Maumere, Ekorantt.com – Kamis, 15 Oktober 2020, saya memulai petualangan menjadi mahasiswi magang di kantor redaksi Ekora NTT. Hari itu saya berencana meliput tentang sosok janda miskin di Desa Aibura, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka.
Berlantai tanah, berdinding pelupuh bambu serta atap seng yang karat dan penuh lubang sama sekali tak dibayangkan bagi siapa saja yang memandang bahwa rumah reyot ini ternyata didiami. Bersama seorang cucu, nenek Helena Manis mengisi sisa-sisa hari hidupnya di gubuk ini.
Pekerjaan sehari-harinya untuk menyambung hidup bersama sang cucu adalah membantu pekerjaan menenun dari para tetangga yang berbaik hati. Jika tak ada permintaan, hidup Helena dan sang cucu bergantung dari kemurahan hati tetangga untuk memberi mereka makan. Kabar dua anaknya yang memilih merantau pun sama sekali tak ada.
Sebagai mahasiswi yang lagi magang insting sebagai seorang calon jurnalis seolah berdesir dalam kalbu. Saya harus menjadi jurnalis untuk mewartakan banyak kisah-kisah tentang orang kecil yang jarang tersentuh. Saya pun meminta izin kepada nenek Helena untuk melihat keadaan di setiap sudut rumah. Memasuki area kamar tidur, mata saya tertuju pada kondisi tempat tidur yang tidak terurus serta kelambu yang sudah usang.
Di area dapur, kondisinya jauh lebih parah. Saya sama sekali tidak menemukan adanya bahan makanan yang disediakan untuk dimasak. Hanya ada sebuah rak yang digunakan untuk menyimpan beberapa peralatan makan yang kondisinya mulai kusam. Di sudut dapur, terdapat tungku kecil yang digunakan untuk memasak.
“Untuk makan minum dan biaya cucu sekolah dapat uang dari tetangga yang sewa saya untuk tenun sarungnya mereka. Biasanya satu sarung dapat 250 ribu,” ungkap nenek Helena
Seorang warga bernama Ibu Agus menyatakan kondisi nenek Helena beserta sang cucu memang memprihatinkan. Kondisi rumah tidak layak huni, tidak tersedia fasilitas penerangan bahkan WC pun tidak mereka miliki.
Pada tahun 2019 lalu, Pemerintah Desa Aibura telah berencana membangun rumah baru untuk nenek Helena. Namun, itu gagal terlaksana karena ia belum melunasi pembayaran lahan sebesar 5 juta rupiah kepada tuan tanah. Malang memang nasibnya dan bantuan ini pun dialokasikan kepada penduduk yang lain.
Gerardus Gewar, sang empunya tanah membenarkan bahwa bantuan rumah seharusnya sudah terealisasi namun karena Helena belum membayar uang senilai Rp5 juta. Pembangunan bantuan rumah pun gagal.
Masih menurut Gerardus, uang senilai lima juta rupiah itu sendiri dijanjikan oleh Helena.
“Tahun lalu itu material bangunan sudah mau diturunkan oleh pihak desa namun saya sendirilah yang menolak dikarenakan belum ada sepeser pun yang saya terima dari nenek Helena. Bahkan listrik pun sampai sekarang belum saya izinkan untuk dipasang,” ungkap Gewar.
Keesokan harinya, saya mendatangi rumah mantan Kepala Desa Aibura, Silfianus Fransesko yang baru saja menyelesaikan pengabdiannya pada 16 Agustus 2020. Silfianus membenarkan bahwa rumah tersebut belum bisa dibangun sampai sekarang dikarenakan nenek Halena belum menyanggupi pembayaran kepada Gerardus.
“Pihak desa hanya bisa memberikan bantuan rumah tapi untuk pembebasan lahan tersebut bukan tanggung jawab dari desa,” tutur Silfianus.
Menurutnya pembebasan lahan tersebut menjadi urusan kedua bela pihak dan desa tidak bisa mencampuri urusan itu.
Nenek Helena seolah pasrah pada nasibnya. Pada akhir perbincangan kami, saya dengan haru memeluknya.
“Semoga bapak Presiden, bapak Gubernur NTT dan bapak Bupati Sikka bisa bantu kami e anak,” ujarnya lirih. Saya tak kuasa menahan haru dan kembali memeluknya.
“Pasti ada, nenek doa banyak ya,” jawab saya memberikannya pengharapan.
Kontributor: Merlinda Overus