Setiap Hari, Pelajar di Desa Pagomogo Jalan Kaki Sambil Pikul 5 Liter Air ke Sekolah

Pagomogo, Ekorantt.com – Puluhan pelajar Sekolah Dasar Inpres (SDI) Tuanio, Desa Pagomogo, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo terpaksa membawa jerigen air bersih lima liter ke sekolahnya setiap hari. 

Hal itu terpaksa dilakukan puluhan siswa sekolah dasar tersebut lantaran sekolah mereka tidak mempunyai jaringan air bersih.

Kepada awak media, Sabtu (12/10/2019)  Maria Nasrin Ayu, siswa kelas IV Sekolah Dasar Inpres (SDI) Tuanio menceritakan, ia harus menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah setiap hari dengan berjalan kaki. Jarak yang ia tempuh kurang lebih 5 km. Tiap hari ia harus berjalan  sambil memikul 1 jerigen air bersih.

Ayu bercerita, setiap pagi ia harus bangun jam 04.00 WITA untuk mengambil air dari sumber mata air. Sumber mata air terletak jauh dari rumah.

Tak hanya itu, ia dan kawan-kawan  harus memikul satu jerigen air lima liter setiap hari dari rumah ke sekolah untuk kebutuhan kamar WC. Sisa air yang mereka bawa dipakai untuk menyiram bunga. 

Perjalanan dari rumah ke sekolah mereka tempuh dalam waktu satu jam. Itu dilakukan sambil terus membawa jerigen air 5 liter.

“Setiap hari saya harus jalan dari rumah ke sekolah, sekitar 5 km. Semua itu saya lakukan dengan senang hati. Semua demi cita-cita saya,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Maria Maksima Alsin Tay siswa kelas IV. Menurutnya, setiap hari ia harus menempuh jarak 3 km menuju sekolah sambil membawa jerigen air berukuran 5 liter.

“Kondisi ini sudah biasa untuk kami kakak. Yang paling penting kami bisa sekolah,” katanya ketika diwawancarai.

Ia berharap pemerintah Kabupaten Nagekeo bisa memperhatikan kondisi desa tersebut, sehingga ke depan tidak ada lagi krisis air bersih di desanya.

Kepala Sekolah SDI Tuanio Ferdinandus Koba menjelaskan kepada para wartawan, sumber air minum yang ada di Tuanio saat ini merupakan kubangan dari resapan Air Kali Tuanio. Untuk bisa mendapatkan air bersih, masyarakat harus berjalan kaki dengan jarak kurang lebih 20 km dari desa tersebut.

Desa tersebut juga tidak mempunyai  sarana air bersih seperti pipa maupun bak penampung.

Betriks Bunga warga RT. 013, desa Pagomogo mengatakan, untuk bisa mendapatkan air bersih, ia dan warga lainya harus bersaing dengan puluhan ternak yang di desa tersebut.

“Masyarakat harus antri untuk mendapatkan air bersih, menunggu berjam-jam.  Itu pun kami juga harus berebutan air dengan binatang kecil sampe besar yang berkeliaran,” ujarnya.

Belmin Radho

Cara Kades Dion Kembangkan Potensi Desa Detubela

0

Ende, Ekorantt.com – Desa Detubela secara administratif berada di Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende. Ditempuh selama kurang lebih 2,5 jam dari Kota Ende, Desa Detubela terletak di daerah yang terpencil.

Kendati demikian, desa yang 90 persen penduduknya bermatapencaharian sebagai petani ini memiliki potensi pertanian yang menjanjikan.

Sebut saja potensi kemiri. Kemiri telah menjadi komoditi primadona di desa yang memiliki empat dusun ini. Setiap tahun, sekitar 50 ton kemiri dipanen. Dari kemirilah, orang Detubela bisa hidup dan menyekolahkan anak-anaknya. 

Selain kemiri, warga Detubela menggantungkan hidup dari hasil pertanian sawah. Area sawah membentang di daerah Nioboko dan Bhetolepe. Dataran sawah di dua area ini menjadi sumber beras warga Desa Detubela. Sistem drainasenya dibangun permanen menggunakan dana desa.

Untuk menopang kehidupan para petani, sebuah gapoktan dibentuk sebagai wadah untuk membangun kerja sama diantara petani. Namanya Gapoktan Insani.

Rumah adat Detubela

Yang tak kalah menariknya, Desa Detubela juga memiliki potensi budaya yang kaya. Hal itu terlihat dari keteguhan warga desa mempertahankan adat dan budaya warisan leluhur. 

Secara kultural, mereka tergabung dalam persekutuan adat Detubela dan persekutuhan adat Boa. Mosalaki (Kepala suku) dari dua persekutuan adat tersebut rutin menyelenggarakan ritual adat sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.  

Setiap tahun, mosalaki (kepala suku) bersama warga suku menyelenggarakan upacara adat Tu Tau Tedo (tanam)dan  Tu tau Keti  (upacara pada saat panen)

Mata air Lowo Boa yang menjadi sumber PLTA di Desa Detubela

Kehadiran Bumdes

Kepala Desa Detubela, Dioniusius Dala (40), punya cara tersendiri untuk mengembangkan potensi Desa Detubela. Sejak dilantik 31 Januari 2016, Kades Dionisius hadir dengan konsep yang cerdas yakni membangun kampung. 

Mantan tenaga pemberdayaan masyarakat pada program PNPM mandiri perdesaan ini meramu potensi dan setiap kendala sebagai peluang demi kemajuan desa.

Salah satunya adalah mendirikan Badan Usaha Milik Desa bernama Tanggo Sama. Hanya bermodal awal 50 juta rupiah, Bumdes Tanggo Sama milik Desa Detubela kini perlahan berkembang. Selain unit usaha usaha simpan pinjam, ada juga unit usaha yang mengelola Pembangkit Listrik tenaga Air ( PLTA)

Unit usaha PLTA menjadikan Desa Detubela sebagai satu-satunya desa di Kabupaten Ende yang menggunakan air sebagai pembangkit listrik. PLTA dimanfaatkan mengingat listrik PLN belum masuk desa.

PLTA di Detubela mampu menerangi listrik di 102 rumah pelanggan yang adalah warga desa. Iurannya juga kecil. Setiap pelanggan dipatok harga 15 ribu rupiah setiap bulannya. Selanjutnya, dana iuran digunakan untuk membiayai operasional unit pengelola dan tenaga operator PLTA.

Menurut Ketua Unit Pengelola PLTA, Falente Medeira, PLTA ini sangat membantu warga desa. Walau minim perhatian pemerintah, pihaknya tetap setia mengelola untuk membantu warga desa.

“Kita bersyukur bisa ada potensi air terjun yang dapat dijadikan PLTA. Dan sekarang sudah menjadi unit usaha Bumdes sehingga lebih profesional mengelolanya,” kata Medeira kepada  Ekora NTT.

Kades Dionisius mengakui, desanya masih membutuhkan perhatian untuk penanganan fisik baik jalan desa, jalan produksi pertanian, tembok pengaman pemukiman.

Namun dirinya optimis ia bersama BPD akan terus membangun dan memperkuat posisi Bumdes dan fokus memberdayakan masyarakat.

Menurutnya, pembangunan fisik dan pengembangan sumber daya manusia harus selaras sehingga pembangunan itu bisa berkeberlanjutan.

Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Investasi Pendidikan di NTT

1

Oleh Erens Holivil*

Pada tanggal 22-23 Juli 2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Bappenas bersama pemerintah Australia menggelarkan program Indonesia Development Forum (IDF) 2019 di Jakarta Convention Center (JCC).

Tema IDF yang diangkat adalah “Mission Possible: Memanfaatkan Peluang Pekerja Masa Depan untuk Mendorong Pertumbuhan Inklusif.”

Fokus pembicaraannya berkutat pada masalah ketenagakerjaan, terutama bagaimana Indonesia mampu mendorong perekonomian yang inklusif melalui kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan ketersediaan peluang kerja di masa depan.

Dalam pelaksanaan program IDF ini, kementrian PPN/Bappenas merancang sesi khusus bagi provinsi terpilih untuk memaparkan gagasan inovatif serta pengalaman-pengalaman terbaik di daerahnya.

Nusa Tenggara Timur (NTT) terpilih sebagai salah satu provinsi percontohan pertama berkat keberhasilannya menurunkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) secara konsisten sepanjang 2017-2018.

Angka TPT NTT, berdasarkan laporan Data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT pada Agustus 2018, mencapai 3,10 persen, jauh dibawah TPT nasional 5,34 persen.

Angka ini sekaligus menempati NTT pada posisi TPT terendah di Indonesia, di bawah provinsi Papua, 3,20% dan Sulawesi Barat, 3.16% (Kompas, 22/7/2019).

Trend penurunaan angka TPT ini kemudian menimbulkan banyak pertanyaan bagi kalangan masyarakat luas.

Pada satu sisi angka TPT-nya berkurang, tetapi pada sisi yang lain angka kemiskinan justru meningkat.

Artinya, dengan fenomena semacam ini, penurunan angka TPT sebetulnya tidak sejalan dengan kenyataan kemiskinan di NTT.

Predikat NTT dalam dua tahun terakhir masih menempati posisi ketiga sebagai provinsi termiskin, setelah Papua dan Papua Barat.

Barangkali inilah paradoks kemiskinan di NTT.

Kemiskinan dan Problem Ketenagakerjaan

Foto: Fokusnusatenggara.com

Pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, banyak yang mengapresiasi kinerja ekonomi terkait tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan, hingga kemiskinan.

Paling tidak dalam kurun waktu 2017-2019, persentasi kemiskinan menunjukan trand penurunan yang konsisten.

Pada tahun 2017, persentasi penduduk miskin mencapai 26,58 juta jiwa (10,12%).

Tahun 2018, presentasi penduduk miskin berkurang, yakni mencapai 25,95 juta jiwa (9,82%).

Dan pada pada Maret 2019, persentase penduduk miskin mencapai 25,14 juta jiwa (9,41%) (www.bps.go.id).

Namun, trand penurunan persentase kemiskinan secara nasional tidak kompatibel dengan persentasi kemiskinan pada wilayah provinsi/kabupaten/kota.

Di NTT misalnya, pada Maret 2019, presentase penduduk miskin mencapi angka 21,09% atau sebanyak 1.146.320 jiwa, sedikit mengalami peningkatan 0,06 persen atau sebanyak 12.210 jiwa terhadap September 2018 yang persentase kemiskinannya mencapai angka 21,03%.

Angka ini berbeda jauh dengan Provinsi DKI Jakarta, yang persentasi kemiskinannya hanya berada pada angka 3,47% (https://ntt.bps.go.id/).

Demikian pun halnya dengan persentasi penduduk miskin perkoataan dan pedesaan, terjadi ketimpangan dan gap yang cukup jauh.

Hasil analisis Badan Pusat Statistik (BPS) NTT menunjukkan, penduduk miskin di daerah perkotaan di NTT pada September 2019 sebesar 8,84%.

Sementara di daerah perdesaan, persentase penduduk miskin mencapai angka 24,91% (https://ntt.bps.go.id).

Ketimpangan-ketimpangan ini memperlihatkan betapa akutnya realitas kemiskinan di NTT.

Pertanyaannya, mengapa defisitnya TPT justru tidak sinergis dengan persoalan kemiskinan masyarakat NTT?

Padahal, tingkat partisipasi angkatan kerja melonjak hingga 70,17%.

Para penganggur berkurang dari 3.800 orang menjadi 74.700 orang (Kompas, 22/7/2019).

Artinya, sebagain besar masyarakat NTT memiliki pekerjaan dan bekerja, tetapi mereka tetap hidup miskin.

Fenomena inilah yang oleh International Labour Organization (ILO), disebut sebagai working poor, angkatan kerja yang telah bekerja, tetapi hidup dibawah garis kemiskinan. 

Fenomena paradoksal ini hanya bisa dijelaskan dengan melihat persoalan ketimpangan (disparity) sektoral tenaga kerja, baik disektor formal maupun informal.

Di NTT, para pekerja sektor informal seperti tukang ojek, pelaku UMKM, sopir, juru parkir, pekerja jasa konstruksi, petani, peternak , dan nelayan, jauh lebih tinggi ketimbang para pekerja sektor formal, semisal industri atau perusahan.

Masyarakat yang bekerja di sektor informal berjumlah 76,05%.

Sementara yang berkerja di sektor formal hanya 23,95%.

Pekerja informal terbanyak terdapat di pedesaan hingga mencapai 83,61%.

Artinya, eskalasi pekerja informal di NTT jauh lebih tinggi ketimbang di sektor formal.

Menurut saya, penyebab utama terjadinya ketimpangan ini adalah adanya perbedaan kualitas pendidikan.

Ada semacam mismatch atau ketidakcocokan kualifikasi pendidikan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Data BPS memperlihatkan bahwa tenaga kerja di NTT masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah, yakni Sekolah Dasar (SD) ke bawah dengan jumlah 1,37 juta orang (26,78%).

Sedangkan pekerja berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 0,30 juta orang (12,50%).

Tenaga kerja berpendidikan SMA Kejuruan memberi kontribusi sebesar 5,83%.

Demikian pula tenaga kerja berpendidikan diploma lebih rendah (2,36%) dibanding berpendidikan universitas (7,92%) (bdk.Tirto.id,  21/03/ 2019).

Artinya, dari sisi kualifikasi pendidikan, tenaga kerja di NTT lebih banyak didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD, SMP, dan SMA.

Sampai pada titik ini, antara kemiskinan dan informalitas dalam pasar tenaga kerja terdapat relasi yang kuat dalam menciptakan lingkaran setan kemiskinan.

Terhambatnya akses dan rendahnya mutu pendidikan bisa menjadi pemicu rendahnya kualitas tenaga kerja.

Apalagi diperparah dengan upah/pendapatan yang rendah, justru membuat masyarakat NTT tetap hidup dalam lingkaran kemiskinan.

Pemerintah dalam seluruh kebijakannya sebaiknya tidak hanya secara parsial mementingkan penyerapan tenaga kerja, tetapi juga mesti fokus memperhatikan dan memperkuat skill para tenaga kerja.

Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah dengan memperkuat akses dan mutu pendidikan.

Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah harus punya komitmen dan kehendak politik yang baik (political will) untuk mentelorkan kebijakan-kebijakan alternatifdi bidang pendidikan..

Investasi Pendidikan dan Produktivitas Tenaga Kerja

Foto: Indonesiasatu.co

Kemiskinan di NTT bukan lagi disebabkan oleh banyaknya barisan para penganggur, tetapi lebih pada persoalan ketimpangan sektoral tenaga kerja.

Untuk itulah, seluruh Kebijakan pemerintah sebaiknya diarahkan pada upaya mencegah ketimpangan ini.

Satu tawaran kebijakan yang barangkali bisa digodok adalah dengan meningkatkan kualitas tenaga kerja, yang tidak hanya ditentukan melalui pelatihan dan pengalaman, tetapi juga oleh pendidikan formal yang dimiliki tenaga kerja.

Melalui pendidikan, produktivitas tenaga kerja bisa terjamin, sehingga berefek positif pula pada pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

Semakin tinggi mutu pendidikan, semakin tinggi produktivitas kerja. Semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat” (Baca teori human Capital).

Dalam logika seperti ini, sistem pendidikan yang berorientasi pada produktivitas tenaga kerja mesti menjadi perhatian para perumus kebijakan.

Setidaknya ada dua dimensi penting fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan (Sayuti Hasibua, 2000), yakni, pertama, fungsi sistem pendidikan dalam pemasok tenaga kerja terdidik dan terampil sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, dan kedua,  fungsi sistem pendidikan sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi sumber penggerak pembangunan atau driving force.

Barangkali langkah-langkah strategis pemerintah yang perlu dikerjakan adalah meningkatkan partisipasi sekolah melalui pemberian subsidi pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, memberikan beasiswa bagi peserta didik yang  berprestasi ke jenjang perguruan tinggi, serta mendorong didirikannya lembaga-lembaga  pendidikan formal setingkat perguruan tinggi yang bermutu yang memiliki keterkaitan dengan dunia kerja.

Kualitas tenaga guru, sarana-prasana sekolah yang rusak, dan banyaknya anak putus sekolah mesti menjadi perhatian pemerintah agar kualitas pendidikan di NTT semakin berbobot sehingga bisa mempengaruhi produktivitas tenaga kerja.

* Mahasiswa Pascasarjana UGM Yogyakarta Program Studi Manajemen dan Kebijakan Publik

Diluncurkan, 19.953 KPM di Sikka Terima Bantuan Pangan Non Tunai

0

Maumere, Ekorantt.com – Sebanyak 19.953 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di Kabupaten Sikka menerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

BNPT merupakan program Pemerintah Pusat pengganti beras untuk keluarga sejahtera (Rastra). 

BPNT adalah bantuan sosial pangan dalam bentuk dana non-tunai dari pemerintah yang diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM) setiap bulan melalui mekanisme akun elektronik.

Dana itu hanya digunakan untuk membeli bahan pangan di warung gotong royong atau e-Warong yang bekerja sama dengan bank BRI dan Bulog.

Bupati Sikka Robby Idong pada acara launching atau peluncuran program BPNT tahun 2019 di Aula SCC Kota Maumere, Flores, Selasa (8/10) mengatakan, setiap kepala keluarga (KK) penerima akan menerima Rp110 Ribu per/bulan.

Jika diterima dalam dalam bentuk barang, maka mereka akan menerima 8 kilogram beras dan 10 butir telur ayam setiap bulan.

“Sistem penyalurannya menggunakan e-Warong. Sistem ini bisa menghindari penyimpangan atau salah distribusi. Jadi, orang tidak bohong lagi. Ini pasti tepat sasaran,” kata Robby.

Menurut Robby, berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (PUSDATIN-KS) Kementerian Sosial (Kemensos) Republik Indonesia (RI), di Kabupaten Sikka, terdapat 19.953 keluarga penerima manfaat (KPM) program BPNT.

KPM terdiri atas dua kelompok, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 16.768 KPM dan Program Non-PKH atau penerima murni BPNT sebanyak 3.185 KPM.

Menurut Robby, dari seluruh KPM BPNT, masih terdapat KPM yang gagal buka rekening kolektif karena ada permasalahan kelengkapan administrasi kependudukan.

Menurut dia, program ini sangat strategis dalam mencapai visi RPJMD Sikka tahun 2018-2023 karena membantu keluarga miskin di Kabupaten Sikka.

Oleh karena itu, Bupati Robby menegaskan, pertama, Dinas Sosial Kabupaten Sikka segera menganggarkan kegiatan pelaksanaan verifikasi dan validasi data terpadu secara komprehensif pada tahun 2020.

Dengan demikian, basis data terpadu kesejahteraan sosial benar-benar merupakan keluarga miskin dan tidak mampu.

KPM yang bermasalah dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dianjurkan segera melakukan pemadanan data pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sikka.

Kedua, BRI Cabang Maumere segera menunjuk e-Warong dengan mempertimbangkan prinsip mudah terjangkau oleh KPM sesuai dengan jumlah desa atau kelurahan di Kabupaten Sikka.

Ketiga, Bulog Subdrive sebagai penyedia komoditas pangan beras memperhatikan kualitas beras dan menyalurkannya sampai ke setiap e-Warong di lokasi terbanyak KPM serta memperhatikan kualitas beras.

Oleh karena itu, ia berharap, KPM benar-benar memanfaatkan dana tersebut untuk membelanjakan kebutuhan pangan beras dan telur.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, BPNT merupakan wujud kepedulian pemerintah kepada masyarakat dalam gerakan pengentasan kemiskinan secara terpadu.

Oleh karena itu, Bupati Robby mengharapkan, semua pihak dapat bekerja sama sehingga tujuan program bisa tercapai.

Dalam kesempatan itu, Bupati Robby juga menyerahkan secara simbolis kartu bukti penerima BPNT kepada tiga orang penerima.

Hadir dalam acara itu, pimpinan sementara DPRD Sikka, Forkompimda, para asisten Setda Sikka, para staf ahli, BRI Cabang Maumere, Bulog Sub Drive Maumere, para camat, para lurah, para Kades se-Kabupaten Sikka, dan tamu undangan lainnya.

Prodi Matematika Universitas St. Paulus Ruteng Gelar Olimpiade Matematika

Ruteng, Ekorantt.com – Dalam proses menjaring peserta yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti kompetisi Olimpiade Nasional-MIPA tingkat Kopertis Wilayah VIII, Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Indonesia (FKIP UNIKA) St. Paulus Ruteng menggelar Olimpiade Matematika tingkat universitas, Sabtu (12/10/2019) di Ruangan Roosmalen.

Sebastianus Fedi, M.Pd selaku Ketua Panitia menjelaskan, kompetisi ini merupakan seleksi tahap awal di tingkat  Prodi sebelum para peserta terpilih mengikuti kompetisi tingkat Kopertis. Lebih jauh dari pada itu, olimpiade merupakan salah satu alat ukur untuk mengetahui pemahaman mahasiswa terhadap matematika.

Fedi menerangkan, jumlah mahasiswa yang mengikuti lomba 98 orang. Jumlah ini berkurang jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

“Mahasiswa yang terdaftar ada 98 orang, terdiri dari tingkat II,III, dan IV. Peserta tahun ini  sedikit turun dari tahun-tahun sebelumnya,” ujar Fedi.

Fedi menjelaskan, ada dua bentuk soal yang disediakan dalam lomba ini. Empat soal dengan jawaban singkat dan dua soal uraian. 

Kepada para mahasiswa ia menegaskan, jangan melihat ajang olimpiade ini dari sisi hadiah tetapi pengalamanlah yang paling berharga.

Menurutnya, mahasiswa yang terlibat juga harus bersyukur. Untuk menjadi peserta olimpiade tingkat prodi, para mahasiswa harus melewati proses seleksi yang cukup panjang. 

“Selamat kepada peserta yang ikut terlibat dalam olimpiade. Harus disyukuri, karena pemilihan peserta dilakukan dengan berbagai pertimbangan seturut kriteria tertentu”, ucap Fedi.

Adeputra Moses

Ketua KIP Minta Para Wartawan Ekspos Masalah Infrastruktur

0

Borong, Ekorantt.com – Ketua Komisi Informasi Publik (KIP), Roman Ndau Lendong meminta para wartawan untuk mengekspos masalah infrastruktur jalan dan air minum di Manggarai Raya.

“Hal ini disampaikannya kepada segenap wartawan pada saat kegiatan Orientasi Jurnalis yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jumat (11/10/2019) .

Dalam penyampaiannya, ia memberi contoh kasus yang terjadi di Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur. Ia menjelaskan, putusnya jaringan infrastruktur antara masyarakat Ngada dan Manggarai Timur saat musim hujan tiba adalah contoh fakta yang sudah semestinya diangkat oleh wartawan.

Roman melanjutkan, terkait persoalan tersebut, itu bisa jadi bukti bahwa masyarakat belum  merasakan kesuksesan otonomi daerah. 

Dalam prediksinya, kalau pola politik tidak berubah dan masih dijalankan dengan aksi-aksi KKN, sampai sepuluh atau bahkan lima belas tahun ke depan pun otonomi daerah tidak akan berjalan.

“Artinya apa? Para pemimpin kita adalah mereka yang berutang. Utang kepada pengusaha dan tim sukses. Coba digali relevansinya dengan infrastruktur yang buruk,” jelasnya.

Lebih lanjut kata Roman, KKN dan pembangunan infrastruktur adalah mata rantai yang saling terkait satu sama lain.

Ia pula meminta masyarakat untuk mawas diri, agar ke depan enggan menerima uang dari calon tertentu.

Ia juga meminta wartawan untuk melakukan investigasi terhadap proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang sering jadi ladang korupsi.

“Ke depan, coba teman-teman wartawan mengurai dan mencari solusi-solusi terkait hal itu. Buruknya infrastruktur jalan raya tentu akan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat,” tuturnya.

Menurut Roman, wartawan memainkan peranan kunci. Pemerintah maupun publik Indonesia bisa mengetahui persoalan di daerah  melalui tulisan dan berita yang dibuat oleh wartawan.

“Selain persoalan Infrastruktur jalan raya, masalah lain adalah air minum bersih. Semua persoalan ini harus diangkat ke permukaan, agar mendapat perhatian dari pemerintah,” ujarnya.

Adeputra Moses

69 dari 5001 Wanita di Nagekeo Positif Mengidap Kanker Serviks dan Payudara

Nagekeo, Ekorantt.com – Sebanyak 69 orang wanita dari 5001 orang wanita di Kabupaten Nagekeo positif mengalami kanker leher rahim (serviks) dan kanker payudara. 

Angka tersebut merupakan akumulasi dari pemeriksaan pada setiap Pustu, Polindes dan Puskesmas di seluruh Kabupaten Nagekeo dari Tahun 2017 sampai Bulan Agustus 2019.

Hal tersebut disampaikan Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dan Kesehatan Jiwa pada Dinas Kesehatan Kabupaten Nagekeo, Katrin Panie kepada wartawan, Jumat, (13/10/2019) di ruang kerjanya.

Menurutnya, kanker serviks dan kanker payudara adala penyakit tidak menular tetapi cenderung terus meningkat setiap tahunnya.

Kedua kanker tersebut merupakan masalah kesehatan yang penting bagi wanita di seluruh dunia. Kanker tersebut adalah jenis kanker kedua yang paling umum pada perempuan dan dialami oleh lebih dari 1,4 juta perempuan di seluruh dunia.

Dijelaskannya, berdasarkan data dari Kemenkes RI 2016,  kanker leher rahim menempati urutan kedua dan hampir semua wanita di Indonesia mengalaminya (99,7%).

“Jika tes IVA hasilnya positif, harus dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa chromotherapy, untuk mengetahui apakah benar hasil IVA positif dan mengarah kepada kanker serviks, sehingga untuk mengetahui positif kanker atau tidak, diperlukan  pemeriksaan lanjutan dan hal tersebut hanya bisa dilakukan di rumah sakit besar,” katanya.

Sementara itu, wakil bupati Nagekeo Marianus Waja, saat membuka kegiatan Sosialisasi, Deteksi Dini Kanker Serviks dan Kanker Payudara pada Kamis, 10 Oktober 2019 lalu di Hotel Pepita Mbay mengatakan, perempuan Nagekeo menempati posisi paling sentral dalam upaya membentuk generasi muda Nagekeo yang berkualitas, sehingga kaum perempuan di Nagekeo harus bebas dari kanker serviks dan kanker payudara.

Pada kesempatan itu, Wabup Marianus waja memerintahkan Dinas Kesehatan Kabupaten Nagekeo untuk bergerak lebih ke hulu dengan bekerja secara maksimal dalam upaya mencegah perempuan Kabupaten Nagekeo mengidap kanker.

“Sosialisasi dan pemeriksaan dua jenis kanker tersebut harus gencar dilaksanakan, sehingga masyarakat tidak saja memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup terhadap jenis kanker tersebut, tetapi juga terbebaskan dari bahaya kanker serviks dan kanker payudara,” tegasnya.

Belmin Radho

20 Tahun Kabupaten Lembata: Sebuah Persoalan Kebudayaan Orang-Orang Lembata

0

Oleh Alexander Aur Apelaby*

Pada 12 Oktober 2019, Kabupaten Lembata berusia 20 tahun.

Sejak 20 tahun lalu, kabupaten pulau ini memisahkan diri dari Kabupaten Flores Timur.

Sejak itu pula, Lembata berusaha keras menata, mengembangkan, dan menumbuhkan dirinya sebagai kabupaten.

Ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan pariwisata merupakan beberapa bidang penting dan utama yang ditata, dikembangkan, dan ditumbuhkan oleh pemerintah kabupaten pulau tersebut.

Tujuannya adalah mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat Lembata.

Apa hasilnya?

Tulisan ini tidak bermaksud mengulas dan mempersoalkan hasil penataan, pengembangan, dan penumbuhan bidang-bidang tersebut.

Tulisan ini memotret keberadaan dan perkembangan Kabupaten Lembata dan orang-orang Lembata sebagai persoalan kebudayaan.

Duduk perkara tulisan ini adalah mengapa sejak 20 tahun lalu, Kabupaten Lembata tidak menata, mengembangkan, dan menumbuhkan dirinya secara utuh dengan berbasis kebudayaan?

Jawaban untuk pertanyaan tersebut terkandung dalam tesis ini: Lembata yang berkeadilan sosial dan berkesejahteraan bersama bertumpu pada kebudayaan lokal dan dialog dengan kebudayaan modern.

Tulisan ini dimulai dengan sebuah peristiwa kecil di Jakarta pada 11 Maret 2017.

Pada saat itu, dalam rangka Pelantikan Pengurus Baru KEMADABAJA (Keluarga Mahasiswa dan Pemuda Lembata-Jakarta), organisasi mahasiswa tersebut menggelar diskusi terbatas bertema “Nilai-nilai Budaya dan Tradisi sebagai Identitas Orang Lembata yang Berkualitas”.

Menyusul tema ini adalah sebuah kalimat asumtif: “Semakin Modern, Semakin Terkikis Budaya Lembata”.

Tema dan kalimat asumtif tersebut mendorong saya untuk mengingat dan melihat kembali beberapa komentar orang-orang Lembata tentang proses Pilkada Lembata 2017 pada laman facebook group  BICARA LEMBATA.

Dalam group media sosial tersebut, sekurang-kurangnya ada tiga kelompok pengomentar.

Pertama, kelompok pengomentar “politik” yang berciri sarkastik, tendensius, provokatif, dan menyerang ruang privat pihak lawan. Isi komentar mereka seolah-olah politik, padahal sama sekali tidak politik.

Kedua, kelompok pengomentar pendingin. Kelompok ini mengedepankan dalil-dalil tentang kearifan lokal seperti kekeluargaan, persaudaraan, dan persahabatan dalam budaya Lembata. Kearifan itu dirumuskan dalam kata-kata kaka-ade, ina-ama, dan reu-breung sebagai sesama orang Lembata. Kelompok ini mengharapkan, komentar-komentar terkait Pilkada Lembata 2017 tetap mengedepankan prinsip-prinsip moral yang bersumber dari budaya dan tradisi Lembata.

Ketiga, kelompok pengomentar keluhan (kelompok pengeluh). Kelompok ini mengeluh karena sikap kelompok  pengomentar “politik” yang mengabaikan budaya dan tradisi Lembata dalam mengemukakan pendapatnya di media sosial. Kelompok ketiga ini menilai bahwa nilai-nilai baik yang terkandung dalam budaya Lembata semakin tergerus oleh hal-hal baru dari luar. Namun, mereka hanya berhenti pada keluhan. Mereka tidak memberi solusi apapun untuk mengatasi masalah yang dikeluhkannya.

Tiga kelompok pengomentar dan isi komentarnya bersifat indikatif, yakni mengindikasikan kebenaran rumusan asumtif tersebut di atas.

Akan tetapi, persoalan tidak berhenti di situ.

Pertanyaan lanjutan yang lebih mendasar adalah mengapa (orang) Lembata semakin modern, semakin terkikis budaya lokalnya?

Pertanyaan ini dapat menjadi pendorong bagi orang-orang Lembata agar duc in altum (bertolak lebih ke dalam) untuk merefleksikan dan menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut.

Apa itu kebudayaan Lembata?

Apakah ada kebudayaan Lembata?

Bagaimana orang-orang Lembata mengetahui dan mengenali kebudayaannya?

Mengapa peduli terhadap kebudayaan Lembata?

Apa tujuan kepedulian itu?

Kebudayaan Lembata: Mengidentifikasi yang Universal dalam yang Partikular

Apabila ada orang Lembata yang memersoalkan keterkikisan budaya Lembata, sesungguhnya orang tersebut sedang membuka sebuah pintu bagi orang-orang Lembata lainnya untuk memeriksa secara jernih eksistensi kebudayaan Lembata.

Apa itu kebudayaan Lembata?

Apakah ada kebudayaan Lembata?

Kebudayaan Lembata yang mana?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu sikap kehati-hatian.

Mengapa?

Sebab, Lembata itu tidak tunggal.

Lembata terdiri atas Leragere, Kedang, Ileape, Lamalera, Kalikasa, Lerek, Atawolo, Boto, Kluang, Labala, Ataili, Wulandoni, dan sebagainya.

Bahkan sampai ke tanah rantau seperti Jakarta, Batam, dan tempat-tempat lain di seluruh Indonesia yang ada orang-orang Lembata, tak jarang kita temukan bahwa orang-orang Lembata membentuk kerukunan berdasarkan kampung asal atau berdasarkan kecamatan asal.

Konsekuensi lebih lanjut dari ketidaktunggalan Lembata dan kebiasaan mengidentifikasikan diri berdasarkan kampung asal atau kecamatan asal itu adalah kesulitan merumuskan kebudayaan Lembata.

Meski demikian, bukan berarti rumusan tentang kebudayaan Lembata tidak bisa ditetapkan.

Rumusan tentang kebudayaan Lembata dapat ditetapkan.

Menetapkan rumusan kebudayaan Lembata berarti menetapkan hal yang universal/umum yang terdapat dalam setiap hal yang partikular/khusus.

Hal itu sesuai dengan sifat dan makna “kebudayaan” itu sendiri.

Kata “kebudayaan” bersifat universal.

Universalitasnya bertautan langsung dengan cara berada manusia.

Manusia menunjukkan keberadaannya dengan cara melakukan berbagai kegiatan yang khas manusia seperti berpikir, bekerja, bernyanyi, berkeluarga, bermusyarawah, berbela-rasa, berpolitik, berkebun, bertenun, bernelayan, berdoa, dan sebagainya.

Manusia juga menunjukkan keberadaannya dengan cara memaknai setiap aktivitasnya.

Aktivitas dan pemaknaan atas aktivitas itulah yang disebut kebudayaan.

Dengan demikian, kebudayaan merupakan suatu kegiatan kreatif dan khas yang dilakukan manusia (Bdk., Budiono Kusumohamidjoho, 2009, p. 24).

Definisi kebudayaan yang bersifat aktif (berkebudayaan) tersebut mengindikasikan tiga titik orientasi hidup manusia.

Pertama, berorientasi pada diri sendiri dan sesama. Manusia mengembangkan segala potensi dirinya. Manusia adalah subjek dari berkebudayaan.

Kedua, berorientasi pada alam. Terhadap alam, manusia tidak semata-mata tunduk pada kehendak alam, melainkan manusia berusaha mengendalikan, mensiasati, dan mengolah alam. Manusia memperlakukan alam sebagai objek dalam berkebudayaan.

Ketiga, berorientasi pada Tuhan. Manusia selalu memiliki orientasi pada Tuhan. Upacara-upacara adat merupakan wujud konkrit dari orientasi manusia kepada Tuhan.

Tujuan akhir dari ketiga orientasi tersebut adalah kehidupan yang bersifat relasional-harmonis: antarmanusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.

Kebudayaan selalu mengandung tiga orientasi itu.

Oleh karena itu, kebudayaan tidak sekedar artefak-artefak beku dan mati peninggalan masa lalu.

Lebih dari itu adalah berkebudayaan, yakni suatu pergulatan aktif diri manusia selama hidup di dunia ini.

Pergulatan itu bersifat universal, berlaku bagi semua manusia dari berbagai kebudayaan yang berbeda-beda.

Dalam bingkai pikiran tentang kebudayaan yang demikian, orang-orang Lembata dapat mengidentifikasi kebudayaan Lembata.

Kebudayaan Lembata itu menyangkut pergulatan diri dan hidup orang-orang Lembata dengan berfokus pada tiga orientasi tersebut.

Orang-orang Lembata menjalankan pergulatan diri dan hidupnya dengan cara melakukan berbagai kegiatan yang khas manusia: berpikir, bekerja, bernyanyi, berkeluarga, bermusyarawah, berbela-rasa, berpolitik, berkebun, bertenun, bernelayan, berdoa, dan sebagainya.

Orang-orang Lembata juga memaknai kegiatan khasnya itu.

Baik orang Leragere, Lamalera, Wulandoni, Loang, Boto, Kedang, Ileape, Lamatuka, Kluang, Lerek, Kalikasa, Atawolo, Ataili, Lewoleba, dan sebagainya melakukan berbagai kegiatan khas tersebut dan memaknainya.

Dalam dan melalui kegiatan khas tersebut, orang-orang dari berbagai kampung mengembangkan dirinya, mengembangkan komunitas/kampungnya, dan mengarahkan dirinya pada Tuhan.

Semua orang dari berbagai kampung melakukannya dengan intensistas yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, terhadap pertanyaan, apakah ada kebudayaan Lembata?

Ya, ada kebudayaan Lembata!

Apa aspek universal dari kebudayaan Lembata?

Tiga orientasi dalam berkebudayaan tersebut adalah aspek universalnya.

Berdasarkan aspek universal tersebut, “taan tou” menjadi filsafat kebudayaan Lembata.

Filsafat itu menggerakkan orang-orang Lembata untuk bersatu dan bekerja sama mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.

Apakah filsafat “taan tou” menggerakkan orang-orang Lembata selama 20 tahun terakhir?

Jawaban atas pertanyaan ini bertumpu pada pengetahuan mengenai isi fenomena budaya Lembata. 

Mengetahui Kebudayaan Lembata: Mengidentifikasi Isi Fenomena Budaya

Banyak artefak dan peristiwa yang mengindikasikan kebudayaan kelompok masyarakat tertentu.

Demikian pula Lembata.

Ada banyak sekali artefak dan peristiwa antara lain sarung tenun-ikat, perahu nelayan Lamalera, tari, upacara adat, rumah adat, ina yang sedang menenun, ama yang sedang menari, lamafa menancapkan tempuling pada tubuh ikan paus, dan ina lefa yang mengolah daging ikan paus.

Aneka artefak dan peristiwa tersebut merupakan fenomena-fenomena kebudayaan.

Apa yang dapat kita ketahui dari fenomena-fenomena tersebut?

Apa saja isi kebudayaan yang terkandung dalam fenomena-fenomena itu?

Ketika orang-orang Lembata melihat berbagai artefak dan peristiwa tersebut, kesadaran mereka terarah pada fenomena-fenomena itu dan menangkap isi yang tersingkap dari fenomena-fenomena itu.

Kesadaran orang-orang Lembata akan menangkap dan mengerti pergulatan diri orang-orang Lembata dalam dan melalui berbagai artefak dan peristiwa budaya.

Setiap orang dapat menangkap berbagai macam isi kebudayaan dari fenomena-fenomena budaya itu.

Fenomena-fenomena itu menyingkapkan kesabaran, ketekukan, keuletan, rasa syukur, pantang menyerah, dan sebagainya.

Para ina dan ama di dan dari berbagai kampung di Lembata menghayati isi budaya tersebut dan mewujudkannya dalam sikap dan tindakan budaya.

Mereka mungkin kurang lugas menjelaskan dan membahasakan isi budayanya.

Akan tetapi, mereka justru sangat mampu dalam hal menghayati, mengerti,  dan menjalankan (mempraksiskan) isi budayanya.

Kegiatan-kegiatan khas yang mereka lakukan – seperti menenun, menari, bekerja di kebun, iris tuak, menjunjung hasil kebun ke pasar, dan menunggu berjam-jam pembeli hasil kebun – merupakan wujud konkrit isi budaya yang mereka hayati dan mengerti.

Kelembataan orang-orang Lembata (keberadaan diri orang-orang Lembata) tersingkap lewat isi budaya yang dihayati dan dijalankannya setiap hari.

Kegiatan-kegiatan khasnya dalam kehidupan sehari-hari merupakan penampakan dari citra diri (kelembataan) orang-orang Lembata.

Dalam berbagai kegiatan khas itulah, orang-orang Lembata menyingkapkan kediriannya, menyingkapkan wawasan dunia (world view-nya), sistem nilai kehidupan (living values) yang unik dan khas, dan orientasi-orientasi hidupnya.

Dalam berbagai kegiatan khas budayanya, orang-orang Lembata menegaskan imanensi budayanya (hal yang tetap dan tidak berubah sebagai pegangan diri) dan bersamaan dengan itu men-transendensi pula budayanya (mengembangkan dan memodifikasi budaya) supaya mampu berlari bersama zaman yang berubah (Bdk., C.A. van Peursen, 1976, 24).

Dengan demikian, budaya Lembata tetap eksis/ada tanpa hanyut dalam badai perubahan dunia/zaman.

Akan tetapi, mengapa orang-orang Lembata sangat sarkastik dan mudah mengeluh berkaitan dengan peristiwa peralihan kekuasaan politik di Lembata, seperti yang sudah tersajikan pada awal tulisan ini?

Apakah karena orang-orang Lembata mengalami krisis diri? 

Ataukah karena budaya Lembata memiliki kekurangan intrinsik sehingga mudah mengalami krisis?

Krisis Diri, Krisis Pengertian

Berapa orang yang mampu menenun saat ini?

Berapa orang yang masih mau dan sanggup bertani?

Berapa orang yang masih mau dan mampu titi jagung?

Berapa orang yang masih mau dan mampu iris tuak?

Berapa orang yang masih mau dan mampu duduk berlama-lama mendengarkan dan memahami ina-ina yang membei nasihat sambil sambil mengayam sokal?

Berapa orang yang masih mau mendengarkan ama-ama yang mewariskan petuah-petuah bijak sambil membuat bambu penadah tuak?

Dengan mengetahui populasinya, kita bisa mengukur sejauh mana keterkikisan budaya Lembata berlangsung.

Lebih dari perkara seberapa besar populasi kemauan dan kesanggupan orang-orang Lembata menekuni kebudayaannya, persoalan keterkikisan dapat diidentifikasi melalui tiga pertanyaan krusial ini.

Mengapa budaya sebuah masyarakat atau bangsa terkikis?

Apa saja penyebabnya?

Apakah faktor-faktor penyebabnya berasal dari dalam budaya itu sendiri ataukah ada pula faktor-faktor luar?

Dengan mengacu pada gagasan tentang kebudayaan sebagai aktivitas kreatif dan refleksi atas (memaknai) kegiatan khas-kegiatan khas manusia yang telah dipaparkan di atas, maka ada dua hal penting yang terkandung dalam kebudayaan suatu masyarakat, yakni manusia sebagai subjek kebudayaan dan kekuatan-kelemahan intrinsik budaya.

Berpijak pada dua (2) hal tersebut, kita dapat menjawab tiga (3) pertanyaan krusial terkait keterkikisan budaya suatu masyarakat/bangsa.

Pertama, keterkikisan budaya berakar pada krisis diri manusia sebagai sebagai subjek kebudayaan.

Akar dari krisis diri adalah sikap enggan/lupa merefleksi diri.

Berefleksi berarti akal/pikiran sedang memandang dirinya sendiri, melihat kemampuan dan cara kerjanya, serta mengetahui batas-batas kemampuannya.

Oleh karena itu, (be)refleksi bertautan dengan kritik akal murni, kritik akal praktis, kritik tentang putusan selera, dan cita-rasa seperti yang dipikirkan filosof Immanuel Kant.

Kritik akal murni berurusan dengan upaya manusia menjawab pertanyaan apa yang dapat diketahuinya?

Kritik akal praktis berhubungan dengan upaya manusia menjawab pertanyaan apa yang harus dilakukannya?

Dan kritik tentang putusan selera dan cita rasa berhubungan dengan pertanyaan apa yang disukai dan tidak disukai manusia (Ignas Kleden, dalam Johanis Mangkey MSC, 2016, xxxi-xxxii).

Tiga model kritik akal Kantian tersebut menjadi acuan untuk mendiagnosis keterkikisan budaya Lembata.

Kritik akal murni merupakan seruan kepada orang-orang Lembata untuk bertanya sebagai berikut.

Apakah orang-orang Lembata mempunyai pengertian yang cukup tentang kebudayaan Lembata?

Apakah orang-orang Lembata mempunyai pemahaman yang cukup tentang keberadaannya sebagai orang Lembata dan segala konsekuensi yang akan timbul darinya?

Sementara itu, kritik akal praktis mendesak orang-orang Lembata untuk menyelidiki, apa yang harus dilakukan oleh orang-orang Lembata agar dapat menyelamatkan budaya Lembata supaya tidak terkikis habis?

Krisis diri orang-orang Lembata yang ditandai dengan keengganan melakukan refleksi diri memungkinkan terjadinya krisis pengertian mengenai kebudayaan Lembata.

Keterkikisan budaya Lembata boleh jadi karena orang-orang Lembata tidak memiliki pengertian yang memadai tentang kebudayaan Lembata. Bahkan boleh jadi karena orang-orang Lembata juga tidak paham tentang keberadaannya sebagai orang Lembata yang mempunyai tanggung jawab mengidentifikasi, menghayati, dan menjalankan kebudayaan Lembata.

Keterkikisan budaya Lembata dapat pula terjadi begini: sesungguhnya orang-orang Lembata mempunyai pengertian yang memadai tentang kebudayaan Lembata dan kediriannya sebagai orang Lembata, tetapi ia mewujudkan kebudayaan Lembata dan kediriannya sebagai orang Lembata dengan cara yang salah (tidak tepat).

Alih-alih membela dan merawat budaya Lembata dan menghormati kedirian orang Lembata, tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah memanipulasi budaya Lembata dan mencederai kedirian orang Lembata.

Artinya, telah terjadi penipuan dalam berkebudayaan.

Keterkikisan budaya Lembata juga terjadi karena orang-orang Lembata tidak menyadari bahwa penipuan dan manipulasi terhadap budaya Lembata dan kedirian orang Lembata, merupakan sebuah kesalahan/penyimpangan/penipuan.

Penipuan dalam berkebudayaan dapat terwujud melalui kebijakan-kebijakan publik di bidang kebudayaan yang manipulatif.

Apabila orang-orang Lembata berada dalam cengkraman krisis diri dan krisis pengertian tentang kebudayaan Lembata, maka jelaslah bahwa pokok persoalan krisis budaya Lembata adalah krisis diri (kelembataan) orang-orang Lembata.

Krisis kelembataan bermuara pada keterkikisan budaya Lembata.

Kelembataan yang terkikis menyebabkan budaya Lembata lambat laun kehilangan dasar pijaknya.

Padahal, kelembataan merupakan aspek internal diri yang mencirikan kekhasan dan keunikan orang-orang Lembata.

Kelembataan merupakan hakikat fundamental dan hal konstitutif diri orang-orang Lembata.

Kelembataan terungkap dalam sikap dan laku budaya.

Kegiatan-kegiatan budaya – seperti menangkap ikan paus pada musim Lefa di Lamalera, upacara pesta kacang di Ileape, tradisi menenun sarung di berbagai desa di Lembata, dan menari sole di Atadei, poan kemer di Kedang –merupakan ungkapan konkrit dari kelembataan orang-orang Lembata.

Apa yang akan terjadi di Kabupaten Lembata pada masa depan, bila yang terjadi selama 20 tahun terakhir adalah krisis diri  (kelembataan) orang-orang Lembata?

Pertanyaan ini mendorong orang-orang Lembata untuk bangkit dari krisis dirinya.

Kebangkitan dimulai dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan intrinsik budaya Lembata.

Dengan demikian, siasat kebudayaan dapat dilakukan.

Kekuatan dan Kelemahan Intrinsik Budaya

Budaya merupakan buah dari pergulatan diri manusia dan kegiatan-kegiatan hidupnya.

Budaya tampak secara nyata dalam dua wujud seperti yang dikemukakan oleh sosiolog Ogburn dan Nimkoff, yakni wujud material dan wujud non-material.

Wujud material terdiri atas benda-benda empiris seperti peralatan kerja, pakaian, bangunan, lagu, makanan, dan sebagainya, sedangkan wujud non-material terdiri atas hal-hal abstrak seperti adat-istiadat, tradisi, kebiasaan, perilaku, sikap, sistem nilai, bahasa, seni, agama, dan sebagainya (Alo Liliweri, 2014, pp. 12-13).

Wujud material dan non-material kebudayaan saling terkait.

Wujud material merupakan ungkapan empiris dari wujud non-material.

Manusia sebagai subjek budaya mengalami pergulatan kebudayaan dengan pikiran dan perasaannya.

Pergulatan itu melahirkan wujud material budaya.

Wujud material merupakan representasi pikiran dan perasaan manusia sebagai subjek budaya.

Kebudayaan suatu masyarakat atau bangsa tetap eksis apabila masyarakat/manusia dari budaya tersebut mengerti dwi-tunggal kebudayaan dan mewujudkannya dalam tindakan hidup sehari-hari.

Tanpa pengertian dan perwujudan, musnahlah kebudayaan.

Akan tetapi, baik aspek material maupun non-material kebudayaan juga mempunyai kekurangan intrinsik.

Kekurangan intrinsik dalam aspek material budaya misalnya, artefak-artefak tidak bertahan oleh sapuan cuaca dan iklim.

Ada artefak-artefak yang dibuat dengan bahan dasar yang tidak/kurang berkualitas akhirnya hancur lebur.

Kehancuran artefak budaya menimbulkan keterputusan sejarah suatu masyarakat dan keterputusan proses evolusi kebudayaan.

Sementara itu, kekurangan intrinsik dalam aspek non-material budaya, misalnya, sistem nilai kehidupan (living values system) dan tradisi (kebiasaan-kebiasaan baik) yang tidak tahan terhadap nilai-nilai dan tradisi baru.

Nilai-nilai lama yang bersumber dari masyarakat zaman sebelumnya terlindas dan tergantikan oleh nilai-nilai baru.

Nilai-nilai lama dianggap sebagai hal yang kuno dan tidak sesuai lagi dengan semangat zaman baru.

Kelemahan intrinsik dalam aspek non-material budaya juga menyebabkan kebudayaan suatu masyarakat terkikis dan bahkan ditinggalkan oleh orang-orangnya.

Ada masyarkat yang tetap mempertahankan secara ketat aspek non-material budayanya.

Ada masyarakat yang secara cerdik dan cerdas mengkombinasikan atau mengintegrasikan aspek non-material budaya lama dengan aspek non-material budaya baru.

Kombinasi dan integrasi ini merupakan strategi budaya untuk mempertahankan eksistensi budaya asli dan sambil tetap terbuka terhadap budaya baru yang datang dari luar.

Ada pula pribadi-pribadi tertentu yang secara kreatif mengkreasikannya sehingga menjadi blended culture.

Seperti apa gambaran masa depan Kabupaten Lembata?

Pada masa depan, apakah orang-orang Lembata adalah orang-orang yang menghayati dan menggerakkan filsafat kebudayaan “taan tou” dalam kehidupan bersama sebagai warga Kabupaten Lembata?

Strategi kebudayaan adalah kuncinya!

Strategi Kebudayaan Lembata

Tesis berikut adalah jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut: Orang-orang Lembata harus mempunyai sikap budaya yang terwujud dalam membangun dan mengembangkan strategi kebudayaan Lembata.

Tesis tersebut dilaksanakan secara konkrit melalui pembentukan Dewan Kebudayaan Lembata.

Orang-orang yang mengisi Dewan Kebudayaan Lembata adalah pelaku-pelaku kebudayaan dari berbagai desa/kecamatan di Lembata dan dibantu oleh para sosiolog-budaya, antropolog-budaya, dan para pihak lain yang berkomitmen pada Kebudayaan Lembata.

Dewan tersebut bertugas untuk pertama, melakukan riset budaya untuk memahami sistem nilai kehidupan budaya Lembata dan mengembangkannya melalui program pendidikan budaya. Program pendidikan budaya diintegrasikan melalui pendidikan budaya lokal (muatan lokal) di sekolah-sekolah, mulai dari SD sampai SMA. Bahkan, pendirian sekolah kebudayaan lokal secara formal merupakan keniscayaan.

Kedua, membentuk sanggar budaya di setiap kecamatan. Selanjutnya, merancang kegiatan-kegiatan budaya secara berkala dengan melibatkan semua pihak (stakeholders) di kecamatan dan desa.

Ketiga, menggelar festival budaya secara berkala sebagai ekspresi kedirian orang Lembata. Setiap sanggar budaya tingkat kecamatan menjadi pelaku dalam festival budaya.

Keempat, penetapan Desa Adat untuk beberapa desa yang secara konsisten menghidupi (menghayati) dan menjalankan nilai dan tradisi budayanya.

Sikap dan strategi kebudayaan yang terwujud melalui kerja konkrit Dewan Kebudayaan Lembata tersebut berpeluang menguatkan kelembataan orng-orang Lembata secara kultural.

Dengan demikian, budaya Lembata tetap eksis dan memampukan orang-orang Lembata untuk berdialog dan bekerja sama secara konstruktif dengan budaya-budaya lain dari luar.

Dengan demikian, keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat pertama-tama adalah perkara kebudayaan dan bukan perkara politik.

* Orang Lembata, Dosen Filsafat FLA Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten.

Masyarakat Atadei Masih Gunakan Pelita di Ultah ke-20 Kabupaten Lembata

0

Lembata, Ekorantt.com – Momentum ulang tahun yang ke-20 Kabupaten Lembata semestinya menjadi peristiwa menggembirakan bagi seluruh masyarakat kabupaten Lembata.  Sudah 20 tahun sejak berpisah dari kabupaten induk Flores Timur kebutuhan utama masyarakat terutama listrik di kecamatan Atadei belum terpenuhi.

Petrus Bala Wukak salah satu anghota DPRD Kabupeten Lembata Dapil IV dalam konferensi pers usai apel mengeluhkan soal sarana listrik yang belum terpenuhi.

 “Jaringan  listrik di Lembata banyak yang mangkrak, ada yang cuma tiang-tiangnya saja. Di beberapa titik jaringan sudah dipasang, uang sudah dikasih, tanaman komoditi sudah ditebang untuk kepentingan listrik bagi masyarakat. Kecamatan Atadei menjadi kecamatan yang  sampai saat ini belum menyala. Jaringan sudah masuk ke 15 desa di kecamatan itu. Namun ada beberapa desa yang belum diisntalasi jaringannya.” Demikian tutur Bala Wukak.

Bala Wukak lebih jauh menjelaskan bahwa dirinya sudah membangun komunikasi dengan Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada saat kunjungannya ke Lembata terkait kebutuhan listrik warga yang belum terpenuhi pada Jumat 11 Oktober 2019.

“Jangan sampai ada upaya untuk menindas masyarakat. Dari PLN diminta untuk blacklist rekanan yang tidak konsisten dengan apa yang sudah disepakati. Pemerintah pusat punya keseriusan dalam menangani masalah kelistrikan di kabupaten lembata. PLN harus menjelaskan kepada publik secara transparan mengapa sampai saat ini listrik belum menyala. 

Selama ini masyarakat masih menggunakan penerangan seadanya seperti generator, diesel, lampu sehen bahkan masih ada yang menggunakan pelita seperti yang dialami oleh masyarakat di Atadei. Bagi saya masyarakat jangan dikorbankan hanya karena kepentingan pribadi atau golongan”. Demikian penjelasan Bala Wukak.

Ditanya soal kapan listrik di kecamatan Atadei bisa dinikmati oleh masyarakat Atadei, beliau menyatakan dengan tegas

“Dalam waktu satu atau dua hari lagi PLN harus merespon cepat masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Persoalan ini sangat kronis. Kepala PLN kalau tidak segera menyelesaikan persoalan ini harus dicopot”, tuturnya lebih jauh.

Gabriel Weka Ujan, warga masyarakat Atadei ketika dihubungi via ponsel mengeluhkan hal yang sama seperti penuturan Bala Wukak. “Kami masyarakat sudah mengumpulkan uang muka untuk mempercepat proses pemasangan dan instlasi jaringan agar kami bisa menikmati listrik. Jumlah uang yang sudah dikumpulkan bervariasi dari 500.000-1000.000 rupiah sesuai kemampuan masyarakat. Pengumpulan uang sudah kami lakukan dari dua tahun lalu, namun sampai saat ini listrik belum menyala saja ini.” Demikian keluhan dari Weka Ujan.

Martin Lamak

Kasus Kebakaran Meningkat Drastis, Pemda Ngada Belum Punya Mobil Damkar

0

Bajawa, Ekorantt.com – Helibertus Moda, Kepala Bidang Penanganan Bencana dan Kebakaran pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Ngada mengungkapkan, sampai dengan Oktober 2019, telah terjadi 20 kasus kebakaran di Kabupaten Ngada.

Dari 20 kasus itu, kasus kebakaran paling banyak terjadi di kota Bajawa.

“Sudah ada 20 kasus kebakaran dan terbanyak terjadi di kota Bajawa, yaitu 11 kasus kebakaran,” ungkapnya.

Menurutnya, pihak Pol PP mengalami kesulitan menangani kasus kebakaran karena belum ada mobil damkar pemadam kebakaran di Kabupaten Ngada.

“Kalau tenaga terlatih, kita sudah punya sebanyak 15 orang. Namun, kita terkendala belum adanya fasilitas pemadam kebakaran,” ungkapnya.

Berikut daftar kasus kebakaran di Kabupaten Ngada sepanjang 2019.

1. Kebakaran Bengkel (Kompleks Dolog) Bajawa.

2. Kebakaran Rumah (Kompleks STM) Bajawa.

3. Kebakaran Kantin/Rumah Makan (Kompleks SDK Regina Pacis), Bajawa.

4. Kebakaran Pasar Loak Bajawa.

5. Kebakaran Gudang, Kel. Trikora, Bajawa.

6. Kebakaran Dapur, Kel. Trikora, Bajawa.

7. Kebakaran Gudang, Kel. Trikora, Bajawa.

8. Kebakaran Kios, Marunggela.

9. Kebakaran Homestay, Kec. Aimere.

10. Kebakaran Rumah, Kel. Benteng Tengah, Kec. Riung.

11. Kebakaran Rumah, Kel. Susu, Kec. Bajawa.

12.Kebakaran Rumah, Dusun Rakot, Desa Latung.

13. Kebakaran Kios, Pasar So’a, Kec. Soal.

14. Kebakaran Hutan, Ngilasabu.

15. Kebakaran Hutan Raya Wolobobo.

16. Kebakaran Rumah di Padha Woli, Kel. Trikora, Bajawa.

17. Kebakaran Rumah/Kos, Padha Woli, Kel. Trikora, Bajawa.

18. Kebakaran Rumah di Pelabuhan Aimere, Kec. Aimere.

19. Kebakaran Kantor, Pora, Kec. Bajawa.

20. Kebakaran Rumah, Wangka, Kec. Riung.

Belmin Radho