Selain Stadion, Bupati Agas Berencana Bangun Sekolah Bakat dan Prestasi di Matim

Borong, Ekorantt.com – Dalam sambutannya di sela-sela acara penyerahan tanah dari Pemerintah Desa Bamo kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (27/08/2019), Bupati Matim Agas Andreas menyampaikan visinya membangun sebuah sekolah bakat dan prestasi di sekitar lokasi tanah yang direncanakan akan didirikan stadion dan fasilitas olahraga tersebut.

Menurut Bupati Agas, Kecamatan Kota Komba adalah salah satu kecamatan di Matim yang sangat menonjol dalam bidang olahraga, entah sepakbola maupun olahraga atletik. Untuk menjawab ketersediaan potensi itu,  pembangunan fasilitas olahraga di daerah tersebut akan berjalan beriringan dengan pembangunan sekolah bakat dan prestasi. 

Bupati Agas menegaskan, pemerintah berencana membangun sekolah, sejak SMP yang secara khusus membina anak-anak yang memiliki bakat dan komitmen di bidang olahraga. Sekolah ini diharapkan dapat mencetak bibit-bibit unggul dan profesional yang bisa hidup dan mendapat penghasilan ekonomi dari olahraga.

Bupati Agas juga menyinggung prestasi seorang pesepakbola dari Kisol yang dikontrak oleh salah satu klub profesional di Indonesia, Borneo FC. Sebagai Bupati, Agas mengaku bangga melihat putra daerah bisa berpartisipasi di kompetisi berskala nasional. Ia berharap lebih banyak pesepakbola dari daerah yang menjadi profesional di bidangnya dan mampu menunjang ekonomi rumah tangga dan juga daerah.

“Yang cepat kaya di zaman sekarang adalah orang-orang yang memiliki bakat atletik. Untuk itu saya menginginkan Bapa, Ibu sekalian membina anak-anak kalian ke situ. Ada tiga cabang olahraga baru yang saya mau buka di Kabupaten Manggarai Timur dan sudah ditandatangani kemarin. Tiga cabang olahraga itu yakni, atletik, silat, dan taekwondo. Mengapa saya buka tiga cabang olahraga ini? Menurut saya, ketiga inilah yang sejauh ini punya prestasi. Bola kaki tetap kita bina karena itu bagian dari olahraga masyarakat”, jelas Bupati Agas.

Ia juga berharap stadion dan fasilitas olahraga tersebut bisa dikelola oleh Dinas Pemuda dan Olahraga.

“Kemarin saya berusaha untuk mengadakan Dinas Pemuda dan Olahraga, tetapi skornya belum layak, masih kurang. Saya ingin kalau besok dievaluasi dan hasilnya layak dan jadi bentuk dinas tersebut maka saya buka kantornya dan kita tempatkan di tempat ini supaya dinas yang kelola stadion ini”, katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya oleh Ekorantt.com, Pemerintah Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Nusa Tenggara Timur (NTT) menyerahkan tanah seluas 132.683 (seratus tiga puluh dua ribu enam ratus delapan puluh tiga) meter persegi kepada pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Penyerahan tanah yang berlokasi di pantai Nanga Rawa ini akan digunakan untuk pembangunan fasilitas olahraga oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur. Penyerahan tanah tersebut terjadi pada Selasa, (27/08/2019).

Mulia Donan

Pemdes Bamo Serahkan 132.683 Meter Persegi Tanah ke Pemda Matim

0

Borong, Ekorantt.com – Pemerintah Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Nusa Tenggara Timur (NTT) menyerahkan tanah seluas 132.683 (seratus tiga puluh dua ribu enam ratus delapan puluh tiga) meter persegi kepada pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Penyerahan tanah yang berlokasi di pantai Nanga Rawa ini akan digunakan untuk pembangunan fasilitas olahraga oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur Selasa, (27/08/2019).

Bupati Manggarai Timur Agas Andreas, SH, M.Hum bersama Wakil Bupati Matim Drs. Jaghur Stefanus melakukan penanaman pilar secara simbolis di lokasi tersebut, disaksikan langsung  oleh tokoh adat, tokoh masyarakat, dan kepala Desa Bamo.

Usai penanaman pilar secara simbolis, Bupati dan Wakil Bupati Matim langsung menandatangani surat berita acara penyerahan tanah dari Pemerintah Desa Bamo ke pihak Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Agas Andreas memberikan apresiasi yang tinggi kepada pemerintah Desa Bamo, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan seluruh masyarakat Desa Bamo yang sudah memberikan tanah kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur. 

Bupati Agas menjelaskan, rencana penyerahan tanah ini sudah dicanangkan sejak lama. Ia pertama kali mendapat informasi penyerahan tanah itu dari ketua DPRD Matim, Lucius Modo. Setelah itu ia langsung menemui kepala desa, mantan kades, para tokoh masyarakat setempat dan langsung melakukan diskusi hingga mencapai kesepakatan.

Bupati Agas berterima kasih kepada masyarakat desa karena menurutnya masyarakat desa memiliki pikiran yang terbuka dan progresif dalam melihat pembangunan daerah.

Dikatakan Bupati Agas, pembangunan fasilitas olahraga di Matim membutuhkan tanah yang bersertifikat. Sertifikat itu bukti sah kepemilikan tanah. Ia menyoroti banyak kasus gagalnya proyek pembangunan di NTT yang dipicu oleh status kepemilikan tanah yang tidak beres. Masalah batas dan kepemilikan tanah adalah hal yang sangat sensitif dalam masyarakat adat Manggarai umumnya, karena itu harus segera dituntaskan.

“Untuk itu, hari ini saya langsung turun sendiri di tempat ini, menyaksikan seperti apa masyarakat, tokoh masyarakat, dan tokoh adat yang ada di Desa Bamo menunjuk titik-titik lokasi pengukuran. Titik-titik itu ditunjuk bukan oleh Bupati dan Wakil Bupati tetapi oleh tokoh adat, tokoh masyarakat, Kepala Desa Bamo, dan seluruh masyarakat Desa Bamo”, ungkap Agas.

Usai penyerahan tanah tersebut, bupati Agas menginstruksikan Kadis Pertanahan dan wakil dari Bagian Pertanahan Nasional untuk segera menindaklanjuti kesepakatan penyerahan tanah tersebut dengan penerbitan sertifikat tanah agar proses pembangunan stadion bisa segera dijalankan.

Selain stadion, tahun ini di Kecamatan Kota Komba akan dibangun arena pacuan kuda. Arena pacuan kuda tersebut akan dibangun di daerah pantai, tepatnya di Mausui. Agas menerangkan pada saat ulang tahun Kabupaten Manggarai Timur nanti, lokasi pacuan kuda di Mausui akan sudah dibangun.

Hadir dalam penyerahan tanah itu, Bupati Manggarai Timur Agas Andreas, SH,  M.Hum, Ketua Tim penggerak PKK Matim Ny. Theresia Wisang Agas, Wakil Bupati Matim Drs. Jaghur Stefanus, Ketua DPRD Matim Lucius Modo, Wakil Ketua DPRD Matim Gonis Bajang, dan seluruh pimpinan OPD terkait.

Hadir pula, Kepala Desa Bamo Vinsensius Bela, Camat Kota Komba, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan seluruh masyarakat Desa Bamo.

Mulia Donan

Pemkab Matim Gandeng LP2M Undana Kupang Bangun Potensi Ekonomi Daerah

0

Borong, Ekorantt.com – Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Pemkab Matim), Provinsi Nusa Tenggara Timur, menjalin kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, terkait pengembangan potensi daerah di Kabupaten Manggarai Timur.

Untuk tujuan tersebut, Pemkab Matim bersama LP2M Undana menginisiasi kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang membahas gambaran dan desain umum mengenai potensi komoditas lokal serta kemungkinan pemanfaatannya untuk peningkatan ekonomi daerah.

Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui Dinas Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah dan Perwakilan dari LP2M Undana Kupang bersama beberapa Organisasi Perangkat Daerah, pemerhati UKM, pelaku UKM, mitra UKM seperti Bank dan Koperasi serta perwakilan pers. 

FGD tersebut dilaksanakan di gedung Sentra Industri Kecil Menengah (IKM), Golo Lada, Borong, Kelurahan Rana Loba, Kecamatan Borong, Selasa,(27/08/2019).

Ketua Tim LP2M Undana Kupang, DR.Ir. Yohanis Ly, M.Sc, saat memberikan sambutan pembuka menyampaikan, FGD tersebut bertujuan memberikan informasi kepada stakeholders mengenai komoditas/produk/jenis usaha (KPJU) yang potensial untuk dijadikan unggulan daerah.

FGD ini juga memetakan produk-produk lokal yang sedang atau akan dikembangkan oleh para pelaku  usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Kabupaten Manggarai Timur. UMKM dan produk-produk unggulannya ini sekaligus memainkan peran penting sebagai penyumbang KPJU untuk Provinsi NTT.

“Saya mohon peserta FGD untuk berperan aktif, demi terjawabnya tujuan baik kegiatan ini. Peran aktif yang dimaksud adalah bisa memberikan pendapat secara terbuka sesuai kenyataan yang terjadi di lapangan”, ucap dosen Undana itu.

Selain itu, pihaknya juga meminta peserta kegiatan untuk berpendapat melalui kuesioner.

“Bagi peserta kegiatan yang enggan memberikan pendapat secara terbuka saat FGD ini, kami siapkan formulir kuesioner untuk meluapkan pendapatnya. Hal ini kami lakukan agar semua pikiran peserta dapat terserap dengan baik”, ujarnya.

Sekretaris Daerah Kabupaten Manggarai Timur, Ir. Boni Hasudungan yang hadir mewakili Bupati Matim dalam sambutan pembukaan kegiatan itu mengatakan, para peserta hendaknya sedapat mungkin mengikuti kegiatan dengan maksimal.

“Saya minta peserta kegiatan mengikuti kegiatan dengan aktif agar hasilnya dapat bermanfaat bagi daerah ini”, ujarnya

Selain itu, Sekda Matim juga meminta agar output dari kegiatan ini benar-benar mampu memberikan wawasan sekaligus kompetensi bagi para peserta untuk dapat  memaksimalkan komoditas-komoditas potensial daerah yang sedang diusahakan demi menunjang pembangunan dan pengembangan ekonomi Kabupaten Manggarai Timur.

Mulia Donan

Kodim Sikka Juarai Turnamen Pelita Cup 3

0

Maumere, Ekorantt.com – Tim tenis lantai Komando Distrik Militer (Kodim) 1603 Sikka menjuarai turnamen Pelita Cup 3 yang berlangsung di Lapangan Tenis Manunggal Kodim Sikka pada 21 sampai 25 Agustus 2019. Tim Tenis Kodim Sikka unggul dari tim tenis lantai Polres Sikka yang berada di posisi kedua.

Usai pertandingan puncak, pihak Hotel Pelita Maumere sebagai penyelenggara turnamen menyerahkan piala dan uang pembinaan kepada para juara.

Komandan Kodim Kodim1603 Sikka, Letkol Sugeng Prihatin mengaku bangga dengan apa yang diraih timnya. Baginya, kemenangan ini merupakan buah dari kerja keras dan kerja tim yang solid.

Tahun 2019, kata Letkol Sugeng, merupakan tahun ketiga penyelenggaraan turnamen tenis lantai beregu ini dan tim Kodim Sikka menang tiga tahun berturut-turut.

“Kodim Sikka sudah tiga kali juara. Nanti kami dapat piala tetap. Ini jadi kebanggaan kami,” tutur Letkol Sugeng.

Ia juga bersyukur karena ada pihak yang menaruh perhatian dengan olahraga tenis lantai di Kabupaten Sikka. Penyelenggaraan turnamen tenis merupakan langkah untuk menggelorakan olahraga tenis di Kabupaten Sikka.  

“Rencananya kedepan ada banyak tim yang ikut. Tapi yang penting kita harus jaga kebersamaan sambil mendorong tenis di Sikka bisa lebih maju,” kata Letkol Sugeng.

“Jangan anggap remeh kami yang sudah tua, kami bisa lebih jago dari muda-muda. Karena itu, kita lahirkan bibit-bibit muda dan terus memasyarakatkan tenis lantai,” tambah Letkol Dugeng.

Ia meminta dukungan pemerintah Kabupaten Sikka melalui KONI agar bisa mengalokasikan dana untuk mendidik anak-anak muda dalam menekuni olahraga tenis lantai.

Hal senada disampaikan penyelenggara Pelita Cup, Marcel Iwo. Menurutnya, selain membina kebersamaan, turnamen Pelita Cup juga merupakan ajang untuk mengairahkan olahraga tenis lantai di Kabupaten Sikka.

“Kita harapkan tenis di Sikka terus berkembang. Ciptakan pemain-pemain muda dan selalu ada bibit-bibit pemain muda yang bagus,” kata Marcel.

Sebagai sponsor tunggal, tutur Marcel, Hotel Pelita akan terus menyelenggarakan turnamen Pelita Cup setiap tahun. Bahkan, ia mengharapkan, peserta yang ikut bisa bertambah dari tahun ke tahun.

Adapun peserta dalam turnamen Pelita Cup 3 2019 yakni Kodim Sikka, Polres Sikka, Pengadilan Agama/PLN, Pemda/Rutan dan tim Hotel Pelita.

Konsorsium Penerbit Jogja Melawan Pembajakan Buku

0

Yogyakarta, Ekorantt.com – Kurang lebih 12 penerbit di Yogyakarta yang tergabung dalam Konsorsium Penerbit Jogja (KPJ) resmi melaporkan perkara pembajakan buku yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Buku-buku bajakan itu disebar dan dijual secara terang- terangan di kios-kios buku di Shoping Center Yogyakarta.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh EKORA NTT, ke-12 penerbit yang dimaksud adalah CV Gava Media, Media Pressindo, Pustaka Pelajar, CV Pojok Cerpen, PT Gardamaya Cipta Sejahtera, PT Galang Media Utama, PT LkiS Pelangi Aksara, Penerbit Ombak, PT Bentang Pustaka, CV Kendi, CV Relasi Inti Media, dan CV Diva Press.

“Ini merusak ekosistem penerbitan buku dan merugikan dunia penerbitan. Ini harus dilawan dan dibawa ke muka hukum,” kata Hisworo Banuarli.

Laki-laki yang kerap disapa Hinu OS ini memimpin rekan-rekannya di penerbitan untuk mengepalkan keyakinan yang sama bahwa pembajakan buku ini mestilah dilawan.

Untuk itulah, Hinu OS yang didampingi sejumlah pengacara dari PBH IKADIN mendatangi Polda DIY dan memberikan laporan rinci. Atas laporan itulah, pihak Polda mengeluarkan surat No. LP/0634/VIII/2019/DIY/SPKT yang isinya menerima laporan pihak KPJ yang diwakili Hinu OS alias Hisworo Banuarli yang dalam laporannya menyertakan sejumlah judul buku yang dibajak pihak tak bertanggung jawab di Shoping Center.

Pelaporan bertanggal 21 Agustus 2019 itu merupakan upaya penerbit-penerbit di Yogyakarta dalam menyikapi pembajakan buku yang makin masif dan terbuka. Bahkan, buku belum resmi beredar di toko buku, bajakannya sudah muncul terlebih dahulu di kios-kios buku.

Akibat pembajakan ini, penerbit yang mengolah naskah hingga terbit sebagai buku kehilangan pendapatannya.

“Buku itu sebelum terbit melewati proses yang panjang. Di sana ada editor, desainer isi dan sampul, pembaca ahli, dan seterusnya. Penerbit mengeluarkan dana besar untuk pembiayaan-pembiayaan itu. Pembajakan membuat penerbit limbung,” lanjut Hinu.

Bukan hanya penerbit yang dirugikan, penulis pun kehilangan pendapatannya berupa royalti dari proses industri perbukuan.

“Menulis buku itu berat. Jika kau pegawai negeri, gaji bulananmu masih bisa menopang kehidupanmu dan kehidupan keluargamu. Namun, jika kamu hanya mengharapkan royalti buku untuk kehidupan finansialmu, hidupmu pasti akan sialan,” tukas Muhidin M. Dahlan. Hampir semua buku yang ditulisnya dibajak di Shoping Center Yogyakarta. “

Begitu meresahkannya pembajakan buku ini. Mestilah ini harus dilawan dengan memberikan kepercayaan kepada para penegak hukum untuk mengambil tindakan. Apalagi, dunia literasi sedang tumbuh. Festival buku juga kembali menggeliat. Di Yogyakarta, sebut saja MocoSik Festival, Patjar Merah, Kampung Buku Jogja (KBJ), maupun Islamic Book Fair (IBF).

“Sebagai penulis, pemilik penerbitan independen, saya merasakan kerugian yang sangat besar dari praktik jahat pembajakan buku ini. Karena itu, MocoSik Festival turut mengutuk pembajakan buku dan mendukung pelaporan yang dilakukan Konsorsium Buku Jogja (KBJ). Sebab, jika bukan dilawan secara bersama-sama, pembajakan ini bisa mengubah persepsi masyarakat bahwa tindakan jahat dan ilegal itu pekerjaan ‘biasa-biasa’ saja. MocoSik mendukung penuh agar pihak aparat keamanan menindak pelaku-pelaku pembajakan buku itu,” tegas Irwan Bajang, CEO MocoSik Festival.

Sementara itu, Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Yogyakarta yang dipimpin Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H., melalui Pusat Bantuan Hukum (PBH) IKADIN Yogyakarta, mendukung penuh apa yang dilakukan 12 (dua belas) penerbit yang tergabung dalam Konsorsium Penerbit Jogja. IKADIN menjadi pendamping 12 penerbit tersebut ke Polda DIY.

Hal itu dilakukan IKADIN karena adanya dugaan tindak pidana kekayaan intelektual hak cipta berupa pembajakan buku berlisensi.
“Ini merupakan wujud komitmen IKADIN Yogyakarta dalam penegakan hukum dalam rangka membangun suasana akademis di Yogyakarta yang fair, bermartabat dan bermoral, mengingat Yogyakarta merupakan kota pelajar dimana para cendekiawan lahir,” jelas Dr. Ariyanto, S.H., C.N., M.H.

“Matinya Toekang Kritik” dan Pemegang Kuasa yang Mati Rasa

Maumere, Ekorantt.com – Buku Matinya Toekang Kritik (Penerbit Lamalera, Yogyakarta, 2006) merupakan kumpulan monolog tulisan Agus Noor yang pernah dibawakan Butet Kartaredjasa pada berbagai kesempatan manggung di Nusantara, terutama di Jawa. Entah terjadi dalam ruang publik yang skalanya luas, ataupun panggung-panggung bersekop terbatas.

Esensi buku tersebut membicarakan ragam kritik, atau lebih tepatnya satir bahkan sarkas, terhadap berbagai ketimpangan sosial yang melanda Indonesia. Ketimpangan sosial ini terutama berkaitan dengan pola-pola relasi kuasa yang dijalankan institusi-institusi “mapan”, seperti negara, agama juga lembaga-lembaga masyarakat lainnya.

Memang jika diikuti sejak awal, dalam amatan yang terbilang dini, buku ini seyogianya menyasar atau mengolok-olok hegemoni rezim Orde Baru yang mana, kita tahu, Soeharto sebagai pemegang kendali kuda tunggang pemerintahan selama 32 tahun.

Misalnya, dalam teks “Koruptor Kita Tercinta”, sebelum sang pembawa monolog (baca:koruptor) muncul, terdengar tata suara teriakan-teriakan kaum demonstran, “Hidup Koruptor Bapak Pembangunan”, “Koruptor Aset Bangsa”.

Pun dalam teks “Pelajaran Bahasa untuk Pemimpin Bangsa”, tukang monolog yang memainkan peran sebagai guru sempat mengeluarkan kalimat, “Maaf kalau saya terlalu santun dan sopan. Maklumlah, saya ini guru SD Inpres. Jadi terbiasa menunduk-nunduk, seperti kalau mau menerima gajian.”

Tentu tak hanya itu memang. Ada segumpal persoalan relevan yang diangkat dalam buku tersebut dalam terang situasi kekinian. Baik bersifat nasional, maupun lokal. Meskipun poin ini dapat diselidiki lebih jauh ihwal apa itu masalah nasional, apa itu masalah lokal, sementara kasus korupsi sama-sama berjalan pun permainan politik identitas dengan takaran dan strategi berbeda-beda sama-sama diperagakan.

Dalam naskah “Pensiunan Pamit Pensiun”, pembawa monolog bilang begini, “Suatu saat, para presiden kita berkumpul, ngomongin ayam bakar. Nggak usah kaget! Memang begitu kalau para presiden bertemu: yang diomongin ya makanan. Hal-hal yang bisa dimakan. Apa kalian kira kalau para presiden bertemu yang dibicarakan itu bagaimana caranya meningkatkan kesejahteraan rakyat?! Mbelgedes (bohong)!!”

Wedaran-wedaran dari atas, sebagaimana juga membingkai isi buku ini, memperlihatkan bahwa kekuasaan atau katakanlah kepentingan kuasa menjadi hal yang seksi untuk direnggut secara empiris, serentak diperbincangkan dalam tataran ide/kreativitas berbentuk kritik atau hal lainnya. Semacam jadi penangkal atau antidot dari publik yang resah terhadap praktik-praktik distorsif kaum pemangku kepentingan.

Ada dua kemungkinan yang dapat ditakik jika buku ini dibaca oleh elite-elite termaksud. Pertama, mereka geli-geli sendiri oleh vibrator monolog-monolog garing dan memukul telak. Kedua, merasa biasa-biasa saja dengan anggapan bahwa menindas (korupsi, janji palsu, curi uang umat, dll) adalah hal biasa yang sepatutnya berterima.

Lebih jauh, item kedua inilah yang bakalan merongsokkan mereka masuk ke dalam kategori pejabat atau pemegang kuasa yang antikritik. Sebagai misal, publik mendesak untuk dibongkarnya kasus dugaan korupsi, ada pejabat yang mengelak dan melihat itu sebagai bentuk pencemaran nama baik. Atau juga, pemimpin agama yang dianggap membikin miskin umat malah melihat itu sebagai fitnah atau penistaan.

Pada galibnya, buku ini setidak-tidaknya telah memberikan petunjuk atau cerminan atas fakta sosial yang terjadi saat ini. Walakin berjudul Matinya Toekang Kritik, isi-isi monolog yang didialogkan ini sesungguhnya tidaklah mati.

Namun, itu bukan berarti bahwa kritik yang tidak mati-mati itu diharapkan untuk “hidup” terus. Nah, pertanyaannya; sampai kapan ini akan berlangsung?

Masih Ada 7 Desa Sangat Tertinggal di Matim

0

Borong, Ekorantt.com – Berdasarkan hasil ukur Indeks Desa Membangun (IDM) sesuai Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 2 Tahun 2016, pada tahun 2019 di Kabupaten Manggarai Timur terjadi peningkatan yang sangat signifikan perihal kemajuan pembangunan desa, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Manggarai Timur, Ir. Boni Hasudungan di ruang kerjanya pada Senin, (26/08/2019).

Kata Boni, dari 159 desa yang ada di Manggarai Timur, jumlah desa dengan status sangat tertinggal yang sebelumnya 58 desa, kini tersisa 7 desa. Lanjut Boni, 51  desa lainnya mengalami peningkatan status dari sangat tertinggal menjadi tertinggal. 

Tujuh desa sangat tertinggal di Matim antara lain, Desa Golo Munga Barat, Desa Golo Wontong (Kecamatan Lambaleda), Deas Golo Ros, Desa Compang Teber dan Satar Lenda (Kecamatan Rana Mese) serta Desa Mosi Ngaran dan Nanga Puun  (Kecamatan Elar Selatan).

Dijelaskan Boni, desa dengan status tertinggal sebelumnya berjumlah 80 desa dan berkurang menjadi 55 desa tertinggal karena 25 desa mengalami kenaikan status menjadi desa berkembang. Selanjutnya, jumlah desa tertinggal pun bertambah menjadi 106 desa setelah 51 desa naik status dari sangat tertinggal ke desa tertinggal. Kata Boni, kenaikan status desa-desa ini terus terjadi dan saling mempengaruhi.

Desa dengan status berkembang yang sebelumnya berjumlah 19 desa kini berkurang menjadi 18 desa karena 1 desa mengalami peningkatan status menjadi desa maju.

Boni menjelaskan, desa berkembang jumlahnya bertambah menjadi 43 desa setelah terjadi penambahan 25 desa yang naik status dari desa tertinggal menjadi desa berkembang. 

Desa maju sebelumnya berjumlah 2 desa, kini menjadi 3 desa, karena 1 desa naik status dari desa berkembang menjadi desa maju. Tiga desa maju itu yakni Desa Golo Lobos, Desa Bangka Pau di Kecamatan Poco Ranaka dan Desa Nanga Labang di Kecamatan Borong.

Adapun rincian tiap-tiap kecamatan antara lain sebagai berikut.

Pertama, di Kecamatan Borong ada 15 desa. Sebelumnya tidak ada desa kategori maju. Pada tahun 2019, 1 desa mengalami peningkatan status menjadi desa maju yaitu Desa Nanga Labang. Sedangkan kategori desa berkembang dari 3 menjadi 6 desa. Desa tertinggal berkurang dari 10 menjadi 8, dan desa sangat tertinggal sudah tidak ada karena 2 desa yang sebelumnya masuk kategori sangat tertinggal yaitu Desa Golo Leda dan Desa Poco Rii meningkat statusnya menjadi desa tertinggal.

Kedua, Kecamatan Poco Ranaka. Dari 21 desa sejak tahun 2018 sudah ada 2 desa maju yaitu Desa Golo Lobos dan Desa Bangka Pau. Desa Berkembang bertambah dari 8 desa menjadi 13 desa. Desa tertinggal berkurang dari 11 menjadi 6 desa. Di Kecamatan ini sejak tahun 2018 sudah tidak ada desa sangat tertinggal.

Ketiga, di Kecamatan Lamba Leda ada 24 desa. Untuk kategori desa berkembang jumlahnya bertambah dari 1 desa menjadi 7 desa, desa tertinggal bertambah dari 11 desa menjadi 15 desa, dan desa sangat tertinggal berkurang dari 12 desa menjadi 2 desa sangat tertinggal yaitu Desa Golo Munga Barat dan Desa Golo Wontong.

Keempat, di Kecamatan Sambi Rampas ada 14 desa. Jumlah desa berkembang 3 desa. Desa tertinggal bertambah dari 6 menjadi 11 desa karena 5 desa sangat tertinggal pada tahun sebelumnya meningkat statusnya pada tahun ini. Di kecamatan ini, sudah tidak ada desa sangat tertinggal.

Kelima, di Kecamatan Elar ada 14 desa. Pada tahun sebelumnya tidak ada desa berkembang tetapi di tahun 2019, 2 desa meningkat statusnya menjadi desa berkembang. Desa tertinggal bertambah dari 8 menjadi 12 desa. 6 desa sangat tertinggal pada tahun 2018 seluruhnya meningkat menjadi desa tertinggal.

Keenam, di Kecamatan Kota Komba ada 19 desa. Desa berkembang bertambah dari 1 menjadi 2 desa. Desa tertinggal bertambah dari 11 menjadi 17 desa. Tidak ada lagi desa sangat tertinggal  karena 7 desa sangat tertinggal pada tahun sebelumnya meningkat statusnya menjadi desa tertinggal.

Ketujuh, di Kecamatan Rana Mese ada 21 desa. Ada 2 desa berkembang. Desa tertinggal bertambah dari 9 menjadi 16 desa. Desa sangat tertinggal berkurang menjadi 3 desa dari 10 desa pada tahun sebelumnya. Desa sangat tertinggal itu antara lain Desa Golo Ros, Desa Compang Teber dan Desa Satar Lenda.

Kedelapan, di Kecamatan Poco Ranaka Timur ada 18 desa. Jumlah desa berkembang bertambah dari 1 menjadi 5 desa. Desa tertinggal bertambah dari 11 menjadi 13 desa. Di Kecamatan ini sudah tidak ada lagi desa tertinggal.

Kesembilan, di Kecamatan Elar Selatan ada 13 Desa. Pada tahun 2019 ini, 3 desa mengalami kenaikan status menjadi desa berkembang. Desa tertinggal bertambah dari 3 desa menjadi 8 desa. Sedangkan, desa sangat tertinggal berkurang menjadi 2 dari 10 desa pada tahun sebelumnya. Desa-desa tertinggal itu antara lain Desa Mosi Ngaran dan Desa Nanga Puun.

Dikatakan Boni, lndeks Desa Membangun menggambarkan perkembangan kemandirian Desa.  lndeks Desa Membangun (IDM) merupakan komposisi yang dibentuk dari lndeks Ketahanan Sosial dengan beberapa indikator.

1. lndeks Ketahanan Ekonomi dan lndeks Ketahanan Ekologi Desa. lndeks Ketahanan Sosial terdiri dari Dimensi Modal Sosial (indikator solidaritas sosia|, memiliki toleransi, rasa aman penduduk, kesejahteraan Sosial); Dimensi Kesehatan (indikator pelayanan kesehatan, keberdayaan masyarakat, dan jaminan kesehatan); Dimensi Pendidikan (indikator akses ke pendidikan dasar dan menengah, akses ke pendidikan non formal dan akses ke pengetahuan); dan Dimensi Pemukiman (indikator akses ke air bersih, akses ke sanitasi, akses ke Iistrik, dan akses ke informasi dan komunikasi).

2. lndeks Ketahanan Ekonomi, terdiri dari Dimensi Ekonomi dengan indikator keragaman produksi masyarakat desa, tersedia pusat pelayanan perdagangan, akses distribusi/ logistik, akses ke lembaga keuangan dan perkreditan, lembaga ekonomi, dan keterbukaan wilayah.

3. Indeks Ketahanan Lingkungan/Ekologi, terdiri dari Dimensi Ekologi, dengan indikator kualitas lingkungan serta potensi rawan bencana dan tanggap bencana.

Indeks Desa Membangun mengklasifikasi desa dalam lima (5) status, yakni: (1) Desa Sangat Tertinggal; (2) Desa Tertinggal; (3) Desa Berkembang; (4) Desa Maju; dan (5) Desa Mandiri.

Mulia Donan

Belepat: Tradisi Penebusan Dosa Suku Lamaewak

0

Larantuka, Ekorantt.com – Budaya tak hanya mengisyaratkan sesuatu yang khas secara lahiriah. Misalnya tentang apa yang ditangkap oleh alat indera kita; corak busana, tarian, lagu-lagu, alat musik, cara hidup, festival atau panggung-panggung pertunjukan daerah. 

Tapi jauh di kedalaman entitasnya, ia juga mengungkapkan kohesifitas sosio-antrophosentris yang bersifat sakral. Tentang penyelesaian perkara-perkara asusila, yang melibatkan diri dan orang lain, atau melibatkan suku yang satu terhadap suku yang lain, di hadapan wujud tertinggi yang mereka hormat. 

Dalam dimensi budaya yang bersifat sakral semacam itu, masyarakat adat, menemukan caranya sendiri untuk melakukan rekonsiliasi, ketika sebuah masalah sulit diselesaikan secara rasional. 

Mereka membawa perkara sulit, ke hadapan suku, untuk mencari kebenaran mutlak melalui adat. Di sana, hal yang imanen akan memperoleh kepenuhannya di dalam sesuatu yang bersifat transendental. 

Bahwa leluluhur atau wujud tertinggi yang mereka hormati itu, akan memberi petunjuk atau jalan pencerahan bagi mereka dalam menyelesaikan sebuah perkara.

Salah satu ritual yang mengungkapkan kohesi sosio-antrophonsentris dalam hubungan masyarakat adat dengan wujud tertingginya adalah ritual “Belepat” atau penebusan dosa. 

Ritual ini dihidupi oleh kelompok suku “Lamaewak”, Desa Lamabayung, kecamatan Ile Boleng, kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang diwarisi secara turun temurun. 

Tradisi Belepat diyakini memiliki sisi metafisis yang dapat menghalau bentuk-bentuk penderitaan seperti sakit, penyakit, musibah dan kecelakaan, bahkan kematian yang dialami oleh anggota keluarga atau suku tertentu.

Tanda-tanda lahiriah ini, kerapkali dibaca sebagai pesan atau peringatan dari lelulur atau wujud tertinggi kepada orang atau kelompok suku tertentu. Suku Lamaewak percaya bahwa peringatan itu seringkali datang melalui mimpi atau firasat. 

Bahkan mereka memiliki interpretasi sendiri, tentang penafsiran atas seluruh peristiwa hidup yang berkaitan dengan bentuk-bentuk penderitaan lahiriah. Karena itu untuk mencegah karma atau menghentikan kutukan leluhur, mereka harus mengaku dosa di rumah kepala suku Lamaewak. 

Pengakuan dosa bagi kelompok suku ini dipandang sebagai jalan pembebasan karma. Melaluinya mereka akan memperoleh “Belepat”, sebuah penebusan hutang dosa yang harus dibayar dengan darah babi betina. 

Babi korban yang dipersembahkan kepada leluhur atau wujud tertinggi “Lera Wulan Tana Ekan”, harusbenar-benar sehat, tanpa cacat pada bagian telinga atau ekor. Hal ini mengungkapkan ketulusan atau penyerahan diri yang sempurna dari para penerima “Belepat” kepada wujud tertingginya. 

Dalam upacara tersebut, kepala suku memiliki peran yang sangat penting. Ia adalah pemimpin doa, penyembelih hewan korban, sekaligus orang yang bertugas  mereciki darah korban ke tiang keramat dan ke batu-batu sekitarnya. Tiang keramat dan batu-batu tersebut merepresentasikan kehadiran para leluhur. 

Tiang itu mewakili suku-suku pembentuk “lewo”atau kampung. Simbolnya adalah tiang bambu Aur dengan 7 buah cabang. Namanya “ekeng mata pito”, tujuh mata tangga yang menjelaskan 7 suku, dalam masyarakat adat desa Lamabayung. 

Suku Lamaewak meyakini bahwa pembebasan dosa dianggap sempurna, bila para leluhur dari suku-suku tersebut merestuinya. Karena itu mereka harus memberi makan leluhur melalui ritual “Bau Lolon”, tanda penghormatan sekaligus permohonan.

Yuven Making

Ah, Fatmawati!

Ini pertama kalinya saya datang ke Jakarta. Dan sumpah, saya telah mendapatkan segalanya; mulai dari transportasi yang lancar hingga makanan yang meluncur menuju ke kamar tidur saya.

Saya tidak pernah membayangkan jika ternyata di dalam realitas kehidupan ini, ada jenis kehidupan yang memang dengan mudah seperti yang saya dapatkan saat tiba di Jakarta. Bermodalkan isi kantong yang cukup, semua yang saya inginkan dengan mudah saya dapatkan. Semunya, tak terkecuali Fatmawati.

Tinggal di seputaran Jalan Kramat Raya (Jakarta) No. 5 mempercepat akses saya menuju beberapa lokasi yang ingin saya kunjungi. Memang sejak awal, tujuan kedatangan saya ke Jakarta hanyalah untuk belajar menyaksikan orang-orangnya, melihat bangunan-bangunannya, membaca sejarah-sejarahnya (sejarah Indonesia yang terpusat di Jawa ini memang sudah menjadi bahan pelajaran kami sejak berada di sekolah dasar), transportasinya yang melesat ibarat jet, mahasiswanya yang sering berdemo, kesenian-keseniannya, dan beragam kelimpahan lainnya yang sering dipertontonkan di media mainstream tanah air ini.

Tujuan saya datang ke Jakarta memang bukanlah untuk menjadi seorang mahasiswa atau mencari pekerjaan sebagaimana umumnya yang dilakukan oleh sebagian rekan-rekan saya yang berasal dari Flores. Konon, tamatan mahasiswa Filsafat seperti saya ini – asal Flores – begitu lakunya saat bekerja di ibu kota Negara Indonesia ini. Sumpah, pernyataan ini dapat kalian, para pembaca yang budiman, dapat sendiri membuktikannya.

Sebagian besar alumnus di kampus Filsafat saya di Flores nan jauh ke Timur Indonesia ini mempunya pekerjaan yang layak di Jakarta. Tentu saja posisi tawar mereka tidak sekadar asal-asalan; semisal karena kampusnya terkenal (jangankan kampus Filsafat kami, Flores saja ada yang mengira berada di wilayah di Timor Leste atau Australia), atau lobi-lobi keluarga dan kenalan. Mereka berkualitas. Betul-betul berkualitas. Titik. Itu sebabnya, salah seorang senior saya di kampus, saat mendengar kalau saya akan ke Jakarta berpesan, “Jangan lupa pulang. Sekarang, sudah saatnya kita membangun daerah kita. Indonesia itu tidak semata-mata di Jakarta dan sekitarnya. Indonesia terkenal karena rumpun budaya dan keanegaragaman kekayaannya. Itu sebabnya, kita di daerah juga mempunyai peran yang tidak sedikit.” Mengingat pesan ini, saya jadi ingin segera pulang. Bukan karena kualitas yang saya miliki tidak mumpuni, tetapi, bayangan tentang kampung dan segala bahan mentahnya membuat mata hati saya bergejolak.

Di antara sekian kunjugan yang saya lakukan di ibu kota negara ini, ada sebuah pengalaman romantis yang tidak ingin saya tinggalkan. Pengalaman tersebut membuat hati saya lonjak tak beraturan. Maklumlah, jiwa muda pertengahan dua puluhan ini memang layak dan wajar mendapat pengalaman serupa ini. Hal tersebut semakin wajar jika tubuh turut memberikan respon yang seimbang. Apalagi di Jakarta, yang tidak sedikit orang-orangnya berperilaku sok mewah-mewahan.

Keluar dari penginapan, kami segera memesan grab. Baru saja saya menyalakan rokok, si pengemudi berkata, “Maaf Pak, dilarang merokok. Nanti di komplain tamu lainnya.” Saya kaget. Bukan karena larangannya, tetapi karena kedisiplinannya. Jakarta, yang roda perekonomiannya melaju begitu cepat ini memang menuntut kedisiplinan. Jika tidak, maka hancur berantakanlah ibu kota negara ini. Saya lalu memaklumi, mengapa Jakarta yang selalu sibuk dan terkenal dengan kemacetan ini, perlu mendisiplinkan pola kerjanya. Dari disiplin berlalu lintas, sampai disiplin merokok. Jalur kira-kanan, genap-ganjil bahkan berakhir pemindahan ibu kota negara.

Dari grab, kami menuju Mass Rapid Transit (MRT) yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo 24 Maret 2019 yang lalu. Di sinilah puncak percintaan itu terjadi. Saya menjumpai Fatmawati.

Berkerudung hitam manis, ia duduk menyibukkan diri dengan aktivitasnya.  Memang sejak awal, posisi duduknya sudah mengundang rasa penasaran dan menarik simpati. Saya lalu mendekatinya, berusaha berpikir dan mengacak-acak isi kepala, kira-kira pertanyaan apa yang bisa saya timbulkan.  

Saya memang tidak mengenal namanya. Akan tetapi, saat salah seorang rekan saya membeli tiket sebagai modal transportasi MRT di Ticket Vending Machine (TVM), saya sempat melirik ke monitor komputer tempatnya menyibukan diri. Tanpa sengaja, saya menemukan sebuah nama manis tertera di dalamnya: Fatmawati. Aduhai, hati saya bergetar. Cantik manis dan bertalenta ini ternyata memiliki nama yang anggun.

Belum sempat melemparkan godaan khas Timur, rekan saya telah mengajak pergi, sebab sebentar lagi MRT mendekat. Saya terburu-buru membuntuti rekan saya ini, sebab saya tahu, jika telat, maka dunia perjalanan saya akan rubuh. Maklumlah, ini pertama kalinya saya datang ke Jakarta.  Dan saya merasa seperti masuk ke dalam dunia robot. Dengan kapasitas teknis yang belum seberapa, saya bakal terancam hilang di tengah keramaian kota yang mengerikan ini.  

Naik MRT juga hal baru bagi saya. Itu sebabnya saya selalu berhati-hati. Bermodalkan akses informasi media mainstream yang mengabarkan kengerian hidup di ibu kota negara ini – bom, pencopet, kerusuhan politik, banjir – tidak salahnya saya selalu bersiaga.

Dalam perjalanan, telepon genggam saya bergetar. Sebuah pesan WhatsApp masuk. “Kalian di mana?” Dari Flores, salah seorang rekan saya bertanya. Karena pada waktu itu belum tahu jenis tumpangan yang sedang saya tumpangi, terburu-buru saya membalas, “Di sebuah kereta kecil.”

Pesan WhatsApp saya itu tidak dibalas. Saya baru menyadarinya setelah sebuah status history dimuat di halaman WhatsApp-nya, “Sedang mencoba naik MRT, seorang pria nekad mengubah jalan hidupnya.”

Saya sadar sekarang. Menyampaikan informasi soal keberadaan saya tadi telah dijadikan bahan bully oleh rekan saya yang jauh di sana. Tetapi, bagi saya, itu bukanlah masalah. Bukankah setiap pencapaian itu dimulai dari permulaan? Selain itu, bagi kami, mem-bully dengan cerdas juga merupakan cara lain menyatakan maksud agar subjek yang mendapat perlakuan demikian terus menancapkan gasnya di medan pacu perjuangan hidup ini. Ya, selama lelucon belum dipidanakan, tidak salah kan memanfaatkannya dengan cara yang sebebas-bebasnya.

Baru saja kami tiba di tujuan akhir stasiun, rekan saya mengajak turun. Dengan polosnya, saya ikuti tuntunannya. Belum beberapa jauh kaki melangkah, saya bertanya.

“Kita ke mana sekarang?”

“Ini stasiun Fatmawati. Sekarang kita ke seberang,” katanya jelas.

Sambil menoleh ke belakang, menyaksikan MRT yang menghilang, saya tertegun sendiri di dalam hati. Ternyata Fatmawati adalah nama stasiun, tempat tujuan, bukan gadis manis berparas cantik yang saya jumpai di awal keberangkatan MRT. Ah, jakarta. Ada-ada saja kamu. Politiknya yang semakin kabur, kedisiplinannya yang kadang menjenuhkan, sampahnya yang merusak pandangan mata, dan merokok yang dituding jadi polusi, kini, cinta pula kau permainkan. Tiba-tiba, aku terkenang Flores.

Marianus Nuwa, Pegiat KAHE, Maumere, Flores.

Progam Inovasi Desa dalam “Amanatun Selatan Expo 2019”

0

Amanatun, Ekorantt.com – Program Inovasi Desa (PID) adalah program pemerintah melalui Kementerian Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) agar desa lebih efektif dan efisien dalam menggunakan Dana Desa (DD).

Dalam Tahun Anggaran 2019, PID dilaksanakan melalui 3 (tiga) komponen program, yaitu pertama, Pengelolaan Pengetahuan dan Inovasi Desa (PPID) sebagai dukungan kepada desa-desa agar lebih efektif dalam menyusun rencana penggunaan dana desa sebagai investasi yang mendorong peningkatan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat desa, kedua,  Penyedia Peningkatan Kapasitas Teknis Desa (P2KTD) yang ditujukan agar desa-desa mendapatkan jasa layanan teknis yang berkualitas dari lembaga profesional dalam mewujudkan komitmen replikasi atau adopsi inovasi serta perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa secara regular, dan ketiga, Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) dimaksudkan agar masyarakat desa memperoleh pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan.

Pelaksanaan PID diawali dengan digelarnya Bursa Inovasi Desa (BID).

Hakikat BID adalah kegiatan pertukaran dan pengelolaan pengetahuan hasil pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang dinilai inovatif yang dilaksanakan di kecamatan berdasarkan rekomendasi Tim Inovasi Kabupaten (TIK).

Proses pelaksanaan BID difasilitasi oleh Tim Pengelola Inovasi Desa (TPID) dan didukung oleh Tenaga Pendamping Profesional, yaitu Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Kabupaten/Kota, Pendamping Desa (PD), dan Pendamping Lokal Desa (PLD).

BID diharapkan dapat mengantar pemerintah dan masyarakat desa untuk lebih berinovasi dalam pembangunan. Artinya, pemerintah dan masyarakat bekerja keras menghasilkan inovasi dan kreativitas dalam pelayanan teknologi untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian desa melalui pemanfaatan modal Sumber Daya Manusia (SDM) dan potensi alam wilayah desa itu sendiri, yang sejalan dengan tema besar pembangunan “SDM Unggul Indonesia Maju.”

Desa sudah saatnya menciptakan produk unggulan desa (Prukades). Penciptaaan Prukades merupakan langkah pemerintah dalam memajukan desa yang merupakan program pertama dari empat prioritas yang dicanangkan Kemendes PDTT dalam program Dana Desa sebagai upaya percepatan desa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di daerah.

Prukades memiliki beragam tujuan. Dalam jangka menengah dan panjang, Prukades dapat meningkatkan daya saing desa, mempercepat pemerataan pedesaan, dan menguatkan pembangunan daerah.

Diharapkan melalui Prukades, masyarakat desa dan pemerintah bisa merasakan banyak manfaat. Misalnya, masyarakat dan pemerintah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat desa, meningkatkan pendapatan asli desa (PADes), meningkatkan PDRB Kabupaten/Kota, dan meningkatkan pendapatan serta daya saing bersama perusahaan mitra.

Secara nasional, dalam tahun 2019 ini, baru satu kecamatan yang menjawabi amanat PID dan BID, yaitu Kecamatan Amanatun Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi NTT.

Camat Ardi Benu S.Sos menggelar “Amanatun Selatan EXPO 2019.” “Amanatun Selatan EXPO 2019” adalah sebuah  gelar produk kewirausahaan unggulan desa dan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang terdiri atas produk hasil olahan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, hasil inovasi desa, pariwisata, produk tenun dan konveksi, produk dekoratif dan interior, festival pangan tradisional, kelas menenun, pojok baca ume hime, dan festival pertukaran budaya Korea Selatan dan Amanatun Selatan.

Ia merupakan ajang pameran dan sekaligus pergelaran yang bernafaskan ekonomi dan kewirusahaan yang secara langsung menjadi jembatan atas replikasi hasil pertukaran inovasi di desa tahun sebelumnya.

Kegiatan ini merupakan even promosi berskala daerah dan antardesa dalam kecamatan. Kegiatan ini dapat menjadi media pembelajaran bagi para pihak termasuk lembaga mitra bisnis.

Expo Prukades dan BUMDes mampu meningkatkan pemasaran produk unggulan desa, meningkatkan produktivitas BUMDes, meningkatkan produktivitas komoditas pertanian dan lahan pedesaan, meningkatkan pendapatan masyarakat desa, serta meningkatkan Pendapatan Asli Desa.

Pada akhirnya akan ada dampak yang sangat besar, yakni kesejahteraan desa meningkat, urbanisasi menurun, kenyamanan kota bertahan, menuju desa yang maju dan mandiri.

Pelaksanaan Expo Prukades dan BUMDes ini mengacu pada  Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2018 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019.  

Desa diharapkan berinovasi mempromosikan produk hasil olahan sekaligus membangun jejaring pemasaran yang kompetitif. Ada tiga komponen utama yang harus diperhatikan, yaitu kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Ketiga komponen ini menjadi jaminan pasar dan kepercayaan pihak lain.

Bupati sebagai kepala daerah melalui OPD teknis bersama pemerintah desa dan pendamping diharapkan memastikan bahwa produk hasil olahan dari desa wajib memenuhi kriteria teknis terutama packaging (pengepakan), izin halal, izin usaha, dan produksi serta penataan kelembagaan BUMDes yang memenuhi standar.

EXPO 2019 dan gelar produk kewirausahaan unggulan desa dan Badan Usaha Milik Desa sungguh nyata menjadi:

  1. Wadah interaksi dan saling bertukar informasi untuk kemajuan daerah, bagi peserta expo dan masyarakat serta dunia usaha.
  2. Ruang desa memperkenalkan produk unggulan desa yang dikelola oleh BUMDes agar dikenal masyarakat dan sekaligus memperluas jaringan pemasaran.
  3. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat desa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh desa guna kesejahteraan bersama sebagai tolok ukur keberhasilan pemerintah desa dan produk yang layak dikembangkan ke level lebih tinggi dalam mewujudkan gerakan satu desa satu produk. 
  4. Menjembatani penyelarasan arah kebijakan dalam mengintegrasikan program dan kegiatan pembangunan daerah/kota dengan pembangunan desa.

Kandidatus Angge