Maumere, Ekorantt.com – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sikka, NTT, mencatat 50 kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi di awal 2025. Sejauh ini, belum ada korban meninggal dunia.
Kasus DBD tersebar di beberapa puskesmas di Kabupaten Sikka. Puskesmas Kopeta melaporkan jumlah kasus tertinggi, yakni 12 kasus. Sebaran lainnya mencakup Puskesmas Wolomatang enam kasus, Nelle lima kasus, Waigete lima kasus, dan Kewapante empat kasus.
Beberapa puskesmas lainnya, seperti Waipare, Beru, dan Nita, masing-masing mencatatkan satu hingga tiga kasus.
Plt. Kepala Dinkes Kabupaten Sikka, Petrus Herlemus mengatakan, pasien yang terinfeksi DBD dirawat di beberapa rumah sakit, seperti RSUD TC Hillers Maumere dengan 35 pasien, yakni 32 sembuh dan tiga dirawat.
Di RSUD Santo Gabriel Kewapante, terdapat 14 pasien, yakni 11 sembuh dan tiga dirawat, sementara satu pasien lainnya dirawat di puskesmas setempat.
Dikatakan, kasus DBD juga menunjukkan sebaran berdasarkan kelompok umur, dengan 33 kasus di kalangan anak usia 5-15 tahun, 12 kasus pada anak usia 1-4 tahun, dan lima kasus pada usia 15 tahun ke atas.
Herlemus mengungkapkan, penyebab tingginya kasus DBD di Sikka terjadi karena buruknya sistem drainase dan sanitasi lingkungan.
Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan juga berkontribusi terhadap penyebaran penyakit ini.
Oleh karena itu, ia mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tetap waspada dan bersama-sama menjaga lingkungan sekitar menjadi bersih.
Dinkes Sikka, kata dia, terus berupaya mengurangi penyebaran DBD melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Herlemus menekankan bahwa pengasapan atau fogging dilakukan sebagai langkah pencegahan lebih lanjut. Selain itu, pihak Dinkes secara rutin melakukan pemantauan dan edukasi di seluruh puskesmas.
Meskipun ada peningkatan kasus pada awal tahun 2025, Herlemus mencatatkan penurunan jumlah kasus DBD dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada tahun 2024, tercatat 821 kasus, dengan empat orang meninggal akibat DBD.
Rekomendasi
Herlemus menambahkan, dirinya telah mengeluarkan rekomendasi kepada seluruh puskesmas.
Pertama, pada musim penularan atau musim hujan semua penderita terutama anak-anak wajib diduga sebagai DBD sehingga ditangani lebih awal.
Kedua, satu kasus DBD langsung direspons dengan penyelidikan epidemiologi (PE) dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan melibatkan puskesmas dan lintas sektor.
Ketiga, aktif melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang bahaya dan upaya pencegahan kepada masyarakat.
Keempat, melakukan evaluasi secara berkala upaya penanggulangan DBD di wilayah masing-masing.
Kelima, melakukan pemetaan lokasi desa atau kelurahan endemis dan melakukan pengendalian vektor terpadu bersama lintas sektor secara rutin.
Sementara itu, Dokter Spesialis Anak di RSUD TC Hillers Maumere, Mario B. Nara menjelaskan, anak-anak sangat rentan terserang DBD karena sistem imun tubuh mereka yang belum sempurna. Hal ini membuat respons tubuh terhadap virus yang masuk lebih hebat dibandingkan dengan orang dewasa.
Menurut Mario, pasien DBD anak umumnya membutuhkan waktu perawatan 5 hingga 7 hari. Jika kondisi klinis pasien sudah membaik dan jumlah trombositnya sudah mencapai lebih dari 1.000, pasien dapat dipulangkan dan melanjutkan perawatan secara rawat jalan.
Dokter Mario mengimbau kepada masyarakat, khususnya orangtua, untuk segera membawa anak ke fasilitas kesehatan terdekat jika anak mengalami demam lebih dari tiga hari, nyeri pada tulang, dan tanda-tanda pendarahan seperti keluar darah dari hidung, gusi, atau kulit. Pemeriksaan fisik dan darah sangat penting dilakukan untuk mengetahui kondisi lebih lanjut.
“Jika trombosit pasien menurun, kita harus curiga jika mereka terinfeksi virus dengue. Dalam kasus ini, pasien mungkin perlu rawat inap atau rawat jalan di fasilitas kesehatan terdekat,” ujar Mario.
Sebagai langkah pencegahan, ia mengingatkan pentingnya untuk terus aktif melakukan gerakan 3M Plus di masyarakat.
Gerakan tersebut meliputi menguras dan menutup tempat penampungan air, membersihkan tempat-tempat yang bisa menjadi sarang nyamuk, serta menggunakan obat nyamuk untuk mengurangi risiko penyebaran penyakit DBD.
Pencegahan dan kewaspadaan yang tepat diharapkan dapat mengurangi jumlah kasus DBD, terutama di kalangan anak-anak.