Megu Moong Nian Tana, Menjaga API Tetap Menyala di Teluk Maumere (1/3)

Pada Minggu, 25 November 2017, senyum Bupati Sikka Periode 2013-2018 Yoseph Ansar Rera merekah.

Di bawah sorotan kamera Metro TV, Panitia Anugerah Pesona Indonesia (API) 2017 mengumumkan, Teluk Maumere raih juara I kategori destinasi menyelam terpopuler di Indonesia.

Teluk Maumere gondol piala API 2017 sebagai objek wisata terbaik bersama dengan dua destinasi wisata di NTT lainnya, yaitu Ile Batutara di Lembata dan Pantai Tarimbang di Sumba Timur.

Ini adalah kali kedua NTT raih juara setelah sebelumnya pada ajang API 2016 lalu sumbang 6 destinasi wisata terpopuler, yaitu Pasola, Pantai Nihiwatu, Pantai Nembrala, Situs Bung Karno, Danau Kelimutu, dan Taman Laut di Alor.

Teluk Maumere terpilih jadi juara karena dinilai punya taman bawah laut yang indah. Keindahannya sudah dibuktikan dalam Festival Foto Bawah Laut bertaraf internasional yang digelar beberapa waktu lalu.

Taman bawah laut itu tersembunyi di balik 10 Pulau Harapan atau The Hoping Island di Teluk Maumere, yaitu Pulau Pangabatang, Pulau Babi, Pulau Parumaan, Pulau Dambila, Pulau Kondo, Pulau Kojadoi, Pulau Besar, Pulau Kambing, Pulau Pemana, dan Pulau Sukun.

10 Pulau Harapan itu adalah bonus permainya Teluk Maumere. Sebelum menyelam di bawah taman laut, wisatawan akan terlebih dahulu dimanjakan dengan panorama pulau-pulau yang indah.

Di balik kepopuleran Teluk Maumere, sebenarnya tersimpan cerita kelam masa lalu. Pada 12 Desember 1992, sekitar pukul 13.29 WITA, gempa bumi berkekuatan 7,8 skala Richter mengguncang Maumere. Tsunami hebat tak terelakkan.

Ribuan jiwa melayang. Ribuan lainnya mengungsi. Ratusan orang menghilang. Ratusan lainnya menderita luka-luka.

Kuburan massal korban gempa dan tsunami membujur antara lain di Pulau Babi dan di Pulau Pangabatang.

Gugusan pulau di Teluk Maumere adalah salah satu wilayah yang terkena hantaman tsunami paling parah.

Jadi, pengembangan Teluk Maumere sebagai destinasi wisata unggulan Nian Tana Sikka mesti selalu dibarengi dengan doa yang tak pernah boleh tuntas bagi para korban dan penghormatan yang tak pernah boleh lekang bagi pantai, pulau, dan laut di sana.

Sesudah 27 tahun gempa-tsunami dan 2 tahun penghargaan API, bagaimana wajah Teluk Maumere sekarang? Bagaimana menjaga API tetap menyala di Teluk Maumere?

Inilah pertanyaan yang menggelayut di benak setiap insan yang peduli pada perkembangan pariwisata di Nian Tana Sikka.

Tidak terkecuali Komunitas Megu Moong Nian Tana.

Koordinator Megu Moong Nian Tana Elisia Digma Dari kepada Ekora NTT di Kedai Kopi Kampung Asli Maumere “Mokbelk”, Minggu, 7 Juli 2019 bercerita, awalnya, komunitas ini terbentuk pada sekitar dua tahun lalu.

Saat itu, di bulan Januari 2018, mereka membentuk kelompok arisan.

Jumlah mereka 12 orang dengan latar belakang profesi yang berbeda-beda, tetapi masih tetap bersentuhan dengan dunia pariwisata.

Kelompok arisan ini menjadi wadah bagi mereka untuk berdiskusi dan menelurkan ide tentang pariwasata.

Salah satu isu yang menjadi keprihatinan komunitas saat itu adalah tercecernya para wisatawan mancanegara dan lokal di setiap sudut Kota Maumere.

Para wisatawan tersebut sama sekali tidak diorganisasi dengan baik.

Para wisatawan lebih banyak menjadikan Maumere sebagai tempat transit sehari sebelum melakukan penerbangan keesokan harinya.

Pariwisata di Nian Tana tak sempat dieksplorasi oleh mereka.  

Komunitas kemudian memikirkan cara mengorganisasi para wisatawan ini agar lebih nyaman berwisata di Nian Tana.

Biarlah mereka lebih lama mencumbu alam Nian Tana. Lalu, muncullah ide untuk melakukan trip khusus Maumere dan mengeksplorasi berbagai potensi pariwisata di Kabupaten Sikka.

Ide awal di atas kemudian diejahwantahkan ke dalam tiga program unggulan komunitas, yaitu pertama, jelajah Hoping Island di perairan Teluk Maumere, kedua, Tenun Ikat Exclusion yang dikombinasikan dengan proses penyulingan arak, dan ketiga, mendaki atau tracking Gunung Egon.

Tiga program unggulan di atas dilakukan dengan alokasi waktu minimal satu-satu hari.

“Kebanyakan tamu hanya untuk transit. Tunggu penerbangan besok. Hanya buat khusus bagi tamu yang punya satu dua hari di Maumere. Itu yang kami ambil,” ungkap Elis, demikian wanita paruh baya ini biasa disapa.

Menurut Elis, hanya ada satu mimpi dan tujuan Komunitas Megu Moong Nian Tana yaitu membantu Pemda Sikka mempromosikan dan membawa keluar semua potensi pariwisata di Kabupaten Sikka.

Semua potensi pariwisata tersebut perlu dipromosikan karena pariwisata mampu menyerap tenaga kerja.

Dia membayangkan, seandainya jelajah Hoping Island di Teluk Maumere bisa berjalan secara reguler, maka akan ada banyak guide, pemilik boat, nelayan, dan masyarakat lainnya yang kecipratan rezeki.

Tentu saja semuanya itu bisa digapai kalau pariwisata dikelola secara kreatif dan tetap.

Apa sesungguhnya daya dorong komunitas ini?

Elish mengakui, para anggota Komunitas Megu Moong Nian Tana sesungguhnya merasa terlecut dan tertantang dengan status Teluk Maumere sebagai pejuara I API 2017 kategori destinasi menyelam terpopuler di Indonesia.

Mereka mau, API di Teluk Maumere itu tetap menyala. (Bersambung…)

Pastor Bollen, Pastor dengan Seribu Gelar

Kita mungkin pernah mendengar julukan “Pastor Coklat/Kakao” atau “Pastor Tani” atau “Pastor Pariwisata”. Itulah sebagian kecil dari sekian banyak julukan untuk Pater Heinrich Bollen, SVD.

Julukan-julukan ini tentu sangat beralasan sebab beliau secara khusus memberikan perhatian pada pembangunan sektor infrastruktur, pertanian, kesehatan, pariwisata, dan pemberdayaan sosial ekonomi.

Sebagian besar waktunya sehari-hari ia berikan bagi pelayanan: berada di tengah-tengah lokasi pembangunan maupun mengunjungi rumah-rumah umat.

Pembaca yang budiman, kalimat di atas adalah kata-kata Uskup Maumere Mgr. Edwaldus Martinus Sedu pada halaman awal buku “Melebur di Tanah Flores: Sembilan Puluh Tahun P. Heinrich Bollen, SVD Menata Pematang Kehidupan” karangan HSU Monica (2019).

Buku terbitan Pohon Cahaya setebal 482 halaman yang merupakan hasil wawancara Penulis dengan para imam, karyawan, umat, dan Pater Bollen itu diluncurkan di Hotel Sea World Club di Waiara, Sikka, Flores, Selasa, 2 Juli 2019, tepat pada hari peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-90 Pater Heinrich Bollen, SVD.

Bagi Mgr. Edwaldus, Pater Bollen adalah kebanggaan. Tidak hanya bagi umat Keuskupan Maumere, tetapi juga bagi Gereja di Indonesia pada umumnya.

Pastor kelahiran Landstuhl, Jerman, 2 Juli 1929 ini sudah mengabdi selama 39 tahun di Nusa Nipa, Flores, khususnya di Nian Tana Sikka.

Usai ditahbiskan menjadi imam di Sankt Agustin Jerman pada tanggal 15 Mei 1958, putra dari Johann Bollen (ayah) dan Katharina Leitheiser (ibu) ini berangkat ke Nusantara setahun kemudian, tepatnya pada 14 Agustus 1959.

Pada 1960-1962, ia berkarya sebagai Pastor Pembantu di Paroki Santo Yosep Maumere. Pada 1962-1974, ia menjadi Pastor Paroki Watublapi.

Pada 1967-1984, ia menjadi Delsos Maumere Keuskupan Agung Ende. pada 1984-Juni 1986, ia menjadi Pembina Justitia Et Pax Se-Indonesia.

Pada 1987-1994, ia menjadi Pastor Umat Jerman di Jakarta. Pada 1994 hingga sekarang, ia menjadi pendiri, pembina, penasihat, dan pastor pariwisata di   Hotel Sea World Club Maumere.

“Jadi, sebagian besar usianya telah dilewati di Indonesia. Ini merupakan suatu kebanggaan bagi kami dan bagi Gereja Indonesia pada umumnya dan Gereja Keuskupan Maumere khususnya,” tulis Mgr. Edwaldus.

Keberadaan Moan Bollen, demikian ia biasa disapa oleh umat, yang cukup lama di Flores meninggalkan kesan yang mendalam bagi umat.

Uskup Keuskupan Weetebula Mgr. Edmundus Woga, Anak Paroki Watublapi, punya minimal tiga (3) kenangan bersama dengan Tuan Bollen, panggilan lain Pater Bollen.

Ia menghubungankan pengalamannya itu dengan Ensiklik Misi Maximum Illud (1919) dari Paus Benediktus XV yang diterbitkan paska Perang Dunia I. Di sini, saya hanya akan narasikan ulang dua pengalaman Beliau.

Pengalaman pertama berhubungan dengan pesan Maximum Illud untuk menggalakkan panggilan hidup bakti bagi umat pribumi.

Saat berjalan pulang dari kebun di Wolodete menuju ke Kampung Hewokloang,Tuan Bollen memanggilnya dari Pendopo Pastoran Watublapi, “Mundus, saya dengar kau mau masuk seminari.”

Mundus kecil menjawab “iya.” Beberapa saat kemudian, Tuan Bollen panggil lagi Mundus ke paroki dan menanyakan motivasinya menjadi imam.

“Saya mau menjadi imam untuk menolong orang serani,” jawab Mundus kecil.

Tuan Bollen pun menyuruh Mundus untuk siap berangkat ke Seminari St.Yohanes Berchmans Mataloko bersama dengan para seminaris yang sedang berlibur di Maumere saat itu. Mundus kecil pun menjadi imam kedua dari Paroki Watublapi.

Ia ditahbiskan pada tahun 1977 atau 22 tahun setelah tahbisan Alm. Pater Alo Mitan, SVD, imam pertama dari Watublapi, pada 1955. Di bawah kegembalaan Tuan Bollen, tunas-tunas panggilan hidup bakti mulai bertumbuh subur di Watublapi.

Pengalaman kedua berhubungan dengan komitmen Moan Bollen melaksanakan pesan Maximum Illud untuk mengkonkretkan“keselamatan yang dianugerahkan Kristus dari Salib dalam hidup sehari-hari dengan menjaga keutuhan ekologis dan membangun ekonomi rumah tangga yang berkecukupan” (bdk. IM, 26).

Mgr. Edmund ingat betul perjuangan Pater Bollen mempromosikan terasering di ladang-ladang yang landai atau terjal, mengajak umat menanam tanaman perdagangan dan tanaman umur panjang seperti kakao, cengkeh, pala, membangkitkan rasa menghargai umat pada budaya warisan leluhur, dan memberi perhatian khusus pada umat paroki yang kecil, lemah, miskin, dan berkebutuhan khusus.

“Dia ajak umat harus tanam tanaman perdagangan agar bisa menghasilkan uang. Jangan hanya ubi kayu. Uang bisa bantu pendidikan,” kenang Mantan Bupati Sikka Daniel Woda Palle malam itu.

Mama Belgi, Pengasuh Panti Asuhan Stella Maris Nangahure yang didirikan oleh Pater Bollen, dalam sambutan singkatnya memberi kesaksian, “lebih dari 4.000 orang sudah dibantu. Ia bantu orang kecil, orang miskin, dan anak sekolah. Bisa motivasi pastor-pastor baru di Indonesia supaya punya hati yang sama dengan Pater Bollen. Hati yang sama untuk membantu.”

Tentu angka 4.000 orang versi Mama Belgi adalah nominal yang tak pasti. Uluran kasih Tuan Bollen boleh jadi melampaui angka tersebut.

Rafael Raga, Mantan Ketua DPRD Sikka, adalah salah seorang putra Tana Ai yang dapat sentuhan kasih langsung dari Tuan Bollen.

Tuan Bollen membiayai sekolahnya selama 11 tahun mulai dari Sekolah Usaha Tani (SUT) di Waigete pada tahun 1982.

“Pater Bollen sudah berkhotbah di ladang ilalang. Ia adalah bapak, orang tua, dan donatur saya,” kisahnya.

Manager Sea World Club Martinus Wodon, salah seorang anak asuh Tuan Bollen yang aktif dalam dunia pariwisata sesumbar mengatakan, Pater Bollen mesti didaulat menjadi Bapak Pariwisata.

Menurut dia, Pater Bollen berjasa besar mengembangkan pariwisata di Kabupaten Sikka. Hotel Sea World Club tidak hanya membiayai kegiatan sosial karitatif Pater Bollen seperti panti asuhan, tetapi juga memberikan sumbangan penghasilan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka.

Malam itu, pada upacara HUT-nya yang ke 90, terhadap begitu banyak pujian yang mengalir, Tuan Bollen hanya bergurau menyampaikan dua ramalan Beliau tentang masa depan Gereja Katolik dewasa ini.

Tak begitu penting menulis isi ramalan itu di sini. Namun, dua kalimat singkat pembukanya ini sungguh membuat hati saya tersentuh.

“Saya senang sekali dengan kehadiran kalian. Itu menunjukkan kalian punya perhatian untuk usaha ini.”

Usaha yang Beliau maksudkan tentu saja adalah mewujudkan Kerajaan Allah kini dan di sini.

Menjadi perpanjangan tangan dari Yesus Kristus, Sang Misionaris Agung dan dari Santo Arnoldus Janssen, Sang Pendiri Tarekat Misi Societas Verbi Divini (SVD), tempatnya mengabdikan diri.

Akhirnya, kita mesti selalu waspada. Mengidolakan seseorang tak pernah boleh dilakukan secara membabi buta.

Seberapa luar biasanya Pater Bollen, ia tetaplah manusia biasa yang punya salah dan dosa.

Oleh karena itulah, kita masih punya kesempatan untuk ucapkan selamat hari ulang tahun bagi Beliau sembari berharap, Ad Multo Annos!

Historiografi Budaya Dalam Balutan Hegemoni dan Perspekstif-Perspektif

Sejarah dibangun dan bergerak beradasarkan klaim-klaim. Klaim-klaim itu tentu milik para penguasa, para pemenang; orang-orang yang memiliki akses terhadap pengetahuan dan tentu kuasa/legtimasi untuk apa saja yang disampaikannya.

Tak peduli klaim itu palsu, kekuasaan tetap akan mampu menyulapnya menjadi kebenaran. Bukankah kepalsuan yang terus dibicarakan, terus diperbincangkan di ruang publik, cepat atau lambat akan diyakini sebagai kebenaran, jika bukan mitos atau stigma?

Mitos atau stigma dan kebenaran tentu sama-sama memengaruhi kesadaran manusia meski dalam cara dan intensionalitas yang masing-masing berbeda.

Sejarah, sekali lagi harus diakui, dibangun dan bergerak berdasarkan klaim-klaim. Tidak terkecuali sejarah kebudayaan.

Dalam sejarah nasional pascakemerdekaan, perdebatan seru kaum Manikebu dan Lekra menjadi kisah yang sering menjadi rujukan.

Lebih dari sebuah perdebatan egoistis antar golongan yang bertikai, perseteruan dua golongan ini didasari visi dan ideologi yang sama-sama kuat, mengenai rancang bangun kebudayaan Indonesia kala itu.

Yang satu mengidealkan dan mengusahakan sebuah rancang bangun kebudayaan yang bercorak modernis dengan konsep humanisme universal, sementara yang lain melihat kebudayaan dengan kacamata realisme sosialis, sebagai alat baca sekaligus eskpresi argumentasi politis yang mengusahakan perjuangan kelas.

Kita tahu, akhir dari perdebatan ini lantas diintervensi oleh kekuasaan politik saat itu. Lekra dibubarkan. Tidak sedikit karya-karya kebudayaan Lekra dibinasakan. Tak muncul dalam historiografi resmi Indonesia selama bertahun-tahun.

Para pengikutnya dicap komunis, ditangkap dan dibuang ke penjara-penjara tanpa pengadilan.

Lebih awal sebelum perseteruan Manikebu dan Lekra, kita menemukan Polemik Kebudayaan yang melibatkan Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka dan tokoh-tokoh kebudayaan lain di masa sekitar tahun 1930-an.

Polemik Kebudayaan ini memiliki visi yang mulia; merancang bangunan kebudayaan Indonesia saat itu yang tengah dipengaruhi oleh semangat nasionalisme.

Semangat kebaruan yang menekankan intelektualisme dan materialisme yang dianggap global dan universal kala itu dihadapkan dengan filosofi dan pandangan hidup yang bercorak kolektif dan spiritual, yang secara serampangan dilabeli dengan istilah kearifan lokal.

Konsep tentang Indonesia baru yang sebagai satu kesatuan dihadapkan dengan fakta kemajemukan identitas di Nusantara.

Cara pandang barat dihadapkan dengan cara pandang timur. Oposisi biner tercipta. Orientalisme yang menyertakan beragam wacana kolonial tidak dapat dihindarkan.

Dalam kasus ini, kita harus dengan lapang dada menerima bahwa nasionalisme sebaik dan semulia apa pun, tetaplah anak kandung kolonialisme yang membawa serta segala konsekuensinya, termasuk visi-visi penyeragaman dan penunggalan dalam melihat dan memperlakukan kebudayaan.

Dalam konteks yang lebih lokal dengan tradisi dan dokumentasi historiografi yang sangat lemah, wacana kebudayaan di Kabupaten Sikka bahkan masih berkutat dengan kesimpangsiuran pembagian etnis yang mendiami wilayah Kabupaten Sikka.

Sekurang-kurangnya, dalam catatan Longginus Diogo tahun 2013, ada setidaknya sembilan versi  pembagian wilayah etnis, yaitu versi Oscar P. Mandalangi I (1990), versi Longginus Diogo (2001), versi Paulus Nong Susar (2004), versi Keuskupan Maumere (2006), versi Julianus Celsius (2006), versi Alex Longginus I (2007), versi Alex Longginus II (2008) dan versi Dinas Pariwisata Kab. Sikka (2008) dan versi Oscar P. Mandalangi II (2013).

Setiap klaim dan versi ini mungkin punya parameter dan indikator sendiri dalam membuat kategorisasi wilayah etnis di Kabupaten Sikka.

Yang menjadi kebutuhan dari diskusi selanjutnya mengenai kegalauan ini adalah tuntutan untuk diadakannya sebuah rekonsiliasi budaya.

Rekonsiliasi mengandaikan adanya resistensi terhadap wacana kebudayaan dominan yang sifatnya hegemonik.  

Dari sisi tilik ini, kita tentu perlu merefleksikan kembali wacana kebudayaan kita, terutama yang berkelindan dengan kolonialisme dan pengaruh-pengaruhnya.

Sudah sejak lama bipolarisasi wacana kebudayaan dominan dan subversif berlangsung di Kabupaten Sikka.

Bipolarisasi menempatkan suku Sikka di satu sisi dan suku-suku serta etnis lain di sisi yang lain. Wacana kebudayaan di Kabupaten Sikka dalam waktu yang lama dikendalikan oleh para budayawan dan penulis historiografi suku Sikka yang memiliki kedekatan dengan sejarah kolonialisme di Kabupaten Sikka.

Kolonialisme Portugis mengkonstruksi suku Sikka sebagai agen kolonial lewat didirikannya Kerajaan Sikka. Akses terhadap kekuasaan, pengetahuan, dan sumber-sumber produksi wacana kebudayaan oleh orang-orang dari suku Sikka ini diperkuat dengan adanya pendidikan yang dibawa para misionaris.

Mereka menjadi penulis-penulis awal yang hampir pasti berkuasa mutlak dalam membuat dokumentasi kebudayaan kerjaan Sikka (yang lantas berkembang menjadi Kabupaten Sikka) yang diwarisi turun-temurun.

Pada masa Belanda, ketika pusat pemerintahan dipindahkan dari kampung Sikka ke Maumere, pemerintah kolonial tetap bernegosiasi dengan raja dan para penjabatnya sebagai agen kolonial. Mekanisme ini coba diterapkan di wilayah Nita dan Kangae meski Sikka tetap menjadi yang dominan.

Dari catatan-catatan kebudayan awal pasca-kemerdekaan, kita dapat melihat bagaimana Sikka yang secara faktual hanyalah sebuah kampung kecil, varian dari etnis Krowe, oleh para budayawannya diklaim sebagai sebuah etnis tersendiri yang melingkupi banyak sub-kultur lain di wilayah Kabupaten Sikka.

Nama Sikka lantas digunakan sebagai nama Kabupaten, menjadi representasi sebuah wilayah dengan kekayaan kultural yang sangat beragam. Kebudayaan Sikka lantas menjadi kebudayaan dominan.

Pakaian adat, bahasa, rumah adat, ragam kesenian, dan praktik-praktik kebudayaan suku Sikka menjadi identitas utama kebudayaan Kabupaten Sikka. Meski secara ironis, referensi material seperti rumah adat, dan praksis-praksis kebudayaan seperti ritus bertani, merayakan keberhasilan panen, dan lain sebagainya hampir tidak lagi terlihat di kampung Sikka sendiri.

Catatan-catatan yang lebih muda usianya, misalnya yang ditulis oleh John Prior tentang motif-motif politik kebudayaan dan agama yang melatari kasus 1965 di Sikka memperlihatkan dengan jelas, betapa hingga masa-masa itu, etnosentrisme orang-orang Sikka masih dominan dan hegemonik sifatnya.

Resistensi-resistensi, misalnya yang nyata dalam gerakan KANILIMA meski menaruh penekanan yang besar pada faktor politik, tetap tidak pernah tidak bersinggungan dengan produksi wacana kebudayaan.

Lebih dari sesutu yang bersifat historiografis, budaya tetaplah sesuatu yang dinamis, bergerak, bertemu, dan berbaur, seiring dengan pertemuan dan dinamika manusia-manusia dan hampir tidak mungkin dikerangkan dalam suatu kategori yang statis dan tunggal.

Hibridasi terjadi dimana-mana, bahkan sudah sejak pertama kali nenek moyang kita, para pelaut itu melakukan pelayaran-pelayaran. Kekuasaan politis terus berubah. Struktur dan pola interkasi masyarakat berkembang dari waktu ke waktu.

Yang hegemonik dan subversif perlahan-lahan ada bersama, saling bernegosiasi dan membangun ruang-ruang perjumpaan baru yang dalam bahasa Homi K. Bhaba dikenal dengan istilah the third space.

Bagaimana pun, rekonsiliasi budaya tetap diperlukan, pada tataran historiografi maupun visi pembangunan kebudayaan.

Meski perdebatan tentang yang orisinil dan yang serapan tidak lagi relevan. Perdebatan tentang yang benar dan salah, sama sekali bukanlah yang dianjurkan.

Yang paling mungkin adalaha melihat fenomena ini dalam kacamata dialektis atau membiarkan wacana-wacana yang selama ini subversif muncul ke permukaan, diakomodasi, dan dikaji kembali. 

Yang tetap perlu dicatat adalah historiografi tetaplah selalu bersifat perspektif. Klaim sejarah tetaplah sebuah atau versi-versi. Tidak pernah selalu bisa tepat mewakili keseluruhan.

(Eka Putra Nggalu, bergiat di Komunitas KAHE Maumere)

Berkunjung ke Puncak Watu Nariwowo di Desa Beja

Bajawa, Ekorantt.com – Kabupaten Ngada memiliki banyak destinasi wisata. Bukan hanya terkenal akan panorama keindahan alam dan jejak wisata budaya seperti Gunung Inerie, Kampung Bena (kampung adat tertua di Pulau Flores), Taman Laut 17 Pulau Riung, Air Terjun Ogi, dan Air Panas Mengeruda-So’a, Kabupaten Ngada juga memiliki wisata alam Watu Nariwowo yang terletak di Desa Beja, Kecamatan Bajawa.

Wisata alam Watu Naruwowo ini terkenal akan panorama keindahannya hingga memikat banyak wisatawan untuk berkunjung ke tempat ini.

Jarak dari kota Bajawa ke tempat ini kurang lebih 12 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 25 menit.

Semakin dekat dengan lokasi, pengunjung harus menelusuri jalan tak beraspal sepanjang kurang lebih 1 kilo meter yang tanjak. Sebab, objek wisata ini cukup jauh dari perkampungan warga.

Salah satu spot tempat wisata di puncak Bukit Watu Nariwowo.

Namun, lelah takkan terasa karena pengunjung dapat menikmati keindahan hamparan pepohonan di sekitar bukit itu sebelum tiba di lokasi.

Sebelum tiba di puncak bukit, pengunjung juga bisa melihat 3 buah kayu salib. Di belakangnya terdapat 2 tenda kecil bagi pengunjung yang ingin beristirahat.

Pengunjung tak perlu takut untuk mendaki ke puncak bukit tersebut. Sebab, di sana, sudah disediakan pagar tali untuk dipegang.

Jika telah tiba di puncak Watu Nariwowo, mata kita seakan dihipnotis oleh pemandangan yang begitu indah.

Pengunjung bisa melihat Bukit Wolo Bobo jika memandang ke arah timur, Kota Bajawa ke arau utara, kecantikan Gunung Inerie ke arah selatan, dan pantai selatan Pulau Flores yaitu Aimere di arah barat.

Di puncak bukit, ada bendera merah putih Indonesia. Keindahan panorama membuat wisatawan tidak pernah berhenti ber-selfie ria.

Fempianus Pedeng, salah satu pengunjung di tempat itu kepada media ini, Minggu (9/6/2019) mengatakan, tempat itu memiliki pemandangan yang sangat bagus dan sangat layak dijadikan sebagai tempa rekreasi.

Menurutnya, untuk bisa sampai ke tempat itu membutuhkan tenaga yang kuat. Akan tetapi, kelelahan akan terbayar dengan keindahahan alam wisata yang luar biasa.

“Jujur saya merasa puas dan senang. Karena tempat ini juga kami jadikan sebagai tempat untuk mengambil momen,” ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Marsianus Yoris Karitas mengaku, tempat wisata itu memiliki pemandangan yang indah dan udara yang sejuk.

“Tempat ini sangat cocok untuk melepas penat. Situasi alamnya terjaga,” pungkas Marsianus. (Adeputra Moses)

Kondisi Memprihatinkan, Pasar Malanuza Mesti Diperhatikan

Bajawa, Ekorantt.com – Pasar Malanuza merupakan salah satu pasar mingguan di Desa Malanuza, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Saat ini, pasar tersebut membutuhkan perhatian dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ngada.

Hal ini dikarenakan kondisi pasar ini memprihatinkan. Banyak sampah yang masih menghiasi area pasar. Tak hanya itu, infrastruktur jalan juga tak pernah diaspal.

Pantauan media ini pada Kamis sore (6/6/2019), jalan yang berupa tanah masih terlihat berlumpur. Ada pula sampah plastik dan jenis sampah lainnya yang ada di badan jalan.

Terlihat sampah juga menumpuk di area depan pasar.

Tumpukan sampah serupa juga terlihat di sekitar lapak-lapak penjual di dalam pasar. Sampah juga berserakan di jalan di antara lapak penjual.

Sampah yang menumpuk seperti sudah dibiarkan begitu saja dalam jangka waktu lama.

Karena persoalan kebersihan pasar mingguan itu yang tak kian tuntas, pemerintah desa setempat pun angkat bicara dalam menanggapi persoalan ini.

Antonius Wadja, Kepala Desa Malanuza, Kepada media ini, Kamis (10/6/2019) mengatakan, kebersihan pasar Malanuza dari prasarana transportasi  itu merupakan wewenang Pemda Ngada melalui dinas terkait.

Menurutnya, persoalan kebersihan pasar merupakan tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Ngada.

Selama ini, memang sudah ada petugas kebersihan yang ditetapkan oleh dinas, tetapi kerja mereka belum optimal.

“Hal lain yang perlu saya sampaikan karena belum ada pembebasan tempat penampungan dan belum ada amrol sampah atau roda tiga pengangkut sampah. Maka, selama ini, sampah ditumpuk begitu saja di pinggir-pinggir pasar. Apalagi musim hujan seperti ini tidak memungkinkan untuk di bakar,” ujar Kades Malanuza itu yang kerap disapa Tony itu.

Antonius Wadja menjelaskan, persoalan parkir itu merupakan urusan Dinas Perhubungan, sedangkan jalan menjadi urusan Kimpraswil.

Ia mengaku, sebagai kepala desa, ia sudah beberapa kali ikut pertemuan bersama pejabat Sekda untuk membicarakan persoalan itu.

“Harapan saya, mudah-mudahan yang sudah dibicarakan ini bisa cepat terealisasi agar bisa menjawabi persolan yang dihadapi selama ini,” katanya.

Antonius mengaku bahwa pemerintah desa juga sudah mengajukan permohonan kepada Bupati Ngada untuk melimpahkan kepercayaan ke pemerintah desa untuk mengelola pasar tersebut.

“Saya sudah ajukan permohonan tertulis kepada Bapa Bupati, kalau berkenan bisa limpahkan kepercayaan ke pemerintah desa untuk mengatur kebersihan dan retribusi yang berhubungan dengan pasar,” pungkasnya. (Adeputra Moses)

Kades Golo Wontong Dituding Gelapkan Dana Desa

Borong, Ekorantt.com – Kepala Desa Golo Wontong, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur Nikolaus Ganus dituding menggelapkan  dana desa.

Hal ini dibuktikan dengan  mangkraknya beberapa proyek menggunakan dana desa pada tahun 2018.

Proyek-proyek mangkrak itu antara lain adalah pembangunan kantor desa dari Sisa Lebih Penghitungan Anggaran (Silpa) tahun 2017 sebesar Rp18.096.595,00, rabat jalan poros Desa Bitu-Liang Dalo sepanjang 173 meter dengan nilai uang sebesar Rp90.000.000,00, penggalian drainase sepanjang 3000 meter senilai Rp75.963.000,00 dari Silpa tahun 2017.

Juga bantuan penahan air hujan Poskesdes Golo wontong senilai Rp7.000.000,00, pengadaan baliho APBDes 2018, pembangunan deker senilai Rp80.000.000,00, dan pembukaan jalan Tani Bitu-Wae Ramut yang tidak dikerjakan secara maksimal.

Mewakili masyarakat Desa Golo Wontong, Basilius Hartoyo kepada  media ini Senin (10/6/2019) mengatakan bahwa masyarakat sangat menyesalkan sikap Kepala Desa Golo Wontong yang tidak bisa menunjukkan bukti pemanfaatan dana desa.

Sebab, banyak proyek yang dikerjakan menggunakan dana desa dari tahun 2015-2018 mangkrak atau dikerjakan dengan amburadul.

Disinyalir, sudah sedari awal, penggunaan dana desa di Golo Wontong sudah bermasalah. Bahkan, pada tahun 2017, penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sempat memeriksa Kepala Desa Golo Wontong berkaitan dengan proyek dana desa tahun anggaran 2015/2016 yang tidak dikerjakan.

Setelah pemeriksaan, di hadapan masyarakat, penyidik Tipikor mengatakan, proyek dana desa tersebut bermasalah. Namun, sampai saat ini, belum ada kejelasan proses hukum dari pihak aparat penegak hukum tersebut.

Basilius pun merasa tidak heran jika penggunaan dana desa pada tahun 2018 juga bermasalah. Masalah tersebut menandakan bahwa pemerintah desa lebih utamakan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum.

“Kami berharap bahwa pemerintah dalam hal ini Inspektorat dan Dinas BPMD Kabupaten Manggarai Timur untuk segera periksa Kepala Desa Golo Wontong. Karena pada prinsipnya ini uang rakyat untuk kesejahteraan rakyat bukan untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.

Menurut dia, jika pihak pemerintah kabupaten tidak merespons harapan ini, maka masyarakat Golo Wontong akan menindaklanjuti persoalan ini ke kejaksaan.

Wakil Ketua BPD Yohana F. Mulia mengatakan, dalam penyusunan APBDes Golo wontong, kepala desa tidak melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

BPD tidak tahu alokasi dana desa. Pengelolaan dana desa juga dilakukan sangat tertutup. Desa Golo Wontong tidak memiliki spanduk APBDes.

“Patut diduga bahwa ada penggelapan dalam pengelolaan dana desa Golo Wontong,” ungkapnya.

PLD Alosius Nowang dalam keterangan terpisah mengatakan bahwa hasil pemeriksaan yang ia lakukan tiga minggu lalu menunjukkan, semua proyek dana desa 2018 di Golo Wontong belum mencapai 50%.

Hanya proyek jalan tani Bitu-Wae Ramut yang sudah mencapai 80%. Ia mengaku sudah memberikan peringatan kepada kepala desa untuk segera menyelesaikan proyek mangkrak tersebut.

Ekora NTT sudah mengkonfirmasi Kades Golo Wontong terkait tudingan penggelapan dana desa ini. Namun, hingga berita ini diturunkan, ia belum menanggapi.

Perkumpulan Dokter Kandungan NTT Luncurkan Program “POGI Lebih Dekat”

Kupang, Ekorantt.com – Para dokter spesialis obstetri ginekologi yang tergabung dalam Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Provinsi NTT meluncurkan program “POGI Lebih Dekat” di Milenium Ballroom, Kota Kupang, Sabtu (15/6/2019).

Program itu diluncrukan oleh Wakil Walikota Kupang, dr. Hermanus Man bersamaan dengan kegiatan Kupang Obstetri Ginekologi Update (KOU) ke-3.

POGI Lebih Dekat merupakan bentuk kepedulian serta tanggung jawab para dokter kandungan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para tenaga kesehatan di Puskesmas demi menekan angka kematian ibu di NTT.

Menurut Ketua POGI NTT, dr. Laurens David Paulus Sp.OG (K), ada tiga penyebab utama kematian ibu, yakni perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (eklampsia), dan infeksi.

Di NTT, kematian ibu akibat pendarahan masih sangat tinggi, yakni 30 persen dari total kematian ibu, disusul eklampsia 25 persen, dan infeksi 12 persen.

“Karena itu, program-program yang dilakukan ke daerah oleh dokter spesialis obstetri ginekologi ialah bagaimana caranya agar bisa menurunkan angka kematian ibu tersebut, salah satunya ialah dengan update ilmu secara rutin karena memang ilmu terus berkembang dari waktu ke waktu,” ungkap dr. Laurens.

Melalui program ini, para dokter spesialis obstetri ginekologi yang berada di Kota Kupang setiap minggunya akan terjun langsung ke seluruh Puskesmas yang ada di Kota Kupang untuk memberikan pengetahuan kepada tenaga kesehatan, khususnya para dokter umum dan bidan yang ada di Puskesmas tanpa dibayar.

Dokter Laurens menjelaskan, program ini akan dilaksanakan di seluruh wilayah NTT, tetapi pertama-tama dilakukan di Kota Kupang, mengingat dari 55 dokter kandungan di seluruh NTT, 21 di antaranya ada di Kota Kupang.

Selama ini, POGI NTT juga sudah menjalin kerja sama dengan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) NTT karena bidan adalah perpanjangan tangan para dokter kandungan yang tersebar hingga ke pelosok daerah.

“Artinya bahwa kita juga harus memiliki tanggung jawab bagaimana membuat tangan tersebut menjadi lebih tajam dalam pelayanan. Ini adalah tanggung jawab kita dan mestinya harus berkesinambungan,” kata dr. Laurens.

Wakil Walikota Kupang, dr. Hermanus Man berharap tenaga kesehatan di Puskesmas dapat merespons program ini secara positif sehingga membawa dampak bagi peningkatan derajat kesehatan di Kota Kupang.

“POGI Lebih Dekat berarti akan ada banyak ilmu dan pengetahuan serta keterampilan yang akan ditransfer ke kita di Puskesmas. Satu harapan saya dari kegiatan ini, yakni akan muncul profesionalisme dalam melaksanakan tugas,” katanya.

KOU ke-3

Kupang Obstetri Ginekologi Update (KOU) ke-3 yang diselenggarakan di Milenium Ballroom, Kota Kupang, mengangkat tema “Through Better Competency, Bring Better Services” dengan penenakan pada “Pre-eklampsia Stoppable”.

Kegiatan itu dihadiri ratusan dokter umum dan bidan serta mahasiswa dan puluhan Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi.

KOU ke-3 ini menghadirkan sejumlah pakar di bidang obstetri ginekologi, di antaranya dr. I. Ketut Agus Sunatha, SpOG (K), Prof.Dr.dr. Johannes C. Mose, SpOG (K) dari Bandung serta Kathleen Wilson, M.D dan Jenna McDuff, M.D. dari Australia.

Kehadiran sejumlah pakar tersebut diharapkan membantu para peserta untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam pelayanan penanganan kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan kepada para ibu di NTT.

Wakil Walikota Kupang, dr. Herman mengapresiasi POGI NTT terkait pelaksanaan kegiatan tersebut karena sangat bermanfaat bagi pelayanan kesehatan di Kota Kupang dalam rangka menurunkan angka kematian ibu.

“Melalui kegiatan hari ini, kita dapat meningkatkan knowledge dan skill kita. Dan yang paling penting ialah change our attitude untuk berpikir bahwa tugas kebidanan adalah tugas yang penting dan dimulai dari janin sampai 1000 hari pertama,” ujar dr. Hermanus Man.

Anjing dan Kucing Rabies Gigit 5 Warga di Kabupaten Sikka

Maumere, Ekorantt.com – Berdasarkan hasil pemeriksaan Balai Besar Veteriner Denpasar pada tanggal 20 Juni 2019 lalu, empat (4) ekor anjing dan satu (1) ekor kucing di Kabupaten Sikka positif tertular virus rabies.

Anjing dan kucing rabies tersebut berdomisili di Kecamatan Waigete, Kecamatan Kangae, Kecamatan Koting, dan  Kecamatan Alok Timur.

Dari empat (4) ekor anjing tersebut, dua ekor anjing menggigit manusia. Anjing berusia 3 tahun di Kelurahan Kotabaru, Kecamatan Alok Timur menggigit satu orang warga pada tanggal 29 Mei 2019.

Anjing lainnya berusia 1 tahun di Desa Koting B, Kecamatan Koting menggigit dua orang warga pada tanggal 16 Juni 2019.

Sementara itu, dua ekor anjing lainnya tidak menggigit manusia. Dua ekor anjing ini hanya menunjukkan perubahan perilaku seperti menggigit benda-benda atau ternak.

Anjing berusia 8 bulan di Desa Wlohuler dan Desa Koting A, Kecamatan Koting menunjukkan perubahan perilaku dengan menggigit benda-benda.

Anjing berusia 12 tahun di Desa Daratnatar dan Desa Hoder, Kecamatan Waigete menyerang dan menggigit ternak. Dalam kasus dua ekor anjing rabies ini, tidak ada korban manusia.

Dengan demikian, jumlah korban gigitan anjing rabies sebanyak 3 orang. Sementara itu, jumlah korban gigitan kucing rabies sebanyak 2 orang.

Total gigitan anjing dan kucing rabies di Kabupaten Sikka selama periode Mei-Juni 2019 sebanyak 5 orang.

Informasi ini diolah dan diterima Redaksi Ekora NTT dari Dokter Asep Purnama Satuan Medis Fungsional Penyakit Dalam dan Saraf RSUD Dr. Tjark Corneille Hillers Maumere.

“Semoga korban gigitan 5 anjing tersebut bisa diselamatkan,” ungkap dr. Asep.

Dr. Asep mengimbau warga Sikka pada khususnya dan Flores Lembata pada umumnya untuk tetap memwaspadai penyebaran virus rabies di wilayah masing-masing.

“Virus rabies masih berada di sekitar kita. Dan sewaktu-waktu akan menebar kematian,” katanya.

Dr. Asep mengajak warga Sikka dan Flores-Lembata untuk mem-vaksin anjing.

“Ayo vaksin anjing kita. Jadilah pemilik anjing yang bertanggung jawab. Anjing sehat, keluarga selamat,” ungkapnya.

Selain lima (5) ekor anjing, satu (1) ekor kucing di Desa Kokowahor, Kecamatan Kangae juga tertular virus rabies. Kucing rabies ini menggigit dua (2) orang warga pada tanggal 26 Mei 2019.

Tabel 01. Laporan Sementara Hasil Pengujian Sampel Fat Rabies BBVT Denpasar

No. Kode Alamat Sampel Anamnesa Petugas Hasil
  P06190567 Wairkoja-
Kewapante
Anjing (10 bulan) menggigit benda-
benda. Tidak ada korban
Distan Sikka
  P06190566 Kokowahor-Kangae Kucing menggigit 2 orang pada
26/5/2019
Distan Sikka +
  P06190565 Kotabaru-Alok Timur Anjing (3 tahun) menggigit 1 orang pada 29/5/2019 Distan Sikka +
  P06190564 Koting B-
Koting
Anjing (1 tahun) menggigit 2 orang pada 16/6/2019 Distan Sikka +
  P06190563 Wolohuler, Koting A-
Koting
Anjing (8 bulan) menunjukkan per- ubahan perilaku, seperti menggigit benda-benda. Tidak ada korban manusia. Distan Sikka +
  P06190562 DaratnatarHoder-
Waigete
Anjing (12 tahun) menyerang dan
menggigit ternak. Tidak ada korban
manusia.
Distan Sikka +

Diolah oleh Litbang Ekora NTT

Kafe Coklat: Antara Kopi, Kata dan Kita

Kupang, Ekorantt.com – Jauh dari kampung halaman dan merantau sendirian ke tanah orang tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para perantau, khususnya mahasiswa. 

Rindu  adalah rasa yang selalu menghantui kehidupan para perantau. Ia menjadi frasa yang tak henti dan tanpa lelah selalu menggerayangi tidur lelap setiap perantau.

Toh menjadi orang asing di tempat baru yang belum sepenuhnya dikenali tentunya merupakan sebuah hal yang kurang mengenakkan, entah laki-laki maupun perempuan.

Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh para anak muda, seperti mahasiswa demi mengobati rasa rindu pada keluarga dan kampung halaman.

Salah satunya dengan berkumpul dan berbagi rasa bersama para sahabat di tempat-tempat yang dirasa menyenangkan.

Kota Kupang sebagai ibu kota provinsi tentunya memiliki beragam tempat kumpul atau nongkrong yang menarik bagi anak muda.

Banyak pengusaha muda pun berlomba-lomba memanfaatkan peluang yang ada untuk mendirikan tempat nongkrong, seperti kafe, warkop alias warung kopi ataupun rumah makan yang diharapkan bisa menjangkau sebanyak mungkin anak muda.

Salah satunya kafe Coklat. Kafe ini merupakan salah satu kafe unik yang terletak di Jalan Fatutuan, RT 03/RW 06, Kelurahan Liliba.

Kafe ini didirikan oleh Hipol Mawar. Pria asal Adonara yang menjadi pegiat di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kota Kupang ini bersama dengan sejumlah rekannya mendirikan pada bulan Juli 2017 lalu.

Kafe Coklat dibuat dengan konsep unik yang dipadukan dengan alam dan nuansa kampung halaman. Seperti namanya, dandanan kafe ini dengan segala perabotnya pun dibuat berwarna coklat.

Warna coklat ini merujuk pada bambu tua yang sering dijumpai hampir di seluruh daerah di NTT, terutama di wilayah pedesaan. Bambu sendiri melambangkan kerinduan pada kampung halaman.

Adapun kehadiran kafe coklat diharapkan bisa menjadi sebuah tempat di mana para mahasiswa perantau atau orang-orang yang sudah jenuh dengan hiruk-pikuk kota bisa melepas rindu pada kampung halaman dengan mencicipi menu-menu khas berupa pangan lokal yang tersedia di sini.

Adapun menu-menu khas berupa pangan lokal yang paling disenangi oleh para pengunjung, seperti kopi coklat dan kue putu, stik talas, pisang goreng, kacang mete, roti bakar kacang mete, dan mie lumpur.

Berdasarkan pengakuan dari pengelola kafe ini, kopi coklat dan kopi coklat rempah merupakan menu yang paling laris terjual sejauh ini.

Hal lain yang menjadi alasan mengapa kafe ini diberi nama kafe coklat adalah karena menu-menu di kafe ini sebagian besarnya menggunakan coklat asli sebagai bahan dasar.

Harga makanan dan minuman di tempat ini juga terbilang murah dan terjangkau untuk semua kalangan.

Kafe Coklat terdiri dari 4 lopo berukuran kecil dan 1 lopo berukuran besar, sehingga para pengunjung dapat dengan bebas memilih lopo mana saja yang akan digunakan untuk makan, minum, kencan, berdiskusi ataupun menyelesaikan tugas.

Yoseph Igo Peka (29) atau yang biasa disapa Yogi adalah anak muda yang dipercayakan oleh pemilik kafe (Hipol Mawar) untuk menjadi pengelola kafe ini.

Berangkat dari pengalamannya sebagai seorang aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia/PMKRI Cabang Kupang saat masih berada di bangku perkuliahan dulu, dia menyulap kafe Coklat menjadi lebih dari sekadar tempat untuk urusan bisnis.

Kafe Coklat dijadikan sebagai tempat untuk diskusi ilmiah seperti bedah buku atau bincang-bincang komunitas anak muda dalam menyikapi isu-isu faktual yang tengah berkembang dan jadi perbincangan hangat di NTT ataupun di Indonesia.

Suasana kafe yang tenang dan teduh ini bisa membuat setiap pengunjung merasa nyaman dan betah di sini.

Jauh dari jalan umum yang begitu berisik dengan hiruk-pikuk kendaraan, diiringi oleh alunan lagu-lagu keren dengan berbagai genre (mulai dari indie, pop, rock, RnB, hip-hop, reage dan sejenisnya) menjadikan kafe ini memiliki nuansa yang benar-benar berbeda dengan kafe lain yang pernah saya kunjungi di kota Kupang.

Selain itu, kafe  unik ini bisa menjadi tempat kencan minimalis bagi mereka yang memiliki pasangan dan menyelesaikan tugas kuliah, khususnya bagi para mahasiswa, karena kafe ini dilengkapi juga dengan fasilitas Wi-Fi yang kecepatannya terbilang stabil.

Kafe Coklat dengan suasananya yang alami, juga bisa menjadi spot foto yang menarik dan instagramable. Hampir setiap sudut bisa menjadi tempat yang cocok untuk berfoto ria.

Uniknya lagi, pelayan kafe selalu memotret dan mempublikasikan aktivitas para pengunjung kafe di sosial media mereka. Untuk keperluan dokumentasi dan publikasipun tentunya atas seizin para pengunjung terlebih dahulu.

Untuk kamu yang mencintai keheningan dan belum pernah berkunjung ke sini, kafe coklat menjadi rekomendasi dan referensi wajib dari saya.

Kafe ini bisa diakses melalui dua jalur, baik melalui jalur Penfui (tepatnya di belakang kantor Search and Rescue/SAR) maupun melalui jalan Bumi yang terletak tepat di dekat kapela gereja Katolik Liliba.

Anda bisa ke sini dengan berjalan kaki (jika niat) maupun dengan menggunakan kendaraan pribadi baik sepeda, motor maupun mobil.

Jika Anda menggunakan angkutan umum seperti bemo jalur Penfui-Baumata, maka Anda bisa berhenti tepat di depan kantor SAR Penfui sembari menunggu ojek (online maupun pangkalan) yang bisa menghantar Anda ke kafe ini dengan biaya sebesar Rp. 5.000. (Maria Goreti Ana Kaka)

PT. Muria Sumba Manis Lakukan Pelanggaran Hukum dan HAM di Sumba Timur

Jakarta, Ekorantt.com – Lokataru Kantor Hukum dan HAM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan PT. MSM yang melakukan sejumlah pelanggaran HAM terhadap Masyarakat Adat di Sumba Timur.

Hasil investigasi di Sumba Timur pada bulan Januari 2019 hingga Maret 2019 di lima desa yang berada di tiga kecamatan berbeda di Kabupaten Sumba Timur, terkuak fakta adanya beberapa pelanggaran Hukum dan HAM yang disebabkan oleh bisnis perkebunan tebu milik PT. Muria Sumba Manis (PT. MSM).

Dalam catatan kami, setidaknya terdapat lima bidang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT. MSM yakni dalam bidang Lingkungan Hidup, bidang Keagamaan dan Kebudayaan, bidang Ketenagakerjaan, bidang Pertanahan, dan bidang Pemidanaan.

Pertama, dalam bidang lingkungan hidup. Kerusakan hutan, padang penggembalaan, kerusakan ladang pertanian, dan adanya privatisasi air yang berujung pada krisis air bagi masyarakat.

Wilayah hutan Bulla sebesar 0,58 hektar diokupasi untuk pembangunan embung. Sedangkan pada hutan Mata yang terletak di Desa Wanga juga mengalami kerusakan akibat pembangunan embung penadah air sementara persis di tengah Daerah Aliran Sungai (DAS).

Selain itu, kerusakan daerah aliran sungai akibat dibendung di bagian hulu oleh PT. MSM mengakibatkan kekeringan yang berkepanjangan dan berimbas pada gagalnya ladang pertanian Masyarakat Adat.

Sementara itu, sabana sebagai padang penggembalaan hewan masyarakat dialih fungsikan menjadi lahan konsesi perkebunan tebu.

Kedua, dalam bidang keagamaan dan kebudayaan. Sebagai imbas dari pembukaan lahan dan rusaknya lingkungan hidup, kerusakan pada situs adat dan peribadatan bagi Masyarakat Adat yang menganut keyakinan marapu menjadi masalah yang juga dihadapi oleh masyarakat adat di Sumba Timur.

Ketiga, dalam bidang ketenagakerjaan. Masyarakat yang akhirnya beralih pekerjaan dan berubah menjadi pekerja/buruh bagi PT. MSM tak serta merta lepas dari semua penderitaan di atas.

Tidak adanya jaminan kesehatan bagi para pekerja, tidak adanya fasilitas kesejahteraan bagi pekerja/buruh misalnya toilet, tempat istirahat, dan kantin, serta tidak adanya perjanjian kerja tertulis sehingga membuat perusahaan bertindak sewenang-wenang dengan menetapkan target kerja yang tak manusiawi dan upah yang tak sepadan.

Keempat, dalam bidang pertanahan. Pelepasan tanah ulayat milik beberapa marga/kabihu secara sepihak oleh oknum pemerintahan di tingkat desa dan kecamatan, pelepasan lahan dengan penggunaan status tanah ex swapraja atas lahan yang sebenarnya merupakan tanah ulayat yang dilakukan oleh kepala suku, proses pengukuran secara sepihak oleh PT. MSM dan oknum pemerintahan dengan dalih demi kepentingan umum, penggunaan istilah uang sirih pinang yang disamakan dengan uang pengalihan lahan, serta penerbitan izin lokasi dan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan prosedur hukum merupakan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam bidang pertanahan.

Terakhir, yakni adanya pemidanaan yang terkesan dipaksakan dengan adanya empat masyarakat adat yang dilaporkan kepada pihak kepolisian selama proses advokasi ini.

Perkembangan proses hukum yang tak sesuai serta tekanan yang terus menerus diterima Masyarakat Adat juga menambah banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi.

Berbagai upaya dan tindakan yang telah dilakukan mulai dari surat menyurat kepada lembaga terkait, aksi massa dalam rangka penolakan investasi PT. MSM di Sumba Timur, hingga pelaporan beberapa pihak kepada pihak kepolisian, nyatanya hingga kini tak menyurutkan PT. MSM untuk terus beraktivitas di atas penderitaan Masyarakat Adat.

Oleh karenanya, kedatangan Masyarakat Adat dari Sumba Timur ke Jakarta ini merupakan bentuk upaya nyata untuk mengais keadilan.

Sekaligus, membuktikan bahwa tidak ada langkah penyelesain dan keberpihakan dari pemerintah Kabupaten Sumba Timur dalam menyelesaikan seluruh permasalahan di atas.

Slogan PT. MSM yang berbunyi “mensejahterakan masyarakat sekitar” nyatanya bertolak belakang dengan berbagai fakta yang terjadi di Sumba Timur.

Pada akhirnya, selain mendesak adanya evaluasi bagi jajaran pemerintah Kabupaten Sumba Timur, segala bentuk pelanggaran Hukum dan HAM yang dilakukan oleh PT MSM harus dihentikan dan ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.

Demikian siaran pers yang dihimpun Ekora NTT dari Lokataru Kantor Hukum dan HAM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) bertanggal 7 Juli 2019 mengenai praktik buruk yang dilakukan oleh PT. Muria Sumba Manis di Kabupaten Sumba Timur, Provinsi NTT.