Oleh Alexander Aur Apelaby*
Pada
12 Oktober 2019, Kabupaten Lembata berusia 20 tahun.
Sejak
20 tahun lalu,
kabupaten pulau ini memisahkan diri dari Kabupaten Flores Timur.
Sejak
itu pula, Lembata
berusaha keras menata, mengembangkan, dan menumbuhkan dirinya sebagai kabupaten.
Ekonomi,
politik, pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan pariwisata merupakan beberapa bidang
penting dan utama yang ditata, dikembangkan, dan ditumbuhkan oleh pemerintah
kabupaten pulau tersebut.
Tujuannya
adalah mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat Lembata.
Apa
hasilnya?
Tulisan
ini tidak bermaksud mengulas dan mempersoalkan hasil penataan, pengembangan,
dan penumbuhan bidang-bidang tersebut.
Tulisan
ini memotret keberadaan dan perkembangan Kabupaten Lembata dan orang-orang
Lembata sebagai persoalan kebudayaan.
Duduk
perkara tulisan ini adalah mengapa sejak
20 tahun lalu, Kabupaten Lembata tidak menata, mengembangkan, dan menumbuhkan
dirinya secara utuh dengan berbasis kebudayaan?
Jawaban
untuk pertanyaan tersebut terkandung dalam tesis ini: Lembata yang berkeadilan
sosial dan berkesejahteraan bersama bertumpu pada kebudayaan lokal dan dialog
dengan kebudayaan modern.
Tulisan
ini dimulai dengan sebuah peristiwa kecil di Jakarta pada 11 Maret 2017.
Pada
saat itu, dalam rangka Pelantikan Pengurus Baru KEMADABAJA (Keluarga Mahasiswa dan Pemuda
Lembata-Jakarta), organisasi mahasiswa tersebut menggelar diskusi terbatas
bertema “Nilai-nilai Budaya dan
Tradisi sebagai Identitas Orang Lembata yang Berkualitas”.
Menyusul
tema ini adalah sebuah kalimat asumtif: “Semakin
Modern, Semakin Terkikis Budaya Lembata”.
Tema
dan kalimat asumtif tersebut mendorong saya untuk mengingat dan melihat kembali
beberapa komentar orang-orang Lembata tentang proses Pilkada Lembata 2017 pada laman facebook group BICARA LEMBATA.
Dalam
group media sosial tersebut, sekurang-kurangnya ada tiga kelompok pengomentar.
Pertama, kelompok pengomentar “politik” yang
berciri sarkastik, tendensius, provokatif, dan menyerang ruang privat pihak
lawan. Isi komentar mereka seolah-olah politik, padahal sama sekali tidak
politik.
Kedua, kelompok pengomentar pendingin. Kelompok
ini mengedepankan dalil-dalil tentang kearifan lokal seperti kekeluargaan,
persaudaraan, dan persahabatan
dalam budaya Lembata. Kearifan itu dirumuskan dalam kata-kata kaka-ade, ina-ama, dan reu-breung sebagai sesama orang
Lembata. Kelompok ini mengharapkan, komentar-komentar terkait Pilkada
Lembata 2017 tetap mengedepankan prinsip-prinsip moral yang bersumber dari
budaya dan tradisi Lembata.
Ketiga, kelompok pengomentar keluhan
(kelompok pengeluh). Kelompok ini mengeluh karena sikap kelompok pengomentar “politik” yang mengabaikan budaya
dan tradisi Lembata dalam mengemukakan pendapatnya di media sosial. Kelompok
ketiga ini menilai bahwa nilai-nilai baik yang terkandung dalam budaya Lembata
semakin tergerus oleh hal-hal baru dari luar. Namun, mereka hanya berhenti pada keluhan.
Mereka tidak memberi solusi apapun untuk mengatasi masalah yang dikeluhkannya.
Tiga
kelompok pengomentar dan isi komentarnya bersifat indikatif, yakni mengindikasikan
kebenaran rumusan asumtif tersebut di atas.
Akan tetapi, persoalan tidak berhenti
di situ.
Pertanyaan lanjutan yang lebih
mendasar adalah mengapa (orang) Lembata semakin modern, semakin terkikis budaya
lokalnya?
Pertanyaan
ini dapat menjadi pendorong bagi orang-orang Lembata agar duc in altum (bertolak lebih ke dalam) untuk merefleksikan dan
menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut.
Apa
itu kebudayaan Lembata?
Apakah
ada kebudayaan Lembata?
Bagaimana
orang-orang Lembata mengetahui dan mengenali kebudayaannya?
Mengapa
peduli terhadap kebudayaan Lembata?
Apa
tujuan kepedulian itu?
Kebudayaan Lembata: Mengidentifikasi
yang Universal dalam yang Partikular
Apabila
ada orang Lembata yang memersoalkan keterkikisan budaya Lembata, sesungguhnya
orang tersebut sedang membuka sebuah pintu bagi orang-orang Lembata lainnya
untuk memeriksa secara jernih eksistensi kebudayaan Lembata.
Apa
itu kebudayaan Lembata?
Apakah
ada kebudayaan Lembata?
Kebudayaan
Lembata yang mana?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu sikap kehati-hatian.
Mengapa?
Sebab,
Lembata itu tidak tunggal.
Lembata
terdiri atas
Leragere, Kedang, Ileape, Lamalera, Kalikasa, Lerek, Atawolo, Boto, Kluang,
Labala, Ataili, Wulandoni, dan sebagainya.
Bahkan
sampai ke tanah rantau seperti Jakarta, Batam, dan tempat-tempat lain di
seluruh Indonesia yang ada orang-orang Lembata, tak jarang kita temukan bahwa orang-orang
Lembata membentuk kerukunan berdasarkan kampung asal atau berdasarkan kecamatan
asal.
Konsekuensi
lebih lanjut dari ketidaktunggalan Lembata dan kebiasaan mengidentifikasikan
diri berdasarkan kampung asal atau kecamatan asal itu adalah kesulitan
merumuskan kebudayaan Lembata.
Meski
demikian, bukan berarti rumusan tentang kebudayaan Lembata tidak bisa
ditetapkan.
Rumusan
tentang kebudayaan Lembata dapat ditetapkan.
Menetapkan
rumusan kebudayaan Lembata berarti menetapkan hal yang universal/umum yang
terdapat dalam setiap hal yang partikular/khusus.
Hal
itu sesuai dengan sifat dan makna “kebudayaan” itu sendiri.
Kata
“kebudayaan” bersifat universal.
Universalitasnya
bertautan langsung dengan cara berada manusia.
Manusia
menunjukkan keberadaannya dengan cara melakukan berbagai kegiatan yang khas manusia seperti berpikir, bekerja,
bernyanyi, berkeluarga, bermusyarawah, berbela-rasa, berpolitik, berkebun,
bertenun, bernelayan, berdoa, dan sebagainya.
Manusia
juga menunjukkan keberadaannya dengan cara memaknai setiap aktivitasnya.
Aktivitas
dan pemaknaan atas aktivitas itulah yang disebut kebudayaan.
Dengan
demikian, kebudayaan merupakan suatu kegiatan kreatif dan khas yang dilakukan
manusia (Bdk., Budiono
Kusumohamidjoho, 2009, p. 24).
Definisi
kebudayaan yang bersifat aktif (berkebudayaan) tersebut mengindikasikan tiga
titik orientasi hidup manusia.
Pertama, berorientasi pada diri sendiri dan
sesama. Manusia mengembangkan segala potensi dirinya. Manusia adalah subjek
dari berkebudayaan.
Kedua, berorientasi pada alam. Terhadap
alam, manusia tidak semata-mata tunduk pada kehendak alam, melainkan manusia
berusaha mengendalikan, mensiasati, dan mengolah alam. Manusia memperlakukan alam
sebagai objek dalam berkebudayaan.
Ketiga, berorientasi pada Tuhan. Manusia
selalu memiliki orientasi pada Tuhan. Upacara-upacara adat merupakan wujud
konkrit dari orientasi manusia kepada Tuhan.
Tujuan
akhir dari ketiga orientasi tersebut adalah kehidupan yang bersifat
relasional-harmonis: antarmanusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan
Tuhan.
Kebudayaan
selalu mengandung tiga orientasi itu.
Oleh
karena itu,
kebudayaan tidak sekedar artefak-artefak beku dan mati peninggalan masa lalu.
Lebih
dari itu adalah berkebudayaan, yakni suatu pergulatan aktif diri manusia selama
hidup di dunia ini.
Pergulatan
itu bersifat universal, berlaku bagi semua manusia dari berbagai kebudayaan
yang berbeda-beda.
Dalam
bingkai pikiran
tentang kebudayaan yang demikian, orang-orang Lembata dapat mengidentifikasi
kebudayaan Lembata.
Kebudayaan
Lembata itu menyangkut pergulatan diri dan hidup orang-orang Lembata dengan
berfokus pada tiga orientasi tersebut.
Orang-orang
Lembata menjalankan pergulatan diri dan hidupnya dengan cara melakukan berbagai
kegiatan yang khas manusia: berpikir, bekerja, bernyanyi, berkeluarga,
bermusyarawah, berbela-rasa, berpolitik, berkebun, bertenun, bernelayan,
berdoa, dan sebagainya.
Orang-orang
Lembata juga memaknai kegiatan khasnya itu.
Baik
orang Leragere, Lamalera, Wulandoni, Loang, Boto, Kedang, Ileape, Lamatuka,
Kluang, Lerek, Kalikasa, Atawolo, Ataili, Lewoleba, dan sebagainya melakukan
berbagai kegiatan khas tersebut dan memaknainya.
Dalam
dan melalui kegiatan khas tersebut, orang-orang dari berbagai kampung
mengembangkan dirinya, mengembangkan komunitas/kampungnya, dan mengarahkan
dirinya pada Tuhan.
Semua
orang dari berbagai kampung melakukannya dengan intensistas yang berbeda-beda.
Oleh
karena itu, terhadap pertanyaan, apakah ada kebudayaan Lembata?
Ya,
ada kebudayaan Lembata!
Apa
aspek universal dari kebudayaan Lembata?
Tiga
orientasi dalam berkebudayaan tersebut adalah aspek universalnya.
Berdasarkan
aspek universal tersebut, “taan tou” menjadi
filsafat kebudayaan Lembata.
Filsafat
itu menggerakkan orang-orang Lembata untuk bersatu dan bekerja sama mewujudkan
keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Apakah
filsafat “taan tou” menggerakkan
orang-orang Lembata selama 20 tahun terakhir?
Jawaban
atas pertanyaan ini bertumpu pada pengetahuan mengenai isi fenomena budaya
Lembata.
Mengetahui Kebudayaan Lembata:
Mengidentifikasi Isi Fenomena Budaya
Banyak
artefak dan peristiwa yang mengindikasikan kebudayaan kelompok masyarakat tertentu.
Demikian
pula Lembata.
Ada
banyak sekali artefak dan peristiwa antara lain sarung tenun-ikat, perahu
nelayan Lamalera, tari, upacara adat, rumah adat, ina yang sedang menenun, ama
yang sedang menari, lamafa
menancapkan tempuling pada tubuh ikan paus, dan ina lefa yang mengolah daging ikan paus.
Aneka
artefak dan peristiwa tersebut merupakan fenomena-fenomena kebudayaan.
Apa
yang dapat kita ketahui dari fenomena-fenomena tersebut?
Apa
saja isi kebudayaan yang terkandung dalam fenomena-fenomena itu?
Ketika
orang-orang Lembata melihat berbagai artefak dan peristiwa tersebut, kesadaran mereka
terarah pada fenomena-fenomena itu dan menangkap isi yang tersingkap dari
fenomena-fenomena itu.
Kesadaran
orang-orang Lembata akan menangkap dan mengerti pergulatan diri orang-orang
Lembata dalam dan melalui berbagai artefak dan peristiwa budaya.
Setiap
orang dapat menangkap berbagai macam isi kebudayaan dari fenomena-fenomena
budaya itu.
Fenomena-fenomena
itu menyingkapkan kesabaran, ketekukan, keuletan, rasa syukur, pantang
menyerah, dan sebagainya.
Para
ina dan ama di dan dari berbagai kampung di Lembata menghayati isi budaya
tersebut dan mewujudkannya dalam sikap dan tindakan budaya.
Mereka
mungkin kurang lugas menjelaskan dan membahasakan isi budayanya.
Akan tetapi, mereka justru sangat
mampu dalam hal menghayati, mengerti,
dan menjalankan (mempraksiskan) isi budayanya.
Kegiatan-kegiatan
khas yang mereka lakukan – seperti menenun, menari, bekerja di kebun, iris
tuak, menjunjung hasil kebun ke pasar, dan menunggu berjam-jam pembeli hasil
kebun – merupakan wujud konkrit isi budaya yang mereka hayati dan mengerti.
Kelembataan
orang-orang Lembata (keberadaan diri orang-orang Lembata) tersingkap lewat isi
budaya yang dihayati dan dijalankannya setiap hari.
Kegiatan-kegiatan
khasnya dalam kehidupan sehari-hari merupakan penampakan dari citra diri
(kelembataan) orang-orang Lembata.
Dalam
berbagai kegiatan khas itulah, orang-orang Lembata menyingkapkan kediriannya,
menyingkapkan wawasan dunia (world view-nya),
sistem nilai kehidupan (living values)
yang unik dan khas, dan orientasi-orientasi hidupnya.
Dalam
berbagai kegiatan khas budayanya, orang-orang Lembata menegaskan imanensi budayanya (hal yang tetap dan
tidak berubah sebagai pegangan diri) dan bersamaan dengan itu men-transendensi pula budayanya (mengembangkan dan memodifikasi
budaya) supaya mampu berlari bersama zaman yang berubah (Bdk., C.A. van Peursen, 1976, 24).
Dengan
demikian, budaya Lembata tetap eksis/ada tanpa hanyut dalam badai perubahan
dunia/zaman.
Akan
tetapi, mengapa
orang-orang Lembata sangat sarkastik dan mudah mengeluh berkaitan dengan
peristiwa peralihan kekuasaan politik di Lembata, seperti yang sudah tersajikan
pada awal tulisan ini?
Apakah
karena orang-orang Lembata mengalami krisis diri?
Ataukah
karena budaya Lembata memiliki kekurangan intrinsik sehingga mudah mengalami
krisis?
Krisis Diri, Krisis Pengertian
Berapa
orang yang mampu menenun saat ini?
Berapa
orang yang masih mau dan sanggup bertani?
Berapa
orang yang masih mau dan mampu titi jagung?
Berapa
orang yang masih mau dan mampu iris tuak?
Berapa
orang yang masih mau dan mampu duduk berlama-lama mendengarkan dan memahami ina-ina yang membei nasihat sambil sambil
mengayam sokal?
Berapa
orang yang masih mau mendengarkan ama-ama
yang mewariskan petuah-petuah bijak sambil membuat bambu penadah tuak?
Dengan
mengetahui populasinya,
kita bisa mengukur sejauh mana keterkikisan budaya Lembata berlangsung.
Lebih
dari perkara seberapa besar populasi kemauan dan kesanggupan orang-orang
Lembata menekuni kebudayaannya, persoalan keterkikisan dapat diidentifikasi melalui tiga
pertanyaan krusial ini.
Mengapa budaya sebuah masyarakat atau
bangsa terkikis?
Apa saja penyebabnya?
Apakah faktor-faktor penyebabnya
berasal dari dalam budaya itu sendiri ataukah ada pula faktor-faktor luar?
Dengan
mengacu pada gagasan tentang kebudayaan sebagai aktivitas kreatif dan refleksi atas
(memaknai) kegiatan khas-kegiatan khas manusia yang telah dipaparkan di atas,
maka ada dua hal penting yang terkandung dalam kebudayaan suatu masyarakat,
yakni manusia sebagai subjek kebudayaan dan kekuatan-kelemahan intrinsik
budaya.
Berpijak
pada dua (2) hal tersebut, kita dapat menjawab tiga (3) pertanyaan krusial
terkait keterkikisan budaya suatu masyarakat/bangsa.
Pertama, keterkikisan budaya berakar pada
krisis diri manusia sebagai sebagai subjek kebudayaan.
Akar
dari krisis diri adalah sikap enggan/lupa merefleksi diri.
Berefleksi
berarti akal/pikiran sedang memandang dirinya sendiri, melihat kemampuan dan
cara kerjanya, serta mengetahui batas-batas kemampuannya.
Oleh
karena itu, (be)refleksi bertautan dengan kritik akal murni, kritik akal
praktis, kritik tentang putusan selera, dan cita-rasa seperti yang dipikirkan
filosof Immanuel Kant.
Kritik
akal murni berurusan dengan upaya manusia menjawab pertanyaan apa yang dapat diketahuinya?
Kritik
akal praktis berhubungan dengan upaya manusia menjawab pertanyaan apa yang harus dilakukannya?
Dan
kritik tentang putusan selera dan cita rasa berhubungan dengan pertanyaan apa yang disukai dan tidak
disukai manusia (Ignas Kleden, dalam Johanis Mangkey MSC, 2016,
xxxi-xxxii).
Tiga
model kritik akal Kantian tersebut menjadi acuan untuk mendiagnosis keterkikisan budaya
Lembata.
Kritik
akal murni merupakan seruan kepada orang-orang Lembata untuk bertanya sebagai
berikut.
Apakah orang-orang Lembata mempunyai
pengertian yang cukup tentang kebudayaan Lembata?
Apakah orang-orang Lembata mempunyai
pemahaman yang cukup tentang keberadaannya sebagai orang Lembata dan segala
konsekuensi yang akan timbul darinya?
Sementara itu, kritik akal praktis mendesak orang-orang Lembata untuk menyelidiki, apa yang
harus dilakukan oleh orang-orang Lembata agar dapat menyelamatkan budaya
Lembata supaya tidak terkikis habis?
Krisis
diri orang-orang Lembata yang ditandai dengan keengganan melakukan refleksi
diri memungkinkan terjadinya krisis pengertian mengenai kebudayaan Lembata.
Keterkikisan
budaya Lembata boleh jadi karena orang-orang
Lembata tidak memiliki pengertian yang memadai tentang kebudayaan Lembata.
Bahkan boleh jadi karena orang-orang Lembata juga tidak paham tentang
keberadaannya sebagai orang Lembata yang mempunyai tanggung jawab
mengidentifikasi, menghayati, dan menjalankan kebudayaan Lembata.
Keterkikisan
budaya Lembata dapat pula terjadi begini: sesungguhnya orang-orang Lembata
mempunyai pengertian yang memadai tentang kebudayaan Lembata dan kediriannya
sebagai orang Lembata, tetapi ia
mewujudkan kebudayaan Lembata dan kediriannya sebagai orang Lembata dengan cara
yang salah (tidak tepat).
Alih-alih
membela dan merawat budaya Lembata dan menghormati kedirian orang Lembata,
tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah memanipulasi budaya Lembata dan mencederai kedirian orang
Lembata.
Artinya,
telah terjadi penipuan dalam berkebudayaan.
Keterkikisan
budaya Lembata juga terjadi karena orang-orang
Lembata tidak menyadari bahwa penipuan dan manipulasi terhadap budaya Lembata
dan kedirian orang Lembata, merupakan sebuah kesalahan/penyimpangan/penipuan.
Penipuan
dalam berkebudayaan dapat terwujud melalui kebijakan-kebijakan publik di bidang kebudayaan yang
manipulatif.
Apabila
orang-orang Lembata berada dalam cengkraman krisis diri dan krisis pengertian
tentang kebudayaan Lembata, maka jelaslah bahwa pokok persoalan krisis budaya
Lembata adalah krisis diri (kelembataan) orang-orang Lembata.
Krisis
kelembataan bermuara pada keterkikisan budaya Lembata.
Kelembataan
yang terkikis menyebabkan budaya Lembata lambat laun kehilangan dasar pijaknya.
Padahal,
kelembataan merupakan aspek internal diri yang mencirikan kekhasan dan keunikan
orang-orang Lembata.
Kelembataan
merupakan hakikat
fundamental dan hal konstitutif diri orang-orang Lembata.
Kelembataan
terungkap dalam sikap dan laku budaya.
Kegiatan-kegiatan
budaya – seperti menangkap ikan paus pada musim Lefa di Lamalera, upacara pesta
kacang di Ileape, tradisi menenun sarung di berbagai desa di Lembata, dan menari sole di Atadei, poan kemer di Kedang –merupakan ungkapan konkrit dari
kelembataan orang-orang Lembata.
Apa
yang akan terjadi di Kabupaten Lembata pada masa depan, bila yang terjadi
selama 20 tahun terakhir adalah krisis diri
(kelembataan) orang-orang Lembata?
Pertanyaan
ini mendorong orang-orang Lembata untuk bangkit dari krisis dirinya.
Kebangkitan
dimulai dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan intrinsik budaya Lembata.
Dengan
demikian, siasat kebudayaan dapat dilakukan.
Kekuatan dan Kelemahan Intrinsik
Budaya
Budaya
merupakan buah dari pergulatan diri manusia dan kegiatan-kegiatan hidupnya.
Budaya
tampak secara nyata dalam dua wujud seperti yang dikemukakan oleh sosiolog
Ogburn dan Nimkoff, yakni wujud material
dan wujud non-material.
Wujud
material terdiri atas benda-benda empiris seperti peralatan kerja, pakaian,
bangunan, lagu, makanan, dan sebagainya, sedangkan wujud non-material terdiri atas hal-hal abstrak seperti adat-istiadat,
tradisi, kebiasaan, perilaku, sikap, sistem nilai, bahasa, seni, agama, dan
sebagainya (Alo Liliweri, 2014, pp. 12-13).
Wujud
material dan non-material kebudayaan saling terkait.
Wujud
material merupakan ungkapan empiris dari wujud non-material.
Manusia
sebagai subjek budaya mengalami pergulatan kebudayaan dengan pikiran dan perasaannya.
Pergulatan
itu melahirkan wujud material budaya.
Wujud
material merupakan representasi pikiran dan perasaan manusia sebagai subjek
budaya.
Kebudayaan
suatu masyarakat atau bangsa tetap eksis apabila masyarakat/manusia dari budaya
tersebut mengerti dwi-tunggal kebudayaan dan mewujudkannya dalam tindakan hidup
sehari-hari.
Tanpa
pengertian dan perwujudan, musnahlah kebudayaan.
Akan
tetapi, baik
aspek material maupun non-material kebudayaan juga mempunyai kekurangan intrinsik.
Kekurangan
intrinsik dalam aspek material budaya misalnya, artefak-artefak tidak bertahan oleh
sapuan cuaca dan iklim.
Ada
artefak-artefak yang dibuat dengan bahan dasar yang tidak/kurang berkualitas akhirnya hancur lebur.
Kehancuran
artefak budaya menimbulkan keterputusan sejarah suatu masyarakat dan keterputusan
proses evolusi kebudayaan.
Sementara itu, kekurangan intrinsik dalam aspek non-material budaya, misalnya, sistem
nilai kehidupan (living values system)
dan tradisi (kebiasaan-kebiasaan baik) yang tidak tahan terhadap nilai-nilai
dan tradisi baru.
Nilai-nilai
lama yang bersumber dari masyarakat zaman sebelumnya terlindas dan tergantikan
oleh nilai-nilai baru.
Nilai-nilai
lama dianggap sebagai hal yang kuno dan tidak sesuai lagi dengan semangat zaman
baru.
Kelemahan
intrinsik dalam aspek non-material budaya juga menyebabkan kebudayaan suatu
masyarakat terkikis dan bahkan ditinggalkan oleh orang-orangnya.
Ada
masyarkat yang tetap mempertahankan secara ketat aspek non-material budayanya.
Ada
masyarakat yang secara cerdik dan cerdas mengkombinasikan atau mengintegrasikan aspek
non-material budaya lama dengan aspek non-material budaya baru.
Kombinasi
dan integrasi ini merupakan strategi budaya untuk mempertahankan eksistensi
budaya asli dan sambil tetap terbuka terhadap budaya baru yang datang dari
luar.
Ada
pula pribadi-pribadi tertentu yang secara kreatif mengkreasikannya sehingga menjadi
blended culture.
Seperti
apa gambaran masa depan Kabupaten Lembata?
Pada
masa depan, apakah orang-orang Lembata adalah orang-orang yang menghayati dan
menggerakkan filsafat kebudayaan “taan
tou” dalam kehidupan bersama sebagai warga Kabupaten Lembata?
Strategi
kebudayaan adalah kuncinya!
Strategi Kebudayaan Lembata
Tesis
berikut adalah jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut: Orang-orang Lembata harus mempunyai sikap
budaya yang terwujud dalam membangun dan mengembangkan strategi
kebudayaan Lembata.
Tesis
tersebut dilaksanakan secara konkrit melalui pembentukan Dewan Kebudayaan Lembata.
Orang-orang
yang mengisi Dewan Kebudayaan Lembata
adalah pelaku-pelaku kebudayaan dari berbagai desa/kecamatan di Lembata dan
dibantu oleh para sosiolog-budaya, antropolog-budaya, dan para pihak lain yang
berkomitmen pada Kebudayaan Lembata.
Dewan
tersebut bertugas untuk pertama, melakukan riset budaya
untuk memahami sistem nilai kehidupan budaya Lembata dan mengembangkannya
melalui program pendidikan budaya. Program pendidikan budaya diintegrasikan melalui
pendidikan budaya lokal (muatan lokal) di sekolah-sekolah, mulai dari SD sampai
SMA. Bahkan, pendirian sekolah kebudayaan lokal secara formal merupakan
keniscayaan.
Kedua, membentuk sanggar budaya di setiap
kecamatan. Selanjutnya, merancang kegiatan-kegiatan budaya secara berkala dengan
melibatkan semua pihak (stakeholders)
di kecamatan dan desa.
Ketiga, menggelar festival budaya secara
berkala sebagai ekspresi kedirian orang Lembata. Setiap sanggar budaya tingkat
kecamatan menjadi pelaku dalam festival budaya.
Keempat, penetapan Desa Adat untuk beberapa
desa yang secara konsisten menghidupi (menghayati) dan menjalankan nilai dan
tradisi budayanya.
Sikap
dan strategi kebudayaan yang terwujud melalui kerja konkrit Dewan Kebudayaan
Lembata tersebut berpeluang menguatkan kelembataan orng-orang Lembata secara
kultural.
Dengan
demikian, budaya Lembata tetap eksis dan memampukan orang-orang Lembata untuk
berdialog dan bekerja sama secara konstruktif dengan budaya-budaya lain dari
luar.
Dengan demikian, keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat pertama-tama adalah perkara kebudayaan dan bukan perkara politik.
* Orang Lembata, Dosen Filsafat FLA Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten.