Belajar Dari Rumah, Siapa Takut?

Oleh: Viktor S. Juru*

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang begitu menantang. Kita mengahadapi situasi yang sangat tidak nyaman dan begitu susah untuk dikendalikan. Pandemi juga melumpuhkan segalanya. Kita tidak boleh ikut lumpuh dan mati konyol. Sikap sigap dengan penuh kewaspadaan perlu dijalankan.

Sebagai bentuk kesiapsiagaan dan kewaspadaan, Belajar Dari Rumah (BDR) sebagai konsep pelaksanaan pendidikan adalah keharusan dan merupakan upaya terbaik. Bagaimana BDR itu dilaksanakan? Apakah orang tua yakin bahwa rumah adalah sekolah dan mereka adalah gurunya?

Kendala yang kita hadapi

Kurikulum merupakan tuntutan utama yang harus dijalankan dalam proses pembelajaran di lembaga persekolahan. Hal ini tentu menjadi kendala sebab di masa pandemi pembelajaran tatap muka guru dan anak didik dibatasi.

iklan

Konsekuensinya para guru tidak mungkin melaksanakan semua kompetensi sesuai kurikulum. Itulah sebabnya pemerintah melalui Kemdikbud telah menyederhanakan kurikulum (penjabaran kompetensi esensial) untuk dipakai pada situasi darurat seperti sekarang.

Orang tua dan lingkungan keluarga adalah lembaga sosial yang berperan penting dalam pembentukan kompetensi pada diri anak didik. Hubungan sekolah dan lingungan keluarga berwujud hubungan saling melengkapi dengan porsi prioritas akademik (sekolah), karakter (keluarga), dan keterampilan (berimbang di sekolah dan di keluarga). Sayangnya hubungan mutualisme ini belum begitu nampak, terlebih di saat pandemi.

BDR juga mengalami kendala seperti, tidak semua orang tua mampu dan memiliki waktu untuk mendampingi anak belajar. Tanggung jawab yang lain seperti bekerja mencari nafkah adalah alasan para orang tua kesulitan mendampingi anak belajar. Sudah barang tentu, bagi sebagian orang tua yang meletakkan pekerjaan mencari nafkah sebagai hal utama dan tidak mau ambil pusing dengan urusan belajar anak.

Tugas sekolah yang menumpuk juga membuat anak didik terbebani. Terkadang mereka sendiri pun tak paham pangkal dan ujungnya dalam mengerjakan tugas. Kita menyaksikan dalam mengerjakan tugas sekolah, anak didik hanya dapat meniru dari sumber-sumber belajar untuk memenuhi tagihan sekolah. Rutinitas ini berpotensi menimbulkan beban psikis pada diri anak didik.

Ancaman yang dapat terjadi

Pertama, putus sekolah. Putus sekolah dapat terjadi ketika sebagian dari kita tidak peduli dengan pendidikan anak-anak. Putus sekolah juga dapat terjadi karena persepsi yang salah dari orang tua tentang sekolah yang dinilai tidak mampu memberikan pelayanan pendidikan secara maksimal.

Kedua, disparitas kualitas dan capaian belajar antara anak berdasarkan kemampuan ekonomi keluarga. Mereka yang dengan mudah mengakses teknologi-teknologi pengetahuan tentu memiliki tingkat capaian belajar yang berbeda dengan anak-anak dari keluarga yang kesulitan mengakses pengetahuan pada buku-buku pelajaran dan terutama akses pengetahuan pada teknologi canggih seperti internet.

Ketiga, dampak psikologi. Anak didik akan merasa stres karena tidak dapat bertemu secara langsung dengan guru dan teman-temannya. Berahlihnya keadaan dari kelompok besar ke belajar sendiri menjadikan anak didik merasa terisolasi, sepi, dan jenuh yang dapat berujung pada depresi. Ketidakmampuan orang tua dalam membimbing anak belajar dan kebingungan atas materi serta tugas yang diberikan berpotensi meningkatkan risiko kekerasan pada anak.

Kompetensi

Hal penting yang harus kita pahami dari pembelajaran (di sekolah atau BDR) adalah terbentuknya kompetensi pada anak didik. Kompetensi merupakan kecakapan memahami konsep dan keterampilan menerapkan konsep pada situasi kerja secara baik. Kompetensi ada yang tertulis secara baku dalam kurikulum. Kompetensi juga berupa kecakapan-kecakapan hidup yang tertera secara tersamar dalam struktur kurikulum nasional.

Gambaran pembelajaran yang berbasis kompetensi adalah upaya membentuk pribadi mandiri, membentuk pribadi yang siap hidup, dan membentuk kemampuan menalar yang baik.

Ujian dilakukan secara bermakna, orientasinya bukan lagi tertuju pada nilai akhir melainkan pada aktivitas nyata sebagai bentuk penerapan konsep. Pola pendidikan yang berpusat pada penguasaan materi digantikan dengan pola yang berpusat pada kebutuhan anak didik. Materi pembelajaran adalah konteks kehidupan nyata anak didik.

Patokan utama untuk mengembangkan kompetensi adalah semangat belajar anak didik. Guru dan orang tua adalah motivator yang mengembangkan semangat untuk belajar bukan predator yang memaksakan anak didik untuk belajar dengan semangat. Apapun bentuknya, jika keinginan untuk belajar sudah ada maka  kompetensi akan terbentuk.

BDR dapat dijalankan melaui, semisal proyek pengamatan yang menarik serta menantang dengan mengedepankan prinsip konstruktivisme (membentuk pengetahuan secara sendiri oleh anak didik), mengolah dan mempertajam kemampuan literasi bahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan munulis) melalui aktivitas menyaksikan program-program berita di stasiun televisi, radio, atau telepon genggam. Mengasah kemapuan lieterasi numerasi (kemampuan berhitung) melalui aktivitas-aktivitas di rumah yang berkaitan dengan numerasi.

Orang tua tak perlu cemas menjalankan pembelajaran berbasis kecakapan hidup dan penguatan pendidikan karakter di rumah. Hal yang perlu orang tua cemaskan adalah ketika anak didik mendapatkan setumpuk materi ajar dan setumpuk soal-soal yang harus dikerjakan lalu dikumpulkan.

Mengapa? Piramida belajar Edgar Dale menunjukkan kegiatan belajar berupa partisipasi langsung, merancang, dan melakukan eksperimen yang merupakan pengamalam belajar yang aktif dan bermakna.

Dale berpendapat, tingkat kecerdasan terbaik adalah melakukan aktivitas simulasi secara langsung. Sedangkan tingkat keterlibatan verbal dan visual seperti membaca dan menulis berada pada dasar tingkat kecerdasan.

Pandemi perlu dipandang sebagai upaya memperkokoh setiap lini menuju sekolah yang nyata. Seperti kepompong, kita sedang dalam balutan cobaan yang dasyat. Dalam balutan ini, kita harus terus begerak untuk keluar dari cangkang Covid-19. Perjuangan tak henti dan kesolidan bersama adalah roh yang harus tetap ada untuk mengepakkan sayap dan terbang sebagai kupu-kupu yang indah.

“In theaching you cannot see the fruit of a day’s work. It is invisible and remains so, maybe for twenty years” (dalam mengajar, anda tidak dapat melihat hasilnya dalam sehari. Bisa jadi hasilnya dapat terlihat dua puluh tahun lagi),” kata Jacques Barzun.

*Guru SDI Momang Mese-Borong Manggarai Timur

TERKINI
BACA JUGA