Bisnis Proyek Kasus Korupsi di Kejaksaan

Pada Jumat, 8 November 2019, Kejaksaan Negeri (Kejari) Bajawa menahan dan membui Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Kabupaten Ngada Fitalis Fole dan Kepala Seksi (Kasie) Sinkronisasi Data Maria Antonia Gelang di Rutan II B Bajawa atas kasus korupsi pemotongan gaji tenaga lapangan Dispendukcapil Kabupaten Ngada sepanjang Januari – Februari 2018 sebesar Rp42 Juta.

Kami melihat kasus korupsi di atas dalam dua (2) sudut pandang.

Pertama, di satu sisi, kita mengapresiasi kerja investigatif Kejari Bajawa membongkar sindikat korupsi di Dispendukcapil Ngada. Hasil investigasi kejaksaan menunjukkan, para koruptor menggunakan berbagai macam modus untuk menggarong uang rakyat. Dalam kasus di atas, korupsi dilakukan dengan cara memotong upah pekerja berdasarkan dokumen pembayaran upah yang telah dimanipulasi oleh Kadis Dispendukcapil dan si Kepala Seksi. Di samping itu, kerja-kerja investigatif kejaksaan berpotensi menyelamatkan uang rakyat yang mestinya digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat. Dalam kasus di atas, kejaksaan berhasil menyelamatkan uang rakyat sebesar puluhan juta rupiah. Alih-alih memperkaya para penjabat di Dispendukcapil Ngada, uang itu bisa digunakan untuk kepentingan rakyat Ngada, yang sebagaian besar masih dililiti persoalan kemiskinan.

Akan tetapi, kedua, di lain sisi, kita tak boleh tutup mata terhadap dugaan bisnis proyek kasus korupsi di kejaksaan. Seorang kontraktor di Nagekeo, Mbay, Flores, memberi kesaksian bahwa ia pernah diperas oleh oknum jaksa atas nama penegakan hukum. Dia berkata, “iya, pasti akan kita turuti apa kata mereka (Jaksa) baik dari aspek waktu dan kualitas sekaligus dari aspek aturan hukum. Harapan kami, ya semoga mereka jangan mencari-cari kesalahan kami dan juga jangan jadikan kami sebagai sapi perah lagi seperti tahun-tahun sebelumnya,” katanya. Ia mengungkapkan hal ini saat Tim Pengawal, Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) dari Kejari Bajawa menyambangi Dinas Kesehatan dan PUPR Nagekeo, Jumat, 6 September 2019 (VoxNtt.com, 8 September 2019).

TP4 itu sendiri merupakan tim yang dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-152/A/JA10/2015 tentang Pembentukan TP4D, dan Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor INS-001/A/JA/10/2015 tentang Pembentukan dan Pelaksanaan Tugas Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan Pusat dan Daerah Kejaksaan Republik Indonesia. TP4 terdiri atas TP4 Pusat (TP4P) yang berkedudukan di Kejaksaan Agung dan TP4 Daerah (TP4D) yang berkedudukan di Kejaksaan Tinggi dan di Kejaksaan Negeri (Tirto, 2 November 2016). Tujuannya adalah “mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional di pusat maupun di daerah melalui pengawalan dan pengamanan baik dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan maupun pemanfaatan hasil pembangunan, termasuk dalam upaya mencegah timbulnya penyimpangan dan kerugian Negara.” Adapun fungsi dan tugasnya adalah (1) mengawal, mengamankan, dan mendukung keberhasilan jalannya pemerintahan dan pembangunan melalui upaya-upaya pencegahan/preventif dan persuasif di tingkat pusat, (2) memberikan pendampingan hukum dalam setiap tahapan program pembangunan dari awal sampai akhir di tingkat pusat, (3) melakukan koordinasi di tingkat pusat dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang berpotensi menghambat, menggagalkan, dan menimbulkan kerugian bagi keuangan Negara, dan (4) melaksanakan Gakkum di tingkat pusat secara refresif ketika menemukan adanya perbuatan melawan hukum yang dimungkinkan dapat merugikan keuangan Negara (Hendi Suhendi dkk, “Penguatan terhadap Efektivitas Tugas dan Wewenang Tim Pengawal, Pengaman Pemerintah & Pembangunan (TP4) sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi” (Jakarta: Kejagung Puslitbang, 2017), pp. 5-6). Tidak tanggung-tanggung, pada 2015, dari total tambahan anggaran Kejaksaan sebesar Rp598,9 M, Pemerintah menggelontorkan Rp63,6 M untuk biaya operasionalisasi TP4.

iklan

Akan tetapi, dalam praktiknya, kerja-kerja tim TP4D justru sering kontra-produktif terhadap semangat pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Tidak jarang, para jaksa TP4D, yang telah menjadi centang atau pengawal dan pengaman proyek-proyek infrastruktur pemerintah mulai dari pusat sampai ke daerah terlibat dalam tindak pidana korupsi. Dalam kasus dugaan korupsi proyek NTT Fair senilai Rp29,9 M beberapa waktu lalu, misalnya, jaksa TP4D yang mengawal proses pembangunan fasilitas kawasan NTT Fair ikut menandatangani dokumen laporan realisasi fisik proyek sebesar 70%. Para jaksa anggota TP4D itu adalah Arif Kanahau dan Sukwanto. Mereka juga terlibat dalam rapat-rapat membahas realisasi proyek dari tahap ke tahap. Akan tetapi, dalam sidang dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak menyinggung keterlibatan TP4 dalam kasus tersebut (diantimur.com, 26 Oktober 2019). Contoh kasus lain, pada 9 Agustus 2019 lalu, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Eka Safitra, jaksa di Kejari Kota Yogya karena diduga menerima imbalan dari proyek yang ia awasi. Eka Safitra adalah anggota tim TP4D (Tirto, 21 Agustus 2019).

Akhirnya, kita berharap, terciduknya Kadis Dispendukcapil merupakan buah dari kerja keras Kejari Ngada membongkar sindikat korupsi di Ngada, alih-alih gagal total bisnis proyek korupsi di internal kejaksaan.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA