecil Menegah  agar dapat bersaing dalam Industri Four point Zero melalui pendidikan dan pelatihan, pemagangan, sertifikasi kompetensi serta pengembangan IKM/UKM dengan platform digital.

Kedua, dukungan pengembangan industri komoditi unggulan NTT di sektor pertanian, peternakan, perikanan dan kelautan agar menjadi industri yang berorientasi ekspor dengan mengembangkan dan memanfaatkan teknologi pengungkit produktifitas.

Ketiga, fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual tradisi budaya khas NTT dan produk khas NTT seperti tenun ikat, tradisi budaya dan minuman tradisional, sehingga terstandarisasi dan bermerek.

Keempat, pengaktifan peran pelajar dan pemuda sebagai konsumen cerdas, agar bertindak kritis untuk diri sendiri dan lingkungan dalam rangka pemberdayaan konsumen. Konsumen cerdas dan berdaya menjadi penting untuk membangun perekonomian NTT secara sehat.

Integritas dan Keberanian Politisi di Panggung Politik

0

Oleh

E.P. da Gomez*

Thomas Carlyle menulis, keberanian yang kita idamkan dan puji setinggi langit, bukanlah keberanian untuk mati secara terhormat, melainkan hidup secara jantan.

Keberanian. Itulah sifat dan sikap manusia yang paling dikagumi John Fritzgerald Kennedy (1917-1963), Presiden ke-35 Amerika Serikat (1960-1963). Ia mengagumi orang yang berani, tegar, disegani, baik di medan perang atau di lapangan baseball, di arena politik atau di ruang pengadilan.

Judul artikel ini diambil dari buku “Profiles in Courage” karya tulis John F. Kennedy, seorang politisi, senator, dan Presiden Amerika Serikat yang sangat terkenal pada zamannya dan terus dikenang sampai kini dan sampai kapan pun. Begitu terbit, buku ini menjadi sangat laris, best seller, sedikitnya memberi petunjuk bahwa banyak orang suka dan sudah membacanya. Surat kabar Boston Globe menyebutnya sebagai sebuah buku sejarah senat Amerika Serikat. Dan Cabell Philips menulis di halaman depan The New York Times Book Review bahwa “Profiles in Courage” adalah jenis buku yang memulihkan penghargaan kepada suatu profesi yang terhormat dan yang banyak disalahgunakan. Yang dimaksud dengan profesi di sini adalah profesi politikus.

Tidak ada pekerjaan selain politik yang menuntut seseorang mengorbankan kehormatan, prestise, dan kariernya demi sebuah isu. Pengacara, pelaku bisnis, guru, dokter, semuanya menghadapi permasalahan pribadi yang melibatkan integritas mereka. Namun, hanya sedikit, kalau memang ada, yang menghadapinya di tengah sorotan umum seperti mereka yang memangku jabatan di bidang politik. Lord Tweedsmuir, salah seorang penulis favorit John F. Kennedy, menulis dalam autobiografinya, “arena politik adalah puncak karier, dan bagi orang muda itu adalah ambisi yang paling tinggi nilainya. Politik tetap merupakan petualangan terbaik dan termulia.

Namun, tidaklah mudah berkeberanian, bersikap tegar sebagai politikus, juga di negara seperti Amerika Serikat yang pelaksanaan sistem demokrasinya pada umumnya dinilai baik, dan para anggota lembaga perwakilan rakyatnya dapat mengemukakan pendapatnya dengan bebas, dengan berterus terang, dan lugas.

John F. Kennedy yang bertampang gagah, ganteng, cerdas, dan berani itu mengemukakan bahwa sedikitnya ada tiga presi, tiga kekuatan penekan terhadap para politisi yang menjadi anggota Kongres (Senat dan DPR), yaitu pertama, tekanan atau presi untuk berkompromi, kedua, tekanan atau presi dari partai politik pengusung, dan ketiga, yang terpenting, yang bisa melunturkan semangat keberanian dalam diri seorang Senator atau anggota Kongres, adalah tekanan yang berasal dari pemilih, kelompok kepentingan, kolumnis politik dan media massa, kalangan pelaku bisnis, pemberi suara khususnya para penyumbang dana.

Suami dari perempuan cantik, anggun, dan memikat hati itu, Jaequeline, mengatakan bahwa menghadapi tekanan-tekanan semacam itu, tidak saja untuk menolaknya, bahkan untuk menurutinya, adalah suatu tugas bahkan beban yang luar biasa beratnya. Setiap kali ketika menghadapi situasi dan kondisi politik yang demikian, seorang wakil rakyat dihadapkan pada pilihan yang sulit. Misalnya berkompromi untuk memuaskan semua pihak dan dengan demikian menyelamatkan diri sendiri, atau menyuarakan hal-hal yang menurut keyakinannya memang benar dan merupakan aspirasi masyarakat, walau akan menyebabkan bentrok dengan kepentingan atau keinginan kekuatan politik lawan yang lebih besar atau lebih kuat.

Melakukan pilihan semacam itu memang tidaklah mudah, karena kenyataan yang dihadapi adalah jarang yang hanya hitam-putih. Harus diperhitungkan pula dimensinya ke depan, bukan hanya kekiniannya. Di lain pihak, sulit kiranya dibenarkan seorang wakil rakyat berkompromi untuk menyelamatkan diri agar menguntungkan kepentingan pribadinya, tanpa memperdulikan kepentingan umum, kepentingan rakyat yang diwakilinya. Tokoh politikus semacam itu dalam kalangan masyarakat politik dijuluki sebagai Pak Slamat dan Pak Untung. Karena itu, tidaklah mudah menjadi wakil rakyat. Ia tidak hanya mesti menguasai bidang tugasnya, tetapi ia pun mesti seorang yang bijaksana dan berkeberanian moral.

“Profiles in Courage” mengungkapkan kepribadian, keyakinan, dan ketokohan John F. Kennedy. Dalam hidupnya, ia selalu mencari orang-orang di berbagai bidang kegiatan yang menunjukkan keberanian, ketegaran sikap, orang-orang yang dapat diandalkan dalam memperjuangkan suatu tujuan, suatu ideal. Ia hanya ingin mengedepankan apa yang dikaguminya, yakni keberanian moril, ketegaran sikap, dan siapakah tokoh-tokoh sejarah Senat Amerika Serikat yang menurut penilaiannya menampilkan keberanian dan ketegaran sikap itu. John F. Kennedy menjadikan mereka tokoh idolanya, tokoh yang hendak dicontohnya. Apakah ia berhasil dalam usahanya itu?

Sejarah Amerika Serikat mencatat John F. Kennedy sebagai presiden yang sukses, meski masa jabatannya sangat pendek, cuma tiga tahun. Di antara demikian banyak hal yang sukses, dapat dicatat bahwa Kennedy menempatkan Amerika Serikat sebagai negara pelopor pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) dan mewujudkan program Apollo sebagai tujuan nasional dalam ambisi besar untuk mendaratkan manusia pertama di bulan pada tahun 1969, meski ia sendiri tidak sempat menyaksikan saat yang menegangkan dan membanggakan itu.

Ia menulis kisah tentang sejumlah pemberani yang telah mengukir sejarah negerinya. Mereka menyuarakan hati nurani kendati harus mempertaruhkan kehormatan dan harga diri, masa depan, bahkan kesejahteraan istri-anak mereka. Mereka membentuk hidupnya dengan mengacu pada idealisme. Pada zamannya, mereka menyadari tindakan apa yang dilakukan, dan melakukannya, dengan berani menanggung resiko yang harus dihadapinya. Kennedy suka mengutip ucapan Dante, bahwa “tempat terpanas di neraka disediakan untuk mereka yang tetap bersikap netral di saat krisis moral melanda.

Bila ada pelajaran yang bisa dipetik dari kehidupan para tokoh yang ditulis Kennedy, bila ada pelajaran tentang kehidupan dan kematiannya, itu adalah bahwa dalam dunia ini tak seorang pun dari kita boleh menjadi penonton, kritikus yang hanya berdiri di luar lapangan.

Delapan politisi yang dikedepankan dalam buku “Profiles in Courage” semuanya pernah menjadi senator, dan seorang di antaranya adalah Presiden ke-6 Amerika Serikat, John Quincy Adams (1767-1848) dari negara bagian Massachusetts. Tujuh tokoh lainnya adalah Daniel Webster dari Massachusetts (1782-1850), Thomas Hart Benton dari Missouri (1748-1832), Samuel Houston dari Texas (1793-1863), Edmund G. Ross dari Kansas (1730-1779), Lucius Quintus Cincinatus Lamar dari Missisippi (1825-1893), George W. Norris dari Nebraska (1861-1944), dan Robert Alphonso Taft dari Ohio (1889-1953).

Itulah tokoh-tokoh menurut pandangan Kennedy sebagai manusia yang dilahirkan Amerika Serikat dengan kualitas karakter yang paling luhur: keberanian.

“Mulia karena tempaan”, begitulah menurut Ernest Hemingway. Kennedy mengisahkan berbagai tekanan yang dialami oleh delapan tokoh itu berikut kemuliaan mereka dalam memikul semua risiko terhadap karier, ketidakpopuleran jalur yang mereka tempuh, tercemarnya nama baik, dan sedikit, sedihnya hanya sedikit, upaya pemulihan reputasi dan prinsip yang mereka pegang.

Membaca “Profiles in Courage”, buku yang persuasif dan mendalam tentang integritas politik, karya politikus berkaliber dunia dan bernama besar seperti John F. Kennedy, sungguh membangkitkan semangat dan memberi kecerahan. Kalau saja para pemimpin dan wakil rakyat kita di Indonesia, Provinsi NTT dan Kabupaten Sikka berkualitas dan memiliki integritas pribadi dan politik sebagaimana mereka yang diprofilkan oleh John F. Kennedy.

Namun, tampaknya tantangan bagi keberanian politik pada masa kini dituntut lebih besar dari pada masa lalu. Karena kehidupan sehari-hari masa kini begitu dipadati oleh arus komunikasi massa yang luar biasa, sehingga kita tidak bisa membayangkan bagaimana suatu langkah kebijakan politik yang tidak bisa menimbulkan gelombang protes masyarakat. Kehidupan politik masa kini menghabiskan begitu banyak biaya, begitu termekanisasi dan begitu dikuasai oleh para politisi dan pekerja profesional di bidang media massa, sehingga seorang idealis yang bermimpi datangnya figur negarawan, dibangunkan dengan kasar dari tidurnya yang lelap oleh kepentingan politik sesaat yang sesat.

Dari perjalanan Kabupaten Sikka dalam lima sampai enam tahun terakhir, kita harus punya sikap dan pandangan yang tegas, bahwa hanya pemimpin yang sangat berani, yang mampu mengambil keputusan sulit dan tidak populer, itulah yang diperlukan demi kesinambungan pembangunan dengan menggerakkan dinamika partisipasi masyarakat. Pemimpin yang sejati adalah elang yang jarang sekali terbang menggerombol. Sendirian ia menjelajahi keluasan cakrawala, dan wawasan visionernya kadang dipahami atau malah dicemooh oleh rekan-rekannya dan masyarakat. Rakyat sangat mengharapkan penerapan kebijakan politik dan pembangunan yang berpihak kepada orang kecil. Namun, tampaknya pemerintah sibuk merias citranya di mata rakyat, sementara anggota DPRD yang menyandang sebutan wakil rakyat sibuk melakukan perjalanan dinas keluar daerah saban bulan dan memikirkan trik-trik baru untuk mengisi kepentingan politiknya dengan apa yang disebut dana “pokok pikiran” (POKIR) yang ternyata sangat merendahkan kehormatan, kewibawaan, dan martabat lembaga dan anggota DPRD itu sendiri.

“Profiles in Courage” adalah potret para pemimpin yang berani tidak populer demi integritasnya. John F. Kennedy menulis buku ini tahun 1955 ketika ia menjabat Senator dari negara bagian Massachusetts, dan di tengah persiapan mencalonkan diri menjadi presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Ia berhasil terpilih, tercatat sebagai presiden termuda usianya dalam sejarah Amerika Serikat, dan satu-satunya presiden yang beragama Katolik dari 45 presiden negara adidaya itu hingga kini. Buku ini dicetak ulang tahun 1956, disusul tahun 1964, setahun setelah ia ditembak mati di Dallas, tanggal 22 November 1963. Kata pengantar cetakan ulang ditulis Robert F. Kennedy, adik kandungnya, Jaksa Agung AS, yang juga ditembak mati tanggal 5 Juni 1968 di Los Angelos ketika tampil berkampanye merebut jabatan presiden.

Buku setebal 412 halaman ini diterbitkan dengan terjemahan bahasa Indonesia oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama (1998), alih bahasa Abraham RAP. Patut dibaca oleh para pemimpin dan pejabat pemerintah, politisi, kaum cendikiawan, mahasiswa, dan siapa saja yang bergerak di bidang politik dan kemasyarakatan.

Kennedy menegaskan, kita sama sekali tidak bisa mengandalkan semua yang kita miliki, termasuk kepandaian atau kecakapan kita yang luar biasa untuk mencapai keberhasilan dalam arena politik. Justru itu, bacalah buku ini! Kennedy menerima hadiah Pulitzer untuk buku ini, sebuah penghargaan yang tertinggi, bergengsi dan pretisius dalam dunia karya tulis di Amerika Serikat.

Dalam konteks Indonesia, saya sungguh terpesona dan menghayati sikap, etika, dan moralitas sebagai keteladanan politik yang dipraktikkan para pendiri negeri ini, politisi dan negarawan kelas wahid seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Mohamad Natsir, Mohamad Roem, I.J. Kasimo, A.M. Tambunan, T.B. Simatupang, dan tokoh nasional asal NTT seperti Herman Yohannes, Frans Seda, VB da Costa, Ben Mangreng Say, Ben Mboi dan lain-lain. Apa yang mereka katakan dan praktikkan dalam kehidupan politik?

“Berpolitik jangan opportunis. Berpolitik itu harus ada landasan etiknya. Landasan itu harus dibentuk dan disemai dalam hati yang tulus, dan jangan mencari mana yang enak saja, yang menguntungkan” (M. Natsir, Di Panggung Sejarah Republik, Penerbit Republika, Jakarta, Desember 2008, editor Lukman Hakiem).

Mohamad Natsir (1908-1993), Ketua Umum Partai Masjumi (1949-1958) adalah politisi kawakan dan santun, pernah menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946), Menteri Penerangan RI (1946-1949), Perdana Menteri RI (1950-1951), anggota Parlemen RI (1950-1958) dan anggota Konstituante (1956-1959). Hidup pribadinya sederhana dan jauh dari kecintaan akan harta benda. Dia tidak mau menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengannya dengan menghalalkan segala cara. Dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam pergaulan politik, dia tetap menjalin persahabatan dengan politisi dari partai-partai lain, walaupun mereka sering berbeda pendapat sedemikian tajam menyangkut dimensi ideologi dan keyakinan. Natsir berpolitik dengan kata-kata sopan dan sepantasnya, tanpa menimbulkan ketersinggungan pribadi. Ibarat mencubit orang, tapi yang dicubit tidak merasa sakit. Tidak mengherankan apabila di Gedung Parlemen tahun 1950-an, Natsir duduk di kantin dan mengobrol sambil minum kopi hangat dan tertawa gaul bersama D.N. Aidit, tokoh PKI, padahal semua orang tahu bahwa pendirian politik kedua tokoh ini berbeda bagai bumi dengan langit, satu dan lain hampir tidak ada titik temunya. Pada Hari Raya Natal, Natsir datang menyalami Kasimo (Ketua Umum DPP Partai Katolik) di rumahnya, sebaliknya Kasimo hadir dengan senyum khasnya di rumah Natsir pada setiap Hari Raya Idul Fitri.

Begitulah pertemanan dan nilai keakraban yang dirajut para politisi terkemuka pada tahun-tahun awal kelahiran republik ini. Sebuah contoh dan keteladanan yang patut dihayati dan ditiru para politisi generasi reformasi ini.

Sejarah kemudian mencatat bahwa jatuh bangunnya pemerintahan pada saat usia Negara ini masih sangat muda, telah mengajarkan kita tentang pentingnya kearifan, norma, etika, dan moralitas yang tinggi dalam berpolitik. Sesungguhnya memasuki zaman keterbukaan dan demokrasi sejak mekarnya reformasi 1998, para politisi sepatutnya menampilkan sikap politik yang berkualitas dengan membangun nilai-nilai positif seperti kejujuran, komitmen, kerjasama, loyalitas, dan profesionalisme sebagai wujud dari kultur kehidupan. Kearifan, norma, etika, dan moralitas hendaknya dilestarikan, sehingga kader-kader partai politik tidak mudah goyah, pragmatis, berganti partai atau afiliasi politik, hanya ikut ke mana angin bertiup atau menjadikan partai politik sebagai lahan untuk menggarap uang dan kekayaan pribadi.

“Pragmatisme tidak cocok untuk kemajuan partai,” kata Aburizal Bakri, Ketua Umum DPP Partai Golkar (Kompas, 16/4/2011).

Hanya dengan sikap politik yang demikian itulah akan tampil politisi-politisi yang punya integritas dan keberanian di panggung politik!

* Anggota DPRD Kabupaten Sikka Fraksi Partai Katolik (1965-1968), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (1987-1997), dan Fraksi PDI Perjuangan (1999-2009)

Korupsi sebagai Akar Pelanggaran HAM

0

Massa rakyat di Desa Nele Urung, Kecamatan Nele, Kabupaten Sikka, NTT, mendesak copot Kepala Desa (Kades) Nele Urung Yulius Laweng atas dugaan tindak pidana korupsi dana desa.

Para demonstran itu membawa serta tiga buah poster.

Salah satu poster berisi tulisan: “Kembalikan Hak-Hak Masyarakat!”

Para demonstran itu benar.

Korupsi merampas hak massa rakyat.

Bagaimana hubungan antara korupsi dan pelanggaran HAM?

Lembaga Transparancy International mendefinisikan korupsi sebagai “the abuse of entrusted power both in the private and public sector for private gain” atau “penyalahgunaan kekuasaan baik di sektor privat maupun di sektor publik untuk mendapatkan keuntungan pribadi” (Otto Gusti, 2017, 139).

Dalam perspektif hukum, definisi korupsi dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 13 pasal itu merumuskan korupsi ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi (KPK, “Memahami untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi”, 2006, p. 19).

30 jenis tindak pidana korupsi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 7 kelompok (Ibid., pp. 25-97).

Pertama, kerugian keuangan Negara. (1) Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi. (2) Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan Negara adalah korupsi.

Kedua, suap menyuap. (1) Menyuap pegawai negeri adalah korupsi. (2) Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya adalah korupsi. (3) Pegawai negeri menerima suap adalah korupsi. (4) Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya adalah korupsi. (5) Menyuap hakim adalah korupsi. (6) Menyuap advokat adalah korupsi. (7) Hakim dan advokat menerima suap adalah korupsi. (8) Hakim menerima suap adalah korupsi. (9) Advokat menerima suap adalah korupsi.

Ketiga, penggelapan dalam jabatan. (1) Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan adalah korupsi. (2) Pegawai negeri merusakkan bukti adalah korupsi. (3) Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti adalah korupsi. (4) Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti adalah korupsi.

Keempat, pemerasan. (1) Pegawai negeri memeras adalah korupsi. (2) Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain adalah korupsi.

Kelima, perbuatan curang. (1) Pemborong berbuat curang adalah korupsi. (2) Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang adalah korupsi. (3) Rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah korupsi. (4)  Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang adalah korupsi. (5) Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain adalah korupsi.

Keenam, benturan kepentingan dalam pengadaan. (1) Pegawai negeri yang turut serta dalam pengadaan yang diurusnya adalah korupsi.

Ketujuh, gratifikasi. (1) Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK adalah korupsi.

Selain definisi tindak pidana di atas, juga terdapat jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi (Ibid., p. 21).

Pertama, merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi.

Kedua, tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar.

Ketiga, bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka.

Keempat, saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu.

Kelima, orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu.

Keenam, saksi yang membuka identitas pelapor.

Sementara itu, HAM merupakan “hak-hak yang bersifat “universal, egaliter, individual dan kategoris”” (Otto Gusti, 2014, p. 114). Universal karena HAM berlaku untuk semua manusia dan tidak bergantung pada ciri-ciri khas dan konteks sosio-budaya. Egaliter karena HAM berlaku untuk semua manusia secara sama. Individual karena HAM dimiliki oleh setiap individu tanpa bergantung pada keanggotaannya pada suatu agama, budaya, bangsa, ras, atau suku tertentu. Kategoris karena HAM berlaku secara absolut atau mutlak.

Selanjutnya, HAM memiliki dimensi moral, yuridis, dan politis (Ibid., p. 115). Dari sisi moral, HAM berlaku secara mutlak, sama, dan non-diskriminatif untuk semua manusia lepas dari keanggotaannya pada identitas kultural tertentu. Dari sisi yuridis, HAM terlembaga dalam sistem hukum positif baik pada tataran nasional maupun pada tataran internasional seperti Konvensi HAM PBB, Konvensi Eropa, dan Tribunal Internasional. Dari sisi politis, HAM dikonkretkan ke dalam hukum positif suatu negara yang “berlaku, dapat dituntut, dan bersifat memaksa.”

HAM terutama mengatur relasi kuasa antara Negara dan warga Negara. Suatu tindakan disebut pelanggaran HAM jika dan hanya jika melibatkan Negara sebagai aktor. Jadi, adalah tidak relevan berbicara tentang pelanggaran HAM jika pelakunya bukan Negara.

Lalu, apa persis hubungan antara korupsi dan pelanggaran HAM?

Kofi Anan, Mantan Sekjen PBB, dalam acara promulgasi Konvensi PBB Antikorupsi berkata, “korupsi adalah sebuah wabah dengan spektrum dahsyat sangat luas yang menghancurkan tatanan sosial. Ia menguburkan demokrasi dan kedaulatan hukum, ia adalah akar dari pelanggaran-pelanggaran HAM, menghancurkan tatanan ekonomi pasar, menurunkan kualitas hidup dan menyuburkan kejahatan terorganisir, terorisme dan ancaman-ancaman kemanusiaan lainnya” (Otto Gusti, 2017, Op.cit., p. 141).

Tugas utama Negara adalah memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect), dan menghargai (to respect) hak asasi warga Negara.

Salah satu hak asasi warga Negara adalah mendapatkan pelayanan sosial dari Negara.

Namun, bagaimana warga Negara mendapatkan pelayanan sosial yang memuaskan dari Negara jika para koruptor baik pegawai negeri atau penjabat Negara maupun aktor swasta sudah menggarong habis uang tersebut?

Benar perkataan Kofi Anan. Korupsi adalah salah satu akar pelanggaran HAM.

Korupsi meningkatkan angka kemiskinan, angka pengangguran, angka putus sekolah, angka kematian ibu hamil dan melahirkan, angka kriminalitas, serta menurunkan daya beli masyarakat, daya saing di dunia perdagangan, dan pendapatan per/kapita (PDB per/kapita) (Bdk. KPK, “Semua Bisa Beraksi: Panduan Memberantas Korupsi dengan Mudah dan Menyenangkan”, 2018, pp. 26-27).

Manakala kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan sosial merajalela, sulit untuk tidak mengatakan Negara sudah melanggar HAM para warganya.

Diduga Korupsi Dana Desa, Warga Desak Kades Nele Urung Dicopot

0

“Turunkan Kepala Desa Nele Urung!” “Lopa Dena Ngangan Ami!”, “Kembalikan Hak-Hak Masyarakat!”, dan “Kembalikan Aset Desa!” Kalimat-kalimat ini dikumandangkan massa rakyat di Desa Nele Urung. Mereka mendesak Kades Yulius Welung dicopot dari jabatannya.

Nele, Ekorantt.com – Puluhan warga Desa Nele Urung, Kecamatan Nele, Kabupaten Sikka, Selasa (27/8/19) melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Desa Nele Urung.

Mereka mendesak Kepala Desa Nele Urung Yulius Welung mundur dari jabatan kepala desa karena diduga melakukan korupsi dana desa.

Mereka membawa serta tiga buah poster yang bertuliskan, “Turunkan Kepala Desa Nele Urung!” “Lopa Dena Ngangan Ami!”, “Kembalikan Hak-Hak Masyarakat!”, dan “Kembalikan Aset Desa!”

Massa rakyat itu terdiri atas perwakilan warga dari Dusun Kolibuluk, Dusun Detun, dan Dusun Enak.

Disaksikan EKORA NTT, para demonstran diterima oleh Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Nele Urung Alfonsa Eufemia Asri.

Aksi demonstrasi dijaga ketat aparat kepolisian dari Polsek Nele. 

“Masyarakat menilai Kades Welung tidak pantas menjadi penguasa pengelola anggaran karena dianggap tidak mampu melaksanakan anggaran yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat,” ungkap Koordinator Aksi Yohanes Paskalis.

Menurut Yohanes, bukti dugaan penyelewengan dana desa itu adalah sisa lebih pengeluaran (Silpa) tahun 2016, 2017, dan tahun 2018 yang sangat besar.

Masyarakat menilai, selama tiga tahun kepemimpinannya, Yohanes tidak mampu menjalankan roda pemerintahan desa.

Ketua BPD Desa Nele Urung Alfonsa Eufemia Asri yang diwawancarai awak media di Kantor BPD mengatakan, Inspektorat Kabupaten Sikka telah mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) terkait penyelewengan dana desa di Desa Nele Urung.

Berdasarkan hasil temuan Inspektorat Kabupaten Sikka, Kades Yulius Welung diduga menyelewengkan dana desa berupa kas desa yang tekor sebesar Rp146.100.092,00, pungutan pajak Negara/daerah sebesar Rp32.876.039,00, penerimaan PADes sebesar Rp9. 084.578,00, bantuan seng sebesar Rp15 Juta, dan bantuan sosial bagi janda sebesar Rp4,5 Juta.

Selain mendesak mencopot Kades Yulius, massa rakyat juga meminta bersangkutan mengembalikan aset desa yang disimpan di rumahnya.

Aset desa itu terdiri atas 1 buah laptop, 1 buah keyboard, 1 buah genset, 1 unit motor operasional desa, dan lainnya.

Kepala Desa Nele Urung Yulius Welung

Kades Yohanes Welung saat ditemui awak media di ruang kerjanya membenarkan fakta bahwa telah terjadi penyelewengan dana desa.

Dia mengatakan, dana desa itu diselewengkan antara lain karena kesalahan administrasi dan untuk kepentingan pribadi.

Dia mengaku siap bertanggung jawab atas perbuatannya tesebut.

“Karena Inspektorat bilang, uang kurang begini-begini, ya, saya harus bertanggung jawab. Ada yang saya gunakan, ada yang salah administrasi. Makanya, saya bilang, kalau sudah begitu, ya, saya tanggung jawab untuk kembalikan,” ungkap Kades Yulius Welung.

Usai melakukakan aksi di Kantor Desa Nele Urung, massa rakyat kemudian berjalan kaki menuju Kantor Camat Nele.

Di sana, mereka melanjutkan aksi unjuk rasa.

Tiga buah poster di atas juga dibawa serta.

Mereka diterima oleh pihak kecamatan dan diarahkan ke aula kantor camat.

Model Baru Beasiswa Pemda Sikka

0

Oleh

Urbanus Xaverius Landa*

Bapak saya adalah seorang tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di Pelabuhan L. Say Maumere dan mama adalah seorang pedagang kaki lima di pelabuhan yang sama yang setiap saat dapat digusur. Pekerjaan orangtua telah memasukan kami sebagai salah satu keluarga miskin di Kota Maumere. Setelah lulus SMA di tahun 2000, kami tidak memiliki cukup uang untuk biaya kuliah. Karena itu, kami tidak berpikir atau bahkan berangan-angan untuk kuliah seperti orang-orang Maumere pada umumnya, khususnya yang datang dari keluarga mampu. Oleh karena itu, bapak hanya berpesan ke saya untuk pergi merantau mengikuti saudara sepupu dengan harapan dapat diberi jalan untuk hidup yang lebih baik.

Pada tahun 2004, saya akhirnya memutuskan untuk kuliah di Unika Widya Mandala Surabaya dengan modal nekat saja. Saya bilang nekat karena memang kami tidak memiliki cukup uang. Di tahun itu, uang SPP sebesar Rp8,5 juta dibayar saat pendaftaran ulang. Biaya kuliah per/semester sebesar Rp4,5 Juta. Jadi, satu tahun biaya kuliah Rp9 Juta di luar biaya hidup, uang kos, belanja buku, fotokopi, dan juga biaya lainnya. Saya membayar itu dengan uang hasil tabungan selama kerja di perantauan.

Terus terang, uang yang ada hanya cukup untuk bertahan dua semester. Orang tua mulai menyerah karena masalah biaya. Anda bisa bayangkan, biaya kuliah di atas memang mustahil bagi orangtua saya mengingat pekerjaan hari-hari adalah buruh pelabuhan yang penghasilannya selalu tidak pasti saat itu.

Kalau Anda katakan “su tau orang tua miskin ju paksa diri”, sekali lagi saya katakan, keputusan kuliah adalah tindakan nekat saya. Saya hanya ingin bisa hidup lebih baik dari kehidupan keluarga selama ini. Kuliah adalah satu-satunya jalan ke arah perubahan itu. Itulah alasan mengapa saya paksa diri.

Untuk bertahan di semester tiga, saya mengandalkan surat permohonan tunda bayar uang kuliah. Dengan surat ini, saya akhirnya bisa bertahan sampai semester empat. Namun, pada saat yang sama, saya pun mulai mengajukan surat pengunduran diri sebagai mahasiswa setempat karena saya telah sadar bahwa kami tidak dapat bertahan lagi alias doi penga ledha (telah benar-benar kehabisan uang). Namun, para dosen saat itu berusaha membesarkan hati saya bahwa mereka akan mencarikan jalan keluarnya. Bagi mereka, orang seperti saya tidak boleh putus kuliah karena saya dipandang mampu hidup bersama ilmu yang saya pelajari.

Mukjizat terjadi. Pada semester lima, saya mendapat beasiswa Keuskupan Maumere atas perjuangan antik Romo Jhon Eo Towa. Saat saya bertemu yang terkasih Uskup Sensi Potokota di Sa’o Uskup Ndona-Ende, Beliau katakan demikian “Banus, Roh Kudus punya cara kreatif untuk menolong engkau.”

Dengan beasiswa ini, saya akhirnya menyelesaikan pendidikan sarjana psikologi di Unika Widya Mandala Surabaya dengan gratis. Bagi kami, dengan pengalaman di atas, beasiswa adalah juga tindakan Allah yang menolong. Tanpa beasiswa, tentu saya tidak dapat memberitakan ini untuk Anda.

Prioritas

Setelah mendengar kabar mengenai rencana beasiswa Pemda Sikka baru-baru ini, saya langsung mendukung karena baik adanya. Selama kuliah di Widya Mandala, beasiswa serupa juga sudah diberikan Pemda TTU untuk anak-anak TTU. Di tahun 2006, karena program Pemda TTU ini, saya akhirnya menghubungi Wakil Bupati Ansar saat itu untuk melakukan penjajakan serupa: semoga Pemda Sikka dapat memberikan beasiswa Pemda bagi anak-anak Maumere di Unika Widya Mandala Surabaya atau di Unipa. Pikiran saya, semakin banyak orang mendapat beasiswa Pemda, semakin mukzizat itu nyata, alias banyak orang yang tertolong.

Gambaran ini mau menunjukan bahwa beasiswa pertama-tama ditujukan kepada orang-orang dengan ekonomi lemah. Prinsip bantuan adalah diberikan kepada yang membutuhkan atau orang lemah. Jika tidak dibantu, maka mereka sudah pasti tidak mampu bergerak maju. Di sinilah dibutuhkan rasa kepedulian khususnya di pihak pemerintah sebagai pelaksana tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Orang-orang kaya tidak membutuhkan beasiswa karena mereka memiliki kemampuan sendiri bahkan mereka memiliki kemampuan ekstra yang bisa digunakan untuk menolong orang lain untuk bisa kuliah. Prinsip ini yang kita sebut sebagai solidaritas.

Selain karena alasan ekonomi yang lemah, pemberian beasiswa juga harus mempertimbangkan dua alasan ini.

Pertama, mahasiswa yang akan diberikan beasiswa adalah orang dengan niat kuliah tinggi. Dia harus punya niat yang kuat untuk menyelesaikan pendidikan tinggi. Niat kuliah akan membuat kita percaya bahwa ia akan menyelesaikan kuliah sehingga beasiswa tidak sia-sia.

Niat ini juga akan membawa dia kepada syarat kedua bahwa dia mampu membuat pemberi beasiswa percaya bahwa orang ini kelak mampu hidup bersama disiplin ilmu yang dipelajarinya. Harapannya, di masyarakat nantinya ia sebagai sarjana mampu menularkan ilmu pengetahuan dalam hidup sehari-hari. Ia dapat memperbaiki keadaan dari pendekatan disiplin keilmuannya sehingga kita tidak akan mendengar orang berkata sisnis “sama we’e” alias sama saja atau tidak punya ciri hidup sebagai seorang yang berpendidikan tinggi.

Saya kira, dua syarat di atas adalah hal yang patut dipertimbangkan oleh Pemda manakala akan memberikan beasiswa sehingga beasiswa itu benar-benar tepat sasaran. 

Sebuah Model

Saat ini ketika kita menggagas beasiswa, kita harus mengakui bahwa zaman telah berubah. Kita berada pada situasi yang sangat baik bila dibandingkan dengan 10 atau 15 tahun lalu. Perubahan ini salah satunya ditandai dengan hadirnya dana desa. Dana desa dapat dilihat sebagai alat bantu di bidang pendidikan. Maksud saya adalah Pemda semestinya dapat duduk bersama dengan semua aparatur Pemdes di Kabupaten Sikka ini untuk menghasilkan satu gerakan bersama mendanai pendidikan tinggi yang baik di kabupaten ini.

Setiap Pemdes diharapkan memberikan beasiswa bagi anak-anak dari desa itu dengan jumlah tertentu. Fokus pemberian beasiswa berada di tingkat desa/kelurahan. Beasiswa ini tidak membebani keuangan kabupaten karena dia diambil dari sumber pemasukan desa juga dengan memanfaatkan semua kemungkinan pendapatan desa.

Akan tetapi, mengapa dalam hal ini Pemdes harus dilibatkan?

Prinsip yang digunakan dalam program ini adalah gotong-royong. Semakin banyak Pemdes yang terlibat dalam program ini maka besarnya biaya yang harus ditanggung oleh Pemda terasa ringan dan pemberian beasiswa bisa lebih tepat sasaran karena orang-orang di desa/kelurahan lebih saling mengenal satu sama lain sehingga mereka tahu siapa yang tepat mendapatkan beasiswa ini setelah ditetapkan syarat-syaratnya.

Andaikata satu Pemdes berkomitmen memberikan beasiswa kepada 10 anak per tahunnya maka lebih dari 1000 anak yang tertolong di kabupaten ini setiap tahun.  Kita harus bahagia karena program ini. Tentu sangat diharapkan, mahasiswa yang bersangkutan dapat melakukan penelitian skripsi di desanya sehingga hasil penelitian dapat dijadikan landasan ilmiah bagi kemajuan desa entah itu di bidang pertanian, ekonomi, psikologi, kebudayaan dan adat istiadat. Mengapa mahasiswa harus melakukan penelitian di desa, itu karena ia dibiayai oleh desa bukan perusahan-perusahaan swasta. Semakin banyak penelitian ilmiah semakin besar kemungkinan keputusan pembangunan desa didasarkan pada analisis rasional, bukan suka-suka.

Kedua yang juga penting, desa pada umumnya merupakan asal para leluhur kita. Di desa pelaksanaan tradisi terus diwariskan turun-temurun. Akan tetapi, tradisi yang diwariskan kepada kita harus diakui belum menampung makna pendidikan modern. Pendidikan dimulai dari PAUD hingga pendidikan tinggi tidak masuk sebagai unsur adat-istiadat kita padahal adat adalah salah satu penggerak hidup komunitasnya. Sejauh ini pendidikan dianggap sebagai urusan keluarga masing-masing bukan urusan dan tanggung jawab komunitas adat. Barangkali adat-istiadat kita tidak mengenal konsep pendidikan modern.

Kita pada umumnya baru mengenal pendidikan modern setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Bahkan di tahun 1990-an, pendidikan tinggi masih terbilang mewah. Di Maumere, pendidikan tinggi baru dirasakan rakyat setelah kehadiran Unipa di tahun 2005. Kini dari desa ke desa orang berbondong-bondong datang kuliah di Unipa karena adanya kemudahan berupa jarak yang dekat. Ini yang saya maksudkan pendidikan tinggi telah merakyat. Siapa saja dari pelosok desa apa saja di kabupaten ini asalkan niat ia bisa kuliah.

Keterlibatan Pemdes beserta masyarakat desa merupakan satu cara mencairkan pendidikan modern perlahan-lahan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari adat-istiadat kita orang Maumere, sehingga suatu waktu di masa mendatang pada saat membicarakan adat, entah itu adat perkawinan, pendidikan anak sudah menjadi bagian di dalamnya. Dampaknya akan sangat mendasar bahwa pendidikan modern tidak saja merupakan tanggung jawab Negara, melainkan juga sudah menjadi tanggung jawab komunitas adat orang-orang Maumere baik sebagai ata Muhan, ata Palu’e, ata Krowe dan ata Lio.

Unipa Maumere 

Lalu bagaimana dengan peran Pemda?

Di atas, saya sudah jelaskan bahwa beasiswa ditanggung oleh Pemdes sehingga Pemda dapat fokus pada hal lain yang lebih strategis.

Apa itu hal lain yang saya maksudkan di sini?

Di pulau Flores ini, kehadiran Universitas Nusa Nipa Maumere tidak bisa dilepaskan dari Pemda Sikka karena Pemda Sikka-lah yang menciptakan Unipa. Oleh karena itu, prioritas utama pemberian program beasiswa dan sejenisnya pertama-tama harus menempatkan Unipa di tempat pertama.

Prioritas terhadap Unipa adalah sebuah cara membangun pendidikan tinggi yang berkelanjutan di bumi Maumere ini. Dengan kata lain, saya ingin katakan bahwa beasiswa adalah salah satu cara Pemda memberikan dukungan berkelanjutan setelah Unipa dibangun tahun 2005 lalu.

Dukungan Pemda dapat dijalankan dengan dua cara.

Pertama, berupa subsidi uang kuliah bagi semua mahasiswa tanpa kecuali. Uang kuliah ditanggung sebagian oleh Pemda sehingga biaya kuliah menjadi lebih murah. Misalkan biaya kuliah satu semester adalah Rp4 juta setelah disubsidi biaya kuliah menjadi Rp1,5 juta saja per/semesternya. Pemda menanggung Rp2,5 juta per/mahasiswa. Murahnya biaya kuliah akan menarik minat anak-anak muda di Flores bahkan di Indonesia untuk datang kuliah di Unipa. Kehadiran mereka akan membuat banyak orang berkunjung ke kota Maumere.

Inilah yang persis terjadi di kota-kota besar seperti kota Malang dan Yogyakarta. Kehadiran orang dalam jumlah banyak dengan durasi empat sampai lima tahun selama masa kuliah akan mendorong kemajuan ekonomi masyarakat setempat dimulai dari bisnis kos-kosan, percetakan, kios sembako, kebutuhan akan makanan, pakaian hingga bisnis agen travel dan lainnya.

Saya pikir keputusan untuk memberikan subsidi uang kuliah jauh lebih bernilai strategis jika dibandingkan dengan keputusan melakukan berbagai macam proyek pembangunan fisik yang sering kali mubazir dan kurang bernilai untuk jangka panjang. Inilah adalah investasi jangka panjang di bidang pendidikan dengan pengaruhnya yang sangat positif terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat di Sikka, salah satunya ekonomi kita akan tumbuh sehingga kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.

Kedua, dukungan Pemda berupa dana hibah penelitian. Setiap organisasi yang inovatif selalu didukung oleh ramainya penelitian. Kita lihat perusahaan-perusahaan telekomunikasi dan militer maju pesat berkat penelitian yang terus-menerus. Keunggulan di bidang penelitian membutuhkan dukungan dana terus-menerus. Demikian pun halnya dengan Unipa, dukungan dana hibah penelitian akan mendorong Unipa melakukan penelitian ke berbagai bidang kehidupan masyarakat kabupaten Sikka bahkan Flores. Penelitian-penelitian ini akan menjadi pijakan perubahan dan kemajuan masyarakat Flores di masa depan. Maumere kemudian menempatkan dirinya menjadi kota pusat penelitian yang khas di daratan Flores ini.

Sumber Dana

Tentu pemerintah dapat menggunakan dana yang bersumber dari APBN. Namun, saya menawarkan sumber pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD menuntut kreativitas Pemda dengan menggunakan kekuatan daerah.

Saya menawarkan empat jalan keluar.

Pertama, meningkatkan produksi yang lebih besar dari pabrik coklat Cho-Sik untuk diekspor keluar negeri.

Kedua, mendorong bisnis PDAM untuk segera memiliki pabrik AMDK sendiri sehingga PDAM selain menjual air minum lewat pipa meteran juga menjual dalam bentuk air gelas dan botol ke masyarakat.

Ketiga, mendorong dibentuknya pabrik pengalengan daging babi sehingga bisa di ekspor ke luar negeri. Pabrik pengalengan daging babi dapat dilakukan karena banyaknya ketersediaan ternak babi di Maumere dan Flores.

Keempat, dibentuknya industri minuman Moke dengan kualitas baik untuk di pasarkan se-daratan Flores. Keuntungan dari empat pabrik di atas dapat digunakan sebagai sumber pendanaan.

Selain itu, Pemda juga dapat menggalang dana dari orang-orang kaya di Maumere setiap tahunnya sebagai bentuk solidaritas terhadap kemajuan masyarakat Sikka dan juga kita dapat membentuk peraturan daerah berupa retribusi pesta seperti retribusi pesta pernikahan dan pesta sambut baru. Dana retribusi pesta dapat dikumpulkan melalui aparat desa dan kelurahan. 

*   Penerima Beasiswa Keuskupan Maumere di Unika Widya Mandala Surabaya

Berlakulah Adil, Wahai Wakil Rakyat!

0

Hari-hari ini, Indonesia sedang demam seremoni pelantikan para wakil rakyat. Di Kabupaten Sikka, misalnya, 34 anggota DPRD Sikka periode 2019 – 2024 dilantik Ketua Pengadilan Negeri Maumere Johnicol R. Frans Sine, S.H. di gedung DPRD Sikka, Senin (26/8).

Apa pesan kita buat para wakil rakyat ini?

Seluruh pesan untuk para wakil rakyat bisa dirumuskan dalam satu pesan atau imperatif kategoris: “berlakulah adil.”

Mengapa harus adil?

“Kerajaan-kerajaan tanpa keadilan apa itu selain gerombolan-gerombolan perampok? Oleh karena itu halus dan benar jawaban yang diberikan oleh seorang perampok laut kepada Iskandar Agung, sewaktu sang raja bertanya bagaimana dia itu sampai berani membuat laut menjadi tidak aman. Maka orang itu dengan bangga dan terbuka mengatakan: ‘Dan bagaimana engkau sampai berani membuat seluruh bumi menjadi tak aman? Memang, aku dengan perahu kecilku disebut perampok, tetapi engkau dengan angkatan laut besar disebut panglima yang jaya,” tulis Aurelius Agustinus (dikutip dari Otto Gusti Nd. Madung, 2013, p. 7).

Negara tanpa keadilan ibarat organisasi gerombolan perampok. Keadilan adalah dasar sekaligus tujuan utama Negara. Maka, Negara Pancasila mencantumkan “keadilan sosial” dalam Pancasila sebagai salah satu dasar legitimasinya.

Akan tetapi, apa itu keadilan? Apa indikator para wakil rakyat kita sudah berlaku adil?

Pertanyaan pertama membahas hakikat keadilan formal, sedangkan pertanyaan kedua mendiskusikan hakikat keadilan material.

Mengutip Celsus, Pengarang Roma bernama Ulpianus mendefinisikan keadilan sebagai “tribuere cuique suum” (Latin) atau “to give to every body own” (Inggris) atau “memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya” (Indonesia) (K. Bertens, 2000, p. 87).

Sesudah pengertian tentang “hak” viral pada akhir abad ke-17, keadilan kemudian jamak dipahami sebagai “memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.”

Agar definisi formal keadilan di atas bisa diterapkan, maka dibutuhkan prinsip-prinsip material.

K. Bertens membagi enam prinsip material keadilan distributif, yaitu bagian yang sama (1), kebutuhan (2), hak (3), usaha (4), kontribusi kepada masyarakat (5), dan jasa (6) (Ibid., pp. 96-97).

Prinsip material pertama sangat ditekankan oleh penganut teori egalitarianisme. Kaum egalitarian berpendapat, keadilan digapai manakala semua orang memperoleh bagian yang sama. Akan tetapi, kita tahu, sekalipun martabat manusia setiap orang sama, dalam banyak hal, setiap manusia itu tidak sama (Ibid., p. 97).

Oleh karena itu, para penganut teori sosialisme menekankan pentingnya prinsip kedua. Kaum sosialistis berpendapat, keadilan digapai manakala setiap orang sanggup memenuhi kebutuhannya. Prinsip mereka yang terkenal dari Karl Marx adalah “from each according to his ability, to each according to his needs” atau “dari setiap orang menurut kemampuannya, kepada setiap orang menurut kebutuhannya.” Akan tetapi, kita tahu, keadilan yang hanya berdasarkan pada kebutuhan akan menurunkan produktivitas kerja. Selain itu, keadilan yang hanya berdasarkan pada kemampuan akan membonsai hak asasi warga Negara untuk memilih pekerjaan sesuai dengan hati nurani (Ibid., p. 99).

Para penganut teori liberalisme kemudian menekankan pentingnya prinsip ketiga, keempat, dan terutama keenam. Kaum liberalistis berpendapat, keadilan digapai manakala pembagian kekayaan dilakukan berdasarkan usaha-usaha bebas, jasa, dan prestasi setiap orang. Akan tetapi, kita tahu, kelompok difabel, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), dan kelompok marginal lainnya dalam masyarakat tidak bisa bekerja dan berprestasi sebagaimana laiknya kelompok masyarakat lainnya (Ibid., p. 100).

Setiap teori tentang keadilan di atas punya plu-minus masing-masing.

Maka, John Rawls, seorang filosof politik terkemuka abad ke – 20, dalam bukunya “Theory of Justice” mengajukan dua (2) prinsip keadilan sebagai berikut (Ibid., pp. 103-104).

Prinsip pertama adalah “setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk semua orang.”

Prinsip kedua adalah “ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga (a) menguntungkan terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga (b) melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.

Prinsip pertama disebut prinsip kesamaan karena memperjuangkan “kebebasan yang sedapat mungkin sama.” Misalnya, semua warga Negara memiliki hak yang sama untuk mengemukakan pendapat, berkumpul, dan memeluk agama tertentu. Batasan kebebasan setiap orang adalah kebebasan semua orang lainnya.

Prinsip kedua bagian (a) disebut prinsip perbedaan karena memperjuangkan perbedaan perlakuan Negara terhadap warga Negara yang minimal beruntung. Misalnya, adalah adil jika pemerintahan Robby Idong memberi beasiswa pendidikan bagi siswa atau mahasiswa dari keluarga miskin di Kabupaten Sikka.

Prinsip kedua bagian (b) disebut prinsip persamaan peluang yang fair karena menampung ketidaksamaan kedudukan sosial, politik, dan ekonomi di dalam masyarakat. Misalnya, 35 anggota DPRD Sikka berhak dilantik dan terima gaji sebagai wakil rakyat karena sudah melalui tahapan pemilihan legislatif (Pileg) yang demokratis dan fair. Keadaan baru menjadi tidak adil kalau misalnya oknum anggota DPRD Sikka terpilih pakai politik uang untuk meraup suara di pentas elektoral agar bisa duduk di Lepo Kula Babong.

Para wakil rakyat berlaku adil apabila dia antara lain pertama, menjalankan tiga fungsi utamanya, yaitu anggaran, legislasi, dan pengawasan serta kedua, dalam pelaksanaan fungsi itu, dia tidak “main mata” dengan pemerintah untuk menggarong uang rakyat melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Jangan “Main Mata” dengan Pemerintah dan Karya Sastra Berjudul “Saksi Mata”

Maumere, Ekorantt.comJangan “Main Mata” dengan Pemerintah. Begitulah bunyi headline Surat Kabar EKORA NTT Edisi 88 Kamis, 29 Agustus 2019. Konteksnya adalah pelantikan anggota DPRD Sikka Periode 2019-2024 di Gedung Kula Babong, Jalan El Tari, Maumere, Kabupaten Sikka.

Para redaktur media ini tampaknya ingin memberikan tone yang tegas kepada  wakil-wakil rakyat yang baru diresmikan statusnya itu. Bahwa menjadi bagian dari badan legislatif sepatutnya bekerja mengontrol eksekutif, dan bukan sebaliknya; saling main mata, kongkalikong, apalagi sampai sekongkol untuk bagi-bagi jatah proyek.

Media sebagai representasi suara publik memang sangat wajar melontarkan gagasan politik redaksi semacam itu. Pers adalah pilar keempat demokrasi. Pers bekerja untuk memberi makna pada demokrasi. Dengan begitu, keberpihakan kepada rakyat menjadi hal yang tak tersangkalkan.

Tentu saja kita berharap, anggota-anggota dewan termaksud mencerna makna dari “Jangan ‘Main Mata’ dengan Pemerintah.” Bukan hanya dengan membeli koran atau memasang iklan seputar momen historis pengukuhan, melainkan dengan menanamkan baik-baik amanat publik yang salah satunya diwakili lewat media. Kenangan seremonial dapat ditaksir dengan nominal. Tapi tidak untuk pengamalan janji-janji sewaktu momen kampanye dulu. Harga yang harus dibayar untuk traktat ini hanyalah kepercayaan semata. Taruhannya adalah harga diri.

Penggunaaan frasa “main mata” dalam pemberitaan EKORA NTT memang sangatlah menarik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu definisi “main mata” adalah mengadakan kontak dengan pihak lain untuk tujuan yang menguntungkan pihak tertentu. Contoh kalimat yang ditawarkan; terdakwa itu main mata dengan hakim. Yang berarti, terdakwa dalam proses persidangan melakukan kontak dengan pihak hakim agar membawa keuntungan bagi dirinya, seperti pembebasan perkara, pengurangan masa hukuman, dan lain sebagainya. Tarik ulur tafsiran bisa merujuk pada perbuatan suap-menyuap atau sogok-menyogok. Dengan uang dan barang, misalnya.

Berkenaan dengan “main mata” ini, kita mungkin teringat pada sebuah cerpen karya penulis kawakan Seno Gumira Ajidarma. Judulnya hampir mirip; Saksi Mata. Substansinya jelas beda.

Dalam cerpen yang ditulis di Jakarta, medio 4 Maret 1992 itu, Seno melukiskan sebuah situasi persidangan yang di dalamnya terjalin percakapan antara seorang hakim dan pengadu perkara yang notabene matanya buta karena tercongkel sendok.

Percakapan-percakapan tampak menarik karena si hakim seolah-olah merasa kebingungan oleh keterangan pengadu perkara yang juga menjadi saksi itu sendiri. Sebabnya, yang dia adukan adalah pelaku-pelaku yang tak ada di tempat. Bahkan, beberapa kali keterangan dia tak masuk akal pun tak menjawabi inti pertanyaan hakim.

“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.”

“Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?”

“Yang mengambil mata saya Pak.”

“Tentu saja, bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara pakai sendok?”

“Dia tidak bilang siapa namanya Pak.”

“Saudara tidak tanya bego?”

“Tidak Pak.”

Atau, sebagaimana dinarasikan sebagai berikut.

“Ngomong-ngomong, kenapa saudara diam saja ketika mata saudara diambil dengan sendok?”

“Mereka berlima Pak.”

“Saudara kan bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja di dekat saudara atau ngapain kek supaya tetangga mendengar dan menolong saudara. Rumah saudara kan di gang kumuh, orang berbisik di sebelah rumah saja kedengaran, tapi kenapa saudara diam saja?”

“Habis terjadinya dalam mimpi sih Pak.”

Orang-orang tertawa. Hakim mengetuk lagi dengan marah.

Konteks penulisan cerpen ini adalah situasi Orde Baru yang mana negara menjadi pengatur otoriter bagi segala sendi kehidupan masyarakat. Baik tata sosial-budaya, maupun ekonomi-politik. Si “Saksi Mata” sendiri barangkali terbaca sebagai warga yang takut bicara atas represi yang menimpanya. Warga yang sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah dibikin buta (oleh kekuasaan), tapi cemas atau tak mau atau berusaha membungkam suaranya pula.

Realita sekarang memang berbeda dengan latar pemunculan karya sastra itu. Pasca tumbangnya Orde Baru, kebebasan berbicara menjadi salah satu matra khas dari apa yang kita kenal sebagai Reformasi. Meskipun hal ini seyogianya bisa ditakar kembali, berkaca pada berbagai peristiwa “tekanan” yang dibuat oleh aparatur negara juga kelompok masyarakat tertentu.

Terlepas dari risalah itu, dalam posisi mencari keterhubungan “Main Mata” dan “Saksi Mata”, kita tentu berharap, warga atau publik tidaklah menjadi seperti figur “Saksi Mata” dalam disposisi sebagai orang yang tak mau atau genting bicara. Sebab, “kekerasan” dari penguasa (baca: wakil rakyat, anggota DPRD) mungkin bukanlah lagi berbentuk fisik, melainkan apa yang dinamakan oleh pemikir Antoni Gramsci sebagai “kekerasan budaya” atau hegemoni.

Hegemoni ini sifatnya halus dan tak kelihatan. Seorang anggota DPRD yang melakukan korupsi bisa membuat masyarakat, bahkan media, adem ayem dan seolah-olah tak sadar atas kejahatannya. Dengan memberikan bantuan-bantuan atau membuat acara pesta yang merangkul semua kalangan. Ada citra baik yang hendak dia bangun untuk menutupi atraksi busuk dia. Seolah-olah merakyat, tapi membuat skandal di balik meja atau gedung yang mewah. Saat sidang, gagasannya tajam, tapi tak ada satu pun kebijakan anggaran yang betul-betul pro rakyat. Dalam paradigma relasi kuasa, itu sebenarnya adalah bentuk “kekerasan” juga.

Maka dari itu, para wakil rakyat semestinya sadar sekaligus paham akan kapasitas dan kapabilitas mereka. Mereka mungkin tak gemar membaca, apalagi diajak berpikir kritis. Namun, setidaknya mereka membaca fungsi, tugas juga wewenangnya agar tidak lagi salah kaprah sebagaimana memacak slogan-slogan kampanye yang isinya sebetulnya jadi tanggung jawab ranah pengambil keputusan (eksekutif).

Kalau tidak sadar dan paham, “main mata” bisa saja terjadi. Kalau sudah “main mata”, orang bisa jadi “buta mata”. Dan ketika publik ataupun media tampil sebagai “saksi mata” untuk memberikan penghakiman, para kaum “buta mata” itu ramai-ramai berkilah dengan dalih yang terlihat cengeng dan serampangan.

Sarlin Dalee Jones, Pejuara I “Miss Grand Indonesia 2019” dari NTT, Idolakan Sang Ayah

0

Maumere, Ekorantt.com – Sarlin Delee Jones menambah daftar panjang anak muda berprestasi dari Nusa Tenggara Timur.

Dara cantik ini menjadi pejuara I ajang Miss Grand Indonesia 2019. Sebuah pencapaian luar biasa yang menunjukkan kualitas anak muda NTT.

Mahkota juara diserahkan langsung oleh Miss Grand International 2018 Clara Sosa di malam puncak pemilihan Miss Grand Indonesia 2019 di Balai Sarbini, Jakarta Selatan, Kamis, 29 Agustus 2019 .

Aplaus meriah dari penonton dan ucapan selamat dari rekan-rekan finalis Miss Grand Indonesia 2019 pun diberikan kepada Sarlin Jones.

Miss Grand itu sendiri adalah ajang kecantikan yang membawa misi perdamaian dunia.

Alumna SMAN 3 Kupang ini mengaku baru pertama kali mengikuti ajang Miss Grand.

Alasan dia ikut ajang ini adalah hendak membanggakan Provinsi NTT dan menambah pengalaman.

Dia bangga berhasil mengungguli 33 wakil dari seluruh provinsi di Indonesia.

Prestasi ini diraihnya juga berkat dukungan masyarakat NTT. Terutama pada malam puncak, banyak masyarakat NTT menggelar nonton bareng, termasuk di kediaman Sarlin di Sikumana, Kupang.

Sarlin kelahiran Kupang, 8 Mei 2001. Usianya baru 18 tahun. Ia adalah putri pertama dari pasangan David Jones dan Adriana Lede (Alm.).

Dara cantik ini berdarah campuran, ayahnya dari Amerika, sedangkan ibunya dari Sabu Raijua.

Sehari-hari, Sarlin menjadi freelancer model di Kupang.

Pada sesi tanya jawab TOP 3 malam puncak Miss Grand Indonesia 2019 pada 29 Agustus 2019, Sarlin ditanya tentang tokoh idola yang menjadi inspiratornya.  

Ia menjawab, inspiratornya adalah sang ayah.

“Sosok yang menjadi inspirasi saya adalah ayah saya. Ia selalu memberikan yang terbaik buat saya. Ia selalu mendukung saya dalam setiap keadaan. Ia adalah sahabat terbaik saya. Selain ayah, bagi saya, ia juga ibu bagi saya,” ucap Sarlin Delee Jones di hadapan para juri.

Dari atas sana, sang ibu tentu bangga, putri sulungnya berhasil mengharumkan nama NTT.

Setelah menjadi Miss Grand Indonesia 2019, Sarlin Jones akan mewakili Indonesia pada ajang Miss Grand International 2019 di Venezuela.

Aty Kartikawati