Jangan Pilih Anggota Dewan yang Cacat Hati dan Pikiran

0

Maumere, Ekorantt.com – Calon anggota legislatif Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Sikka, Amandus Ratason mengimbau masyarakat untuk tidak memilih calon wakil rakyat yang cacat hati dan pikiran.

Hal ini ditegaskannya dalam kegiatan sosialisasi di hadapan puluhan warga RT.015,  Desa Tanaduen, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka pada Kamis (7/2/2019).

“Menjadi anggota legislatif, harus mampu memahami tupoksinya dengan baik. Dan yang terpenting adalah memiliki hati dan pikiran untuk kepentingan banyak orang, bukan untuk kepentingan diri dan keluarga,” tegas Amandus.

Amandus juga mengecam keras sikap oknum anggota dewan yang telah mengeksploitasi salah seorang penyandang disabilitas yang sedang ramai diperbincangkan berbagai kalangan di media sosial.

“Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Saya sebagai salah satu penyandang disabilitas, mengutuk keras sikap dan tindakan oknum anggota dewan tersebut,” tandas Amandus.

Baginya, oknum tersebut tidak pantas menjadi publik figur dan tidak layak untuk dipilih kembali.

“Oknum anggota dewan dimaksud mungkin memiliki kesempurnaan fisik. Tapi merekalah yang sesungguhnya cacat secara mental karena sudah bersikap arogan dan semena-mena terhadap penyandang disabilitas,” tandasnya.

Untuk diketahui Amandus Ratason merupakan Caleg PKB nomor urut 3 di Daerah Pemilihan (Dapil) 2 yang mencakup Kecamatan Kewapante, Kecamatan Hewokloang, Kecamatan Nele, Kecamatan Koting, Kecamatan Lela dan  Kecamatan Kangae. (adv)

Kontributor: Y. S Sefni

Dhake, Raksasa Pemikul Megalit di Kampung Adat Bena

1

Bajawa, Ekora NTT – Saat Ekora NTT mengunjungi Kampung Adat Bena, Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada, Selasa, 27 Desember 2018, masyarakat adat di sana sedang menyiapkan diri menggelar ritual adat Reba.

Seperti yang sudah kita ketahui, Bena adalah kampung pertama penyelenggara ritual adat Reba pada setiap tanggal 27 Desember sebelum kampung-kampung adat lainnya di Ngada melakukan ritual yang sama.

Walau demikian, suasana di Bena pagi itu tampak lengang. Petugas penerima karcis duduk di pendopo melayani para wisatawan. Bapak-bapak duduk merokok dan bercerita di beranda Sa’o, rumah adat.

Mama-mama dan nenek-nenek tua duduk bercerita di beranda yang sama. Anak-anak kecil bermain riang di pelataran kampung, tempat ngadhu, simbol keturunan laki-laki pertama, dan bhaga, simbol keturunan perempuan, bertahkta.

Para wisatawan sibuk melihat dan mengambil gambar.

Setelah mendaftarkan diri di buku pengunjung, membayar karcis Rp40.000,00 untuk dua orang, menerima selendang tenun ikat Bena, membaca papan informasi, Ekora NTT pun mulai menjejakkan kaki di setiap tapak tanah adat Bena.

Hawa dingin menusuk pori-pori tubuh. Tapi tidak surutkan semangat untuk melihat, berdecak kagum, bertanya, dan mengabadikan momen melalui kamera Android.

Setelah puas menikmati pesona Bena, Ekora NTT berbincang dengan penduduk asli, pengelola, dan para wisatawan.

Setiap liputan tentang kampung adat Bena hampir selalu menyinggung keberadaan megalit. Batu besar peninggalan masa prasejarah itu tersusun rapi di sekitar area kampung adat Bena yang pada 1995 lalu dicalonkan menjadi situs warisan dunia UNESCO itu.

Akan tetapi, sependek penelusuran Ekora NTT, tak satu pun liputan itu menyinggung mitos tentang Dhake si manusia raksasa pemikul megalit di kampung adat Bena.

Oleh karena itu, walau akan terlampau ringkas, liputan Ekora NTT kali ini akan mulai dengan membagi cerita tentang Dhake untuk selanjutnya menceritakan dampak ekonomi politik kampung adat Bena bagi masyarakat adat Bena.

Mitos tentang Dhake si manusia raksasa pemikul megalit diceritakan oleh Kepala Desa Tiworiwu, Sirilus Waso (39).

Sirilus mengisahkan, dahulu nian, ada seorang manusia raksasa. Penduduk setempat percaya, raksasa itu adalah orang yang memikul batu yang besar dan tinggi, megalit, ke tengah kampung.

Ia memikul batu besar itu sendirian. Ia tidak membutuhkan bantuan orang banyak. Akan tetapi, ia hanya mampu memikul batu-batu yang besar dan tidak bisa memikul batu-batu yang kecil.

Ia meninggalkan sebuah jejak berupa bekas tapak kaki pada salah satu megalit yang dipikulnya. Nama raksasa itu Dhake.

“Entah benar atau tidak, itulah cerita yang kami dengar turun temurun dari orang tua,” ungkap Sirilus.

Terlepas dari benar tidaknya cerita tentang Dhake, masyarakat Bena sangat menghargai situs Kampung Adat Bena. Mereka sudah terlampau kuat terikat pada budaya dan tradisi.

Menghilangkan situs ini akan menimbulkan dampak dan risiko yang tinggi. Maka, perlu dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan adat dan budaya di tempat ini.

“Misalnya, hari ini, akan dimulai perayaan Reba yang akan berlangsung selama tiga hari mulai dari tanggal 27 Desember 2018 hingga 29 Desember 2018,” katanya.

Bagi penduduk, Bena bukan sekadar situs rumah adat tradisional yang eksotis, tetapi juga sudah dianggap sebagai tempat tinggal, tempat lahir, dan tempat kandungan orang tua.

Generasi penerus bertugas merawat dan melakukan ritual sesuai dengan prakarsa dan petunjuk nenek moyang.

Kampung Adat Bena sudah didirikan sejak dahulu kala sekalipun masyarakat tidak bisa memprediksi waktu pendiriannya secara akurat. Beberapa sumber menyebut, kampung dengan arsitektur kuno berbentuk perahu ini sudah berusia 1.200 tahun.

Hingga 2019, jumlah Sa’o, rumah adat tertua di Flores ini sudah mencapai 48 buah, termasuk di Kampung Tololela.

“Omong kapan didirikan, kita tanya ke orang tua, mereka bilang ini sudah dari orang tua. Kita tanya ke nenek, ini sudah dari kami punya orang tua,” tutur Sirilus.

“Kita tidak bisa prediksi tahun berapa didirikan. Kecuali insinyiur yang buat penelitian selama bertahun-tahun. Kira-kira batu ini dibangun tahun berapa. Kita tidak bisa prediksi tahun berapa,” tambahnya.

Inilah megalit di rumah adat Bena. Gambar diambil, Selasa (27/12).

Kunjungan Wisatawan

Walau tanggal kelahirannya tak pernah jelas, setiap hari, selalu ada kunjungan wisatawan di Bena. Biasanya, wisatawan domestik lebih banyak dari pada wisatawan mancanegara.

Para wisatawan mancanegara yang biasanya datang secara berkelompok sering inap di rumah-rumah penduduk.

Para wisatawan ramai mengunjungi Bena pada saat musim liburan tiba pada Juli dan Agustus. Kunjungan wisatawan akan berkurang kalau ada bencana seperti yang baru-baru ini terjadi di Kampung Adat Gurusina.

Kalau ada bencana, para wisatawan biasanya tinggal sementara di Labuan Bajo sebelum berkunjung ke Bena.

Kampung Adat Bena mendulang rupiah dari hasil penjualan tiket. Per Desember 2018, karcis wisatawan domestik Rp20.000,00, sedangkan karcis wisatawan mancanegara Rp25.000,00.

Dalam bulan-bulan yang ramai pengunjung, Bena bisa mendulang hingga Rp200 juta.

Pembagian penghasilan dari penjualan karcis dilakukan berdasarkan persentase. 40% untuk perawatan pembangunan rumah adat, lingkungan, dan perkampungan, 8% untuk Dinas Pariwisata Kabupaten Ngada, 17% untuk Desa Tiworiwu, 25% untuk pengelola, dan 10% untuk biaya pembersihan anak kampung setiap pagi dan sore hari.

Situs Rumah Adat Bena dikelola oleh tim khusus. Pengelola situs terdiri atas setiap utusan suku. Kampung Adat Bena sendiri ini memiliki 9 suku, yaitu Dizi Kae, Wato, Deru Solomai, Deru Lalulewa, Bena, Ago, Ngada, Dizi Aji, dan Kopa.

Keberadaan 9 suku itu dilambangkan dengan 9 ngadhu di tengah kampung. 9 ngadhu itu sendiri menunjuk pada 9 laki-laki pertama yang mendirikan suku. Di sini ada 9 suku, berarti ada 9 keturunan asli.

Setiap suku mengirim dua orang utusan. Ditambah dengan empat orang pengurus inti yang dipilih melalui organisasi, jumlah pengelola dan pengurus Kampung Adat Bena sebanyak 22 orang.

Dengan penghasilan ratusan juta rupiah, timbul pertanyaan, apakah Kampung Adat Bena tingkatkan kesejahteraan masyarakat?

Penduduk atau lebih tepatnya para pemilik Sa’o di Bena memperoleh penghasilan dari ongkos penginapan dan penjualan tenun ikat dan suvenir. Ongkos penginapan berkisar Rp100.000,00/orang/malam.

Selain itu, mereka menjual tenun ikat dan suvenir kepada para pengunjung. Suvenir terbuat dari bambu, tempurung kelapa, dan kayu-kayuan.

“Sovenir dari bambu menghasilkan gelas, tempurung kelapa, dari kayu-kayu. Gantungan-gantungan dari masing-masing rumah diambil dari biji Peteh hutan. Bisa dibuat palu atau gigi babi hutan dan babi biasa untuk dijual ke tamu,” ungkap Sirilus.

Seorang pengunjung dari Maumere, Martina mengaku bangga dengan keberadaan situs Kampung Adat Bena.

Ia mengunjungi Bena setelah menonton liputan tentangnya di media massa seperti Trans 7.

“Kami datang jauh-jauh dari Maumere hanya untuk menyaksikan langsung situs langka ini. Untuk daerah lain, kayaknya tidak ada, ya,” katanya.

Ia mengharapkan, pengelola memerhatikan kebersihan situs. Keberadaan WC dan kamar mandi umum tepat di pintu gerbang masuk sangat mengganggu kenyamanan pengunjung.

“Yah, aromanya tidak terlalu bagus. Apalagi pintunya terbuka,” katanya.

Robusta Leworok bukan Sembarang Kopi

0

Larantuka, Ekorantt.com – Jika Arabika Manggarai dan Bajawa sudah punya kisahnya sendiri maka nun di Flores Timur ada lagi satu daerah penghasil kopi yang bakal terkenal ke seantero Nusantara bahkan dunia.

Daerah penghasil kopi jenis robusta itu adalah kampung Leworok Desa Leraboleng, kecamatan Titehena, kabupaten Flotim.

Untuk mencapai kampung Leworok yang berada di ketinggian bukit Leraboleng butuh waktu tempuh 10-15 menit dari jalan utama Larantuka-Maumere, tepatnya dari pertigaan desa Eputobi baik dengan mobil maupun motor.

Berada pada ketinggian 1050-1100 meter dari permukaan laut menjadikan Leworok sebagai bertumbuhnya kopi robusta dengan kualitas yang bagus.

Para penduduk di kampung Leworok hampir pasti punya lahan kopi yang diberdayakan dengan sebaik-baiknya.

Sejak 2018 lalu ketika Yosef  Lo, salah seorang anak tanahnya memperkenalkan produk kopi Leworok dalam kemasan yang lebih unik, sontak kopi Leworok menjadi satu-satunya kopi yang paling diburu di Flores Timur.

Yoland, nama lengkapnya Yosef Lo mengaku terpanggil untuk memperkenalkan kopi robusta dari kampungnya yang bercitarasa kuat dan unik itu dinikmati semakin banyak penikmat kopi.

Berkarir sebagai seorang honorer pada Dinas Sosial Kabupaten Flores Timur, Yoland selalu merasa tak tega ketika pulang kampung dan melihat warga di kampung kelahirannya menjual kopi dengan harga sangat murah.

Berkisar hanya pada 5 ribu rupiah sampai dengan 10 ribu rupiah.

“Harganya berkisar begitu saja, saya berpikir harus buat sesuatu,” demikian tutur Yoland.

Tahun 2017 menjadi awal Yoland membeli kopi dari warga di kampungnya. Dia coba membeli 10 kilogram kopi, lalu mencoba sendiri usaha mulai dari menggoreng sampai membuat jadi tepung.

Kemasannya masih menggunakan kertas plastik pembungkus tembakau. Usaha ini ternyata tak memberikan hasil yang memuaskan juga.

Tepung kopi yang dijualnya mengalami nasib yang sama seperti ketika warga di kampungnya menjual dalam bentuk kopi biji.

Tak putus asa, Yoland tetap berupaya untuk membuat yang terbaik bagi kopi Leworok. Dan segala daya upayanya berbuah manis ketika dirinya berjuang untuk membuat desain kemasan sebagai pembungkus tepung kopi.

Dirinya nekad mengajukan pinjaman dari kredit usaha rakyat (KUR) sebesar 15 juta rupiah. Upayanya tidak sia-sia.

Pemasaran pertamanya justru terjadi di Malang, Jawa Timur. Hasil jualannya langsung ludes diborong. Pengakuan warga kota Malang, kopi robusta Leworok punya cita rasa yang beda, harum juga berasa dari mulut sampai kerongkongan.

“Pokoknya kopi Leworok ini bukan sembarang kopi,” kata Yoland menirukan komentar penikmat kopi yang membeli kopi Leworok.

Sejak ludes diborong oleh penikmat kopi di Malang pada Maret 2018 menjadikan Yoland kian gigih bekerja untuk meracik sendiri biji kopi jadi tepung yang berkualitas.

Kini ia boleh berbangga karena ikut membantu warga di kampungnya untuk mengangkat harkat dan martabat petani kopi. Kopi dibeli dengan harga yang pantas.

Ia senang karena Pemkab Flotim mendukung industri kecil kreatifnya ini. Sampai dengan saat ini kopi bubuk Leworok sudah masuk di swalayan A Lem Mart, toko Tanjung Sari, Toko Abim Lestari, Toko Erlan, Toko Taruna dan kios-kios di kota Larantuka.

Keuntungannya dalam sebulan pun, menurut Yoland menjanjikan, “ya intinya lumayan besar sekali pak,” katanya tanpa menyebut angka keuntungan bersih yang ia peroleh.

“Pokoknya di atas dua jutaanlah pak.” Salut Yoland untuk usaha memperkenalkan kopi Leworok, kopinya orang Lamaholot.

Golden Fish Pertahankan Menu ‘Life Seafood’

Maumere, Ekorantt.com – Golden Fish hadir di Maumere untuk pertama kalinya pada 26 tahun lalu. Kala itu dibuka dengan tempat seadanya.

Pasca Tsunami yang memorakporandakan kota Maumere, restoran yang berlokasi di jalan pertokoan, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka ini ditutup.

Barulah pada awal tahun 2003 Golden Fish kembali dibuka. Usaha ini memberikan prospek yang cerah.

September 2018 lalu, Bupati Sikka, Fransiskus R. Diogo meresmikan gedung baru rumah makan Golden Fish 29. Ada pengakuan bahwa kehadirannya memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah.

Pengakuan ini cukup beralasan. Pemiliknya, Tedi menyisihkan pendapatannya untuk bayar pajak. Dari penghasilannya ia sisihkan 10% untuk disetor ke kas daerah.

“Semuanya saya berikan kepada Bappeda dengan sistem nota tiga rangkap. Saya perlu sampaikan bahwa PPN 10% murni milik pemerintah,” ungkap Tedi.

Toh, semua pada akhirnya diperuntukkan untuk masyarakat. Jadi, saya ingin mengubah cara pandang orang tentang Golden Fish,” tambahnya.

Terlepas dari urusan di atas, Golden Fish berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada pengunjungnya dengan menu-menu spesial yang menggugah selera.

“Golden Fish mempertahankan menu life seafood. Awalnya sudah dikonsepkan seperti itu hingga saat ini. Kita juga menyediakan hidangan seperti nasi goreng, nasi kotak, nasi bungkus,” demikian penuturan Tedi.

Tidak heran kalau restaurannya sudah booming di Maumere. Tidak hanya masyarakat lokal, restoran milik Tedi ini dikunjungi tamu-tamu dan pelanggan dari luar kota Maumere.

Hanya masih beredar di masyarakat, pandangan bahwa Golden Fish menyediakan menu yang sangat mahal.

Keengganan masyarakat untuk mencicipi hindangan dan berwisata kuliner di Golden Fish terhalang pandangan seperti ini.

Bagi Tedi hal ini wajar-wajar saja. Cara pandang ini tidak lepas dari kurang pahamnya masyarakat tentang konsep restoran.

Terhadap keluhan-keluhan itu, Tedi berusaha memberikan perspektif baru tentang dunia kuliner. Ada dua hal yang ia tekankan.

Pertama, Golden Fish menyediakan life seafood atau hidangan laut asli yang berasal dari laut perairan Maumere. Golden Fish murni tidak menyediakan hasil ikan budidaya.

“Saya tidak mau berbisnis ikan budidaya, karena saya tahu prosesnya, karena itu, ikan yang saya peroleh benar-benar dari hasil tangkapan nelayan di laut,” imbuh Tedi.

Yang dijual pun di Golden Fish masih hidup dan segar sedianya seperti di laut. Ikan yang disediakan dihitung per 100/gram,” tambah Tedi.

Kedua,  konsep masyarakat yang mengatakan harus membawa banyak uang jika ingin makan di Golden Fish, menurut Tedi, merupakan konsep lama yang harus dipatahkan.

Tedi menganalogikan bahwa jika tujuannya ingin makan lopster, maka harus membawa uang sesuai harga menu yang dbutuhkan.

Sebab, tidak mungkin untuk membayar harga lobster yang dibawa adalah uang untuk makan nasi goreng, misalnya.

“Mungkin karena yang pertama di Maumere, makanya orang berpandangan Golden Fish sangat mahal. Padahal harga seafood tidak beda jauh dengan harga di tempat-tempat lain yang juga menyediakan menu seafood,” tukas Tedi.

Yohanes Jetu, Melawan Mitos Peti Jenazah

0

Maumere, Ekorantt.com – Yohanes Jetu (70) sedang mengerjakan pesanan peti jenazah ditemui di rumahnya di kelurahan Kota Uneng, kecamatan Alok, Sikka pada awal Desember 2018 lalu. Yohanes adalah mantan karyawan di misi Keuskupan Maumere sampai akhir tahun 2006 lalu.

Dengan modal pertama 2,5 juta, Yohanes merintis usaha peti jenazah sejak tahun 2008.

Waktu itu permintaan peti jenazah cukup tinggi sementara belum ada yang membuat peti jenazah, begitu awalnya mengapa ia beranikan diri melirik peluang usaha ini.

Awal memulai tahun 2008 Yohanes bergabung bersama tiga teman sebelum akhirnya sepakat memutuskan untuk pisah dan menjalankan usaha sendiri. Ia melayani permintaan di seluruh Maumere sampai ke Larantuka.

Baginya tidak ada kendala saat mengerjakan peti jenazah walau hanya sendiri. Peti jenazah dikerjakan sesuai permintaan yang datang.

Biasanya hanya membutuhkan satu hari untuk menyelesaikan satu peti jenazah.

“Saya kerja kalau ada yang minta buatkan, tapi saya juga buat beberapa untuk persediaan” kata ayah tiga anak ini.

Kualitas dan konsisten jadi jualannya. Tak heran sampai saat ini banyak yang mempercayakan hasil kerjanya.

Bahan pembuatan peti ini adalah batang pohon kemiri yang didatangkan langsung dari Nirangkliung, kecamatan Nita.

Dari satu kubik kayu kemiri, Yohanes bisa menghasilkan tujuh peti jenazah. Peti yang dibuat memiliki ukurannya masing-masing, tergantung pesanan.

Dalam setiap pengerjaan selalu ia pastikan sempurna sampai ke rumah duka. Dari hasil usahanyaini beliau mampu menyekolahkan ketiga anaknya sampai perguruan tinggi.

Tempat ia mengerjakan peti jenazah tepat di samping rumahnya, lantas bagaimana orang rumah dan sekitar tempat tinggal memaklumi aktivitas kerja pria sepuh ini?

“Peti sebelah, saya tidur di sebelah, aman.”

Dulu masih kental kepercayaan orang-orang bahwa tidak boleh menyimpan peti di tempat tinggal, pamali atau pire dalam bahasa Maumere.

Bahkan orang rumah pun tak cukup berani ketika awal bapak Yohanes putuskan mengerjakan peti jenazah di rumahnya.

Banyak omongan simpang siur bahwa beliau pasti pakai guna-guna. Sebab beberapa temannya yang sama bergerak pada usaha peti jenazah mengaku tidak nyaman mengerjakan peti di rumah.

“Mereka tidak bisa tidur malam hari, sering dengar bunyi-bunyi dari peti peti,” katanya singkat.

Ketidaknyamanan teman-temannya saat itu, sama sekali tidak menyurutkan semangat kerja Yohanes sampai tahun kesepuluh ia menggeluti usaha ini.

Banyak pengalaman unik dialaminya. Termasuk sempat tidur di dalam peti kosong saat masih bekerja di keuskupan.

Dari pengalaman-pengalamannya itu ia belajar melawan mitos dalam masyarakat tentang peti yang selalu menakutkan dan lekat dengan unsur tidak baik.

“Saya tidak takut, sekarang jamannya sudah berubah” bapak Yohanes tetap yakin mengerjakan setiap peti jenazah bukan karena ia berharap selalu ada yang meninggal untuk memberinya rezeki.

Bupati Anton Ingatkan ASN untuk Meluruskan Informasi yang Salah

0

Larantuka, Ekorantt.com – Bupati Flores Timur, Antonius H. Gege Hadjon mengingatkan ASN di lingkungan Pemerintah Kabupaten Flores Timur harus mampu berperan aktif meluruskan berbagai informasi yang salah.

Informasi-informasi itu baik yang beredar di tengah masyarakat, lingkungan kerja maupun yang disampaikan melalui media sosial yang tidak benar terkait perkembangan pembangunan atau pelayanan kepada masyarakat di Flores Timur.

Bupati Anton menyampaikan hal itu usai melantik pejabat administrator dan pengawas di lingkungan Pemerintah Kabupaten Flores Timur, di Aula Setda Flotim Kamis (31/01)

Bupati Anton menjelaskan secara rinci mulai dari  pemeriksaan Tim Penyelesaian Tunturan Ganti Rugi (TPTGR) atas temuan BPKP sejak tahun 2003; pemberhentian tidak dengan hormat 8 orang ASN; pembangunan Jembatan Tambatan Perahu (JTP) Sagu dan Pembangunan Gedung Kantor DPRD Flotim yang baru.

“Saya harus cerita ini, supaya jangan tangkap itu mentah-mentah. Kalau bisa ceritakan kembali kepada yang lain,  saya menyampaikan terima kasih,” jelas Bupati Anton.

“Karena sudah berusaha bersama meluruskan informasi yang salah, tapi tidak mau juga saya tetap terima kasih,” tambahnya.

Ia membeberkan, akhir-akhir ini di lingkungan Pemerintah Kabupaten Flores Timur sementara dilaksanakan sidang TPTGR.

Sidang ini serupa dengan sidang di pengadilan, sehingga banyak yang beranggapan Bupati, Wakil Bupati dan Sekda bermaksud menambah beban para pegawai.

“Banyak juga yang sampaikan, ya bunyinya kecil-kecil. Pa Bupati, Pa Wakil, Pa Sekda ini bikin pegawai tambah beban,” ungkapnya.

Padahal, lanjut Bupati Anton Hadjon, sidang yang dilakukan TPTGR dimaksud adalah tindak lanjut dari hasil pemeriksaan terhadap berbagai persoalan yang terbawa dari tahun ke tahun.

Sejak tahun 2003 dan 2004 sampai dengan tahun ini, banyak sekali hasil temuan yang tidak ditindaklanjuti.

Pemerintah sudah melaksanakan  komitmen bersama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) agar dapat diselesaikan terlebih dahulu melalui sidang TPTGR.

Jika ASN bersangkutan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka penyelesaiannya berhenti di tingkat TPTGR saja.

Tapi kalau dalam jangka waktu tertentu ASN yang bersangkutan tidak mampu menyelesaikan itu maka pemerintah berkewajiban untuk menyerahkan kepada APH untuk ditindaklanjuti.

Karena itu langkah yang ditempuh ini sebenarnya menjaga ASN Flores Timur supaya tidak sampai ditangani oleh  APH.

“Jadi kalau kita bisa mempertanggungjawabkannya apa yang menjadi perbuatan kita,  itu kita bisa berhenti habisnya di sini,” tandas Bupati Anton.

“Kalau dalam jangka waktu tertentu kita tidak mampu menyelesaikan itu maka pemerintah punya kewajiban untuk menyerahkan kepada APH untuk menindaklanjutinya,” tegas Bupati Anton.

Nubun Tawa dari Lewolema

1

Pengantar

Masyarakat Flores Timur merayakan festival budaya bernama Nubun Tawa di Lewolema Oktober tahun lalu.

Tiga hari berturut-turut (5-7 Oktober 2018), Nubun Tawa menghimpun-satukan siapa saja yang datang. Pemerintah kabupaten Flores Timur terlibat penuh di dalamnya. 

Segala sumber daya diarahkan untuk menyukseskan festival ini. Seniman-seniman pun, dengan segala dayanya, menghadirkan pementasan yang bikin hati berdecak kagum.

Dan masyarakat adalah aktor utamanya. Mereka sungguh terlibat penuh dalam perayaan budaya ini.

Nubun Tawa menyajikan berbagai macam atraksi dan pementasan yang sayang kalau dilewatkan. Ekora NTT tidak ketinggalan untuk meliput festival ini.

Dan tentu saja ada ole-ole yang dibawa pulang. Elvan de Porres, jurnalis Ekora NTT meraciknya dalamnya feature yang menarik untuk dibaca:


Terik siang begitu menyengat, Jumat (5/10/2018), di tanah Lamaholot Flores Timur. Tapi, itu tak mengendorkan semangat ratusan orang tua, kawula muda dan anak-anak yang berkumpul di kecamatan Lewolema, sebelah utara kota Larantuka.

Hari itu mereka merayakan seni dan budaya Flores Timur 2018 “Pai Taan Tou”. Namanya Festival Nubun Tawa. Berlangsung selama tiga hari berturut-turut.

Parade pembukaan Festival Nubun Tawa diiringi nyanyian dan tarian khas Lamaholot. Sekaligus menghantar siapa saja masuk lebih khusyuk kerangkaian acara itu.

Busana-busana adat dikenakan hampir seluruh warga. Mereka tumpah ruah di jalanan, berarak dari gerbang masuk di desa Bantala menuju lapangan Lewotala.

Salah satu tarian adalah Hedung. Tari ini berasal dari Adonara dan dulunya dibawakan sebagai ritual sebelum dan sesudah perang.

Untuk konteks sekarang, Hedung menyimbolkan kemenangan atau kegembiraan. Boleh jadi masyarakat Lewolema sendiri yakin, penyelenggaraan tersebut merupakan pesta mereka. Pesta rakyat sendiri.

Di lapangan Lewotala, Nubun Tawa resmi dibuka. Beberapa atraksi kebudayaan disuguhkan masyarakat. Penuh kesungguhan dan tak sekadar membikin senang siapa pun yang hadir pada kesempatan itu.

Misalnya, ritus menyalakan api yang dilakukan tokoh adat Lewotala lewat rapalan doa atau mantra terlebih dahulu. Bila salah-salah, api takkan mungkin menyala.

Sebab, ini merupakan mitologi penting dalam masyarakat berkenaan dengan pembakaran kayu di kebun adat.

Tapi, api akhirnya menyala dan tersebarkan ke tujuh buah obor di sekitarnya. Tujuh obor, lambang tujuh desa di Lewolema.

Adapun pertunjukan Le’on Tenada berupa panahan tradisional yang khas dimiliki masyarakat Lamotou, desa Painapang. Le’on Tanada baru bisa dilaksanakan setelah upacara pembangunan rumah adat Kokok Pada Bale.

Menariknya, dalam proses Kokok Pada Bale sendiri masih terdapat ritus-ritus penting lainnya yang tak boleh dilewatkan begitu saja.

Memang agak lama, namun begitulah urutan adatnya, kata beberapa warga yang menyaksikan dari luar lapangan.

Ketika hari beranjak sore, para pengunjung festival diajak warga untuk trekking ke bukit Eta Kenere. Dari atas bukit, momen sunset dapat terekam jelas.

Namun, menyaksikan sunset hanyalah satu bagian dari peristiwa harmonisasi manusia bersama alam. Usai matahari benar-benar tenggelam, bukit Eta Kenere menjadi panggung teater dan tari.

Beberapa seniman tampil, seperti Iwan Dadijono, Darlene Litay, Veronika Ratu Makin bersama Sanggar Sina Riang, dan Opa Kun.

Esok harinya, Sabtu (5/10/201), kegiatan bergeser ke desa lain. Dibuka dengan diskusi budaya Lamaholot di Riangkotek. Musisi Ivan Nestorman dan Pastor Simon Suban Tukan, SVD didapuk sebagai pembicara.

Bagi Ivan, kesenian harus bertolak dari apa yang ada dalam masyarakat. Kesenian tak butuh sesuatu yang mewah. Warisan dari nenek moyang merupakan hal yang sangat berharga.

Sementara dalam kapasitasnya sebagai rohaniwan, Pastor Simon menegaskan, gereja tidak boleh melihat keanekaragaman budaya dalam masyarakat sebagai hal yang asing dan harus dihindari.

Gereja mesti kontekstual dengan mengaitkan pesan-pesan keimanan dan nilai-nilai kultural yang berlaku dalam diri umat/masyarakat.

Desa Riangkotek juga santer terkenal dengan cerita Raja Basa Tupa. Pada masa silam, dia merupakan pemimpin di wilayah tersebut yang gencar melakukan perlawanan terhadap kolonialis Belanda.

Sabtu siang, anak-anak Riangkotek membahasakan kembali perjuangan Basa Tupa ke dalam teater. Pementasan berlangsung tepat pada salah satu titik peperangan.

Kisah Basa Tupa berakhir terenyuh. Meskipun awalnya mampu mengalahkan musuh, raja yang sakti itu mesti terkena racun dan dibawa entah ke mana.

Masyarakat penonton larut dalam suasana. Beberapa bahkan mengeluarkan titik-titik air mata. Mereka tentu tahu baik kisah historis tersebut.

Sore harinya para pelajar berarak-arakan dalam karnaval budaya menuju pantai Kawaliwu.

Di pinggir pantai, saat matahari benar-benar tenggelam, seniman tamu Ruth Marlina mementaskan sebuah monolog.

Monolog ini mengangkat isu-isu sosial yang sejatinya juga dialami masyarakat Flores Timur dan NTT pada umumnya, seperti penjualan manusia dan diskriminasi terhadap perempuan.

Pada hari terakhir, acara festival berpindah lagi ke desa-desa lainnya, seperti Balukhering dan Ile Padung.

Pagi hari, para wisatawan bersama masyarakat berkunjung ke perkebunan mete di desa Balukhering. Desa ini merupakan salah satu pusat mete terbesar di Flores Timur.

Sementara desa Ile Padung memiliki tradisi penyulingan arak yang senantiasa dihidupi dan menghidupi masyarakatnya hingga sekarang.

Sumber utama perekonomian mereka berasal dari penjualan minuman tradisional tersebut.

Dari arak, mereka bahkan menyekolahkan anaknya hingga jadi sarjana ataupun pejabat publik. Sebuah hal umum yang telah banyak diketahui oleh masyarakat Flores Timur.

Penutupan acara sendiri berlangsung di tepi pantai Leworahang. Hampir semua komunitas seni di kabupaten Flores Timur diundang untuk tampil. Ada yang datang jauh-jauh dari pulau Solor dan Adonara.

Panggung utama benar-benar menjadi milik masyarakat. Tradisi-tradisi yang hampir punah kembali diangkat dan disajikan kepada penonton, seperti pembuatan tenun berbahan kapas dan permainan musik suling tradisional.

Festival Nubun Tawa pun ditutup dengan Dolo-dolo dan tarian massal tradisional Sole Oha.

Memang selain tarian dan nyanyian yang mendominasi hampir setiap mata acara, festival ini juga menyuguhkan aspek kemasyarakatan lain yang tak kalah pentingnya.

Ada semacam keterlibatan sosio-kultural yang ditunjukkan, seperti pameran tato dan kerajinan-kerajinan tradisional. Juga aktivitas perekonomian yang digerakkan masyarakat sekitar melalui barang dagangan mereka.

Para seniman tamu yang tampil juga tak mentah-mentah membawakan karyanya. Selalu ada koloborasi dengan seniman juga masyarakat setempat.

Misalnya, penari Iwan Dadijono (Jawa Tengah) yang mengkreasikan gerakan tubuhnya dengan bacaan mazmur dari Pastor Inno Koten dan tiupan seruling pemuda Frengky dari Boruk Kedang.

Ataupun Darlene Litay (Sorong) yang spontan melibatkan beberapa bocah Lewolema untuk merespons olah tubuhnya.

Seniman asal Jepang Yasuhiro Morinaga malah memadukan irama musik elektroniknya dengan empat seniman lokal sekaligus; penyanyi Petronela Tokan dan Eda Tukan serta penabuh gendang Diaz bersaudara.

Selama tiga hari, orang-orang Lewolema terlibat dan dilibatkan secara langsung dalam festival ini. Boleh jadi mereka sedang melihat kembali jati dirinya dalam varian atraksi kesenian dan kebudayaan.

Namun, hal semacam ini menjadi tantangan tersendiri juga bagi seluruh komponen masyarakat, terutama generasi mudanya. Musababnya, makna Nubun Tawa sendiri merujuk pada tumbuhnya semangat muda.

Peran Guru dalam Gerakan Literasi

0

Oleh: Maksimus Masan Kian*

Peran guru sangat strategis dalam meningkatkan kemampuan anak, baik ranah kognitif, psikomotorik, maupun afektif.

Kognitif berkaitan dengan peningkatan ilmu pengetahuan. Psikomotorik berhubungan dengan keterampilan. Afektif erat kaitannya dengan perilaku. Guru sebagai pengajar, memberi fokus dampingan pada peningkatan kemampuan anak secara kognitif dan psikomotorik.

Sementara guru sebagai pendidik, memberi fokus dampingan pada pembentukan mental dan karakter anak. Guru juga diberi ruang mengambil peran sebagai fasilitator, motivator, dan inspirator bagi anak.

Sehubungan dengan itu, guru adalah pioner bagi pengembangan gerakan literasi di sekolah. Secara umum literasi adalah kemampuan individu mengolah dan memahami informasi saat membaca atau menulis.

Literasi tidak lebih dari sekadar kemampuan baca tulis. Literasi tidak terlepas dari keterampilan bahasa yaitu pengetahuan bahasa tulis dan lisan yang memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan tentang genre dan kultural.

Gerakan literasi secara nasional,  dikenal dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Wujud konkret dari pemberlakuan regulasi ini adalah, siswa diwajibkan membaca 15 menit buku non mata pelajaran sebelum Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimulai.

Fakta hari ini, sedang berbicara lain. GLS belum memberi hasil yang menggembirakan.

Pemberlakuan GLS terkesan masih ompong. Belum semua sekolah seragam mengambil peran yang sama dalam membumikan gerakan literasi.

Justru yang nampak, guru hanya fokus mengejar target materi berdasarkan kurikulum, mencekoki pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada anak, tanpa perimbangan  penyegaran pikiran, melalui kreasi pada ruang gerakan literasi.

Bakat dan potensi anak terpendam dan tenggelam. Arah minat mereka tidak diketahui oleh guru. Perilaku guru seperti ini, adalah bagian dari dosa.

Guru mesti memberi suluh dan teladan bagi anak-anak. Memberi mereka keleluasaan untuk memilih bahan bacaan yang disiapkan guru, meresume buku, mengembangkan kemampuan sastra dengan membaca puisi, menulis puisi, mendeklamasikan puisi.

Menulis opini, artikel ilmiah remaja, hingga mampu menghasilkan karya dalam bentuk buku.

Ruang kreasi literasi akan melahirkan ide kreatif yang mampu membantu anak menemukan bakat dan potensinya.

Memang tidak mudah mengambil peran ekstra secara sukarela, tetapi sebagai seorang tenaga profesional, guru tentu terlatih dan siap berkorban untuk bekerja, demi tujuan luhur peningkatan kreativitas dan kemampuan anak bangsa.

Kebahagiaan guru, tidak saja saat anak mendapat nilai yang bagus di atas kertas. Tapi juga harus mampu mengukir kebanggaan lain pada anak yakni, prestasi di bidang bakat dan minatnya.

Sebagai guru, tidak harus puas memanen prestasi anak pada ranah kognitif semata, tetapi juga boleh memanen buah positif dari keterampilan dan perilakunya. Gerakan literasi, menciptakan dan melahirkan ragam keterampilan itu.

Ruang bagi guru untuk mengembangkan gerakan literasi masih terbuka. Belum terlambat.

Hanya ada dua alternatif yang boleh dipilih oleh guru. Rela mengambil peran ekstra membantu anak bangsa dalam mengembangkan potensi dalam bidang literasi, ataukah cukup menjadi penonton saja? Kembali kepada pribadi guru yang bersangkutan.

Penulis memberikan tiga pokok pikiran yang sederhana kepada teman-teman seperjuangan (baca:guru) semoga dapat terangsang dan bergerak mengambil peran menggerakan literasi.

Pertama, berlangganan koran dan majalah. Guru yang berlangganan koran dan majalah, akan memiliki referensi yang cukup berupa berita aktual, karya tulis dari sekian penulis, termasuk ide inspiratif dari penulis.

Bahan bacaan yang sudah dikonsumsi oleh guru, dapat digunakan sebagai informasi untuk anak-anak.

Selain itu, guru yang membaca majalah dan koran secara tidak langsung mengikuti informasi seputar aktivitas gerakan literasi di sekolah lain yang dapat dipedomani.

Kedua, mengkoleksi buku. Salah satu indikator guru profesional adalah memiliki koleksi buku selain buku mata pelajaran.

Ia yang berupaya menyisihkan sedikit penghasilannya untuk membeli buku. Membaca buku, menambah wawasan dan pengetahuan. Otak terisi dengan berbagai informasi, teori dan gagasan yang hebat.

Selanjutnya, buku yang dimiliki guru, dapat dipinjamkan kepada siswa. Menugaskan mereka meringkas isi bacaan, menyebutkan judul dan nama pengarang, juga memberi kesempatan kepada mereka untuk memberikan pendapat akan isi buku yang dibaca.

Jika metode ini membudaya, anak akan menjadi pembaca yang cerdas, penulis hebat, dan mampu berpikir logis serta komunikatif.

Ketiga, menggagas terbentuknya komunitas literasi di sekolah. Adanya komunitas literasi di sekolah menjadi wadah strategis membangun GLS.

Pengelolanya adalah guru-guru di sekolah tersebut. Aktivitasnya dimulai dari merancang visi misi, program kerja, tujuan, jadwal kegiatan, narasumber (internal dan eksternal) dan menargetkan hasil-hasil yang akan dicapai setelah proses dilalui.

Lewat komunitas ini, ikatan emosional anak tercipta dan mampu mendorong mereka untuk semakin mudah bekerjasama dalam menghasilkan karya.

*Maksimus Masan Kian adalah Ketua Asosiasi Guru Penulis Indonesia/AGUPENA Cabang Flores Timur

Tugu Gading Mubazir, Harga Diri Perempuan Dilecehkan

0

Maumere, Ekorantt.com – Tugu gading yang terletak di jalan Litbang, tepat di depan gerbang masuk Pasar Alok, Kota Maumere terkesan mubazir dan tidak terawat.

Padahal, tugu yang selesai dibangun tahun 2016 lalu ini sarat dengan nilai tradisi masyarakat Sikka.

Hal ini dibuktikan dengan replika gading berukuran besar di bagian paling atas tugu. Dalam kebudayaan masyarakat Sikka, gading dipakai sebagai mahar atau belis yang diberikan kepada keluarga perempuan oleh keluarga pria.

Selain tugu gading, ada juga sejumlah tugu menghias wajah kota yang terkenal dengan nama Maumere of Flores.

Diantaranya; tugu MOF terletak di perempatan Jalan El Tari. Ada juga Tugu Moneter yang terpacak di pertigaan Jalan Don Thomas dan Jalan Ahmad Yani.

Yang lain, Tugu Ikan Tuna di Jalan Ikan Tongkol daerah pertokoan Maumere. Dan ada Tugu Gong Waning tepat berada di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dan Jalan Ahmad Yani.

Seperti disaksikan Ekora NTT Minggu (3/2/219), Tugu Gading nampak tidak terawat. Rumput liar tumbuh mengelilinginya.

Beberapa ekor sapi asyik merumput di sekitarnya dan menyisahkan kotoran yang baunya tak sedap. Sejumlah spanduk caleg juga menghalangi pandangan orang untuk melihatnya.

Maria Weti, Katarina Menor, dan Yustina Kasing yang seharian berjualan di pasar Alok ketika ditemui Ekora NTT meminta pemerintah agar memperhatikan tugu tersebut. Jangan dibiarkan begitu saja.

Kalau tidak, mereka meminta agar segera membongkar atau membangunnya di tempat lain yang lebih baik.

“Bongkar saja. Ini melecehkan kami perempuan Sikka. Gading itu mahal dan barang belis yang  mesti dipenuhi keluarga pria kalau mau meminang perempuan Sikka. Kenapa dibangun di pojok itu?” keluh mereka polos.

Susar Kureng Weling Eong

0

Maumere, Ekorantt – Nora segunda kawu niang, ganu ling ena, tadang kelang pulu ha wot lima, wulang Januari liwang riwu rua pulu ha wot hiwa, norang Mo’at ha narang nimung Yoseph Jogo.

Umur pulu pitu wot, ata natar Sikka, bo’u mai teri mobo ei turap napung Wairbung, natar Klo’ang Dusun Bidara, Desa Sikka.

Nimu mai bui oto boter kureng.

Surat dewa naruk Ekora NTT mai regang nimu pla pinang ngawung te’a woter weling nimung.

“Ami susar, kureng weling eong. Epang to’i sarong weli ahu wawi a poi, ko howe houk le’u lau tahi gete,” mo’at Jogo tutur nora waeng raning.

Nimu ru’ung loning kureng weling lo’hor lerong-lerong. Ganu mujur ko lemang ia di poi lerong ha ene da’a wa’ung.

“Ganu rema rua weling pehang,mera pehang odi ena pehang walong.Ami meteng sai odi na suruk wetuk pla pinang beli ling weling nimung molo,” ganutia Mo’at Jogo bohe kasing.

“Kureng nulung weling da’a riwu pitu-walu kilo ha. Oras te’i weling eong, poi riwu hutu ia di ene nane. Ami ata riwung li’i Bupati ko DPR ene guna gana. Ngawung aming weling eong, ata sina ngawung weling lemang,” mo’at Jogo nu’u nerek.

Stefanus Frengky bedot beta, kabor nimung subur pulu ha wot, belung lo’ar dadi tawang, loning weling eong.

U’a kabor dadi kureng belor golo, ia sawe weling eong. Epang to’i welung tiga na’ing. Tahing te’a nane rati ko korak poi.

Ko ei Sina woter utung weling pehang, kilo ha riwu ena da’a pitu. Sina utung gawang ko over lau Surabaya.