Maumere, Ekorantt.com – Hari itu, Selasa (20/7/2021), udara di kota Maumere, Kabupaten Sikka, terasa sejuk. Kali ini kami akan melakukan perjalanan cukup jauh. Mobil bak terbuka yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan 40 kilometer/jam menuju Tanjung Darat. Jaraknya sekitar 45 kilometer dari kota Maumere.
Angin kencang menerpa wajah dan rambut. Kami duduk berdesakan diantara logistik. Namun, tak mengurangi kebahagiaan sepanjang perjalanan. Sesekali diantara kami mengangkat ponsel dan berswafoto.
Perjalanan seolah begitu singkat. Kami tiba di Tanjung Darat, lalu lanjut menggunakan perahu motor kecil menuju Pulau Pangabantang, Desa Parumaan, Kecamatan Alok Timur. Pemilik kapa itu Paman Haidi.
Kata sahabat saya, seorang dokter gigi, perjalanan ini kurang menantang karena tahun lalu mereka menggunakan perahu motor yang ukurannya lebih kecil. Saya terdiam. Sebab, perahu motor kecil ini saja sudah membuat nyali saya ciut mengkerut bak buah kismis kering, apalagi kalau menaiki perahu motor yang ukurannya lebih kecil.
Setelah semua siap kami melanjutkan perjalanan. Deburan air laut menerpa perahu motor. Guyonan konyol selalu dilontarkan secara bergantian. Hanya ini cara untuk menyembunyikan ketakutan yang kian mendera.
Kurang dari 30 menit perjalanan, tampak hamparan pasir putih membentang berkilauan. Pertanda hampir tiba. Tatapan mulai sumringah. Sebab, beberapa diantara kami, ini adalah pengalaman pertama.
Perahu motor mulai menepi dan perlahan bersandar di belakang rumah penduduk. Seseorang tampak menyambut kedatangan kami. Namanya Pak Imam. Ia imam mesjid. Ia yang akan menyembelih tiga ekor sapi hewan kurban nantinya.
Yang punya hajatan ini adalah salah satu teman seperjalanan kami dokter gigi, Nur Kartika. Dokter yang dikenal sosialitas tinggi. Bersama kawan-kawannya dari Jakarta, Sumatra juga dari Maumere secara rutin dan kolektif mereka bersedekah, kemudian membeli beberapa ekor hewan untuk dikurbankan saat hari raya Idul Adha. Ini rutin dilakukan setiap tahun.
Hampir seluruh bangunan di sini merupakan rumah panggung. Terbuat dari kayu. Beratapkan seng khas, perkampungan nelayan pada umumnya. Kecuali sebuah mushola yang baru dibangun dan beberapa kamar mandi umum.
Kami kemudian disambut istri Pak Imam dengan suguhan kopi dan teh hangat juga kue-kue khas lebaran. Kami berbincang cukup lama. Imam mengaku, ia sudah mengundurkan diri dari tugasnya sebagai imam mesjid karena berbeda prinsip dengan sebagian umat. Imam memang orang yang punya prinsip hidup, bijak, berani berbeda namun harmonis. Ia tidak suka konflik, meski tetap mempertahankan pilihannya.
Setelah bercanda ria, kami kemudian mengikuti Pak Imam menuju tempat pemotongan hewan kurban. Hewan kurban telah disiapkan dan dibawa Pak Imam ke pulau ini beberapa hari sebelum. Sapi-sapi itu dibeli dari Nangahale lalu dibawa dengan perahu motor. Kurban pun dimulai dengan doa dan takbir yang dikumandangkan hampir seluruh warga yang hadir.
Shoes For Flores (SFF) dan Persatuan Senat Mahasiswa Ledokteran Gigi Indonesia (PSMKGI) memberikan hewan kurban berupa tiga ekor sapi untuk 79 kepala keluarga (KK) di pulau itu.
Dokter Nurkartika Eka Chandra Dewi, mengatakan kegiatan itu sudah berlangsung selama enam tahun. Bermula dari gerakan charity yang diinisiasi SFF. Yang mana, ia salah satu penggerak.
“Saat itu penduduk Pangabatang masih 40 KK. SFF sendiri adalah komunitas muda pemerhati anak-anak di daerah terpencil yang fokus pada pendidikan anak usia sekolah,” jelasnya.
Awalnya lanjut Nur, ide berkurban secara kolektif ini hanya beberapa ekor kambing. Namun, dalam perjalanan volunteer SFF dan alumni PSMKGI tertarik untuk berkurban di Pangabatang. Jumlah hewan kurban terus bertambah. Hingga tahun ke-6 mencapai tiga ekor sapi.
“Pertamanya saya dan keluarga hanya membawa beberapa ekor kambing, tetapi teman-teman volunteer SFF dan PSMKGI juga mau ikutan berkurban di sini, kebetulan beberapa teman sudah pernah ke Pangabatang juga. Alhamdulilah sekarang jumlah hewan kurbannya bertambah terus setiap tahun,” tuturnya.
Selain membawa hewan kurban, Nur juga melibatkan komunitas anak muda lokal dalam berbagai charity movement. Ia juga selalu membagikan alat tulis dan melakukan permainan yang mengedukasi anak-anak Pulau Pangabatang setiap tahunnya.
Pasangan suami istri, Haerudin (45) dan Rastian (40) mengaku senang dan bersyukur, karena setiap tahun mereka selalu mendapat daging kurban. “Semoga Ibu Dokter dan teman-teman sehat selalu,bisa datang lagi tahun depan”.
Senada dengan Haerudin, Bibi Damrang (40) mengaku senang. Sebab, sudah beberapa tahun ini mendapatkan daging kurban. Selain daging kurban salah satu anaknya yang duduk bangku SMP juga mendapat 1 pak buku tulis dan bolpoint.
“Alhamdulilah kami sangat senang karena selama ini kami hanya dapat dari Ibu Dokter saja. Kami sangat senag ini tahun bisa sampai 3 ekor sapi, tahun lalu dua, semoga Ibu Dokter tidak pernah lupa kami di Pangabatang,” pintanya.
Cucun Suryana