Maumere, Ekorantt.com – Jumat, 18/10/2019, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Kampus NIPA Media, Universitas Nusa Nipa, Maumere Kabupaten Sikka, menggelar sebuah diskusi bertajuk, Aktivisme Mahasiswa: Merefleksikan Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa.
Diskusi itu didesain secara khusus bagi para mahasiswa dan komunitas-komunitas muda untuk melihat kembali sejarah gerakan mahasiswa, bentuk dan substansi dari gerakan mahasiswa, serta relevansi gerakan mahasiswa dalam situasi sosial politik ekonomi budaya saat ini, di Indonesia secara umum, dan NTT secara khusus. Keseluruhan diskusi ini ditutup dengan satu pertanyaan reflektif, sudah berhasilkah gerakan mahasiswa di NTT?
Diskusi yang berlangsung di halaman depan Gedung Nawacita UNIPA ini menghadirkan dua pembicara utama dan seorang penanggap. Pembicara utama diskusi ini yaitu Dr. Gery Gobang, Dosen Ilmu Komunikasi UNIPA, dan Yohanis de Peskim, jurnalis yang dahulu aktif dalam gerakan mahasiswa.
Sementara itu, tampil sebagai penanggap, Silvano Keo Bhaghi, salah satu redaktur EKORA NTT. Diskusi dimoderasi oleh Karolina Karmadina, mahasiswi ilmu Komunikasi UNIPA, anggota UKM Pers Kampus, NIPA Media.
Yohanis de Peskim, atau yang sering disapa Are, membuka sesi pemaparan
materi. Are pertama-tama menyampaikan apresiasinya terhadap UKM Pers Kampus,
Nipa Media yang telah berdiri dan memulai aktivitas jurnalistik di kampus
tersebut.
Sejauh pengetahuannya, tidak banyak organisasi pers kampus di NTT yang diinisiasi sendiri oleh mahasiswa, hidup, dan konsisten melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Are berharap UKM Pers Nipa Media menjadi organisasi mahasiswa yang bisa dijalankan secara konsisten dan memberikan sumbangsih yang besar bagi internal kampus dan gerakan-gerakan ekstra kampus. Selain memberikan apresiasi, Are juga mengkritik beberapa hal terkait diskusi ini.
Menurut Are, diskusi ini idealnya menghadirkan mahasiswa sebagai pembicara utama. Ia menilai, ini menjadi forum yang tepat untuk mendengarkan sharing dan pemikiran dari mahasiswa-mahasiswa yang aktif dalam gerakan mahasiswa. Meski kurang memadai, anjurannya itu lantas diakomodasi oleh moderator dalam sesi sharing mahasiswa.
Dalam materinya, Are tidak banyak menjelaskan
sejarah gerakan mahasiswa secara detail. Menurutnya, sejarah gerakan mahasiswa
adalah hal mendasar yang mestinya diketahui oleh para aktivis dan penggerak
organisasi-organisasi mahasiswa.
Setelah menjelaskan gambaran sangat umum mengenai sejarah pergerakan mahasiswa, Are mengajukan tesis-tesis kuncinya mengenai ideal suatu gerakan mahasiswa. Pertama, gerakan mahasiswa Indonesia bersifat politis dan bukan moral, anti kolonial dan pro demokrasi.
Kedua, gerakan mahasiswa adalah vanguard atau pandai api bagi gerakan rakyat. Oleh karena itu, mahasiswa harus berorganisasi.
Ketiga, gerakan mahasiswa memerlukan visi jangka panjang dan merumuskan musuh yang tepat. Persatuan nasional adalah jalan keluarnya.
Keempat, metode gerakan harus disesuaikan dengan situasi (kondisi objektif) dan watak mahasiswa (kondisi subjektif).
Are percaya bahwa gerakan mahasiswa masih
sangat relevan sampai dengan saat ini. Ia mengidentifikasi beberapa masalah
yang kerap menjadi sorotan gerakan mahasiswa, antara lain masalah korupsi dan
ekologi, serta isu-isu seputar politik neoliberal.
Meski demikian, sejauh pengamatannya, Are
berpendapat, gerakan mahasiswa yang terjadi belakangan tidak berlangsung secara
masif seperti dahulu. Selain itu, semangat mahasiswa untuk berorganisasi dan
aktif terlibat dalam isu-isu sosial politik begitu lemah.
Mahasiswa baru turun kalau ada isu-isu genting
dan viral seperti kasus Cicak vs Buaya, atau dalam konteks lokal, kasus Abdul
Somad.
Menurut Are, ada beberapa hambatan yang melatari lemahnya
inisiasi gerakan mahasiswa akhir-akhir ini, yakni biaya kuliah, represivitas
kampus, dan ketersediaan lapangan kerja. Hal-hal ini membuat mahasiswa
cenderung sibuk di kampus agar cepat menyelesaikan kuliah dan mendapatkan
pekerjaan.
Selain itu, ia juga menyoroti soal aktivis sosial media yang kerap membuat gelembung ilusi gerakan massa. Menurutnya, aktivisme di dunia maya haruslah terejawantahkan dalam aksi-aksi massa di dunia riil. Hanya dengan itu kekuasaan bisa ditawar.
Berbeda dengan Are yang melihat gerakan
mahasiswa sebagai gerakan politik, Gery Gobang melihat gerakan mahasiswa
sebagai gerakan moral intelektual. Karena gerakan mahasiswa adalah gerakan moral
intelektual, maka tujuan dari setiap gerakan mahasiswa adalah kebaikan bersama
(bonum commune).
Gery menekankan, gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi atau pun gerakan-gerakan mahasiswa yang menentang isu-isu lainnya adalah bentuk solidaritas terhadap kemanusiaan.
Menurut Gery, karena gerakan mahasiswa adalah bentuk solidaritas terhadap kemanusiaan, maka gerakan mahasiswa haruslah memberikan sumbangsih bagi kemajuan peradaban.
Gery menerangkan, keterlibatan mahasiswa dalam
isu-isu global di bidang ekonomi, politik, sosial, hukum budaya pada dasarnya
adalah suatu keharusan. Kampus bukanlah sebuah menara gading tempat mahasiswa
tinggal, belajar, dan menemukan gagasan dan ide, melainkan dari sana, harus
lahir berbagai kepekaan terhadap situasi-situasi sosial kemasyarakatan.
Gery mengidealkan adanya sinkronisasi antara
konsep dan teori yang dipelajari dan ditemukan di ruang kelas dengan
praktik-praktik empiris di lapangan, termasuk dalam menyusun gerakan-gerakan
mahasiswa.
Menurutnya, ide harus mampu membumi dan
kontekstual, sesuai dengan kondisi masyarakat serta situasi yang sedang
berkembang.
Satu catatan penting yang juga dilontarkan Gery adalah kemampuan mahasiswa mengkaji dan menganalisis masalah dalam setiap aksi-aksi gerakan mahasiswa.
Menurut Gery, terlebih dahulu harus ada kajian dan analisis mendasar terhadap persoalan-persoalan yang diangkat mahasiswa, sehingga mahasiswa tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan prinsip kebaikan bersama.
Gery pun menentang gerakan-gerakan mahasiswa
yang berujung anarkis. Menurutnya, aksi-aksi anarkis bertentangan dengan prinsip
kebaikan bersama. Mahasiswa perlu memikirkan cara-cara yang elegan untuk
menyampaikan aspirasi dan pendapat mereka.
Gery percaya bahwa gerakan mahasiswa haruslah
tertuju pada persatuan dan kesatuan masyarakat baik dalam konteks lokal maupun
dalam konteks kebangsaan Indonesia.
Dalam sesi sharing mahasiswa, moderator
memberikan kesempatan kepada beberapa wakil dari organisasi mahasiswa dan Badan
Eksekutif Mahasiswa untuk menyampaikan pendapat.
Mario Fernandes, Ketua PMKRI Maumere yang berkesempatan menyampaikan sharing mengapresiasi diskusi yang diinisiasi oleh UKM Pers Nipa Media.
Meski demikian, ia secara tegas mengkritik iklim kampus UNIPA yang dari waktu ke waktu sangat lemah menampilkan ciri akademis, ilmiah, dan kritis.
Menurut Mario, UNIPA mestinya membangun suatu sistem pendidikan baik formal maupun informal yang mendukung tumbuhnya iklim diskusi, menyampaikan pendapat secara kritis, dan ilmiah.
Ia menilai, tidak banyaknya peserta dalam diskusi yang dibuat di halaman terbuka seperti yang sedang terjadi menunjukkan adanya mentalitas yang lemah di kalangan mahasiswa berhadapan dengan isu-isu akademis dan ilmiah.
Setelah sesi sharing, Silvano Keo Bhaghi yang tampil sebagai pengamat menyampaikan beberapa kritik dan pandangan intelektualnya terhadap gagasan-gagasan yang disampaikan oleh para pembicara.
Tiga pertanyaan umum disampaikan Sil antara lain, apakah musuh bersama dari gerakan mahasiswa? Apakah gerakan mahasiswa sudah berhasil melawan musuh bersama tersebut? Apa yang harus dilakukan agar musuh bersama itu bisa dilawan?
Terhadap pertanyaan Sil, Are menegaskan
posisinya. Menurut Are, musuh bersama dari gerakan mahasiswa adalah kapitalisme
yang menggurita di Indonesia. Kapitalisme di Indonesia menurut Are nyata dalam
diri para oligark dan penguasa kerah putih yang korup. Menurutnya, ada interaksi antara
kekuasaan yang bersifat politik dan kekuasaan ekonomi.
Meski demikian, Are menyadari beberapa kelemahan yang menjadi
karakteristik gerakan mahasiswa. Menurutnya, gerakan mahasiswa memiliki jangka
waktu tertentu dan cenderung singkat. Oleh karena itu, analisis internal dan analisis kontekstual dari
gerakan mahasiswa perlu dipertimbangkan secara matang.
Are berpendapat, sudah saatnya gerakan
mahasiswa kembali ke jalan historisnya, yakni berjuang bersama rakyat. Ini telah dilakukan
di masa kolonialisme dan otoritarian Orde Baru. Tujuannya adalah agar mahasiswa
bisa memahami situasi rakyat dan melibatkan rakyat berjuang bersama.
Sudah saatnya mahasiswa belajar, bersatu, dan berjuang bersama
rakyat. Bentuknya bukanlah advokasi kasus per kasus melainkan membangun platform
perjuangan jangka panjang.
Selain itu, perlu membangun persatuan
multisektor baik dengan kelas menengah (akademisi, NGO, praktisi hukum) atau
pun dengan akar rumput atau kelompok tertindas (buruh, petani, nelayan dan kaum
lumpen perkotaan).
Dari kampus, harus turun ke kampung.
Berbeda dengan Are, Gery melihat musuh utama
dari gerakan mahasiswa adalah diri sendiri. Meskipun seluruh gerakan mahasiswa
memiliki tujuan eksternal, yaitu kebaikan bersama dan persatuan nasional, Gery, yang berpegang pada gagasan
moral intelektualnya, percaya bahwa revolusi terbesar yang perlu dilakukan adalah revolusi
mental.
Menurutnya, mahasiswa perlu membangun
inisiatif untuk mengembangkan kemampuan diri melalui membaca, diskusi, dan berorganisasi. Semua itu
harus memperkuat karakter mahasiswa, yaitu kemampuan berpikir kritis, kemampuan untuk disiplin, tekun, dan
bekerja keras.
Gery berpendapat, gerakan mahasiswa cenderung
sulit ditujukan pada visi-visi yang sifatnya ekonomi, atau politik, sebab
gerakan mahasiswa tidak memiliki instrumen yang cukup kuat dan bertahan lama
untuk mencapai tujuan tersebut. Gery lebih mempertimbangkan sisi peningkatan
dan pengembangan kualitas serta kapasitas mahasiswa dalam gerakan-gerakan
mahasiswa. Kualitas itulah yang menjadi kekuatan bagi mahasiswa untuk
merumuskan visi perjuangan sosialnya dan mengadvokasi kepentingan yang lebih
besar.
Menanggapi argumen-argumen pembicara tersebut,
Sil menyampaikan posisi intelektualnya dan komentar terhadap gagasan-gagasan
pembicara. Tiga tesis kunci disampaikan
Sil. Pertama, pemuda dan mahasiswa
adalah tokoh penggerak utama revolusi di Indonesia. Kedua, gerakan pemuda di Indonesia pada umumnya dan di NTT pada
khususnya belum cukup progresif melawan kapitalisme neoliberal juncto oligarki.
Ketiga, gerakan pemuda mesti
merupakan gerakan ekonomi-politik berbasis perjuangan kelas dengan satu musuh
utama, yaitu
kapitalisme neoliberal juncto oligarki.
Menanggapi Are, Sil berpendapat bahwa gerakan
mahasiswa tidak cukup hanya menjadi gerakan politik saja atau gerakan ekonomi
saja. Menurutnya, gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan ekonomi sekaligus politik.
Gerakan mahasiswa harus menjadi
gerakan ekonomi politik untuk melawan relasi sosial produksi yang tidak adil di
tengah masyarakat.
Sil mengidealkan adanya gerakan mahasiswa yang peka dan sadar
terhadap disparitas atau diferensiasi kelas-kelas sosial dan berdasarkan analisis kelas itulah gerakan
mahasiswa dijalankan, terutama untuk menggalang organisasi-organisasi
kelas-kelas pekerja seperti buruh, nelayan, petani, agar memiliki kekuatan dalam menyampaikan aspirasi
politik mereka maupun memperoleh hak mereka atas faktor-faktor produksi yang
vital, misalnya tanah dan sumber daya agraria.
Mengenai ide-ide Gery, Sil berpendapat, karena
gagasan Gery bertolak dari pandangan moral intelektualnya, tidak heran jika
Gery mengidentifikasi diri sendiri sebagai musuh utama dari seluruh gerakan
mahasiswa. Jika musuh utama gerakan mahasiswa adalah diri sendiri, maka wajar jika solusi paling
jitu untuk masalah tersebut menurut
Gery adalah revolusi mental.
Sil menghubungkan revolusi mental itu dengan visi
pembangunan Presiden Jokowi. Menurut Sil, slogan ini seolah mengembalikan
problem sosial pada mental individu dan mengabaikan relasi sosial produksi yang tidak adil yang mengkondisikan serta
melanggengkan ketimpangan ekonomi politik.
Slogan ini seolah menyederhanakan problem
kemiskinan pada kemalasan individu dan mengabaikan adanya kemiskinan
struktural.
Pendekatan moralis cenderung buta terhadap
fenomena diferensiasi kelas dalam masyarakat dan tidak mampu mengidentifikasi
ketimpangan kelas, yaitu kelas yang menguasai alat-alat produksi dan kelas pekerja yang dieksploitasi tenaga kerjanya dengan upah yang minim.
Sehingga menurut Sil, tidak heran jika
belakangan tersebar isu bagi-bagi kuasa dan kekayaan di kalangan elite-elite politik istana yang
memiliki akses ke penguasa-penguasa modal alias oligarki, seperti yang diilustrasikan dalam
salah satu cover Tempo dalam salah
satu edisinya.
Oleh karena itu, Sil
berpendapat, gerakan pemuda di NTT pada khususnya dan di
Indonesia pada umumnya belum berhasil melawan kapitalisme neoliberal juncto oligarki karena tidak menjadi
gerakan ekonomi politik berbasis perjuangan kelas.
Gerakan mahasiswa atau pemuda
di NTT mesti terlebih dahulu sadar diri perihal posisi kelas sosial mereka:
apakah mereka atau kapitalis atau kelas pekerja?
Berdasarkan kesadaran
kelas itu, gerakan mahasiswa mulai mengorganisasi perlawanan terhadap praktik
kapitalisme di NTT.
Misalnya, gerakan
mahasiswa bisa mulai mengadvokasi dan mengorganisasi para buruh toko di Maumere
yang diperlakukan tidak adil oleh para majikan mereka. Contoh kasusnya adalah
Baba Amung vs Antonius (baca di sini)
dan Baba Goni vs Nus (baca di sini).
Atau gerakan mahasiswa
bisa juga mengadvokasi dan mengorganisasi para buruh tani di sekitar tanah Hak
Guna Usaha (HGU) Nanghale, Maumere, Flores, yang selama ini bersengketa dengan
pemerintah dan institusi Gereja Katolik di Maumere.
Dengan demikian, gerakan
mahasiswa di NTT tidak bergantung pada isu-isu yang dimainkan oleh gerakan
mahasiswa di Jakarta, melainkan mampu membaca isu-isu lokal, terutama isu
mengenai pencaplokan alat-alat produksi oleh instusi Negara maupun agama.
Untuk diketahui, keseluruhan diskusi ini
berjalan dengan baik dan lancar. Meskipun tidak mampu menarik perhatian terlalu
banyak mahasiswa di kampus UNIPA, para peserta diskusi di halaman terbuka itu bertahan
dan terlihat asyik mengikuti alur diskusi.
Ryn Naru selaku ketua panitia diskusi
mengkonfirmasi, diskusi ini mengundang elemen-elemen mahasiswa dari BEM
Mahasiswa tiap fakultas, organisasi-organisasi mahasiswa seperti PMKRI, GMNI,
HMI, komunitas-komunitas kreatif di Maumere, dan dibuka untuk umum.
Acara ini pun dijalankan berkat kerjasama Kemahasiswaan UNIPA, UKM Pers Nipa
Media, Komunitas KAHE, Maumere TV, dan Keiko. (eka)