Sorgum: Pangan Alternatif

Bicara tentang sorgum sebagai pangan lokal di Indonesia perlahan menjadi diskusi aktual. Di Nusa Tenggara Timur, gerakan membudidayakan sorgum sebagai pangan alternatif semakin mendapat tempat di setiap kabupatennya.

Menengok ke Kabupaten Manggarai, sorgum telah menjadi pangan alternatif bagi pangan lain seperti beras dan jagung. Tak hanya itu, sorgum jadi pangan alternatif untuk mencegah stunting.

Menukil data Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, angka presentasi stunting di wilayah ini pada Agustus 2022 turun menjadi 16,2 persen. Angka itu tentu lebih rendah dibandingkan pada Februari 2022, presentasinya kurang lebih 20,1 persen.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai, Bertolomeus Hermapon bilang, Pemkab Manggarai terus melakukan intervensi secara spesifik, seperti pemberian makanan tambahan, penyuluhan tentang gizi seimbang, dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya konvergensi dengan dinas terkait.

Jadi, pihaknya melakukan ‘lonto leok’ atau duduk bicara bersama masyarakat untuk mencari solusi pencegahan stunting. Faktanya, masyarakat bekerja sama dengan pemerintah setempat karena stunting bukan hanya kekuarangan gizi, tetapi faktor lingkungan juga berpengaruh.

Sementara LSM Ayo Indonesia juga turut mendorong supaya pemerintah dan masyarakat mengembangkan pangan alternatif seperti sorgum. Direktur LSM Ayo Indonesia, Tarsius Hurmali, menegaskan, sorgum jauh lebih bergizi dari beras. Kadar gulanya pun lebih rendah dari beras.

Tujuan lain adalah menyelamatkan sorgum jadi pangan alternatif. Atas dasar itu, ia mendorong masyarakat tetap mempromosikan sebagai pangan keluarga.

Lalu, apa yang harus dipikirkan pemerintah terkait menyelamatkan sorgum sebagai pangan alternatif?

Pertama, pemerintah membuat program dan tidak boleh membiarkan masyarakat bekerja sendiri. Pikirkan soal bagaimana program itu menjadi berkelanjutan!

Kedua, pemerintah harus memberi contoh. Jika di mana-mana, ada banyak lahan milik Pemda, maka hal yang harus dilakukan adalah ‘berkebun’ yang dimulai dari desa dengan intervensi dana desa yang cukup.

Ketiga, mendorong BumDes untuk bisa menangkap peluang produksi dan distribusi yang dimulai dari kampung atau desa.

Jika ini berjalan, maka stunting bisa ditangani secara teratur mulai dari desa kita masing-masing!

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA