Demo Mahasiswa: Dialektika Isi dan Bentuk

0

Oleh Eka Putra Nggalu*

Pada Kamis, 26/9/2019, elemen-elemen mahasiswa di Maumere yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Gerakan Kerakyatan (AMGK) Kabupaten Sikka menggelar aksi demonstrasi/turun ke jalan. Demonstrasi tersebut merupakan bentuk penolakan mahasiswa terhadap UU KPK hasil revisi dan beberapa RUU lainnya yang dinilai diskriminatif.

Aksi mahasiswa di Maumere ini merupakan bagian dari gelombang protes mahasiswa yang pertama kali terjadi di Jakarta dan beresonansi ke berbagai daerah di Indonesia, di antaranya di Riau, Bandung, Makassar, Kupang, hingga Papua. Para mahasiswa dari berbagai daerah bergabung dalam solidaritas yang sama, melawan keputusan legislatif yang dinilai mengancam penegakkan demokrasi di Indonesia.

Mereka menuntut Presiden RI Joko Widodo untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK dan membatalkan beberapa rancangan undang-undang yang dinilai akan mendiskriminasi rakyat Indonesia,

Para mahasiswa itu berteriak lantang di jalan-jalan sepanjang nusantara. Mereka ingin didengarkan. Sebab mereka percaya. Di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Di tengah gelombang protes dari berbagai elemen mahasiswa, pihak kampus di berbagai daerah mengeluarkan surat edaran berisi larangan terhadap mahasiswa untuk terlibat dalam demonstrasi. Di NTT, beberapa kampus seperti UNIPA, UNWIRA Kupang, dan UNDANA mengancam akan mengenakan sanksi bagi elemen civitas akademika-nya yang terlibat demonstrasi. 

Hal ini kemudian diikuti oleh peraturan Menristek Dikti dan Menteri Pendidikan yang secara terang-terangan meminta pihak kampus dan sekolah-sekolah menengah atas untuk segera melarang keterlibatan mahasiswa dalam demonstrasi yang marak merebak beberapa pekan terakhir.

Dalam skala yang lebih global, beberapa opini berusaha mempertentangkan antara isi dan bentuk dari berbagai gerakan mahasiswa yang terjadi belakangan.

Hans Hayon dalam opininya berjudul Mempertanyakan Bentuk Gerakan Mahasiswa yang (dipublikasikan di nalarpolitik.com)secara terang-terangan menyampaikan dukungannya terhadap berbagai gerakan mahasiswa yang terjadi belakangan. Meski demikian, ia mempertanyakan, mengapa substansi yang demikian penting tersebut disuarakan dengan cara-cara yang anarkis dalam demonstrasi?

Secara lebih radikal Hans Hayon mengimpikan adanya gerakan ideologis tepat ketika di mana-mana basis massa justru tidak punya ideologi, atau kalaupun punya, ideologinya tidak jelas dan sekadar spontanitas.

Menurutnya, gerakan mahasiswa saat ini mengkooptasi bentuk gerakan yang persis sama dengan apa yang terjadi pada 1998. Akibatnya, gerakan mahasiswa cenderung tersandera isu-isu yang dimainkan elite politik yang menyetir media massa nasional.

Menurutnya, gerakan massa yang ideal haruslah ideologis, dan tepat jika gerakan mahasiswa hari ini mampu menghubungkan dan membangun kembali atau melampaui perjuangan politik rakyat yang terbentuk pada 1912-1965. Tidak hanya bergerak dalam dunia maya seperti halnya ‘gerakan’ petisi ‘online’.

Selain itu Hans Hayon juga menekankan pentingnya kajian ilmiah atau aktivitas intelektual yang mendahului sebuah gerakan. Menurutnya, setiap gerakan haruslah dilakukan dalam kerangka kerja seorang ahli.

Hatib Abdul Kadir dalam opininya di Jawa Pos berjudul Demonstrasi tanpa Pemimpin, menilai tuduhan gerakan protes mahasiswa sebagai ditunggangi jelas merupakan bagian dari teori konspirasi. Tidak adanya pemimpin pemersatu menunjukkan bahwa gerakan itu lahir dari kolektivitas perasaan antarmanusia yang tidak saling terhubung satu sama lain, tetapi mempunyai struktur perasaan yang sama.

Kesamaan perasaan itu bergerak dan berhubungan satu sama lain. Kemunculan gerakan protes menjadi proses mimetik. Ia tercipta, kemudian ditiru di tempat lain, lantas berkembang ke berbagai arah dengan tidak linier.

Gerakan mahasiswa di seluruh Indonesia bergerak tanpa pemimpin, mungkin tanpa ideologi yang jelas sejak awal. Meski demikian mereka terarah pada satu musuh bersama, yaitu oligarki yang sudah menggurita dan menutup telinga negara.

Dalam serba polemik mengenai isi dan bentuk dari gerakan mahasiswa, demonstrasi mahasiswa di Indonesia perlu dilihat secara tak terpisah dengan demokrasi Pancasila yang melingkupi seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa poin perlu dicatat.

Pertama, demonstrasi mahasiswa adalah sebuah aktivitas demokrasi serentak proses demokratisasi yang terjadi dalam satu medan sosial tertentu. Secara substansial maupun bentuk, gerakan mahasiswa haruslah bercorak demokratis.

Kedua, demonstrasi mahasiswa adalah sebuah gerakan moral dan intelektual. Setiap gerakan sosial harus memiliki basis dan atau proyeksi terhadap nilai dan juga rasionalitas yang jelas.

Ketiga, gerakan moral intelektual ini tidak berlangsung secara kronologis melainkan dialektis. Gerakan moral intelektual itu secara sederhana terjadi dalam kerang kerja demikian: refleksi-aksi-refleksi. Dialektika ini berlangsung secara terus menerus.

Keempat, dialektika itu harus bisa memberi tawaran baru, entah pada tatanan sosial dan sistem politik tertentu, maupun paradigma-paradigma baru.

Demonstrasi adalah idiom dari demokrasi. Demonstrasi mahasiswa berdasar dan terarah pada nilai dan rasionalitas yang jelas sejak awal, yaitu demokrasi Indonesia yang kian terancam oleh UU dan RUU yang dinilai diskriminatif. Demonstrasi itu telah melalui kajian, meski boleh jadi tidak oleh individu-individu dalam massa yang besar itu. Ada basis argumentasi yang jelas sejak awal. Ada proses intelektual sebelumnya.

Kendati itu tidak dibingkai oleh satu ideologi yang sama, demonstrasi itu digerakan oleh refleksi berdasarkan nasib dan perasaan yang sama, yaitu perasaan kaum terpinggirkan yang dikhianati oleh wakil-wakilnya sendiri.

Demonstrasi itu diarahkan pada sistem parlemen yang bobrok, oligarki yang tamak dan menjilat. Perlawanan ini mencita-citakan tatanan demokrasi yang adil dan merakyat.

Dengan demikian, gerakan mahasiswa dalam demonstrasi-demonstrasi yang terjadi harus didukung sembari terus dikawal. Tegangan antara bentuk dan isi, aktivisme dan intelektualisme dan bias-biasnya perlu dijernihkan oleh setiap rakyat Indonesia, yang setiap kepentingan, hak, dan hidupnya saat ini, sadar atau tanpa sadar, terwakilkan oleh suara-suara yang menggema dari mulut-mulut mahasiswa di jalan-jalan di seluruh nusantara.

*Redaktur EKORA NTT

“Kami Ditunggangi Kepentingan Masyarakat!”: Pro-Kontra Demonstrasi Mahasiswa di Maumere dan Indonesia

0

Maumere, Ekorantt.com – Salah satu isi dari orasi yang dilakukan oleh mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Mahasiswa Kerakyatan Kabupaten Sikka di depan ruang sidang DPRD Sikka (26/9/2019) adalah kecaman terhadap kampus-kampus yang mengeluarkan surat edaran yang berisi larangan kepada elemen-elemen civitas akademika kampus untuk terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi.

Menurut demonstran yang berorasi kala itu, kampus hanya tahu menuntut mahasiswa membayar uang sekolah, tetapi mengekang kebebasan mahasiswa dalam mengembangkan ruang-ruang yang mengakomodasi pendapat-pendapat kritis mereka.

Di Maumere, salah satu kampus yang mengeluarkan surat edaran yang melarang keterlibatan para mahasiswa dalam demonstrasi adalah Universitas Nusa Nipa (UNIPA).

Ketika dikonfirmasi oleh EKORA NTT pada 30/9/2019, Mario Fernandes Ketua PMKRI Maumere sekaligus koordinator aliansi mahasiswa yang menginisiasi demonstrasi beberapa waktu lalu, turut membenarkan adanya aksi protes terhadap kebijakan kampus tersebut.

Mario Fernandes mengaku sangat kecewa terhadap pihak kampus yang melarang mahasiswanya berdemonstrasi.

“Saya kecewa dengan UNIPA dalam hal ini Rektorat UNIPA, berkaitan dengan surat edaran yang keluar di hari kami melakukan aksi. Di poin empat, khususnya: memberi sanksi kepada pegawai, dosen maupun mahasiswa yang ikut terlibat dalam aksi. Menurut saya, pertama, ini adalah bentuk pengekangan terhadap demokrasi yang tumbuh di kampus. Kedua, ini adalah bentuk pembungkaman terhadap ruang-ruang kritis di kampus. Ketiga, ini bagian dari Orba (Orde Baru) yang sudah mulai dijalankan oleh Kemenristek Dikti, yang melarang seluruh mahasiswa di Indonesia untuk tidak boleh megkritisi lagi kerja-kerja pemerintah. Tidak boleh lagi ada ruang-ruang diskusi dan dialektika yang menghasilkan argumentasi kritis terhadap pemerintah. Ini bentuk pengangkangan demokrasi dan harus dilawan oleh seluruh mahasiswa Indonesia.”

Dr. Gery Gobang, Wakil Rektor II Universitas Nusa Nipa secara personal mendukung keterlibatan mahasiswa dalam menanggapi berbagai isu yang sedang terjadi di masyarakat.

Meski demikian, dirinya sama sekali tidak mendukung aksi demonstrasi mahasiswa di beberapa daerah, yang menolak UU KPK dan beberapa revisi undang-undang lainnya. Menurutnya demonstrasi yang terjadi belakangan hanya berujung pada anarkisme belaka, tanpa ada tujuan yang jelas.

Menurut Dr, Gery Gobang, keterlibatan mahasiswa dalam isu-isu global di bidang ekonomi, politik, sosial, hukum budaya adalah pada dasarnya adalah suatu keharusan.

Kampus bukanlah sebuah menara gading tempat mahasiswa tinggal, belajar, dan menemukan gagasan dan ide melainkan juga harus memiliki kepekaan terhadap berbagai situasi sosial kemasyarakatan, agar konsep dan teori yang dipelajari dan ditemukan mampu membumi dan kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat serta situasi yang sedang berkembang.

Baginya, mahasiswa yang otentik adalah dia yang mampu mengaitkan yang teoritis dengan kebutuhan-kebutuhan praktis-kontekstual di lapangan. Namun, di balik kepekaan dan kepeduliannya terhadap situasi sosial kemasyarakatan, mahasiswa harus mampu memberikan nilai tambah, memberikan kontribusi bagi tawaran solusi. Bagi perbaikan peradaban bangsa.

“Saya secara pribadi menolak demonstrasi mahasiswa belakangan ini. Tujuannya harus menjadi jelas sejak awal. Bukan anarkisme yang menjadi tujuan tetapi bagaimana mahasiswa mengajukan gagasannya secara elegan. Radikal boleh tetapi tidak anarkis. Saya pikir seluruh keberatan masyarakat bisa diakomodir oleh negara tanpa harus melakukan demo yang berdarah-darah bahkan mengorbankan nyawa. Kita harus kaji secara lebih mendalam, apakah ada pertarungan ideologis di balik demonstrasi itu? Itu yang perlu dimurnikan gerakan mahasiswa.”

Menurutnya, ia setuju dengan substansi dari demonstrasi mahasiswa, khususnya mengenai penegakan kembali demokrasi. Namun, itu hanya garis besarnya saja. Ia sendiri mengaku belum menemukan suatu kajian yang memadai, yang memuat identifikasi yang valid mengenai pasal-pasal yang ditolak oleh para demonstran.

“Secara substansi saya setuju. Namun, pertama, saya belum membaca kajian mendalam mengenai isi dari penolakan-penolakan itu. Publik belum tahu. Kedua, apakah dalam menyampaikan pendapat, semua fasilitas negara, semua hal-hal baik harus dihancurkan secara membabi buta? Apakah itu merupakan cara yang elegan? Saya kira tidak. Itu radikal tetapi radikal yang destruktif. Ada  cara-cara radikal yang konstruktif. Radikal konstruktif artinya gagasan itu disampaikan secara terus menerus, disampaikan secara konsisten. Kalau sampai pada anarkisme, kita masuk dalam kontradiksi terhadap perjuangan kita sendiri. Secara substansial oke baik, tetapi persoalannya mahasiswa menyalurkan itu dengan cara-cara yang anarkis.”

Dr. Gery Gobang sendiri tidak yakin bahwa gerakan mahasiswa memiliki ideologi yang murni berasal dari proses refleksi mereka sendiri. Ia mencurigai, gerakan mahasiswa telah disusupi oleh agenda ideologis tertentu yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Presiden Jokowi.

“Banyak kajian yang mengerucut pada kesimpulan bahwa gerakan demonstrasi yang terjadi belakangan punya tujuan terselubung yaitu pertama, menggagalkan pelantikan presiden. Kedua, jika mungkin, gerakan ini ingin menurunkan Presiden sekaligus. Perlu dimurnikan keterlibatan mahasiswa apakah tanpa sengaja diperalat atau mereka betul-betul ujung tombak dari usaha ideologis tertentu.”

Menurut Dr. Gery Gobang, pihak UNIPA, melalui Fakultas Hukum akan membuat satu kajian yang mendalam terkait materi UU KPK dan revisi undang-undang lain yang secara masif ditolak oleh publik.

Setelah membuat kajian mendalam secara internal, pihak UNIPA akan mengundang segenap stakeholder dan pers untuk bersama-sama menelaah dan membuat rekomendasi-rekomendasi yang bisa ditawarkan ke publik. Ini menjadi sumbangan dari UNIPA sebagai kampus yang tidak hanya tinggal dalam menara gading.

Dr. Gery Gobang juga membenarkan adanya surat edaran yang berisi larangan bagi civitas akademika UNIPA untuk berdemonstrasi. Menurutnya, surat edaran itu dikeluarkan untuk mengantisipasi agar civitas akademika UNIPA tidak menjadi latah dalam merespons gerakan mahasiswa di berbagai tempat di Indonesia.

“Secara institusional kami mengeluarkan edaran tidak mengizinkan civitas akademika untuk mengikuti itu. Saya tidak sempat mengetahui apa yang menjadi poin dari tuntutan mereka. Saya pikir sebagai golongan intelektual mereka perlu menyampaikan gagasan-gagasan yang bisa dijadikan tawaran solusi. Saya pikir demo yang baik adalah demo kita memberikan tawaran-tawaran solusi untuk perbaikan. Mahasiswa atau elemen apapun harus diakomodasi untuk bisa mendapatkan pemikiran-pemikiran yang bernas.”

Lebih jauh, Dr. Gery Gobang menekankan pentingnya aktivitas intelektual, di balik setiap aksi-aksi demonstrasi.

“Intinya pemikiran. Kita harus memberikan pemikiran yang bernas. Untuk bisa menyampaikan pemikiran yang bernas tidak bisa hanya bermimpi semalam lalu esok dieksekusi. Pemikiran harus melalui kajian-kajian mendalam. Harus ada brainstorming, diskusi dengan berbagai elemen. Dan bagaimana kita mengkristalkan itu dan menjadikanya sebagai tawaran solusi. Bagi saya demonstrasi apapun harus memberikan tawaran solusi. Jangan kontradiksi. Jadi kalau kita demo lalu merujuk pada anarkisme, merusak fasilitas, itu sama saja merusak misi luhur demonstrasi kita. Saya pikir kebenaran adalah apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan. Apa yang disampaikan, konsep-konsep harus sesuai dengan apa yang dihidupi. Untuk saya gerakan moral tanpa anarkisme untuk memberikan tawaran solusi bagi kemajuan peradaban bangsa.”

Berbeda dengan pendapat Dr. Gery Gobang, Emil Sese Tolo, dosen di Fakultas Pendidikan Keagamaan Katolik Ledalero mendukung gerakan mahasiswa sebagai pilihan yang tepat dan satu-satunya yang masih tersedia, dalam usaha menolak UU KPK dan beberapa revisi undang-undang yang memuat pasal-pasal diskriminatif.

“Entahkah orang menilai gerakan ini diboncengi atau tidak, itu bukanlah hal yang substansial. Gerakan ini dibuat untuk memerangi tindakan negara, dalam hal ini DPR yang membuat undang-undang yang melemahkan KPK dan undang-undang lain yang menuntungkan elit-elit ekonomi. Misalnya dalam UU Agraria, UU ini ingin mengembalikan UU kolonial untuk Indonesia. Misalnya tanah yang tidak diklaim secara resmi sebagai milik masyarakat bisa secara serta merta dijadikan milik negara. Lalu dalam kaitan dengan UU tenaga kerja, pesangon hanya bisa dibayarkan jika pekerja telah bekerja selambat-lambatnya sembilan tahun. Saya pikir RUU yang dirancang saat ini lebih menguntungkan kaum yang memiliki modal dan kelompok oligarki”.

“Hampir tidak ada jalan lain yang lebih mungkin ditempuh oleh mahasiswa untuk membatalkan revisi UU atau mencegah RUU itu disahkan sebab DPRD bahkan Jokowi sendiri cenderung abai.”

Lebih jauh, ia melawan argumen yang menyatakan bahwa mahasiswa tidak memiliki dasar ideologis dalam gerakannya. Serentak ia pun menolak pendapat yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa diperalat oleh ideologi tertentu. Menurutnya, ideologi yang saat ini menggerakan mahasiswa adalah ideologi populisme. 

“Kalau ada yang bilang bahwa mahasiswa saat ini itu tidak bergerak dengan satu ideologi, orang itu tidak memahami apa itu ideologi sebenarnya. Dalam ideologi populis, semua kepentingan bahkan perbedaan itu bergerak bersama untuk mencapai tujuan tertentu yang terarah kepada musuh bersama mereka. Di dalam gerakan mahasiswa ini hampir semua golongan, miskin, kaya, kelas menengah, proletar, bersatu melawan musuh bersama yang namanya oligarki. Bukan gerakan berbasis kelas, seperti dalam gerakan Marxis misalnya. Di Indonesia terutama sejak kematian PKI 65 gerakan yang masif seperti itu perlahan hilang. Belakangan, terjadi gerakan populisme Islam. Semua orang Islam dari berbagai kelas dan kalangan bergerak bersama menghadapi musuh bersama yang namanya neoliberalisme. Gerakan mahasiswa saat ini kurang lebih mirip. Mereka dipersatukan oleh Ideologi populis dan menghadapi musuh bersama yaitu neoliberalisme yang cenderung menguntungkan segelintir oligarki.”

Emil juga berargumen bahwa pendapat yang menilai gerakan mahasiswa sebagai sebuah konspirasi adalah pendapat yang keterlaluan dan mereduksi substansi dari perlawanan mahasiswa.

Menurutnya, poin dari gerakan mahasiswa adalah Jokowi harus lebih mendengarkan rakyat dan berhenti berkutat pada suara-suara dan kepentingan-kepentingan oligarki. Jokowi harusnya lebih adil dalam melihat rancangan undang-undang yang ada dan tetap berpihak pada rakyat.

“Mahasiswa tidak punya kepentingan untuk menggulingkan Jokowi. Kalau mahasiswa ingin menggulingkan Jokowi, saya pikir itu bukan gerakan yang demokratis karena Jokowi dipilih secara demokratis. Tugas kita saat ini, baik mahasiswa maupun kelas pekerja adalah memberikan dukungan kritis kepada Jokowi. Dukungan kritis adalah dukungan yang diberikan dengan syarat. Misalnya, kita memilih Jokowi sebagai presiden, Di saat yang sama kita harus bersikap kritis terhadap Jokowi, misalnya mengawal dia membuat  keputusan politik yang tepat berhadapan dengan UU KPK dan revisi beberapa undang-undang lain saat ini.”

Emil juga membantah pendapat yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa tidak memiliki arah yang jelas sejak awal.

Ia juga tidak setuju dengan argumen yang mereduksi gerakan mahasiswa sebatas pada gerakan anarkis semata.

“Gerakan mahasiswa sekarang diarahkan ke oligarki, baik yang ada di kubu Jokowi maupun yang ada di kubu oposisi. Gerakan massa seperti ini, apalagi yang dilakukan oleh mahasiswa dan secara besar-besaran, bukanlah gerakan melawan presiden sebagai personal, tetapi oligarki. Presiden, menurut saya, tidak bisa terlepas dari kepentingan oligarki yang ada.”

Lebih jauh, Emil juga meragukan argumentasi-argumentasi yang mengerdilkan aktivitas intelektual para mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi.

Menurutnya, kebenaran tidak melulu ditemukan di ruangan kelas. Mungkin banyak mahasiswa yang turun ke jalan dan bergerak atas dasar solidaritas dan kegelisahan yang sama dan merambat, tanpa melalui satu kajian ilmiah yang terlebih dahulu dilakukan secara personal.

Namun, menurutnya, keterlibatan seseorang dalam demonstrasi bisa menjadi awal yang memantik seorang mahasiswa untuk mencari tahu substansi dari demonstrasi yang diikutinya.

“Orang tidak  harus berangkat dari kelas untuk turun ke lapangan tetapi orang bisa menuju kelas dari lapangan. Seorang mahasiswa bisa mengumpulkan informasi, data, pengetahuan melalui keterlibatannya dalam demo untuk mengabstraksikannya itu dan menyajikannya di dalam kelas. Dan kalau seandainya seorang harus menganalisis dulu baru turun ke lapangan, saya kira ini adalah sebuah pandangan yang ortodoks seolah-olah kebenaran hanya berada di kelas. Menurut saya kebenaran itu ada di mana-mana. Argumen bahwa harus ada kajian ilmiah mendalam sebelum berdemo hanyalah pembenaran yang dilakukan oleh seorang intelektual yang tidak pernah mengenal ilmu secara benar.”

Emil juga mendukung aksi demonstrasi mahasiswa di Maumere. Menurutnya, hal itu adalah bentuk solidaritas nasional dalam perjuangan menegakan demokrasi.

“Yang dilakukan di Maumere itu sangat aktual dan kontekstual. Karena yang dilakukan di Maumere adalah gerakan bersama seluruh indonesia, apa yang dilakukan di Maumere adalah bentuk solidaritas, di kalangan mahasiswa untuk melawan rezim oligarki yang ada saat ini. Dan mereka melawan rezim dan meminta bantuan kepada presiden untuk mendengar suara mereka. Kalau seluruh mahasiswa di Indonesia bergerak melakukan protes, ini menjadi gerakan massa yang sangat besar yang bisa mengubah keputusan nasional. Ini tidak boleh diremehkan.”

Menghadapi polemik pro-kontra demonstrasi mahasiswa Mario Fernandes berujar, “hari-hari ini para dosen percaya dengan pencitraan Jokowi dan merasa kami tidak punya dasar untuk melakukan demonstrasi. Tapi para dosen tidak pernah datang menemui kami dan meminta hasil analisis yang sudah kami buat. Mereka menilai cara yang kami tempuh tidak elegan. Itu adalah satu bentuk pembodohan. Kami sadar, kami memang ditunggangi sejak awal. Kami ditunggangi oleh kepentingan rakyat!” (eka)

Datang ke Flores, Ini 5 Brand Kopi yang Wajib Anda Coba

Maumere, Ekorantt.com – Flores tak sekadar menyuguhkan keindahan alam tapi juga pesona cita rasa kopinya yang layak dicoba bagi para pencinta dan penikmat kopi.

Dari ujung timur hingga ujung barat Pulau Flores masing-masing punya potensi alam yang beberapa wilayahnya bertumbuh suburnya kopi. Flores yang dikenal panas dan gersang ternyata beberapa wilayahnya terkenal sangat dingin dan menjadi jejak bertumbuhnya kopi dengan cita rasa yang layak dicoba.

Berikut penelusuran Ekora NTT akan lima jenama kopi asal Flores yang layak dicoba ketika berkunjung ke Flores, Nusa Tenggara Timur.

1. Kopi Leworook dari Kabupaten Flores Timur

Jenis kopi Leworook adalah robusta. Kopi ini tumbuh subur di ketinggian gunung Leraboleng-kampung Leworook.

Salah satu putera terbaik dari kampung ini, Yoland Oyan lalu memperkenalkan jenis kopi ini dalam kemasan dan ikut membantu para petani dari kampungnya yang semua warganya adalah petani kopi.

Kopi Leworook dapat dinikmati ketika berkunjung dan menikmati keindahan kota kecil Larantuka yang bangunan-bangunannya kental dengan suasana Portugis.

Jika ingin menikmati kopi Leworook pengunjung bisa mampir ke Lopo Kopi Taman Kota Larantuka.

Sambil menikmati keindahan panorama biru laut dengan pulau-pulau kecil yang terpampang di depan taman kota Larantuka kopi Leworook bisa jadi pilihan untuk saat santai. Bisa juga ditemukan di Café Surya Mandala, di Tanjung Café Eputobi-Jalan Trans Flores dan Laviktory Café.

Tanjung Café dan Laviktory Café adalah tempat singgah yang adem dengan udara segar khas pegunungan. Para penikmat kopi dapat bersantai sambil menyeruput kopi di dua lokasi wisata yang terkenal di Kabupaten Flores Timur ini.

2. Kopi Mokblek dari Kabupaten Sikka

Sebetulnya nama Mokblek ini adalah penamaan dari salah satu pelaku pariwisata di kabupaten Sikka. Namanya Elisia Digma Dari.

Kopi Mokblek sebetulnya adalah jenis kopi robusta dan arabika yang dijual oleh para petani kopi di pasar rakyat yang ada di Kota Maumere. 

Dengan niatan ikut membantu para petani kopi di kabupaten Sikka, Elisia Digma Dari lalu membeli kopi yang dijual ini dan mengolahnya juga secara tradisional jadi bubuk kopi. Bubuk kopi dalam kemasan ini pun lalu dilabeli dengan nama Kopi Mokblek.

Jika berkunjung ke kota Maumere dapat mampir ke rumah singgah Floressa untuk menikmatinya. Kopi ini disajikan kepada para pengunjung dalam mokblek yang unik.

Ada bonus pisang goreng yang gurih. Untuk diketahui selain ada tempat minum kopi, di rumah singgah Foressa ini ada juga tersedia aneka tenun asal kabupaten Sikka dan penginapan yang murah bagi para backpacker.

3. Kopi Detusoko dari kabupaten Ende

Nando Watu, perintis ekowisata dari kecamatan Detusoko ikut mengangkat derajat para petani kopi di kampung halamannya dengan mempromosikan kopi robusta dan arabika dengan label kopi Detusoko.

Kampung Detusoko tidak hanya memiliki keindahan alam yang menawan tetapi juga kaya akan aneka komoditi, salah satunya adalah kopi.

Kopi Detusoko diambil dari hasil para petani yang diolah dan diproduksi secara organik dan mandiri oleh anak-anak muda Detusoko. Jika berkunjung ke Danau Kelimutu dapat mampir ke Detusoko untuk mencoba dan menikmati langung rasa kopi Detusoko di Lepa Lio Café-kampung Detusoko.

4. Kopi Bajawa dari Kabupaten Ngada

Kopi Bajawa boeh dibilang sebagai kopi yang sudah mendunia. Aromanya ada rasa kacangdan sedikit rasa tembakau menciptakan kenikmatan tiada taranya bagi para penikmat kopi.

Keunikan cita rasa ini karena cara budidayanya yang organik. Biasanya terkenal dengan sebutan Arabika Bajawa. Kopi Bajawa oleh banyak penikmat kopi disebut sebagai kopi kelas dunia dan tak begitu mengganggu bagi orang yang punya masalah dengan lambung.

Jika berkunjung ke Kota Bajawa beberapa coffe shop ini bisa jadi rujukan, antara lain, Meidia Café milik Dinas Pertanian Kabupaten Ngada dan Credo Cafe.

5. Kopi Manggarai dari Manggarai

Kopi Manggarai hadir dalam dua kemasan. Ada yang jenis arabika dan juga robusta. Arabikanya beraroma wangi dengan rasa asam bernuansa lemon. Sementara robustanya cenderung halus dan mengandung sensasi mint. 

Cita rasa kopi manggarai robusta yang netral membuatnya fleksibel saat dicampur dengan bahan lain.

Perkebunan kopi Manggarai tersebar di tiga daerah, yaitu Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur. Ada dua tempat yang jadi coffee shops layak untuk disinggahi adalah Kopi Mane dan Toto Kopi.

Jika berkunjung ke Flores mampirlah pada coffee shop di atas dan rasakan karakter dan keunikan kopi dari masing-masing wilayah mulai dari kota Larantuka, ujung timur ibu kota kabupaten Flores Timur sampai Labun Bajo, kabupaten Manggarai Barat.

“DPR, Tolong Jangan Khianati Kami!”: Aksi Demonstrasi Aliansi Mahasiswa Gerakan Kerakyatan (AMGK) Kabupaten Sikka

0

Maumere, Ekorantt.com – Pada Kamis, 26/9/2019, elemen-elemen mahasiswa di Maumere yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Gerakan Kerakyatan (AMGK) Kabupaten Sikka menggelar aksi demonstrasi/turun ke jalan. Demonstrasi tersebut merupakan bentuk penolakan mahasiswa terhadap UU KPK hasil revisi.

Ada tiga poin penting yang menjadi inti dari tuntutan demonstrasi mahasiswa. Pertama, mendesak DPRD Kabupaten Sikka untuk menolak UU KPK yang telah disahkan oleh DPR RI tertanggal 24 September 2019.

Kedua, mengultimatum Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo melalui DPRD Kabupaten Sikka untuk mendesak Presiden Republik Indonesia untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK.

Ketiga, mendesak DPR RI untuk menghentikan segala bentuk pelemahan terhadap KPK RI dan menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan segenap Organisasi Masyarakat bersatu untuk menolak RUU KPK.

Selain Undang-Undang KPK, hal lain yang juga ditolak oleh aliansi mahasiswa yaitu beberapa revisi undang-undang yang memuat pasal-pasal bermasalah, antara lain dalam RKUHP, UU Pertanahan, UU PAS, dan UU Ketenagakerjaan.

Berkaitan dengan RUU Pertanahan, aliansi mahasiswa menilai, penolakan terhadap RUU Pertanahan sangat kontekstual dengan situasi di daerah (Flores, red) yang kerap menjadi sasaran empuk investasi dan eksploitasi korporasi serta oligarki yang tamak.

Tiga tuntutan utama aliansi mahasiswa mengenai RUU Pertanahan antara lain pertama, tolak Undang-Undang Pertanahan dan segala pasal kontroversialnya (Pasal 25, Pasal 36, Pasal 45 Ayat 9, Pasal 89, dan Pasal 94 RUU Pertanahan.

Kedua, selesaikan konflik-konflik agraria, kembalikan hak tanah pada ulayat. 

Ketiga, segera menuntaskan reformasi agraria berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Alvian Ganggung, wakil dari GMNI menyatakan, tuntutan aliansi didasarkan pada substansi RUU Pertanahan yang dinilai tidak adil terhadap petani. Ada sejumlah pasal diskriminatif dalam RUU pertanahan itu, misalnya yang terkait dengan perpanjangan HGU, tidak terbukanya informasi perpanjangan HGU, dan tidak ada kejelasan luas lahan untuk HGU serta ancaman pidana korban penggusuran.

Dalam demonstrasi tersebut, aliansi mahasiswa mengelaborasi fakta-fakta dan hasil judicial review terkait tuntutan mereka terhadap pembatalan UU KPK, serta bukti-bukti mengenai pasal-pasal bermasalah yang ada dalam beberapa rancangan undang-undang yang sudah disebutkan sebelumnya.

Demonstrasi yang diinisiasi oleh PMKRI, GMNI, HMI, dan IMM (Aliansi Cipayung Plus) itu diawali dengan long march dari sekitar kompleks IKIP Muhammadiyah Maumere. Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam demonstrasi tersebut kemudian bergerak menuju kota Maumere, melalui jalan raya utama.

Sesuai dengan agenda yang dirilis  sebelumnya, para demonstran pertama kali berhenti dan melakukan orasi di depan Polres Sikka. Setelah itu para demonstran bergerak menuju lepo kulababong, kantor DPRD Kabupaten Sikka.

Sepanjang perjalanan, wakil dari organisasi-organisasi mahasiswa bergantian melakukan orasi, bernyanyi, membacakan puisi untuk membakar antusiasme massa.

Sampai di kompleks kantor DPRD Kabupaten Sikka, mahasiswa melakukan aksi berjalan mundur sekitar 500 meter. Mereka berarak dari gerbang kantor DPRD Kabupaten Sikka, menuju pelataran depan ruang sidang DPRD.

Aksi berjalan mundur ini merupakan simbol protes dan pendapat mahasiswa yang menilai pemerintahan Indonesia sedang bergerak mundur ke masa dua puluh tahun yang lalu, ketika pemerintahan otoritarianisme diktator Soeharto berkuasa.

“Demokrasi sedang dikangkangi dan dikebiri! Demokrasi dikorupsi! DPR dan Presiden sedang membawa bangsa ini ke era Orde Baru, ketika rakyat dipimpin dengan tangan besi!”

Sampai di depan pelataran ruang sidang DPRD, tiap-tiap wakil dari organisasi mahasiswa yang tergabung dalam aliansi mahasiswa bergantian melakukan orasi, membacakan fakta dan bukti yang mendukung tuntutan mereka.

Setelah beberapa saat, dipimpin oleh Ketua DPRD Donatus David, para anggota DPRD Kabupaten Sikka keluar dari ruang sidang dan menemui para demonstran. Ketua DPRD, Donatus David memberi kesempatan kepada para demonstran untuk secara bebas dan terbuka menyampaikan tuntutan mereka.

Kericuhan terjadi, lantaran ketika para demonstran sedang membacakan tuntutan mereka, tidak ada satupun anggota DPRD yang terlihat mencatat tuntutan-tuntutan dan rilis sikap yang dibacakan tersebut.

Adu argumen terjadi. Ketua DPRD meminta para mahasiswa menyerahkan salinan naskah rilis sikap dari aliansi mahasiswa. Sementara aliansi mahasiswa mati-matian teguh pada pendiriannya, meminta para anggota DPRD menghargai kerja intelektual para mahasiswa, yaitu dengan mencatat tuntutan-tuntutan mahasiswa.

“Kami masih percaya pada DPRD Sikka. Karena itulah kami datang ke sini, menyampaikan tuntutan kami. Kami berharap, bersama DPRD Sikka, tuntutan-tuntutan mahasiswa bisa diteruskan ke Presiden. Tapi apa? Bapa-Ibu DPR merasa diri sudah pintar, sama sekali tidak hargai mahasiswa. Kami tidak akan bacakan tuntutan kalau Bapa-Ibu DPR tidak catat tuntutan kami. DPR, tolong jangan khianati kami!”, ujar Mario Fernandes dari balik pelantang suara, saat melakukan negosiasi dengan DPRD.

Merasa tidak dihargai, para mahasiswa semakin lantang berteriak. Tuntutan dan orasi beberapa kali diulang. Demonstran tidak menggubris jawaban dari para anggota DPRD yang berusaha meyakinkan mereka bahwa tuntutan-tuntutan mereka direkam dengan sangat baik melalui alat perekam suara.

Frustasi, Donatus David dan para anggota DPRD akhirnya masuk ke ruang sidang. Para demonstran beramai-ramai mengikuti dari belakang. Pintu  ruang sidang yang setengah tertutup dan dijaga Pol. PP berusaha didobrak masuk oleh para mahasiswa.

Aksi saling dorong terjadi beberapa saat, antara mahasiswa dan Pol. PP. Pintu sebelah utara ruang sidang DPRD beberapa kali ditendang dan dipukul, entah dengan tangan maupun dengan kayu tiang bendera yang dibawa demonstran.

Ketika situasi makin tak terkendali, para anggota DPRD mengundang masuk aliansi mahasiswa untuk memulai sidang dengar pendapat, dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Karimanto Eri.

Seketika, demonstran masuk, menduduki balkon ruang sidang DPRD dan beberapa kursi di sisi kiri dan kanan ruangan tersebut. Ruang sidang DPRD mendadak bising, dengan nyanyian dan teriakan.

Koordinator aliansi mahasiswa sempat menolak sidang. Mereka tidak ingin ada rapat. Mereka lebih menuntut DPRD Sikka memberikan pernyataan sikap dengan segera, mendukung tuntutan aliansi mahasiswa.

Setelah beberapa lama berunding, mahasiswa akhirnya mengikuti mekanisme yang ditawarkan DPRD. Mahasiswa membacakan tuntutan dan menyerahkan salinan rilis sikap.

Karimanto Edi berjanji akan meneruskan tuntutan-tuntutan para mahasiswa ke Presiden dan DPR RI di Jakarta. Meski demikian DPRD Sikka tetap menolak memberikan pernyataan sikap, mendukung tuntutan-tuntutan dari aliansi mahasiswa tersebut.

Ketika dihubungi EKORA NTT pada Senin, 30/9/2019, Mario Fernandes menegaskan bahwa demonstrasi yang lalu bukanlah akhir dari seluruh usaha mahasiswa Maumere untuk mendorong upaya penegakan demokrasi di Indonesia.

Pihaknya terus berkoordinasi dengan aliansi Cipayung Plus pusat untuk terus mengawal tuntutan-tuntutan yang telah mereka utarakan.

“Kami berterima kasih DPRD Sikka yang mau menerima dan meneruskan tuntutan kami ke Jakarta. Meskipun kami agak kecewa karena tidak ada pernyataan sikap dari DPRD yang disampaikan ke publik terkait dukungan mereka terhadap pembatalan UU KPK dan revisi beberapa UU yang kami tuntut. Kami tetap berkoordinasi dengan rekan-rekan aliansi pusat dan terus mengawal tanggapan dan respon dari Presiden dan DPRD terhadap tuntutan-tuntutan aliansi”. (eka)

Demokrasi dan Keutamaan Warga: Catatan tentang Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI (Substansi Demokrasi I)

Oleh Silvester Ule*

Hari ini, Minggu, 20 Oktober 2019, pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih 2014-2019. Ini kesekian kalinya presiden yang terpilih secara demokratis dilantik, dan sebagai warga Negara, kita patut beri makna atas peristiwa ini. Makna demokrasi kiranya bukan terletak pada pelantikan, namun pada pelbagai dinamika politik dalam proses penyelenggaraan Negara.

Saya ingin manfaatkan momen ini sebagai refleksi atas pelbagai substansi demokrasi.

“Demokrasi” mungkin salah satu kata paling menarik dengan makna paling kompleks. Hampir tiap Negara saat ini berlomba-lomba mengklaim Negaranya demokratis. Demokrasi bisa bermakna segalanya.

Bagi Negara kapitalis, demokrasi dianggap bagian inheren dari sistemnya.

Bagi Negara Sosialis, demokrasi juga diklaim jadi bagian dari sistemnya. NEGARA diktatorial seperti Korea Utara pun menyebut dirinya Republik Rakyat Demokrasi, dan Kongo menyebut dirinya Republik Demokrasi Kongo (République Démocratique du Congo).

Bahkan demokrasi dianggap bagian dari anarkisme, seperti seorang wakil rakyat yang menyebut kebebasan memfitnah sebagai bagian dari demokrasi. Ibaratnya demokrasi menjadi kategori metafisika “yang benar, yang baik, dan yang indah” bagi kaum modern, yang justru sama sekali tidak peduli tentang metafisika.

Karenanya, apa sebenarnya demokrasi? Definisinya sederhana: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Singkatnya, rakyat yang berkuasa.

Namun, prosesnya yang rumit. Ada legislasi; kuasa rakyat diwakilkan. Legislasi juga selalu dalam konteks kenegaraan yang terbentuk; ada demokrasi konstitusional, ada demokrasi liberal, ada demokrasi industrial, ada juga demokrasi kebanggaan kita: “demokrasi Pancasila”.

Namun, yang paling penting dalam demokrasi sebenarnya bukan nama, definisi atau proses. Substansi atau jiwa atau spirit demokrasi yang utama. Dengannya kita bisa menilai, apakah suatu proses politik demokratis ataukah sekadar ideologi.

Kita mulai dari asal mula ide demokrasi; di Athena. Demokrasi pada mulanya dibentuk oleh Pericles; negarawan dan pemimpin Athena yang dikagumi Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Rakyat punya kuasa menentukkan nasib Negara.

Namun, saat Pericles meninggal dan Athena kalah dalam perang Peloponnesia melawan Sparta, semua terkejut, bahwa ternyata sistem demokrasi tersebut yang membawa kehancuran bagi Athena. Apa pasalnya?

Semuanya kini sadar, bahwa yang Pericles sebut sebagai kekuasaan oleh rakyat (demokrasi), dalam praksisnya berdiri kokoh justru karena kharisma kepemimpinan Pericles.

Jadi, sesungguhnya Athena berdiri bukan terutama rakyat yang berkuasa atau demokrasi, namun karena pemimpin yang bijak dan berkharisma. Saat rakyat yang sungguh-sungguh berkuasa tanpa Pericles, yang ada hanya kehancuran dan anarki.

Plato sebagai warga Athena yang tersengat oleh kekalahan tersebut selanjutnya menganggap demokrasi sebagai bagian dari sistem yang korup, dan menggagaskan teori aristokrasi: yaitu Negara yang dipimpin seorang Negarawan (Statesman) atau seorang “filsuf raja”, seperti imajinasinya tentang Pericles; yaitu pemimpin yang punya keutamaan praktis seperti filsuf, namun sekaligus berkarisma seperti raja.

Dalam imaji yang sama, Aristoteles menggagaskan teorinya tentang “spoudaious”; pemimpin berkharisma yang punya kebijaksanaan dan keutamaan praktis.

Namun, apakah Plato salah karena menolak demokrasi? Justru dari Plato, kita memperoleh salah satu unsur inheren dalam demokrasi yaitu aristokrasi. Artinya, demokrasi tidak mungkin berdiri tanpa kecerdasan dan keutamaan warganya (aristokrasi).

Kritik Plato terhadap sistem demokrasi Athena benar adanya, bahwa keberlangsungan negara dan kesejahteraan warga tidak mungkin didasarkan pada massa yang miskin keutamaan. Kalau massa yang tidak berkeutamaan yang memimpin, maka walau secara prosedural dinamakan demokrasi, namun secara substansial dan praktis sebenarnya anarki.

Jadi, Plato tidak anti demokrasi modern, namun mengkritik kesalahan asumsi demokrasi pada masanya di Athena, dan menambahkan salah satu unsur penting dalam demokrasi autentik, yaitu keutamaan dan rasionalitas warganya.

Dari Plato kita belajar bahwa agar demokrasi dapat berjalan efektif, maka ia mengandaikan aristokrasi dalam jiwa warganya: seperti rasionalitas, keutamaan, kejujuran, kebebasan yang bertanggung jawab, penghargaan terhadap pluralitas, dan sebagainya.

Dengan ini, kita mungkin menyebut Negara kita demokratis, sementara di dalamnya terdapat fitnah, manipulasi, dan pembodohan publik atas nama agama dan ras. Semuanya memang diizinkan secara prosedural.

Namun, jika hal ini terjadi, demokrasi kita tidak lebih dari demokrasi Athena. Kita tidak akan kalah perang seperti warga Athena, namun kita akan kalah dalam peradaban dan martabat.

Akibatnya, manakala Negara lain bergerak ke bulan atau ke planet dan galaksi, kita justru dengan kebodohan yang sering dianggap kudus, atau kebodohan yang dianggap sebagai tindakan kepahlawanan, menuju abad kegelapan.

Oleh karena itu, segenap fitnah, manipulasi, ideologi dan kebohongan, tidak boleh dianggap normal dan perlu dirayakan, apalagi disebarkan secara bangga, namun mesti disadari sebagai momok memalukan, yang menghancurkan demokrasi, menuju anarki.

Jika kita menghadapi situasi baru dengan tantangan bernegara yang baru sesudah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, alangkah baiknya jika segenap energi pemerintah dan rakyat diluapkan secara kreatif, kritis, dengan sebentuk semangat keutamaan (aristokrasi), ketimbang dengan segenap huru-hara massa yang tidak konstruktif.

*Pastor Katolik, Penulis Buku “Melakukan Teologi di Abad Plural: Metode Bernard Lonergan”

Getirnya Hidup Mama Sana, Penjaga Pekuburan Islam Wolomarang

Maumere, Ekorantt.com – Naluri kemanusiaan saya langsung tersentak manakala mengunjungi gubuk mama Luspina Sana. Janda berusia 78 tahun ini hidup sebatang kara dicerai mati suaminya Yosef Lawe enam tahun lalu.

Hari-hari hidup suami istri ini sebelumnya adalah penjaga kuburan Islam Wolomarang. Sejak suaminya meninggal, Mama Sana terpaksa tak mampu menjalani pekerjaan membersihkan kuburan.

Ia hanya tetap terus tinggal di gubuk reot peninggalan suaminya yang didirikan di atas tanah pekuburan. Gubuk berukuran 2×3 meter ini beratapkan seng bekas dan berdinding bambu cincang.

Langit-langit gubuk penuh sarang laba-laba. Atap seng bagian dalam hitam pekat akibat masak menggunakan kayu api. Setiap malam Mama Sana hanya mengandalkan lampu pelita.

Hidup tanpa suami membuat hidupnya bertambah melarat. Beruntung pihak pengelola kuburan Islam Wolomarang tak sampai hati menyuruhnya pergi.

Ia setia menjalani hari-hari hidupnya dalam kemelaratan. Ketika mengunjungi gubuknya pada 17 Oktober lalu,  saya didampingi Maria Laju anggota Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI). Ikut bersama kami ada Martinus Rao dan Andika.

Mama Sana beralamat di RT/RW-Kelurahan Wolomarang. Kepada kami Mama Sana mengungkapkan ia sangat susah sejak awal kehidupan perkawinan mereka. 

“Setiap hari saya bersama suami kerja apa saja yang penting bisa mendatangkan uang dan bisa beli beras. Kami tidak punya anak jadi ketika bapak meninggal saya semakin menderita”, ujar Mama Sana.

Getirnya hidup Mama Sana membuatnya hanya berharap padab elaskasiha dari sesama. Jalannya saja tertatih-tatih. Pendengarannya sudah tidak bagus lagi.

Dia hanya berada di rumah dan menggantungkan hidupnya dari sebatang pohon mete yang tumbuh di depan gubuknya. Dari pohon mete itulah ia mendapatkan rejeki dari sekilo dua kilo dari biji mete yang ditimbangnya. 

“Baru-baru ini saya pilih biji mete dan menimbangnya dan dapat uang Rp 300 ribu tetapi ketika bangun dari tidur siang, uang tidak ada lagi. Orang curi itu. Ceritanya sambil berurai air mata.

Suster Regina dari Kongregasi Abdi Roh Kudus Waidoko Maumere yang hari itu berkunjung mengemukakan setiap hari para suster setia mengantarkan makanan untuk Mama Sana.

“Kami sudah setahun ini mengantarkan makanan dan minuman untuk Mama Sana. Kami igin membawanya tinggal di biara tapi ia menolak. Rumah biara kami adalah rumah formasi untuk pendidikan para calon suster, jadi agak sulit juga kalau Mama Sana tinggal di sana. Jadi kami membawakan saja makan dan minuman untuknya setiap hari”, ujar Suster Regina.

Suster Regina menambahkan pernah ada bantuan dari komunitas Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) berupa beras, minyak dan sabun tetapi bantuan itu juga dicuri orang tak dikenal.

Mama Suebang tetangga  dekat Mama Sana yang rumahnya di luar pagar pekuburan mengaku prihatin akan kehidupan Mama Sana.

“Tak satu pun keluarga yang datang mengunjungi dia. Hidup sebatang kara apalagi jalannya sudah sempoyongan. Kasian tidak orang yang temani dia paling hanya para Suster yang datang. Saya sering antar dia air dan berkunjung sebentar lalu pulang,” kata Mama Suebang.

Yuven Fernandez

Pemda Diminta Perhatikan Orang Muda, Ketua DPRD Ngada: Bentuk Forum Diskusi di Desa

0

Bajawa, Ekorantt.com – Tokoh muda asal Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada Seravianus Selu meminta Pemerintah Kabupaten Ngada memberi perhatian penuh terhadap kaum muda yang berada di desa.

Hal tersebut disampaikannya dalam kegiatan diskusi publik bertema “Peran, Tantangan, dan Peluang Generasi Milenial Kabupaten Ngada” pada perayaan memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-91 tahun 2019 di Auditorium Jhon-Tom Bajawa, Rabu (10/10/2019).

Menurut Seravianus, pemerintah saat ini lebih fokus membangun insfrastruktur dari pada memberdayakan dan mengembangkan potensi kaum muda di desa.

“Saya pelaku utama yang selalu bergabung dengan kaum muda yang ada di desa maupun di paroki. Di sini, saya menemukan persoalan di kalangan pemuda. Hari ini, pemuda harus mendapat perhatian dari pemerintah,” ujarnya.

Menurut Seravianus, sebuah desa akan maju dan berkembang jika kaum muda di desa benar-benar diperhatikan oleh pemerintah.

Dengan perhatian penuh dari Pemda, pemuda-pemuda di desa tidak lagi merantau, melainkan tetap ada di desa untuk membangun desa.

“Kalau hari ini pemerintah benar-benar memperhatikan kaum muda, saya yakin pemuda tidak ada pikiran untuk merantau ke Kalimantan atau Bali,” ujarnya.

Suasana diskusi publik di Aula John Tomas Bajawa. Pemda Ngada diminta buka mata untuk kaum muda di desa-desa di Ngada.

Bentuk Forum Diskusi di Desa

Menanggapi hal itu, Ketua DPRD Ngada Bernadinus Dhey Ngebu usai kegiatan mengatakan, kaum muda yang berada di desa perlu diberi ruang khusus untuk berdiskusi tentang persoalan tersebut bersama aparat desa di desa masing-masing.

“Saya pikir, ini positif. Kalau soal dana desa, itu sudah sesuai regulasi di mana perlu ada musyawarah bersama di desa. Teman-teman, diharapkan untuk bersabar,” ujarnya.

Berny berharap, ke depan, forum diskusi tersebut bisa hadir di desa-desa.

Forum dirancang sebagai ruang menangkap dan membicarakan aspirasi kaum muda di desa.

“Pemuda harus bisa melihat peluang yang ada. Pemuda harus lebih kreatif dalam menjawab kemajuan teknologi saat ini,” pungkasnya.

Kegiatan tersebut di atas diselenggarakan oleh Dinas Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Ngada.

Hadir pada kesempatan itu Bupati Ngada Paulus Soliwoa, Ketua DPRD Ngada Bernadinus Dhey Ngebu, Sekretaris Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), dan unsur akademisi.

Belmin Radho

Masyarakat Rowa Minta Pemkab Nagekeo Bangun SMA dan Klinik Kesehatan di Perbatasan

0

Mbay, Ekorantt.com – Untuk meningkatkan pelayanan masyarakat di wilayah perbatasan Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo, masyarakat Desa Rowa, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo meminta pemerintah daerah Nagekeo membangun sekolah menengah atas (SMA) dan satu unit klinik pusat kesehatan di desa tersebut.

Hal tersebut disampaikan oleh Penjabat Sementara Kepala Desa Rowa Dedy Savrinus Gili Wale kepada EKORA NTT usai kegiatan Musrenbangdes RKPdes Tahun 2020 di Kantor Desa Rowa, Selasa (15/10/2019).

Menurut Dedy, kehadiran dua sektor penting tersebut sudah diimpikan masyarakat setempat sejak Nagekeo dimekarkan menjadi kabupaten baru pada tahun 2006 lalu.

“Pada dasarnya, masyarakat merindukan dua sektor itu ada di sini. Apalagi ini daerah perbatasan,” ujar Dedy.

Menurut Dedy, wacana pembangunan SMA di desa tersebut sudah digulirkan sejak dirinya belum menjabat sebagai Pjs Kepala Desa Rowa atau pada zaman pemerintahan kepala desa lama.

Saat itu, para tokoh masyarakat Desa Rowa sudah sepakat membentuk panitia pembangunan SMA.

Dedy berpendapat, rencana pembangunan SMA didukung oleh keberadaan 4 sekolah menengah pertama (SMP) pendukung, yaitu SMP Negeri 5 Golewa di Kabupaten Ngada dan SMP Negeri 6 Boawae, SMP Negeri 2 Boawae, serta SMP Satap Malalaja di Kabupaten Nagekeo.

“Waktu pertemuan di Bajawa, Kabupaten Ngada, saya sudah pernah angkat untuk pembangunan sekolah menengah atas (SMA) dan klinik center kesehatan di wilayah perbatasan,” ujarnya.

Tokoh Masyarakat Desa Rowa Ambrosius Ceme mengaku mendukung penuh rencana pembangunan SMA.

“Ini daerah perbatasan. Kehadiran SMA sangatlah penting. Semua demi anak-anak di perbatasan, apalagi kita sudah punya lahan untuk pembangunan sekolah tersebut,” ujarnya.

Belmin Radho

Eksploitasi Gas Alam PT ORKA di Mutubusa Diduga Cemarkan Mata Air Wilayah Sokoria

0

Ende Ekorantt.com – Aktivitas pengeboran gas alam di Mutubusa, Kecamatan Ndona Timur kini menuai masalah. Pasalnya, mega proyek ekploistasi gas alam ini diduga mencemari lingkungan terutama mata air di sekitar area eksploitasi.

Sumber air bersih untuk keperluan warga Sokoria dan Sokoria Selatan mengalami perubahan rasa dan mengandung minyak.

Warga Desa Sokoria, Albertus Wanda menuturkan, warga mengeluh dengan perubahan rasa dan warna pada mata air Lowo Tonggo dua pekan terakhir.

Mata air Lowo Tonggo berjarak 50 meter dari sumur bor dua injeksi eksplotasi gas alam milik PT ORKA.

Hal ini menyebabkan air tak bisa dikonsumsi. Dampak ikutannya, warga kesulitan mendapatkan air bersih.

Sejauh ini, kata Albertus, pihaknya telah melakukan komunikasi dan pertemuan dengan manajemen PT ORKA.

Dari pertemuan itu, pihaknya bersama manajemen PT ORKA bersepakat mengatasi masalah pencemaran air itu. Pihak perusahaan juga siap menyuplai air dari Kota Ende untuk memenuhi kebutuhan warga di dua kampung.

“Selama ini mereka ambil air dari Ende untuk suplai ke warga. Mau sampai kapan, kita minta untuk mereka usaha sumber mata air baru,” ujar Albertus 15 Oktober 2019 lalu.

Menurut mantan kepala desa Sokoria ini, masyarakat pada dasarnya menerima pembangunan yang ada asalkan mempertimbangkan analisis dampak lingkungan yang memadai.

“Pembangunan kami terima. Tapi kalau kondisi begini, pemerintah dan pihak investor bisa cari jalan keluar agar kami bisa minum air bersih lagi,” tuturnya penuh harap.

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi III DPRD Ende, Vinsen Sangu mendesak Pemkab Ende untuk segera melakukan evaluasi yang melibatkan stakeholder dan pihak ORKA demi menyelamatan rakyat dan kelestarian lingkungan.

Pemkab Ende, kata Vinsen, harus bekerja sama dengan pemerintah desa dan kecamatan untuk mencari solusi agar rakyat tidak dikorbankan.

Menurut Vinsen, langkah preventif yang dilakukan oleh PT ORKA dengan menyuplai air dari Ende itu sifatnya antisipasi dan sementara. Yang mesti dilakukan adalah tindakan yang menyeluruh untuk jangka panjang paska selesainya proyek.

“Investor masuk itu untuk kesejahteraan rakyat, jangan sampai menyengsarakan rakyat,” tegas Vinsen.

Bupati Ende, H. Djafar H. Achmad (Foto Ansel Kaise)

Panggil Manajemen PT ORKA

Terhadap keluhan warga, Bupati Ende, H. Djafar H. Achmad berencana akan memanggil manajemen PT ORKA untuk menjelaskan dan mencari jalan keluar agar masyarakat tidak dirugikan.

Kata Bupati Djafar, dirinya juga akan mengirim tim Dinas Kesehatan Kabupaten Ende untuk melakukan pengambilan sampel dan menguji mata air yang dilaporkan tercemar di area pengeboran Mutubusa.

“Saya akan perintahkan teman-teman di dinas kesehatan untuk turun mengecek dampak dan kondisi di lapangan. Secepatnya akan kita panggil mereka,” tegas Bupati Djafar di Kantor DPRD Ende, Jum’at (18/10/2019).

“Siapapun yang beraktivitas di wilayah kita harus tunduk dan membangun hubungan kerja sama yang baik untuk kepentingan masyarakat. Air itu kebutuhan dasar jadi mesti direspon secara serius kalau terjadi pencemaran,” tambahnya.

Krisis Air Bersih, Warga Kota Ende Minta PT Novita Karya Taga Bertanggungjawab

0

Ende, Ekorantt.com – Warga dua kelurahan di Kota Ende mengalami kesulitan air bersih tiga bulan terakhir. Dua kelurahan tersebut yakni Kelurahan Kota Ratu dan Kelurahan Paupanda di Kecamatan Ende Selatan Kabupaten Ende.

Penyebabnya adalah sejumlah pipa distribusi milik PDAM Tirta Kelimutu rusak akibat pekerjaan jalan negara di area Ae Bai, Kecamatan Ende Utara dan area Raba, Kecamatan Ende.

Pipa terputus akibat galian badan jalan  pada proyek Preservasi Jalan Aegela-Batas Kota Ende senilai 20,5 miliar rupiah yang dikerjakan kontraktor pelaksana PT Novita Karya Taga.

Warga berharap, perbaikan instalasi perpipaan akibat kerusakan itu segera diselesaikan agar distribusi air ke warga pelanggan PDAM di dua kelurahan dalam Kota Ende teratasi.

“Kami sudah tiga bulan tidak nikmati air PDAM. Selama ini kami harus muat air dari Woloare atau bertahan dengan sumur-sumur warga,” ungkap Nurdin, salah satu pelanggan PDAM di Kelurahan Paupanda.

Menurutnya, sebelum ada pekerjaan jalan negara di wilayah arah barat Terminal Ndao Ende mereka tidak kesulitan air.

“Itu pipa banyak yang putus sehingga air tidak bisa sampai ke sini,” ujar Nurdin

Plt. Direktur PDAM Tirta Kelimutu, Kosmas Nyo yang dikonfirmasi wartawan membenarkan kondisi dimaksud.

“Benar Itu. Air tidak bisa didistribusi karena pipa putus akibat galian jalan. Kami sudah koordinasi dengan kontraktor pelaksana untuk memperbaiki,” jelas Kosmas.

Selama ini, lanjut Kosmas, untuk memenuhi kebutuhan air minum warga di dua kelurahan, pihaknya harus menggunakan mobil tangki untuk mendistribusikan air langsung kepada pelanggan atau melalui pipa distribusi.

Staf Pelaksana PT Novita Karya Taga, Melkior Donald (Foto Dok. Pribadi)

Siap Ganti Pipa

Saat dikonfirmasi, Staf Pelaksana PT Novita Karya Taga, Melkior Donald mengakui adanya kerusakan pipa PDAM Tirta Kelimutu akibat pengerjaan proyek preservasi jalan Aegela-Batas Kota Ende di area Nangaba.

Lebih lanjut, Merkior menjelaskan, pihaknya bertanggungjawab dan akan menggantikan seluruh pipa yang rusak.

“Kemarin sudah rapat bersama pihak PU Perwakilan. Kita sepakat material yang rusak kami tanggung. Akan kita datangkan dari Jawa sesuai spesifikasi, sedangkan untuk instalasi dan pemasangan dari pihak PDAM Ende,” tandas Melkior saat dihubungi Ekora NTT, Jum’at (18/09/2019).