Frans Aran, Difabel yang Berkarya dalam Keterbatasan

Larantuka, Ekorantt.com – Terik memancar, menembus helai daun pohon kersen. Pancaran keemasan berpendar. Hingga terus menyorot ke bawah, cahaya dan bayangan berkejaran di atas tanah. Di depannya, berdiri kokoh rumah  Fransiskus Bisu Aran (40). Tak berplester, nampak baru dibangun.

Di dusun Leworotok, Desa Menanga, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur Frans Aran, tinggal bersama ibunya, Lusia Kerong (69). Ayahnya sudah meninggal setahun yang lalu.

Frans Aran, pria kelahiran 10 Mei 1979 terlahir memiliki struktur kaki dan tangan  tidak seperti manusia normal namun semangat dan kreatifitasnya layak diapresiasi.

Dalam keterbatasan fisik yang dimilikinya, Frans Aran terus berkarya  menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan sang ibu dengan menjaga kios miliknya yang berada di ruangan tengah rumahnya.

Frans, begitu ia akrab disapa, sukses memiliki kios kecil dari hasil karyanya sebagai tukang sol sepatu-sandal dan pengrajin pengebas debu dan pot bunga.  

“Saya mulai usaha menjahit sandal dan sol sepatu pada tahun 2002. Awalnya perlengkapan benang jahit saya peroleh dengan cara mengurai benang nilon pada topi-topi bekas yang tidak dipakai lagi oleh warga disini. Tarifnya pun murah mengikuti material yang serba bekas tersebut. Per pasang sandal Rp. 10.000,00 sedangkan untuk sepatu, saya pasang tarif Rp15.000,” jelas Frans meriwayatkan kisah usahanya pada  Sabtu (25/01/2019) siang. 

Keterampilan yang dimiliki anak kedua dari 5 bersaudara ini, berbuah manis. Uang hasil sol sepatu dan sandal digunakannya berlanglangbuana ke kota Kupang dan Kalimantan menuntaskan rasa rindunya untuk saudara dan saudarinya yang sudah lama merantau.  

“Pada tahun 2016 saya ke Kupang dan pada tahun 2017 ke Kalimatan untuk bertemu dengan saudara dan saudari saya. Saya tinggal berbulan-bulan di Kupang dan Kalimantan. Disana, saya tetap menjahit sepatu dan sandal. Uang dari hasil sol sepatu dan sandal saya pakai untuk biaya perjalanan pulang ke Solor dan memualai usaha kios,” kata Frans. 

Tak hanya dikenal sebagai sosok yang mandiri, Frans memang memiliki semangat kreatif dan mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi.

Sembari menggeluti usaha sol sendal dan sepatu, selama di Kupang dan Kalimantan ia belajar menjadi pengrajin pengebas debu  dan membuat pot bunga.

“Keterampilan membuat pengibas dan pot bunga saya pelajari ketika di berada di Kupang dan Kalimatan. Pengebas debu dan pot bunga biasanya saya jual di Kantor Bupati Flores Timur,” kisah Frans.

Uang hasil penjualan pengibas debu dan pot bunga digunakannya untuk modal tambahan untuk membuka usaha kios.

Menikmati Cinta Tuhan dengan Berkarya

Bagi Frans Aran, kemampuannya dapat berjalan dengan kondisi cacat kaki dan tangan yang dimilikinya adalah anugerah cinta Tuhan yang diberikanya untuk dikembangkannya.

“Semua yang terjadi dalam hidup saya adalah anugerah cinta Tuhan. Sejak lahir hingga berumur 30 tahun saya tidak dapat berjalan. Berkali-kali saya coba jalan tapi tidak bias,” kisahnya.

“Saya terjatuh tiap kali berusaha jalan. Kadang dada dan kepala saya terbentur di tanah. Dada dan kepala saya luka. Selama 30 tahun saya berjalan dengan pantat saya,” tambahnya.

Awal dirinya dapat berjalan pada tanggal 1 Januari tahun 2000. Ketika itu dikabarkan salib yubileum yang diarak keliling Keuskupan Larantuka. Saat itu Frans mencoba berjalan untuk melihat salib yubileum.

Tanpa disadari ia dapat berjalan dengan sendirinya kala itu. Ini adalah waktu pertama kali ia dapat berjalan.

“Ini cinta Tuhan terhadap saya. Tuhan sungguh baik dengan saya. Bertahun-tahun saya selalu berdoa kepada Tuhan untuk dapat berjalan. Sekarang Tuhan sudah menunjukan cintanya terhadap saya, saya menikmati dan mensyukuri kebaikan ini dengan berkarya,” tutur Frans mengisahkan riwayat hidupnya.

Ia merasa Tuhan selalu senantiasa menemaninya dan menghiburnya dari rasa sepi. Pada rumahnya yang baru setahun lalu direhab tergantung salib dan foto para malaikat tergantung di dinding.

Bukan sekadar penghias tembok dan pengisi kekosongan semata. Lebih dari itu, salib dan gambar kudus ini membuat dirinya merasa Tuhan sungguh-sungguh hadir menjadi teman baginya untuk menjalani hari-harinya.

Setiap kali ke gereja, Frans Aran berdoa agar usaha kiosnya tidak macet. Kalau usahanya macet, tentu kebutuhan hidup dirinya dan ibunya tak dapat dipenuhi. Ia sungguh tidak ingin hal itu terjadi.

“Tiap hari minggu saya selalu ke gereja. Saya bersyukur karena sampai sekarang usaha kios ini masih juga bisa berjalan, dapat membantu memenuhi kebutuhan saya dan mama,” kata Frans.

Bantuan Modal Usaha

Kendati memiliki keterbatasan fisik yang dialaminya, dalam menjalankan usahanya sebagai tukang sol sepatu, pengrajin pengibas debu, dan penjaga kios ia tidak pernah mengharapkan bantuan orang.

Dalam hidupnya yang sudah diarungi selama 40 tahun, ia tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah.

“Saya pernah di data-kan, tapi entah apa maksud dari pendataan itu. Namun jujur, hingga saat ini  saya belum pernah berurusan dengan yang namanya Dinas Sosial maupun lembaga sosial lainnya. Semuanya saya jalankan sendiri dengan modal saya sendiri yang serba terbatas ini,” ungkap Frans Aran sembari menata barang-barang kiosnya.

Menutup perjumpaannya dengan Ekora NTT, ia mengutarakan harapannya untuk dapat mengembangkan usaha kios miliknya dan sebagai pengrajin pengebas debu. 

“Saya berniat mengembangkan usaha saya ini. Saya ingin buka bangunan kios tersendiri di depan rumah tapi apa daya, belum punya cukup modal. Saya ingin dapat bantuan tambahan modal usaha untuk membuka kios di depan rumah,” tutup Frans.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA