Di Manggarai, Ada 3 Desa Yang Masih Terkategori Desa Sangat Tertinggal

6

Ruteng, EKORA NTT – Dari 145 desa di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), masih ada 3 desa yang masuk dalam kategori desa sangat tertinggal, dan ada 21 desa yang masih dikategorikan desa tertinggal.

Demikian disampaikan Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Manggarai, Rudi Rudolf B saat ditemui EKORA NTT di ruang kerjanya. Kamis (17/10/2019).

“Selain itu, ada 9 desa yang masih dikategorikan sebagai desa berkembang,” sebut Rudolf.

Ia menyebutkan, 9 desa berkembang itu antara lain; Desa Ranaka, Desa Golo Watu, Desa Lungar, Desa Kentol, Desa Buar, Desa Compang Dari, Desa Bangka Ajang, Desa Liang Bua, dan Desa Bere.

Sementara itu, desa yang dikategorikan desa tertinggal di antaranya, Desa Compang Ndehes, Desa Cumbi, Desa Pong Lale, Desa Papang, Desa Gara, Desa Barang, Desa Bea Mese, Desa Watu Tango, Desa Manong, Desa Wae Mantang, Desa Golo Lanak, Desa Timbu, Desa Lia, Desa Ruang, Desa Mata Wae, Desa Wewo, Desa Langgo, Desa Hilihintir, Desa Satar Luju, Desa Benteng Tubi, dan Desa Bangka Ruang.

“Tiga desa tertinggal antara lain Desa Dimpong, Desa Ling, dan Desa Cireng,” tuturnya.

Untuk diketahui, alokasi dana afirmasi dari pusat ke setiap desa yang terkategori tertinggal sejumlah RP. 363.269.000 (tiga ratus enam puluh tiga juta dua ratus enam puluh sembilan ribu rupiah).

Adeputra Moses

Mengintip Keindahan Bukit Tuamese TTU

Kefamenanu, Ekorantt.com – Bukit Tuamese yang berada di Desa Tuamese, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki panorama alam yang indah. Jika dilihat secara sepintas, Bukit Tuamese mirip dengan Taman Laut Raja Ampat.

Dibutuhkan sekitar dua jam untuk mencapai Bukit Tuamese dari Pusat Kota Kefamenanu. Jika dari Kota Atambua, Kabupaten Belu, perjalanan akan memakan waktu lebih singkat, kira-kira 1 jam.

Di sepanjang perjalanan dari Atambua, anda juga harus berhati-hati dan waspada karena masih banyak hewan peliharaan warga seperti babi, anjing, dan sapi yang bebas berkeliaran melintasi jalanan.

Meski demikian, perjalanan yang mungkin lama dan penuh kewaspadaan tersebut akan terbayar sesudah anda mencapai puncak Bukit Tuamese.

Sampai di puncak Bukit Tuamese, anda akan menikmati panorama alam yang sungguh indah. Hamparan laut, dihiasi bentangan tambak garam, dan hijau pohon-pohon, terutama saat musim hujan tiba. Dari puncak ini, selain pemandangan pepohonan dan tambak garam, pada sisi barat bukit tersebut juga terlihat laut Timor yang seakan menambah kesan bebas dan romantis.

Pendakian menuju puncak bukit Tuamese hanya berjarak 200 meter ke atas bukit. Namun, saat mendaki, kita perlu berhati-hati, karena belum ada infrastruktur yang mempermudah pengunjung naik ke atas puncaknya.

Bukit Tuamese termasuk destinasi yang masih alami. Di lokasi ini belum tersedia infrastruktur yang memadai, seperti tangga-tangga untuk mencapai puncak tersebut dan belum adanya masyarakat yang menjual kuliner untuk dinikmati pengunjung Bukit Tuamese.

Saking indahnya, bukit Tuamese membuat sutradara Ari Sihasale menjadikannya sebagai lokasi pembuatan film dengan bintang muda seperti Pevita Pearce.

Pengunjung dapat menikmati secara gratis pemandangan dari atas  bukit Tuamese. Tempat ini juga sangat cocok untuk keperluan pembuatan foto atau video pre-wedding bagi setiap pasangan

Salah seorang penduduk sekitar bukit Tuamese, Frid Oky saat ditemui di atas puncak bukit Tuamese mengatakan, pengunjung datang dari berbagai kalangan baik itu dari dalam negeri maupun mancanegara. Dia mengatakan, pengunjung terbanyak berasal dari kalangan anak muda yang datang dari Kabupaten TTU maupun kabupaten Belu.

“Biasanya setiap hari ada ratusan pengunjung yang mendatangi tempat ini. Paling banyak dari kalangan anak muda, entah datang dengan pasangannya, maupun sendiri-sendiri. Puncak pengunjung terbanyak terjadi di hari Minggu. Mungkin karena hari Minggu adalah waktu luang bagi yang sibuk,” ujarnya.

Santos

Literasi Meningkatkan Kapasitas Guru

Ruteng, Ekorantt.com – Yayasan Sekolah Umat Katolik Manggarai (YASUKMA) bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) menggelar pelatihan literasi  untuk para guru pada empat Sekolah Dasar Katolik (SDK) di Poco Ranaka dan Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. 

Keempat sekolah tersebut antara lain SDK Lawir di Poco Ranaka Timur dan SDK Menge, SDK Bajar, serta SDK Wesang di Kecamatan Poco Ranaka.

Petrus Santo, Koordinator Wahana Literasi dari Wahana Visi Indonesia Cluster Manggarai Raya mengatakan, kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan  kapasitas guru terkait aksi pengembangan kemampuan anak didik dalam hal membaca dan menulis.

“Selain untuk masalah  calis (baca  dan tulis), kegiatan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kapasitas guru terkait life skill anak usia 6 sampai 11 tahun atau anak-anak usia SD umumnya,” kata Santo di sela-sela kegiatan tersebut di SDK Lawir-Poco Ranaka Timur, Selasa (15/10).

Santo berharap, kegiatan ini akan berdampak pada peningkatan kemampuan para guru di sekolah itu sehingga dengan sendirinya berdampak pada kualitas para peserta didik.

Dalam pelatihan ini, para tutor yang didatangkan dari YASUKMA membekali para guru dengan dua materi utama yaitu Pengetahuan Huruf dan Kesadaran Fonemik.

Sementara itu Elias Palma, Pemateri dari Yasukma menjelaskan, dalam materi Pengetahuan Huruf lebih banyak dijelaskan soal bentuk huruf, nama huruf serta bunyi dari setiap huruf.

“Sedangkan untuk kesadaran fonemik, kita menekankan beberapa hal, misalnya satu kata merupakan perwakilan bunyi dari huruf-huruf. Ketika kita membaca, sebenarnya kita membunyikan huruf-huruf,” paparnya.

“Kami dari Yayasan Sukma, berharap kegiatan seperti ini bisa  meningkatkan mutu sekolah. Selain itu, identitas sekolah katolik harus lebih diperhatikan lagi,” tambahnya.

Sementara itu, Kepala Sekolah SDK Lawir, Maria Noni mengaku, setelah mengikuti pelatihan ini, dia bersama para guru di sekolahnya bisa lebih memahami apa itu literasi. 

Selama ini, kata dia, mereka hanya mengenal secara umum arti literasi dari pelatihan K.13 yang diselenggarakan pemerintah.

“Dengan kegiatan ini kami baru paham literasi itu mengandung banyak hal termasuk pengenalan huruf dan kesadaran fonemik. Di waktu yang akan datang, kami siap menerapkan hal yang kami dapat ke anak-anak kami di sini,” ujarnya.

Ia berharap, dengan pengetahuan baru yang mereka dapatkan melalui pelatihan ini, membuat mereka mampu mengajar dengan lebih baik sehingga para siswa di sekolahnya bisa lebih giat mengikuti proses pembelajaran di kelas.

“Harapan kami, untuk ke depan,  anak-anak kami bisa belajar lebih giat sehingga mereka berguna bagi nusa dan bangsa,” pungkasnya.

Adeputra Moses

KPU Manggarai Tetap Optimis Laksanakan Pilkada Tahun 2020

0

Ruteng, Ekorantt.com  – Kabupaten Manggarai dikabarkan terancam gagal melakukan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020, lantaran belum melakukan penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NHPD), terutama antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Manggarai dengan Pemerintah Daerah terkait anggaran Pilkada 2020.

Menanggapi kabar tersebut, Ricardus Jemmi Pentor, S.H, Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Manggarai menyampaikan, pada dasarnya, proses administratif belum final sehingga belum bisa disimpulkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Manggarai gagal.

“KPU Manggarai tetap optimis bahwa Pilkada tahun 2020 akan tetap dilaksanakan” jelasnya kepada Ekorantt.com saat ditemui di ruang kerjanya. Selasa (15/10/2019).

Ia pun menyampaikan, KPU telah mengusulkan dana anggaran sebanyak 34 miliar sesuai regulasi yang baru. Sementara total yang disiapkan oleh Pemda berjumlah 15,225 milyar. 

Ricardus mengaku, KPU Manggarai sudah menyampaikan informasi tersebut kepada KPU RI melalui KPU Provinsi. Hingga sekarang, KPU Manggarai masih menunggu seperti apa instruksi selanjutnya maupun jalan keluar untuk mengatasi keterbatasan anggaran yang dialami Pemda.

“Pada prinsipnya, kami tetap optimis bahwa Manggarai tetap masuk dalam kabupaten yang melaksanakan Pilkada serentak tahun 2020,” tegas Ricardus.

Dirinya juga berharap, agar KPU tingkat atas bisa berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mencari jalan keluar terhadap persoalan yang terjadi sekarang, sehingga Kabupaten Manggarai bisa mengambil bagian dalam Pilkada serentak tahun 2020 mendatang.

“Jika menggunakan pola 750 TPS maka dana yg disiapkan itu sebanyak 34 miliar. Tetapi Kalau dana yang disiapkan hanya 29 milyar berarti menggunakan pola 700 TPS. Anggaran yang kami ajukan tetap 34 miliar, dan kalau misalnya Pemda hanya menyiapkan 29 milyar, berarti akan menggunakan pola skenario 700 TPS”, tutupnya.

Adeputra Moses

Kementerian Perhubungan Gelar Diklat Pemberdayaan Masyarakat di Maumere

0

Maumere, EKORA NTT – Kementerian Perhubungan menggelar diklat Pemberdayaan Masyarakat di Maumere, Kabupaten Sikka. Diklat tersebut berlangsung di Capa Hotel pada Rabu, 16/10/2019.

“Kegiatan ini bertujuan menyiapkan dan menyediakan manusia perhubungan yang siap digunakan, menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, dan mengatasi kekurangan sumber daya manusia di bidang perhubungan.”

Demikian disampaikan Kepala Dinas Perhubungan Kab Sikka  Wilhelmus Sirilus, S.Sos, M.Si  

ketika mewakili Bupati Sikka menyampaikan sambutan pada pembukaan diklat pemberdayaan masyarakat.

Sirilus menjelaskan, diklat ini merupakan kerja sama Pemerintah Kabupaten Sikka dengan Sekolah Tinggi Transportasi Darat, Kementerian perhubungan RI. 

Berkaitan dengan Pola Pembibitan (Polbit) dan diklat-diklat pengembangan SDM Kabupaten Sikka, dalam T.A 2019, ada kesempatan yang ditawarkan dari balai besar pengelolaan transportasi darat Menpawa Kalimantan Barat, bagi 150 orang tenaga teknis untuk 3 kelas yang terdiri dari diklat juru parkir, diklat pemadam kebakaran, dan diklat keselamatan lalu lintas.

“Hal tersebut merupakan perjuangan pemerintah Kabupaten Sikka melalui Bapak Bupati Sikka di Kementerian Perhubungan,” kata Sirilus mengakui. 

Ia juga menambahkan, melalui diklat maupun melalui Pola Pembibitan (Polbit), T.A 2019, Kabupaten Sikka mendapat kuota 5 orang taruna yang saat ini sedang mengikuti pendidikan di STTD Bekasi.

Diklat Pemberdayaan Masyarakat yang diselenggarakan di Maumere diikuti oleh 50 orang peserta. 25 orang berasal dari sekolah menengah atas, jurusan IPA, otomotif dan nautika.  25 orang lainnya adalah tenaga honor dari Dinas Perhubungan dan masyarakat umum.

(Humas Setda Kab. Sikka)

Bapa Ruben Cerita tentang Koperasi dan The Ma’ruf Amin Way

Maumere, Ekorantt.com – Sore itu, Bapa Ruben tampak segar. Ia baru saja menyelesaikan istirahat siangnya ketika saya datang. Televisi di depannya menyiarkan siaran berita, yang selalu ditukar-tukar dengan sinetron India oleh salah satu cucunya. 

Kami duduk di sofa, di teras rumahnya. Saling menyapa kabar dan bertukar cerita. Tak lama berbasa-basi, obrolan kami berubah serius. 

Sore itu, kami membahas masalah ekonomi. Lebih tepatnya bapa Ruben bercerita kepada saya tentang pengalamannya berkoperasi. Juga soal The Ma’ruf Amin Way, buku tentang visi ekonomi kerakyatan Wakil Presiden Indonesia saat ini. Menurutnya, buku itu sangat inspiratif. Isinya sangat cocok diterapkan di Indonesia, bahkan Maumere. 

Bapa Ruben adalah salah satu pegiat koperasi. Sejak pensiun, ia berinisiatif menjalankan beberapa usaha. Mulai dari kios kecil-kecilan, hingga membantu anak dan istrinya mengembangkan bisnis catering. Menurutnya, usia tidak boleh menghalangi orang menjadi kreatif, termasuk kreatif meningkatkan penghasilan untuk menghidupi masa tua. 

“Saya jadi anggota koperasi sudah lama. 2014, saya daftar lagi jadi anggota Nasari. Berarti sudah lima tahun konsisten menjadi nasabah di koperasi ini.”

Menurut Bapa Ruben, menjadi anggota koperasi itu baik. Koperasi membantu masyarakat menata ekonomi mereka. 

“Saya masuk di Nasari karena pelayanan Nasari bagus dan mereka cukup fokus melayani para pensiunan. Tidak banyak yang mau ambil risiko bermitra dengan orang tua. Padahal bermitra dengan orang tua memberi satu keuntungan lain. Orang tua tidak mungkin sembarang menggunakan uang. Koperasi sangat membantu entah di saat kita membutuhkan, atau ketika kita ingin buka usaha di masa tua. Pelayanan mereka cepat dan tepat guna.”

Ketika ditanya apakah tidak ada hambatan berinvestasi di masa tua, Bapa Ruben dengan enteng menjawab, kalau kita fokus dan menata usaha tanpa neko-neko, disiplin dan tertib dengan urusan keuangan dari usaha yang kita bangun, semuanya pasti berjalan baik. 

Sejauh pengalaman bapa Ruben, ia tidak menemui hambatan yang berarti dalam mengakses maupun mengangsur pinjaman. 

“Kalau telat bayar, itu biasanya bukan karena kita tidak mau bayar, tetapi karena proses bank yang lama, atau kita lupa. Kalau kita telat, biasanya tidak ada sanksi. Malah dengan senang hati mereka sampaikan. Mereka biasanya terima alasan-alasan itu. Bahkan, kalau kita minta pinjam lagi, responsnya begitu cepat.”

Menurutnya, salah satu keuntungan berkoperasi adalah relasi yang dibangun antar anggota, hingga antara anggota dan pengurus terjalin dalam nuansa kekeluargaan. Ada rasa saling percaya di antara para anggota dengan para pengurus. 

“Ada bank atau koperasi yang sulit memberi pinjaman untuk orang tua seperti kami, para pensiunan. Itu mungkin agak keliru. Tapi di beberapa koperasi, misalnya Nasari yang saya ikut jadi anggota ini, mereka memberi kepercayaan kepada para pensiunan untuk berinvestasi. Manfaatnya bagus sekali. Mereka juga bantu mengarahkan kami. Akhirnya kita juga jadi seperti keluarga.”

Untuk konteks yang lebih luas, menurut Bapa Ruben, menata ekonomi melalui koperasi sudah seharusnya dilakukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah. Di Maumere, sebagian besar interaksi ekonomi itu berlangsung di kalangan kelas menengah ke bawah mulai dari pengusaha-pengusaha rumah tangga, nelayan, petani, dan lain-lain. 

Meski demikian, menurutnya, kelompok-kelompok ini tidak punya modal yang besar sehingga selalu kalah saing. Untuk itu, koperasi menjadi wadah yang baik untuk membantu menata ekonomi masyarakat kecil ini. 

Ia teringat pada buku The Ma’ruf Amin Way. Menurutnya buku ini punya visi yang bagus bila diterjemahkan secara nyata dalam hidup sehari-hari.

“Pesan di buku itu bagus sekali. Dia omong soal ekonomi kerakyatan. Bagaimana memberdayakan masyarakat kelas menengah ke bawah yang sulit sekali berkompetisi karena selalu kalah saing dalam hal modal.”

Buku The Ma’ruf Amin Way ditulis oleh Sahala Panggabean dan Anwar Abbas. Buku ini berisi pemikiran ekonomi yang dilontarkan Ma’ruf dalam berbagai kesempatan. Buku ini baru saja diluncurkan pada 3/10/2019.

Menurut buku tersebut perekonomian Indonesia haruslah berlandaskan semangat perekonomian arus bawah.  Ada empat pilar penting yang perlu ditanamkan dan diperhatikan dalam membangun perekonomian arus bawah, antara lain kemitraan, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan serta gerak ekonomi bottom-up.  

Dalam salah satu wawancara bersama Metro TV, Ma’ruf Amin sendiri menjelaskan, prinsip ini diperlukan untuk mengurangi disparitas antar golongan dalam masyarakat, mengusahakan redistribusi aset, menjamin akses masyarakat  ke lahan dan akses sumber-sumber ekonomi untuk rakyat kecil. 

Ketika ditanya, apakah visi ini tidak terlalu muluk, Bapa  Ruben menjawab, “harusnya tidak. Kalau koperasi mau konsisten dan tidak neko-neko pasti bisa terwujud, karena ini sangat sesuai dengan prinsip-prinsip koperasi. Koperasi harus mulai berpikir untuk buka cabang di daerah-daerah terpencil. Berdayakan orang lokal. Jangan pakai orang-orang dari luar. Dan harus fokus pada rakyat, bukan pada kesejahteraan pengurus. Disiplin, jujur dan tidak usah neko-neko.

Beberapa kali Bapa Ruben mengulang kata neko-neko, karena menurutnya banyak koperasi yang akhir-akhir ini sudah lupa asas-asas dan prinsip-prinsip dasarnya.

“Kalau perlu harus ada menteri dari orang koperasi. Karena mereka yang lebih paham ekonomi kerakyatan dan lebih punya pengalaman bekerja dengan masyarakat kecil. Kita orang timur banyak pegiat koperasi. Karena saya anggota Nasari jadi saya setuju kalau ada orang dari manajemen Nasari yang jadi menteri. Top manajemen-nya atau siapa pun.”

Sore itu percakapan kami terhenti. Bapa Ruben harus mengantar anaknya ke sekolah. Ia beranjak dari sofa dan mendorong sepeda motornya, sambil berpesan kepada saya supaya jangan dulu pulang. Ia telah menyiapkan kopi sore spesial. Mudah-mudahan bisa menenangkan pikiran selepas obrolan serius tadi. (eka)

Sudah Berhasilkah Gerakan Mahasiswa di NTT?

0

Maumere, Ekorantt.com – Jumat, 18/10/2019, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Kampus NIPA Media, Universitas Nusa Nipa, Maumere Kabupaten Sikka, menggelar sebuah diskusi bertajuk, Aktivisme Mahasiswa: Merefleksikan Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa.

Diskusi itu didesain secara khusus bagi para mahasiswa dan komunitas-komunitas muda untuk melihat kembali sejarah gerakan mahasiswa, bentuk dan substansi dari gerakan mahasiswa, serta relevansi gerakan mahasiswa dalam situasi sosial politik ekonomi budaya saat ini, di Indonesia secara umum, dan NTT secara khusus. Keseluruhan diskusi ini ditutup dengan satu pertanyaan reflektif, sudah berhasilkah gerakan mahasiswa di NTT?

Diskusi yang berlangsung di halaman depan Gedung Nawacita UNIPA ini menghadirkan dua pembicara utama dan seorang penanggap. Pembicara utama diskusi ini yaitu Dr. Gery Gobang, Dosen Ilmu Komunikasi UNIPA, dan Yohanis de Peskim, jurnalis yang dahulu aktif dalam gerakan mahasiswa.

Sementara itu, tampil sebagai penanggap, Silvano Keo Bhaghi, salah satu redaktur EKORA NTT. Diskusi dimoderasi oleh Karolina Karmadina, mahasiswi ilmu Komunikasi UNIPA, anggota UKM Pers Kampus, NIPA Media.

Yohanis de Peskim, atau yang sering disapa Are, membuka sesi pemaparan materi. Are pertama-tama menyampaikan apresiasinya terhadap UKM Pers Kampus, Nipa Media yang telah berdiri dan memulai aktivitas jurnalistik di kampus tersebut.

Sejauh pengetahuannya, tidak banyak organisasi pers kampus di NTT yang diinisiasi sendiri oleh mahasiswa, hidup, dan konsisten melakukan kerja-kerja jurnalistik.

Are berharap UKM Pers Nipa Media menjadi organisasi mahasiswa yang bisa dijalankan secara konsisten dan memberikan sumbangsih yang besar bagi internal kampus dan gerakan-gerakan ekstra kampus. Selain memberikan apresiasi, Are juga mengkritik beberapa hal terkait diskusi ini.

Menurut Are, diskusi ini idealnya menghadirkan mahasiswa sebagai pembicara utama. Ia menilai, ini menjadi forum yang tepat untuk mendengarkan sharing dan pemikiran dari mahasiswa-mahasiswa yang aktif dalam gerakan mahasiswa. Meski kurang memadai, anjurannya itu lantas diakomodasi oleh moderator dalam sesi sharing mahasiswa.

Dalam materinya, Are tidak banyak menjelaskan sejarah gerakan mahasiswa secara detail. Menurutnya, sejarah gerakan mahasiswa adalah hal mendasar yang mestinya diketahui oleh para aktivis dan penggerak organisasi-organisasi mahasiswa.

Setelah menjelaskan gambaran sangat umum mengenai sejarah pergerakan mahasiswa, Are mengajukan tesis-tesis kuncinya mengenai ideal suatu gerakan mahasiswa.  Pertama, gerakan mahasiswa Indonesia bersifat politis dan bukan moral, anti kolonial dan pro demokrasi.

Kedua, gerakan mahasiswa adalah vanguard atau pandai api bagi gerakan rakyat. Oleh karena itu, mahasiswa harus berorganisasi.

Ketiga, gerakan mahasiswa memerlukan visi jangka panjang dan merumuskan musuh yang tepat. Persatuan nasional adalah jalan keluarnya.

Keempat, metode gerakan harus disesuaikan dengan situasi (kondisi objektif) dan watak mahasiswa (kondisi subjektif).

Are percaya bahwa gerakan mahasiswa masih sangat relevan sampai dengan saat ini. Ia mengidentifikasi beberapa masalah yang kerap menjadi sorotan gerakan mahasiswa, antara lain masalah korupsi dan ekologi, serta isu-isu seputar politik neoliberal.

Meski demikian, sejauh pengamatannya, Are berpendapat, gerakan mahasiswa yang terjadi belakangan tidak berlangsung secara masif seperti dahulu. Selain itu, semangat mahasiswa untuk berorganisasi dan aktif terlibat dalam isu-isu sosial politik begitu lemah.

Mahasiswa baru turun kalau ada isu-isu genting dan viral seperti kasus Cicak vs Buaya, atau dalam konteks lokal, kasus Abdul Somad.

Menurut Are, ada beberapa hambatan yang melatari lemahnya inisiasi gerakan mahasiswa akhir-akhir ini, yakni biaya kuliah, represivitas kampus, dan ketersediaan lapangan kerja. Hal-hal ini membuat mahasiswa cenderung sibuk di kampus agar cepat menyelesaikan kuliah dan mendapatkan pekerjaan.

Selain itu, ia juga menyoroti soal aktivis sosial media yang kerap membuat gelembung ilusi gerakan massa. Menurutnya, aktivisme di dunia maya haruslah terejawantahkan dalam aksi-aksi massa di dunia riil. Hanya dengan itu kekuasaan bisa ditawar.

Berbeda dengan Are yang melihat gerakan mahasiswa sebagai gerakan politik, Gery Gobang melihat gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral intelektual. Karena gerakan mahasiswa adalah gerakan moral intelektual, maka tujuan dari setiap gerakan mahasiswa adalah kebaikan bersama (bonum commune).

Gery menekankan, gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi atau pun gerakan-gerakan mahasiswa yang menentang isu-isu lainnya adalah bentuk solidaritas terhadap kemanusiaan.

Menurut Gery, karena gerakan mahasiswa adalah bentuk solidaritas terhadap kemanusiaan, maka gerakan mahasiswa haruslah memberikan sumbangsih bagi kemajuan peradaban.

Gery menerangkan, keterlibatan mahasiswa dalam isu-isu global di bidang ekonomi, politik, sosial, hukum budaya pada dasarnya adalah suatu keharusan. Kampus bukanlah sebuah menara gading tempat mahasiswa tinggal, belajar, dan menemukan gagasan dan ide, melainkan dari sana, harus lahir berbagai kepekaan terhadap situasi-situasi sosial kemasyarakatan.

Gery mengidealkan adanya sinkronisasi antara konsep dan teori yang dipelajari dan ditemukan di ruang kelas dengan praktik-praktik empiris di lapangan, termasuk dalam menyusun gerakan-gerakan mahasiswa. 

Menurutnya, ide harus mampu membumi dan kontekstual, sesuai dengan kondisi masyarakat serta situasi yang sedang berkembang.

Satu catatan penting yang juga dilontarkan Gery adalah kemampuan mahasiswa mengkaji dan menganalisis masalah dalam setiap aksi-aksi gerakan mahasiswa.

Menurut Gery, terlebih dahulu harus ada kajian dan analisis mendasar terhadap persoalan-persoalan yang diangkat mahasiswa, sehingga mahasiswa tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan prinsip kebaikan bersama.

Gery pun menentang gerakan-gerakan mahasiswa yang berujung anarkis. Menurutnya, aksi-aksi anarkis bertentangan dengan prinsip kebaikan bersama. Mahasiswa perlu memikirkan cara-cara yang elegan untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat mereka.

Gery percaya bahwa gerakan mahasiswa haruslah tertuju pada persatuan dan kesatuan masyarakat baik dalam konteks lokal maupun dalam konteks kebangsaan Indonesia.

Dalam sesi sharing mahasiswa, moderator memberikan kesempatan kepada beberapa wakil dari organisasi mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa untuk menyampaikan pendapat.

Mario Fernandes, Ketua PMKRI Maumere yang berkesempatan menyampaikan sharing  mengapresiasi diskusi yang diinisiasi oleh UKM Pers Nipa Media.

Meski demikian, ia secara tegas mengkritik iklim kampus UNIPA yang dari waktu ke waktu sangat lemah menampilkan ciri akademis, ilmiah, dan kritis.

Menurut Mario, UNIPA mestinya membangun suatu sistem pendidikan baik formal maupun informal yang mendukung tumbuhnya iklim diskusi, menyampaikan pendapat secara kritis, dan ilmiah.

Ia menilai, tidak banyaknya peserta dalam diskusi yang dibuat di halaman terbuka seperti yang sedang terjadi menunjukkan adanya mentalitas yang lemah di kalangan mahasiswa berhadapan dengan isu-isu akademis dan ilmiah.

Setelah sesi sharing, Silvano Keo Bhaghi yang tampil sebagai pengamat menyampaikan beberapa kritik dan pandangan intelektualnya terhadap gagasan-gagasan yang disampaikan oleh para pembicara.

Tiga pertanyaan umum disampaikan Sil antara lain, apakah musuh bersama dari gerakan mahasiswa? Apakah gerakan mahasiswa sudah berhasil melawan musuh bersama tersebut? Apa yang harus dilakukan agar musuh bersama itu bisa dilawan?

Terhadap pertanyaan Sil, Are menegaskan posisinya. Menurut Are, musuh bersama dari gerakan mahasiswa adalah kapitalisme yang menggurita di Indonesia. Kapitalisme di Indonesia menurut Are nyata dalam diri para oligark dan penguasa kerah putih yang korup. Menurutnya, ada interaksi antara kekuasaan yang bersifat politik dan kekuasaan ekonomi.

Meski demikian, Are menyadari beberapa kelemahan yang menjadi karakteristik gerakan mahasiswa. Menurutnya, gerakan mahasiswa memiliki jangka waktu tertentu dan cenderung singkat. Oleh karena itu, analisis internal dan analisis kontekstual dari gerakan mahasiswa perlu dipertimbangkan secara matang.

Are berpendapat, sudah saatnya gerakan mahasiswa kembali ke jalan historisnya, yakni berjuang bersama rakyat. Ini telah dilakukan di masa kolonialisme dan otoritarian Orde Baru. Tujuannya adalah agar mahasiswa bisa memahami situasi rakyat dan melibatkan rakyat berjuang bersama.

Sudah saatnya mahasiswa belajar, bersatu, dan berjuang bersama rakyat. Bentuknya bukanlah advokasi kasus per kasus melainkan membangun platform perjuangan jangka panjang.

Selain itu, perlu membangun persatuan multisektor baik dengan kelas menengah (akademisi, NGO, praktisi hukum) atau pun dengan akar rumput atau kelompok tertindas (buruh, petani, nelayan dan kaum lumpen perkotaan).

Dari kampus, harus turun ke kampung.

Berbeda dengan Are, Gery melihat musuh utama dari gerakan mahasiswa adalah diri sendiri. Meskipun seluruh gerakan mahasiswa memiliki tujuan eksternal, yaitu kebaikan bersama dan persatuan nasional, Gery, yang berpegang pada gagasan moral intelektualnya, percaya bahwa revolusi terbesar yang perlu dilakukan adalah revolusi mental.

Menurutnya, mahasiswa perlu membangun inisiatif untuk mengembangkan kemampuan diri melalui membaca, diskusi, dan berorganisasi. Semua itu harus memperkuat karakter mahasiswa, yaitu kemampuan berpikir kritis, kemampuan untuk disiplin, tekun, dan bekerja keras.

Gery berpendapat, gerakan mahasiswa cenderung sulit ditujukan pada visi-visi yang sifatnya ekonomi, atau politik, sebab gerakan mahasiswa tidak memiliki instrumen yang cukup kuat dan bertahan lama untuk mencapai tujuan tersebut. Gery lebih mempertimbangkan sisi peningkatan dan pengembangan kualitas serta kapasitas mahasiswa dalam gerakan-gerakan mahasiswa. Kualitas itulah yang menjadi kekuatan bagi mahasiswa untuk merumuskan visi perjuangan sosialnya dan mengadvokasi kepentingan yang lebih besar.

Menanggapi argumen-argumen pembicara tersebut, Sil menyampaikan posisi intelektualnya dan komentar terhadap gagasan-gagasan pembicara.  Tiga tesis kunci disampaikan Sil. Pertama, pemuda dan mahasiswa adalah tokoh penggerak utama revolusi di Indonesia. Kedua, gerakan pemuda di Indonesia pada umumnya dan di NTT pada khususnya belum cukup progresif melawan kapitalisme neoliberal juncto oligarki. Ketiga, gerakan pemuda mesti merupakan gerakan ekonomi-politik berbasis perjuangan kelas dengan satu musuh utama, yaitu kapitalisme neoliberal juncto oligarki.

Menanggapi Are, Sil berpendapat bahwa gerakan mahasiswa tidak cukup hanya menjadi gerakan politik saja atau gerakan ekonomi saja. Menurutnya, gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan ekonomi sekaligus politik. Gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan ekonomi politik untuk melawan relasi sosial produksi yang tidak adil di tengah masyarakat.

Sil mengidealkan adanya gerakan mahasiswa yang peka dan sadar terhadap disparitas atau diferensiasi kelas-kelas sosial dan berdasarkan analisis kelas itulah gerakan mahasiswa dijalankan, terutama untuk menggalang organisasi-organisasi kelas-kelas pekerja seperti buruh, nelayan, petani, agar memiliki kekuatan dalam menyampaikan aspirasi politik mereka maupun memperoleh hak mereka atas faktor-faktor produksi yang vital, misalnya tanah dan sumber daya agraria.

Mengenai ide-ide Gery, Sil berpendapat, karena gagasan Gery bertolak dari pandangan moral intelektualnya, tidak heran jika Gery mengidentifikasi diri sendiri sebagai musuh utama dari seluruh gerakan mahasiswa. Jika musuh utama gerakan mahasiswa adalah diri sendiri, maka wajar jika solusi paling jitu untuk masalah tersebut menurut Gery adalah revolusi mental.

Sil menghubungkan revolusi mental itu dengan visi pembangunan Presiden Jokowi. Menurut Sil, slogan ini seolah mengembalikan problem sosial pada mental individu dan mengabaikan relasi sosial produksi yang tidak adil yang mengkondisikan serta melanggengkan ketimpangan ekonomi politik.

Slogan ini seolah menyederhanakan problem kemiskinan pada kemalasan individu dan mengabaikan adanya kemiskinan struktural.

Pendekatan moralis cenderung buta terhadap fenomena diferensiasi kelas dalam masyarakat dan tidak mampu mengidentifikasi ketimpangan kelas, yaitu kelas yang menguasai alat-alat produksi dan kelas pekerja yang dieksploitasi tenaga kerjanya dengan upah yang minim.

Sehingga menurut Sil, tidak heran jika belakangan tersebar isu bagi-bagi kuasa dan kekayaan di kalangan elite-elite politik istana yang memiliki akses ke penguasa-penguasa modal alias oligarki, seperti yang diilustrasikan dalam salah satu cover Tempo dalam salah satu edisinya.

Oleh karena itu, Sil berpendapat, gerakan pemuda di NTT pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya belum berhasil melawan kapitalisme neoliberal juncto oligarki karena tidak menjadi gerakan ekonomi politik berbasis perjuangan kelas.

Gerakan mahasiswa atau pemuda di NTT mesti terlebih dahulu sadar diri perihal posisi kelas sosial mereka: apakah mereka atau kapitalis atau kelas pekerja?

Berdasarkan kesadaran kelas itu, gerakan mahasiswa mulai mengorganisasi perlawanan terhadap praktik kapitalisme di NTT.

Misalnya, gerakan mahasiswa bisa mulai mengadvokasi dan mengorganisasi para buruh toko di Maumere yang diperlakukan tidak adil oleh para majikan mereka. Contoh kasusnya adalah Baba Amung vs Antonius (baca di sini) dan Baba Goni vs Nus (baca di sini).

Atau gerakan mahasiswa bisa juga mengadvokasi dan mengorganisasi para buruh tani di sekitar tanah Hak Guna Usaha (HGU) Nanghale, Maumere, Flores, yang selama ini bersengketa dengan pemerintah dan institusi Gereja Katolik di Maumere.

Dengan demikian, gerakan mahasiswa di NTT tidak bergantung pada isu-isu yang dimainkan oleh gerakan mahasiswa di Jakarta, melainkan mampu membaca isu-isu lokal, terutama isu mengenai pencaplokan alat-alat produksi oleh instusi Negara maupun agama.

Untuk diketahui, keseluruhan diskusi ini berjalan dengan baik dan lancar. Meskipun tidak mampu menarik perhatian terlalu banyak mahasiswa di kampus UNIPA, para peserta diskusi di halaman terbuka itu bertahan dan terlihat asyik mengikuti alur diskusi.

Ryn Naru selaku ketua panitia diskusi mengkonfirmasi, diskusi ini mengundang elemen-elemen mahasiswa dari BEM Mahasiswa tiap fakultas, organisasi-organisasi mahasiswa seperti PMKRI, GMNI, HMI, komunitas-komunitas kreatif di Maumere, dan dibuka untuk umum.

Acara ini pun dijalankan berkat kerjasama Kemahasiswaan UNIPA, UKM Pers Nipa Media, Komunitas KAHE, Maumere TV, dan Keiko. (eka)

Mengapa Tidak Perlu Minta Maaf?: Kasus Gugatan Perdata Pimpinan Obor Mas vs Wartawan di Maumere

0

Jurnalis Lintasnusanews.com Karel Pandu menolak minta maaf terkait kasus gugatan General Manajer (GM) Koperasi Kredit (Kopdit) Obor Mas Ferdiyanto Moat Lering terhadap dirinya.

Alasan dia adalah dia tidak merasa melakukan suatu kesalahan apa pun terkait berita bertajuk “Mantan Pengawas Ungkap Dugaan Kebohongan GM Kopdit Obor Mas” yang ditulisnya di media Lintasnusanews.com pada tanggal 9 Juli 2019 lalu.

Dia mengklaim sudah menempuh proses jurnalistik secara profesional.

Jika dia tak lakukan kesalahan menurut tata kerja jurnalistik, atas dasar apa dia minta maaf? Demikian kira-kira argumen Karel si jurnalis senior.

Dengan demikian, sidang kasus gugatan Rp18 M terhadap wartawan di Pengadilan Negeri Maumere ini dipastikan bakal terus berlanjut.

Ferdiyanto sendiri menegaskan, karena Karel Pandu tidak mau minta maaf – walaupun sebagai manusia ia telah membuka pintu maaf lebar-lebar – maka gugatan akan terus dilanjutkan.

Aliansi Wartawan Sikka (AWAS) melalui juru bicara Vicky da Gomez lebih jauh menandaskan, pertama, Ferdiyanto sebaiknya menggunakan hak jawab alih-alih melakukan gugatan via pengadilan dan kedua, mengimbau hakim menolak gugatan penggugat.

AWAS berargumen, jurnalis bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Kami berpendapat, Karel Pandu tidak perlu minta maaf dengan argumen sebagai berikut.

Pertama, secara filosofis, keadilan harus diperjuangkan sampai titik darah yang penghabisan. Keadilan bukanlah hadiah cuma-cuma dari Negara atau masyarakat atau Tuhan, melainkan anugerah bagi dia yang setia pada azas dan gigih memperjuangkannya.

Pramoedya Ananta Toer menulis begini, “jangan kau kira bisa membela sesuatu, apalagi keadilan, kalau tak acuh terhadap azas, biar sekecil-kecilnya pun… biar kau kaya bagaimana pun, kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian milikmu, sekalipun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan. Apalagi pencurian terhadap kebebasan… barangsiapa tidak tahu bersetia pada azas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati” (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, 1981: 3).

Ferdiyanto, Karel, Antonius, Ambrosius pada khususnya dan anggota Kopdit Obor Mas serta publik pada umumnya punya ruang yang sama untuk memperjuangkan keadilan.

Kedua, secara legal-formal, Negara bertugas memenuhi (to fulfil), melindungi (to protect), dan menghargai (to respect) kerja-kerja jurnalistik melalui instrumen UU tentang Pers. Roh dari UU Pers adalah memenuhi, melindungi, dan menghargai kebebasan pers.

Kebebasan pers itu sedemikian pentingnya bagi proses demokratisasi suatu bangsa dan Negara modern sehingga UU Pers dikelompokkan sebagai undang-undang khusus atau lex specialis. Di sini berlaku dalih, lex specialis derogat legi generalis atau hukum khusus mengesampingkan hukum umum.

Menurut perspektif ini, Ferdiyanto bisa gunakan hak jawab dan hak koreksi berdasarkan Pasal 1 UU Pers. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Sementara itu, hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Menurut Pasal 5, Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi sebagaimana dimaksud di atas.

Akan tetapi, ketiga, agar kebebasan pers tidak menjadi sebebas-bebasnya, maka secara legal-formal, kerja-kerja jurnalistik diawasi secara internal melalui mekanisme kode etik jurnalistik (KEJ). Inilah ukuran moralitas untuk menilai baik buruknya kinerja seorang jurnalis melalui wadah Dewan Pers.

Menurut perspektif ini, Ferdiyanto seharusnya mengadukan Karel ke Dewan Pers, alih-alih menggugatnya di pengadilan.

Apalagi sudah ada Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Koordinasi dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Kemerdekaan Pers pada tahun 2012 lalu.

Maksud dan tujuan Nota Kesepahaman ini adalah “untuk koordinasi demi terwujudnya Penegakan Hukum dan Perlindungan Kemerdekaan Pers yang berimbang, akurat, tidak beritikad buruk, dan menghormati supremasi hukum.”

Salah satu pasal Nota Kesepahaman ini menegaskan, “apabila ada dugaan terjadinya tindak pidana di bidang pers (Delik Pers) proses penyidikannya berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.”

Keempat, dari perspektif ekonomi politik, publik tak bisa menutup mata akan adanya permainan relasi kuasa dalam kasus gugatan ini.

Di satu sisi, sebagai pimpinan salah satu koperasi terbesar di Flores, Ferdiyanto memiliki kuasa kapital yang jauh lebih besar dari pada Karel.

Sementara itu, di sisi lain, Karel punya kuasa media untuk mempengaruhi opini publik.

Pertarungan relasi kuasa antara kuasa kapital vis a vis kuasa media dalam kasus ini jauh-jauh lebih menarik untuk disaksikan publik ke depan.

Itulah mengapa Karel tak perlu minta maaf.

Wartawan Tolak Minta Maaf: Kasus Gugatan GM Kopdit Obor Mas terhadap Wartawan di Maumere

0

Maumere, Ekorantt.com – Jurnalis Lintasnusanews.com Karel Pandu menolak minta maaf terkait kasus gugatan General Manajer (GM) Koperasi Kredit (Kopdit) Obor Mas Ferdiyanto Moat Lering terhadap dirinya. Sidang kasus gugatan Rp18 M terhadap wartawan di Pengadilan Negeri Maumere bakal terus berlanjut.

Seperti diberitakan sebelumnya, gugatan dilayangkan GM Kopdit Obor Mas Ferdiyanto sehubungan dengan berita berjudul “Mantan Pengawas Ungkap Dugaan Kebohongan GM Kopdit Obor Mas” yang ditulis Jurnalis Karel Pandu di media Lintasnusanews.com pada tanggal 9 Juli 2019.

Karena Karel Pandu selaku Tergugat 2 menolak minta maaf, maka upaya mediasi antara penggugat dan tergugat 2 gagal dilaksanakan.

Pantauan Ekora NTT, sidang lanjutan dengan agenda mediasi yang digelar di lantai dua Pengadilan Negeri Maumere, Kamis (3/10) sekitar pukul 10.00 WITA berlangsung singkat dan tertutup.

Sidang mediasi dipimpin oleh Hakim Mediator Dodi Efrizon, S.H.

Sidang dihadiri oleh Penggugat Ferdiyanto M. Lering bersama kuasa hukumnya, Tergugat 1 Antonius Gesa Kedang, dan Tergugat 2 Karel Pandu bersama kuasa hukum mereka.

Sikap Penggugat

Usai sidang mediasi, Ferdiyanto Lering kepada awak media yang mewawancarainya mengatakan, dalam sidang, hakim mediator menanyakan sikapnya selaku penggugat.  

“Saya katakan, saya menggugat Karel Pandu karena pemberitaan di media Lintasnews.com menyerang pribadi saya, bukan lembaga,” ungkap Yanto.

Menurut Yanto, demikian ia biasa disapa, terdapat tiga (3) hal yang ditulis Karel Pandu.

“Pertama, dia mengatakan saya mengelola Kopdit Obor Mas dengan manajemen yang sangat buruk. Kedua, ia mengatakan saya mengendalikan pengurus. Ketiga, Pak Anton sebagai tergugat 1 mengundurkan diri karena manajemen Kopdit Obor Mas yang buruk,” kata Yanto.

Dengan demikian, menurut Yanto, pemberitaan itu menyerang pribadinya.

Oleh karena itu, dia tidak mau menggunakan hak jawab, tetapi langsung menggugat bersangkutan ke pengadilan.

“Karena menyerang pribadi saya, ini harus dibuktikan oleh tergugat 2 di pengadilan, sehingga saya tidak mau menggunakan hak jawab,“ kata Yanto.

Menurut Yanto, dalam sidang mediasi, Tergugat 1 Anton Gesa Kedang sudah meminta maaf dan mengakui kesalahan.

Akan tetapi, Tergugat 2 Karel Pandu menolak meminta maaf karena beralasan sedang menjalankan peran pers.

“Selama kita ada niat baik untuk saling memaafkan, sebagai manusia saya maafkan. Tadi, hanya tergugat 1 yang minta maaf. Kita berdamai, sehingga gugatan tidak dilanjutkan. Tetapi, tergugat 2 tidak mau minta maaf, sehingga gugatan tetap dilanjutkan,” kata Yanto.

Tolak Minta Maaf

Jurnalis Karel Pandu, yang diwawancarai awak media usai sidang, mengatakan, dalam konteks penulisan berita, dia tidak menyerang pribadi Yanto.

Dia beragumen bahwa dia menulis tentang kelembagaan yang berkaitan dengan pembangunan perumahan di Tana Duen.

Menurut Karel, dalam sidang mediasi, penggugat meminta berdamai dengannya.

Akan tetapi, dia menolak berdamai.

Sebab, demikian Karel, kalau dia meminta maaf, maka dia telah melakukan kesalahan dalam karya jurnalistik.

“Tadi, dalam sidang itu, penggugat meminta saya sampaikan permintaan maaf. Nah, itu jelas tidak mungkin. Saya melakukan satu kesalahan besar apa sehingga saya harus meminta maaf?” tanya jurnalis senior ini retoris.

AWAS Dukung Tolak Gugatan Penggugat

Sementara itu, Sekretaris Aliansi Wartawan Sikka (AWAS) Vicky Da Gomes mengatakan, wartawan menjalankan kerja-kerja jurnalistik sesuai dengan Undang-Undang (UU) tentang Pers.

Jadi, apa pun hasil penulisan wartawan, selalu ada ruang untuk melakukan hak jawab.

“Saya kira, Kopdit Obor Mas harus memanfaatkan ruang itu. Pak Yanto harus memanfaatkan ruang itu, sehingga seluruh tulisan bisa diletakkan dan dihadirkan secara baik dan benar, tidak langsung ke pengadilan,” terang Vicky.

Dalam kapasitasnya sebagai Sekretaris AWAS, Vicky minta hakim yang menangani perkara ini untuk menolak gugatan penggugat.

Sebab, gugatan itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam UU tentang Pers.

UU Pers dan Jurnalisme Positif

Dosen Ilmu Komunikasi UNIPA Maumere Rini Kartini saat dimintai komentarnya pada Selasa (8/10) berpendapat, berdasarkan pembacaannya tentang kasus ini di berbagai media massa, kasus gugatan tersebut di atas berkaitan dengan produk jurnalistik.

Oleh karena itu, penyelesaiannya mesti dilakukan berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pekerja media ini mewanti, jangan sampai kritikan-kritikan jurnalis dalam pemberitaan yang berisi kritik sosial mengirimkan dia ke balik jeruji besi.

Menurut dia, dalam kasus yang berkaitan dengan karya-karya jurnalistik, harus diadukan ke Dewan Pers.

“Maka dari itu, saya mengingatkan para hakim untuk mengedepankan UU Pers,” katanya.

Walau pun demikian, Rini Kartini menegaskan, dalam pemberitaan, para jurnalis tetap harus mengedepankan asas praduga tak bersalah.

Menurut dia, semua pemberitaan yang berpotensi konflik minimal harus melakukan liputan cover all sides.

Dengan demikian, kerja-kerja jurnalistik dapat menghasilkan jurnalisme positif.

“Dalam proses kerja mencari informasi dari narasumber, tak jarang narasumber menghindar, berkelit, atau bahkan menghilang. Ya, itu hak narasumber, tetapi wartawan perlu menuliskan usaha dia untuk menghubungi narasumber. Jika tak disampaikan, maka berdampak pada produk jurnalistik,” katanya.

Digugat Rp18 M

Diberitakan sebelumnya, General Manager (GM) Koperasi Kredit (Kopdit) Obor Mas Leonardus Ferdiyanto Moat Lering mengajukan gugatan perdata kepada narasumber, wartawan, dan pemimpin redaksi (Pemred) media online di Maumere.

Media online tersebut adalah Lintasnusanews.com.

Sidang gugatan perdata dilangsungkan di Pengadilan Negeri (PN) Maumere, Flores, Rabu, (18/9/2019).

Para narasumber, wartawan, dan pemimpin redaksi yang digugat, yaitu Antonius Gesa Kedang selaku Tergugat I, Karel Pandu alias Iqbal selaku Tergugat II, dan Ambrosius Boli Brani selaku Tergugat III.

Antonius Gesa Kedang digugat dalam kapasitasnya sebagai narasumber, sedangkan Karel Pandu dan Ambrosius Boli Brani digugat dalam kapasitas mereka masing-masing sebagai Wartawan dan Pemimpin Redaksi lintasnusanews.com.

Penggugat menuntut para tergugat mengganti kerugian akibat pemberitaan mereka tentang proyek mangkrak pembangunan 100 unit rumah di atas lahan 6 hektar.

Pembangunan perumahan milik Kopdit Obor Mas itu menelan anggaran senilai Rp13 M.

Kerugian yang diakibatkan oleh pemberitaan tersebut diperkirakan mencapai Rp18 M.

Leonardus Ferdiyanto Moat Lering pun menggugat para tergugat di Pengadilan Negeri Maumere dengan nilai gugatan mencapai Rp18 M.

Dalam waktu dekat ini, tergugat akan mengajukan eksepsi, yaitu pembelaan, bantahan, atau tangkisan yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. (yop/sil)

Buang Dekopin dari RUU Perkoperasian!

Maumere, Ekorantt.com – Emosi publik sangat terkuras dalam beberapa pekan terakhir. Publik berang. Marah. Hal itu terlihat dengan turunnya massa mahasiswa ke jalanan. Mereka melakukan aksi demonstrasi. Hal itu terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

Bagaimana tidak, wakil rakyat di senayan sana sangat ngotot untuk menerbitkan beberapa RUU di akhir jabatannya. UU KPK terlanjur disahkan. Beberapa produk UU lainnya masih sebatas rancangan.

Jauh-jauh hari sebelumnya, salah satu RUU yang rencananya akan disahkan adalah RUU Perkoperasian. Lantas RUU ini menimbulkan penolakan dari aktivis dan pegiat koperasi di Indonesia.

Gelombang penolakan disampaikan lewat surat pernyataan sikap, pernyataan di media dan sempat mencuat dalam aksi demo mahasiswa. Bersama RUU yang lain, pengesahan RUU Perkoperasian ditunda.

Kira-kira mengapa RUU Perkoperasian ditolak? Bagaimana nasib RUU Perkoperasian ke depan?

***

30 September 2019 lalu. Rapat paripurna terakhir wakil rakyat periode 2014-2019 di senayan memutuskan untuk menunda pengesahan beberapa RUU kontroversial. Termasuk di dalamnya adalah Revisi Undang-Undang Perkoperasian.

Jika ditelusuri ke belakang, rencana usulan RUU Perkoperasian sudah dimulai sejak tahun 2000. Semula, usulan datang dari masyarakat yang kemudian dijadikan inisiatif pemerintah. Pembahasan pun berlangsung pada tahun-tahun berikutnya.

Setelah menghabiskan duit Negara miliaran rupiah dan melewati waktu 12 tahun, DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.

Tak lama berselang, Undang-Undang ini ditolak oleh berbagai kelompok masyarakat, termasuk aktivis dan pegiat koperasi. Mereka kemudian menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan mereka tidak sia-sia. Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian sepenuhnya pada 28 Mei 2014. Konsekuensinya, Undang-Undang ini tidak berlaku dan menguap begitu saja bersama waktu dan uang yang mendanai penyusunannya.

Para hakim konstitusi berargumen bahwa UU ini bertentangan dengan UUD 1945. UU ini melenceng dari asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi dalam koperasi.

Menurut Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto, keputusan para hakim konstitusi sejalan dengan pikiran aktivis koperasi yang memahami koperasi sebagai kumpulan orang-orang (people-based association). Hal ini bertolak belakang dengan UU Nomor 17 Tahun 2012 yang melihat koperasi sebagai kumpulan berbasis modal (capital-based association). Hal ini tidak bedanya dengan perusahaan swasta berwatak kapitalis.

“UU No. 17 Tahun 2012 waktu itu sebetulnya hanya kontinum dari UU No. 25 Tahun 1992 yang tempatkan koperasi sebagai badan hukum semata dan juga banyak diintervensi dan langgar prinsip demokrasi koperasi. Seperti pencantuman Dekopin sebagai wadah tunggal hingga banyak berpotensi merugikan masyarakat koperasi. Itu kenapa akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ungkap Suroto.

Selanjutnya, RUU Perkoperasian masuk dalam Amanat Presiden (Ampres) empat tahun lalu, tepatnya 26 November 2016. Sejak saat itu pemerintah bekerjasama dengan DPR, khususnya Komisi VI DPR untuk menyusun RUU Perkoperasian yang baru.

Di bawah nahkoda Inas Nasrullah (Fraksi Hanura) selaku Ketua Panja RUU Perkoperasian, pemerintah dan DPR mulai bekerja. Setelah melalui proses yang panjang, kedua pihak ini sepakat untuk melanjutkan pembahasaan RUU Perkoperasi ke paripurna untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Rencananya, RUU Perkoperasian disetujui menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna sebelum periode DPR RI 2014-2019 berakhir.

Setelah ditunda pengesahannya oleh DPR RI pada rapat paripurna 30 September lalu, agenda pembahasan RUU Perkoperasian dimasukan atau dilimpahkan (Carry Over) dalam agenda pembahasan oleh anggota DPR RI periode 2019-2024.

‘Tendang Dekopin’

Foto: Detik.com

Penundaan pembahasan RUU Perkoperasian di sidang paripurna merupakan buntut dari penolakan berbagai kelompok masyarakat. Masyarakat, aktivis koperasi dan mahasiswa tak sepakat kalau RUU Perkoperasian disahkan menjadi Undang-Undang.

Mereka tidak hanya asbun alias asal bunyi. Sejumlah argumen mendasari penolakan ini.

Mikael, Perwakilan dari Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa (PUSKHAT) menolak RUU Perkoperasian. Kalau DPR tetap berkukuh untuk mengesahkan RUU ini, pihaknya akan meminta pemerintah untuk membatalkannya.

Menurutnya, RUU ini tidak mencerminkan kebutuhan dan kepentingan anggota koperasi. Yang terjadi malah pihak tertentu dengan kepentingan politik tertentu pula diuntungkan dengan disahkannya RUU ini. 

Penolakan Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa (PUSKHAT) tersaripatikan dalam tiga poin berikut:

Pertama, koperasi adalah kumpulan orang-orang (anggota) yang saling percaya untuk mengembangkan usaha. Jadi, bukan kumpulan para pemangku kepentingan apalagi kepentingan politik.

Kedua, syarat pembentukan koperasi dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 ditegaskan bahwa sahnya koperasi dibentuk apabila sedikitnya oleh 20 orang. Sementara di RUU yang sekarang boleh didirikan oleh 9 orang.

Ketiga, pihaknya mempertanyakan mengapa peran Dekopin sangat dominan di Rancangan Undang-Undang ini.

“Padahal selama ini peran Dekopin di daerah tidak ada dalam mengembangkan koperasi. Yang lain adalah masalah perpajakan yang dari dulu kami menuntut bahwa pajak untuk koperasi dipertimbangkan tetapi kenyataannya tidaklah demikian,” tambah Mikael.

Penolakan juga datang dari Induk Koperasi Indonesia (Inkopdit). RUU Perkoperasian, menurut Inkopdit, dinilai tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang  Dasar (UUD) 1945 dan jati diri koperasi itu sendiri.

“Bahwa, terdapat pasal-pasal dalam RUU Perkoperasian yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 28 dan 33 (1) UUD 1945 dan juga kurang mencerminkan dukungan terhadap kemandirian, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip koperasi, demokrasi ekonomi yang menjadi esensi koperasi sejati di Indonesia,” demikian tertulis dalam pernyataan sikap Inkopdit tertanggal 24 Agustus lalu.

Amrul Hakim selaku Sekertaris Umum Koperasi Trisakti Bhakti Pertiwi menegaskan, koperasi selalu ditempatkan sebagai lembaga yang inferior dengan diposisikan sebagai badan hukum kelas dua.

“Padahal, koperasi adalah salah satu pilihan badan hukum yang diakui oleh Negara selain Perseroan, Yayasan dan Perkumpulan,” kata Amrul dalam rilis yang diterima Ekora NTT.

Menurut Amrul, adalah langkah mundur manakala Dekopin dijadikan sebagai wadah tunggal gerakan koperasi. Dan celakanya aturan ini dimuat dalam RUU Perkoperasian Indonesia.

“Artinya RUU Perkoperasian ini sudah melanggar konstitusi kita, mengangkangi Undang-Undang Dasar yang melindungi setiap warga negara untuk berkumpul dan berserikat,” tegas Amrul.

Tidak hanya menjadi wadah tunggal, Dekopin juga diberi uang saku yang sangat mewah. Dekopin mendapat iuran dari setiap koperasi yang ada di Indonesia plus mendapat sokongan dari APBN.

“Pasal dalam RUU Perkoperasian ini menyebut bahwa koperasi wajib membayar iuran untuk Dekopin (pasal 82 huruf h dan pasal 132) ditambah Negara melalui pemerintah mesti mengalokasikan APBN dan APBD (pasal 133) untuk Dekopin,” beber Amrul. 

Praktik-praktik organisasi semacam ini, lanjut Amrul, akan mengancam kemandirian dan keberlanjutan gerakan koperasi di Indonesia.

“Mestinya gerakan koperasi dibangun mandiri oleh koperasi, bukan dijadikan lembaga peminta minta APBN dan pemalak koperasi dengan Iuran wajib ke Dekopin,” pungkas Amrul.

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) menyimpulkan bahwa banyak anggota masyarakat yang tidak menyetujui berbagai poin pasal substansial seperti misalnya keberadaan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai wadah tunggal, pemaksaan iuran untuk Dekopin bagi semua koperasi, penggunaan dana APBN/APBD untuk koperasi, pengkerdilan koperasi karena dianggap sebagai badan hukum kelas dua, hanya jadikan tempat penyaluran kredit perbankkan, dan birokratisasi bagi kelembagaan koperasi dan lain sebagainya.

Suroto mendesak agar Dekopin dibuang saja dari RUU Perkoperasian. Baginya, ada intervensi kepentingan elit yang menyusup-masuk dalam wadah yang dipimpin oleh Politisi Golkar, Nurdin Halid itu.

“Lagipula, tidak ada dalam sejarah kita untuk memasukkan Dekopin dalam Undang-Undang Perkoperasian,” tegas Suroto.

Setelah Tunda Pengesahan?

Aktivis koperasi dari Kopkun Group menolak pengesahan RUU Perkoperasian (Foto: suaramerdeka.com)

Untuk diketahui, RUU Perkoperasian ditunda dan pembahasannya akan dilimpahkan ke anggota DPR yang baru. Oleh karena itu, bagi Suroto, perlu perhatikan serius masalah krusial dalam RUU Perkoperasian seperti jaminan otonomi dan kemandirian koperasi, hak berdemokrasi, ancaman berbagai upaya pengkerdilan terhadap koperasi.

“Kelompok masyarakat sipil dan gerakan koperasi harus tetap waspada karena ada beberapa kelompok tertentu yang coba terus paksakan kehendaknya agar mereka mendapat fasilitas dan keuntungan bagi kelompoknya melalui undang-undang,” kata Suroto.

“Mereka itu sangat sistematis dan terstruktur dalam mengintervensi RUU perkoperasian. Bahkan sejak masih jadi draft di pemerintah mereka sudah terus berusaha untuk melalukan upaya perusakan,” tambahnya.

Suroto mengusulkan, dalam mekanisme carry-over mendatang baiknya dilakukan upaya pembongkaran dari sejak naskah akademiknya. Sebab, cacatnya ada di sana.

Sebagaimana yang dilansir Tirto.id, sejumlah pasal bermasalah dalam RUU yang notabene telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014 tetap dimasukkan dalam RUU Perkoperasian ini.

Seakan tidak belajar dari sejarah kelam legislasi ini, Ketua Pengurus Keling Kumang Group, Mikael sangat meragukan komitmen pemerintah dan DPR untuk memperbaiki RUU Perkoperasian yang ada.

Kalaupun pemerintah dan DPR tetap mengesahkan RUU Perkoperasian ini, pihaknya akan melakukan  judicial review ke MK.

“Saya dan teman-teman akan melakukan upaya hukum Ke MK, akan terus melawan karena UU Perkoperasian tidak mengakomodasi kepentingan koperasi,” kata Mikael seperti dilansir Tirto.id.