Kabar jelek datang dari Wailamung. Desa di Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Flores, NTT ini terendus media melakukan dugaan korupsi dana desa. Dugaan korupsi tercium dari mangkraknya proyek pembangunan pasar desa senilai Rp141 juta lebih. Realisasi pekerjaan fisik pasar berukuran 10 x 24 meter itu baru mencapai 60%. Aroma tak sedap tercium warga karena mestinya proyek itu sudah selesai dikerjakan pada tahun anggaran 2018 lalu. Namun, sayangnya, sampai dengan menjelang akhir tahun anggaran 2019, proyek tersebut tak kunjung diselesaikan. Spekulasi dugaan penyalahgunaan dana desa pun mulai bermunculan di tengah masyarakat.
Sebagai penanggungjawab proyek, Pemerintah Desa Wailamung sudah mengklarifikasi spekulasi warga. Kepala Desa Wailamung membantah spekulasi warga tentang dugaan penyalahgunaan dana desa dalam proses pengerjaan proyek itu. Dia beralasan, proyek pembangunan pasar desa terlambat diselesaikan karena minimnya tenaga tukang, halangan kerja pribadi, dan adanya borongan pekerjaan di tempat lain. Dia pun berjanji, selambat-lambatnya bulan Desember 2019, proyek akan selesai dikerjakan. Anggota Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) Emanuel Wempi Sola beralasan, proyek belum selesai dikerjakan karena lambatnya pen-droping-an kayu oleh suplayer kayu. Berdasarkan sistem swakelola, Sebastianus Bona, warga Dusun Kajowain, dipercayakan TPK menyediakan bahan baku kayu. Akan tetapi, walau pemerintah sudah membayar Rp10 juta lebih, Sebastianus baru bisa men-drop 4 kubik kayu lokal ke lokasi proyek. TPK kemudian mengadakan bahan baku kayu dari sumber lain untuk menutupi kekurangan yang ada. Namun, sayangnya, setelah kayu tersedia, kini giliran paku yang tidak tersedia. TPK pun stop bekerja.
Klarifikasi pemerintah atas spekulasi warga tentang dugaan penyalahgunaan keuangan desa dalam proyek pembangunan pasar desa di Wailamung berbeda-beda. Di satu sisi, Kades Muksin menjadikan minimnya tenaga tukang, halangan kerja pribadi, dan adanya borongan pekerjaan di tempat lain sebagai kambing hitam kegagalan proyek. Di lain sisi, TPK menjadikan ketidaktersediaan bahan baku kayu dan paku sebagai kambing hitam yang lain. Publik bertanya, mana di antara dua “kambing hitam” itu yang paling rasional?
Pemerintah Desa Wailamung boleh-boleh saja menggunakan segala macam dalih untuk menepis spekulasi warga. Akan tetapi, jawaban yang berbeda atas alasan keterlambatan proyek menunjukkan lemahnya koordinasi dan sinergisitas antara kepala desa sebagai Pemegang Keuangan Pengelolaan Keuangan Desa (PKPKD) dan TPK selaku pembantu Sekretaris Desa, Kepala Seksi (Kasie), dan Kepala Urusan (Kaur) dalam melaksanakan tugas pengadaan barang dan/atau jasa. Lemahnya koordinasi dan sinergisitas antara kepala desa dan TPK selanjutnya mengindikasikan dua hal, yaitu pertama, setiap unsur pemerintah desa kerja sendiri-sendiri dan kedua, setiap unsur pemerintah kerja sama menggarong uang rakyat di desa.
Hasil liputan Ekora NTT memperlihatkan, Wailamung adalah 1 dari 2 desa di Kecamatan Talibura yang masih terisolasi. Untuk bisa berkomunikasi melalui media telekomunikasi, warga Wailamung mesti mendaki bukit sejauh 8 Km untuk mencari sinyal di sana. Untuk bisa membangun rumah ibadah berupa 6 kapela dan 1 musola, warga Wailamung ngos-ngosan kumpul uang Rp250 ribu/Kepala Keluarga. Fakta ini menunjukkan, warga Wailamung miskin. Mereka adalah bagian dari 44.020 atau 13.82% penduduk miskin di Kabupaten Sikka. Sungguh tak elok Pemerintah Desa Wailamung menggarong uang warga Wailamung yang miskin. Sungguh tak tampan pula pemerintah berpesta pora di atas penderitaan warga desa yang masih terisolasi ini.