Hantu Kapitalisme di Flores

Oleh: Bernardus Tube Beding*

Indonesia adalah negara kapitalis yang liberal karena kekuasaan terbesar saat ini berada di tangan mereka yang punya uang. Above all, money is power. Namun kita malu-malu kucing untuk mengakuinya. Hal tersebut selalu dialami oleh masyarakat Indonesia, khususnya di Flores – karena saya belum observasi di daerah-daerah lain. Kehidupan masyarakat Flores sudah dan sedang diukur dengan seng pisa (uang berapa), bukan karakter yang baik, bukan juga pengetahuan yang luas.

Realitas yang yang dimaksud dialami oleh masyarakat Flores, yakni ketika berbelanja di swalayan, kios, atau toko, seringkali uang kembalian pembeli ditukar dengan beberapa permen atau kadang-kadang sama sekali tidak dikembalikan dengan dalil ketiadaan koin pecahan senilai Rp50, Rp100, Rp500, bahkan Rp1.000.

Sebagian besar dari pembeli tidak sempat berpikir kritis sehingga dianggap sebagai hal yang wajar atau “biasa-biasa saja”, bahkan tidak penting atau tidak butuh uang yang nilainya begituan. Tidak sedikit pembeli juga santai menerima permen sebagai ganti pengembalian uangnya. Hanya sebagain kecil yang melakukan aksi protes, termasuk saya karena hal tersebut merupakan transaksi jual-beli yang tidak sah.

Realitas lain berdasarkan hasil observasi dialami oleh masyarakat Flores, yakni ketika mengantre Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU milik pemerintah maupun sewasta. Pengisian BBM oleh pertugas sering tidak sesuai permintaan konsumen. Petugas langsung mengisi tanpa menggunakan layar perhitungan sehingga pengisian kurang dari permintaan konsumen dengan selisih antara Rp50-Rp150 yang lebih menguntungkan pemilik usaha SPBU.

iklan

Bahkan, realitas yang masih dialami oleh masyarakat pekerja yang sering dieksploitasi oleh pemilik kaum kapitalis dengan mempekerjakan mereka lebih dari batas jam kerja normal. Selain itu, gaji mereka tidak dibayar, tidak diperkenankan mengekspresikan keyakinan dan kepercayaan mereka dengan mengikuti perayaan-perayaan keagamaannya. Bahkan yang paling keji, mereka diperlakukan tidak adil oleh majikannya dengan bekerja tanpa istirahat.

Dari pengalaman-pengalaman kecil tersebut, apakah kita pernah berpikir secara kritis bahwa kita sedang dieksploitasi oleh sebuah sistem yang disebut kapitalisme? Artinya, kehidupan masyarakat di Flores – mungkin juga Indonesia secara umum masih dihantui dengan kehadiran para borjuis yang membawa kapitalisme.

Walaupun ramalan Karl Marx dan Joseph A. Scumpeter pernah meramalkan runtuhnya kapitalisme dalam manifesto komunis, ternyata tidak terbukti benar. Kapitalisme itu masih hidup. Kelas-kelas atas (kaum borjuis) masih menindas kelas-kelas bawah (kaum proletar). Ia belum runtuh.

Di Indonesia, hantu kapitalisme masih membayangi kita. Kedigdayaan kapitalisme di Indonesia bahkan mampu mengendalikan kekuasaan negara. Ia mampu mendikte arah kebijakan ekonomi-politik negara yang tentunya menguntungkan pemilik modal dan merugikan mayoritas masyarakat Indonesia.

Ketika kekuasaan negara tunduk di bawah “ketek” kaum kapitalis, maka negara tidak lagi memiliki kekuatan. Locus kekuasaan negara bergeser dari tangan Negara ke tangan pemilik modal (kaum kapitalis). Dengan demikian, kapitalisme mampu bertindak apa saja, termasuk mengeksploitasi masyarakat demi mengafirmasi logika keuntungan yang dibangun kapitalisme itu sendiri.

Kapitalisme merupakan virus yang terus mutakhir menjadi neoliberalisme. Di atas sistem pasar neoliberal, korporasi-korporasi transnasional yang dimiliki oleh pemilik modal secara bebas melebarkan sayapnya ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dan mengeksploitasi masyarakat miskin di negara-negara berkembang dengan menjual produksi-produksi mereka dengan harga yang sangat mahal.

Logika yang dibangun oleh kaum kapitalisme adalah maksimalisasi keuntungan (profit maxzimazation). Ketika logika keuntungan dikultuskan, maka yang terjadi adalah pengabaian aspek-aspek substansial, seperti Hak-hak Asasi Manusia (HAM), ekologis, solidaritas, keadilan, dan lain sebagainya.

Realitas kelam yang dialami oleh masyarakat Flores di mana hak-hak asasi mereka dilecehkan tidak lain merupakan tumbal dari logika keuntungan kapitalisme. Apa yang dialami oleh masyarakat Flores tentu juga dialami oleh masyarakat lain di Indonesia saat ini. Substansi kenyataan-kenyataan yang saya lukiskan di atas sebenarnya mau menggambarkan tindakan eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik modal yang berkiprah di Flores.

Hemat saya, tindakan kasir pada pelbagai tempat perbelanjaan yang memberikan permen seperti kopiko, relaxa, babol, dan lain-lain sebagai ganti uang kembalian merupakan sebuah bentuk eksploitasi. Tentu, bukanlah eksploitasi yang dilakukan oleh teller, melainkan oleh pemilik swalayan minimarket, toko, atau kios. Mereka bertindak atas perintah majikan.

Ketika pemilik usaha, misalnya, menempatkan logika keuntungan sebagai satu-satunya tujuan perusahannya, maka apapun bentuk tindakan termasuk penindasan terhadap karyawan perusahan bisa dibenarkan. Dalam prespektif HAM, eksploitasi terhadap manusia dilihat sebagai bentuk tindakan pelanggaran terhadap HAM. Selain itu, dari sudut pandang etis, penindasan terhadap manusia dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap satu prinsip etis yang paling mendasar: menghormati martabat manusia.

Karena itu, sejalan dengan pandangan Emmanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18 bahwa menghormati martabat manusia sama dengan memperlakukan dia sebagai tujuan. Hendaklah kita memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya dan tidak pernah sebagai sasaran belaka. Lebih dari itu, jalan membumikan Pancasila dalam segala aspek kehidupan masyarakat adalah alternatif ideal bagi permasalahan tersebut. Penataan sistem ketatanegaraan kita tidak boleh terlepas dari proyek character and nation building yang basisnya Pancasila.

*Pegiat Literasi dan Dosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng

TERKINI
BACA JUGA