Oleh: Maria Herliana*
Pemilu Serentak 2024 sudah di depan mata. Tanggal 14 Februari 2024 telah ditetapkan sebagai puncak perhelatan akbar pesta demokrasi lima tahunan. Seluruh rakyat Indonesia akan berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih calon-calon pemimpin yang diharapkan bersama.
Sejauh ini proses menuju pesta demokrasi lima tahunan pun sudah dan sedang berjalan. Partai politik peserta pemilu dan para kandidat presidan-wakil presidan dan calon-calon wakil rakyat sedang gencar melakukan safari politik dari daerah yang satu ke daerah lain.
Tujuan dari safari politik yang dilakukan para kandidat presiden-wakil presiden dan calon-calon wakil rakyat adalah menggalang dukungan dan simpati politik dari masyarakat.
Adalah kecelakaan politik jika dalam safari politik para politisi lupa memberi penyadaran, pemahaman, dan pengetahuan politik kepada generasi milenial dan generasi Z.
Jika hasil survei sejumlah lembaga bahwa generasi milenial dan generasi Z diprediksi menjadi kelompok pemilih dengan porsi terbesar di Pemilu 2024, maka sasaran pendidikan atau penyadaran politik harus menyasar generasi milenial dan generasi Z.
Jika euforia politik para politisi mengabaikan kelompok milenial dan generasi Z, tidak menutup kemungkinan, mereka yang belum disentuh secara politik diperkirakan bakal absen dalam Pemilu Serentak 2024.
Fenomena Golput
Menjelang Pemilu Serentak 2024, angka partisipasi pemilu di Kabupaten Sikka, Provinsi NTT mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Menurut data yang dipublikasikan oleh KPUD Sikka, dari 206.827 jiwa calon pilih terdapat pemilih baru atau pemilih pemula sebanyak 9.004 jiwa pada Mei 2022.
Tidak menutup angka pemilih baru atau pemula terus bertambah dari waktu ke waktu hingga hari pelaksanaan Pemilu serentak 2024 tiba.
Akan tetapi, ada satu fenomena yang biasa disebut setiap kali pesta demokrasi lima tahunan adalah golongan putih atau abstensi (dari kata bahasa Inggris “abstain” yang berarti ‘menjauhkan diri’).
Istilah ini berhubungan dengan peran politik seseorang. Ketika seorang peserta dalam proses pemungutan suara tidak memberikan suara atau tidak memilih satupun calon pemimpin, atau bisa juga peserta yang datang ke bilik suara tetapi tidak ikut memberikan suara hingga prosesi pemungutan suara berakhir (Bdk. Wikipedia, diakses 3 Desember 2022).
Kemunculannya berawal dari gerakan protes para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan Pemilu pertama pada era Orde Baru di mana ada 10 parpol pada masa itu. Tokoh golput adalah Imam Waluyo.
Dengan dicetuskannya golput oleh Imam Waluyo, maka hal yang dilakukan adalah mencoblos hanya bagian putih dari kertas suara. Momen ini merujuk pula pada usaha melawan, membuat suara jadi rusak, dan lainnya.
Tentu saja, fenomena ini bisa saja membingkai pada pesta demokrasi 2024 nanti, jika pendidikan politik untuk generasi milenial dan generasi Z diabaikan. Lebih jauh, jika kita melihat, partisipasi pemilu generasi milenial dan generasi Z dengan kategori usia antara 17-37 tahun, turut menentukan tingginya angka partisipasi pemilih dan kualitas demokrasi itu sendiri.
Tetapi harapan ini akan menjadi sirna jika pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik dan para politisi mengabaikan posisi mereka. Dengan pengabaian, maka mereka akan bangkit melawan dengan cara sederhana, tetapi merusak. Itulah golput.
Mereka bisa saja tidak menaruh simpati dan empati pada urusan politik, jika pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik dan para politisi belum sungguh-sunguh melibatkan mereka dalam urusan penyadaran dan pendidikan politik.
Para pemangku kepentingan harus memiliki tanggung jawab moral untuk melibatkan seluruh warga negara wajib pilih agar berpartisipasi aktif menyukseskan pesta demokrasi yang jatuh pada 14 Februari 2024 mendatang.
Untuk menarik minat politik generasi milenial dan generasi Z, dibutuhkan inovasi dan kreativitas kekinian, sesuai bakat dan minat, membuatnya lebih menarik dan tidak membosankan. Kegiatan olahraga, musik, literasi digital, tik tok dan bentuk-bentuk kampanye kreatif melalui media sosial menjadi alternatif jitu yang mampu menyedot perhatian generasi milenial dan generasi Z terlibat dan ambil bagian dalam menyukseskan pemilu serentak 2024.
Pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik dan para politisi harus mampu membuat konten-konten kreatif tentang pemilu yang memikat dan menggoda generasi milenial dan generasi muda untuk tidak absen dalam memilih calon-calon pemimpin dan wakil-wakil rakyat.
Khusus untuk generasi milenial dan generasi Z yang ada di Kabupaten Sikka, mari kita sukseskan Pemilu Serentak 2024 dengan mengusung slogan, “Jangan Memilih untuk Tidak Memilih.”
Ingat! Suara Anda, menentukan nasib Anda, bangsa dan negara lima tahun mendatang.
*Penulis adalah Anggota Jurnalis Warga