Sekolah, Budak Uang, dan Manajemen

Oleh: Louis Jawa        

Uang, dalam nomenklatur perundangan diterjemaahkan sebagai dana, begitu membantu dan memesona namun menggelisahkan dan menakutkan. Ia membantu ketika dana itu membiayai beban operasional sekolah termasuk membiayai anak-anak miskin. Ia menggelisahkan dan menakutkan saat pengelola sekolah terjebak dalam sistem pengelolaan yang keliru apalagi salah, hingga akhirnya dijebloskan ke dalam jeruji penjara.

Dilema pimpinan sekolah seringkali muncul di saat seperti ini, mau mengurus mutu sekolah atau mengurus dana sekolah. Tesis yang bisa dibangun dalam tulisan ini adalah mencari titik keseimbangan antara mutu sekolah  dan pengelolaan keuangan melalui proses pembelajaran manajemen yang integratif.

Gagal Paham dan Gagal Laksana

Pontang-panting, huru-hara dan terpelanting, itu kata yang amat tepat untuk menggambarkan praksis manajemen keuangan di sekolah-sekolah. Pontang-panting sejumlah bendahara Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mengatur pembelajaan di pertengahan masa anggaran namun dana belum masuk di rekening sekolah.

iklan

Huru-hara para kepala sekolah yang kewalahan dengan kekurangan dana BOS dan tidak tahu harus berutang kepada siapa lagi, sementara perbelanjaan rutin butuh uang, untuk foto copy, alat tulis menulis pembelajaran hingga biaya kegiatan ekstrakurikuler.

Terpelanting saat sejumlah dana mesti dikembalikan ke kas negara, sementara dana-dana itu sudah dibelanjakan oleh pimpinan sekolah yang nota bene tidak diajarkan khusus tentang manajemen keuangan spesifik. Jujur, dalam pelbagai rapat, diskusi tentang masuk penjara karena uang lebih alot ketimbang diskusi tentang mutu sekolah.

Tata kelola keuangan yang bagi saya masih kontroversial adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) secara swakelola. Sekolah tentunya harus disibukkan dengan urusan pembangunan, yang melibatkan panitia sekolah serta pelbagai perkembangan pekerjaan yang harus selalu dikonsultasikan hampir setiap waktu.

Hal ini sudah pasti akan mengaburkan fokus sekolah, mau fokus pada pembangunan ruangan ataukah mau fokus pada peningkatan mutu pembelajaran di sekolah. Yang jelas, guru-guru yang terlibat dalam panitia akan sibuk mengurus pelbagai hal administrasi dan melupakan tugas pokoknya. Hal ini menjadi begitu mendesak, antara pilihan mau masuk penjara karena salah urus proyek atau mau sungguh-sungguh fokus pada dinamika pembelajaran.

Dalam praksis pengelolaan sejumlah proyek pembangunan bersumber pada dana DAK Kabupaten, saya sendiri menemukan dua kejanggalan yang kronis. Pertama, sekolah tidak pernah menyediakan tenaga teknis pembangunan tertentu, namun ketika harus diperiksa oleh Badan Inspektorat, seorang pimpinan sekolah dipaksa untuk bisa menjawab begitu banyak rumusan teknis pembangunan, yang sejatinya di luar wilayah kompetensinya.

Bahkan dalam beberapa kesempatan, masih ada tawar menawar (bargaining) sejumlah uang yang bisa masuk ke oknum-oknum pemeriksa yang tidak jujur dan koruptif, dengan alasan yang murahan seperti kebutuhan belanja tambahan di hari raya. Tidak ada kesanggupan lain untuk menjadi sangat kritis, justru karena lemahnya pemahaman tentang manajemen proyek.

Kedua, pemerintah telah gagal mendampingi sekolah-sekolah dalam setiap proses pembangunan itu, ketika kegiatan monitoring and evaluation (Monev) hanya terjadi di ujung proyek itu. Prinsip swakelola hanya menjadi bumerang bagi sejumlah pimpinan sekolah untuk masuk penjara atau dikibuli oleh pegawai inspektorat yang nakal.

Kita memang jujur mengakui masih ada sejumlah sekolah yang koruptif dalam pengelolaan dana tersebut, namun peran pendewasaan program pemerintah tetap harus dilaksanakan, minimal peran pendampingan secara intensif.

Manajemen keuangan menjadi sangat penting untuk didalami dan dikuasai, sebelum terjebak dalam penyimpangan yang begitu besar dan terjerumus dalam persoalan hukum. Di tengah perjuangan untuk memajukan dunia pendidikan, korupsi boleh jadi disebabkan oleh mentalitas birokrasi pendidikan dan juga oleh keterbatasan pendidikan dan pelatihan dalam hal finansial itu sendiri. Autokritik kita: gagal paham dan gagal laksana.  

Pentingnya Pusdiklat Pendidikan

Kepemimpinan di satuan pendidikan (satdik) menjadi sangat strategis ketika roda kehidupan sebuah sekolah akan berjalan berdasarkan rancangan yang terukur, terarah dan tercapai dengan baik.

Jabatan sebagai kepala sekolah tidak sekadar sebuah gengsi dan harga diri di tengah masyarakat, sekadar gengsi sosial, melainkan sebuah tanggung jawab untuk mengemban amanat undang-undang yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Mau tidak mau, suka tidak suka, seorang Kepala Sekolah harus secara autodidak belajar tentang manajemen keuangan, bila tidak ingin dijebloskan ke dalam jeruji penjara.

Ada dua hal penting, yang mesti diperhatikan oleh pemangku kepentingan dan pimpinan sekolah, baik dalam hal keuangan, maupun dalam hal tata kelola sekolahnya.

Pertama, pemilihan dan penempatan kepala sekolah tanpa proses rekruitmen yang baik. Dinas Pendidikan dan juga yayasan swasta seringkali terjebak dalam pilihan politis dan pilihan moral untuk menentukan seorang pimpinan sekolah, “sejauh yang bersangkutan bisa berguna secara politik kekuasaan dan juga sejauh memiliki kualitas kepribadian yang disenangi, jabatan itu dapat diberikan.”

Kedua, perlunya pelatihan manajemen keuangan, sebagai upaya pemberdayaan, peningkatan dan penguatan kapasitas pemimpin di sebuah lembaga pendidikan. Upaya pelatihan manajemen keuangan ini tidak saja menjadi tugas pemerintah, namun menjadi tugas semua pihak termasuk yayasan sekolah swasta.

Ada banyak hal yang bisa diukur dari setiap program pelatihan seperti ini, dan tidak sekadar menghabiskan uang rapat dengan jadwal yang sengaja dipadatkan.  Secara kasat mata dapat kita sebutkan betapa uang bisa menjadi sumber berkat sekaligus sumber bencana. Terampil, cerdas dan jujur dalam pengelolaan keuangan bisa berbuah berkat dan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan.

Dalam sebuah kesempatan belajar yang difasilitasi oleh Majelis Nasional Pendikan Katolik (MNPK) pada 23 Oktober 2018, saya bersama teman-teman Kepala Sekolah dari Keuskupan Ruteng mengunjungi Pusat Pelatihan Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Marwita Magiswara di Bandung untuk guru dan calon kepala sekolah.

Pusdiklat ini mempersiapkan guru dan kepala sekolah profesional, yang bisa memahami tata kelola pendidikan secara utuh. Dalam momen diskusi dan sharing, kami menemukan sebuah titik pencerahan penting betapa perubahan mesti diskenariokan (by designed) dan seorang kepala sekolah yang baik pun harus dilatih, dibimbing dan diarahkan untuk bekerja dengan visi misi yang cerdas dalam kemampuan manajerial yang baik.

Kemampuan manajerial tidak turun dari langit, ia mesti diperjuangkan terus menerus oleh guru dan kepala sekolah dengan penuh cinta dan pengabdian kesetiaan.    

* Pastor Desa, tinggal di Manggarai

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA