Logos, Ledalogos, dan Ledalodima* (1/3)

Oleh:

Emilianus Yakob Sese Tolo

Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, NTT

Sore itu, sembilan Oktober 1987, di Ledalero, tepat jam enambelas dua puluh menit, di atas langit, awan berarak tenang, tetapi, di bawah kaki langit, kurang lebih 150 imam berarak teratur dari pendopo Seminari Tinggi Ledalero menuju panggung upacara di depan Kapela Agung Seminari Tinggi Ledalero untuk merayakan pesta emas lima puluh tahun Seminari Tinggi Ledalero.

Di depan altar perayaan, tarian Ja’i dan Likurai silih berganti meracik tari yang paling apik mengagungkan Ledalero yang sudah menjelma menjadi Ledalogos.

Sebab, seperti yang ditandaskan oleh Dr. Nikolaus Hayon, SVD dalam kotbahnya bahwa “pada awal mula adalah Sabda, pada awal mula adalah matahari sejati, lalu ada Ledalero, lalu ada Seminari Tinggi, lalu ada penghuni dan ada Imam yang diutus. […] Ledalero, tempat sandar matahari, jadi Ledalogos, yakni tempat sandar sang Sabda, yang adalah matahari sejati. […] Tahun-tahun di bukit ini merupakan saat-saat menyadap sinar matahari sejati, tiba waktunya diutus pergi dari bukit ini untuk berdialog, berinkulturasi serta mengupayakan keadilan sosial dan damai” (Majalah Hidup 8/11/1987: 7).

Tiga puluh dua tahun kemudian, di bulan september 2019, bertepatan dengan perayaan lima puluh tahun STFK ledalero, Ledalogos, tempat sandar sang logos, menjadi medan dialektik dalam mana logos itu secara filosofis kembali dipertanyakan serentak dijawab oleh tiga sarjana pencari logos di STFK Ledalero, sebuah lembaga pendidikan agama Katolik, filsafat, dan teologi di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Saya — dalam artikel Upaya Menggapai Kebijaksanaan (Flores Pos, 14/9/2019) — menandaskan bahwa logos dapat dipahami melalui logika dialektika materialis Marxis melalui Marxisme.

Toni Mbukut — dalam artikel Sabda Sebagai Sumber Spiritual dan Pusat Intelektual (Flores Pos, 24/9/2019)— menegaskan bahwa logos hanya lebih dipahami melalui Injil.

Sementara itu, Elton Wada —dalam artikel Yang Absen dalam Filsafat Kemapanan dan Teologi Kemapanan (Flores Pos, 26/9/2019)— menegaskan bahwa logos hanya bisa dipahami dengan mendorong filsafat yang berlandaskan pada logika dialektika materialis Marxis dan “logos yang terus berubah-ubah” dalam satu medan penelitian sosial.  

Sebagai seorang sarjana yang digugat dalam perdebatan tentang logos ini, saya patut bertanya, apakah Toni dan Elton sudah memberi jawaban-jawaban yang tepat tentang logos dari hasil refleksi filosofis mereka dari atas bukit Ledalogos ini?

Toni Menerawang

Toni, seorang mahasiswa pasca sarjana di STFK Ledalero, mempersoalkan pendapat saya bahwa logos merevelasikan diri melalui para penulis, pembicara, dan pengkhotbah dalam pesta emas STFK Ledalero 2019 dalam gerak logika dialektika materialis Marxis.

Bagi Toni, kesimpulan saya itu adalah “sebuah keterlaluan yang terburu-buru dan cenderung sempit.”

Sebab, bagi Toni, logos yang terevelasi dalam pesta emas STFK Ledalero adalah logos, sabda Allah, seperti dalam bahasa Yunani.

Logos yang demikian, seperti yang diyakini oleh Heraklitus, adalah satu entitas yang real, yang adalah sebab imanen dari segala perubahan abadi dalam segala benda dalam realitas dunia.

Logos inilah sumber pengetahuan dan kebenaran dalam dunia.

Dengan keyakinan seperti ini, Toni adalah bagai seorang formalist, pemberhala logika formal.

Pemberhala logika ini cenderung jatuh dalam apa yang dalam teologi terlibatnya Paul Budi Kleden (2009) disebut sebagai teologi status quo atau teologi mistik dalam Madilognya Tan Malaka (2015), yang jauh dari dunia, yang cenderung menimpakan semua kebaikan dan keburukan di dunia ini pada sang logos, sabda Allah.

Teologi status quo atau teologi mistik akan dengan mudah mengaitkan semua kejadian di STFK Ledalero sebagai akibat dari intervensi logos.

Karena itu, misalnya, pencetak  5.800 alumnus yang cemerlang, 1.822 imam Katolik yang mana sekitar 500-an orang bekerja sebagai misionaris di berbagai negara, dan 19 uskup (Media Indonesia 29/8/2019); kemenangan lomba penulisan karya ilmiah bank NTT dengan hadiah ratusan juta rupiah; pendominasian mahasiswa dari kalangan tuan tanah-pengusaha-politisi-birokrat di STFK sejak lama; pencurian gading dan uang dari brankas STFK Ledalero; penolakan terhadap Sandiaga Uno sembari mendaku diri pecinta toleransi; sikap acuh tak acuh dan masa bodoh terhadap demo penolakan mahasiswa di Maumere terhadap UKPK dan RKUHP baru-baru ini; kebiasaan dosen yang tidak mau mengikuti perkembangan zaman seperti melanggengkan pemakaian kertas karbon untuk tugas kuliah; mahasiswa/i yang menyontek; dosen yang lebih sibuk berbicara dari pada berdiam diri di kamar atau perpustakaan untuk membaca, membuat penelitian dan menulis; perpustakaan yang masih terus didominasi buku-buku tua di tengah kenaikan uang sekolah; pelanggengan kondisi kemiskinan di seputar STFK Ledalero; dan penerimaan uang dan bantuan lain pemberian politisi dan birokrat akan dilihat sebagai kehedak logos, Sabda Allah.

Cara pandang seperti ini, yang meletakkan semua tanggung jawab atas kebaikan dan kekacauan di bumi, termasuk di STFK Ledalero, di atas pundak sang logos, adalah tindakan seorang penerawang, seperti seorang Toni, yang tidak aktif dan fasih menggunakan otak dan tenaganya dalam karyanya di bumi, dan, karena itu, mematikan kreativitas dan tangggung jawabnya dalam merespons semua peristiwa yang berhiaskan kebaikan dan kemalangan yang dihadapi di bumi.

Semangat teologi status quo, yang merasuki Toni, mendorong Toni untuk cenderung menerima pelarangan Negara atas pengajaran Marxisme, termasuk di dunia pendidikan, sebagai seolah-olah kehendak logos, sang Sabda.

Padahal, pelarangan itu adalah produk dari pertarungan yang sarat dengan kepentingan ekonomi-politik tertentu bagi mereka yang menang dalam pertarungan ini.

Hegemoni kekuasaan ekonomi dan politik pemenang pertarungan politik dalam Negara ini sejak tahun 1965 telah membungkam hak masyarakat ilmiah Indonesia untuk mempelajari produk pengetahuan yang pernah dihasilkan dalam sejarah.

Pembungkaman ini bahkan hingga menjadikan korban pembantaian pasca 1965 —yang berjumlah sekitar 500.000-3.000.000 orang yang memiliki pandangan politik berbeda dengan para pemenang — dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan biasa.

Para pelaku pembantaian dianggap sebagai pahlawan, termasuk dalam Gereja itu sendiri (Kolimon, 2015).

Dalam kondisi ini, sikap Toni adalah diam dan patuh di hadapan semua persoalan dan tragedi kemanusiaan ini sambil menerawang menunggu pembenaran dari logos, Sabda Allah.

Selanjutnya, seperti Hayon di muka, Toni memahami semua sepak terjang penghuni Ledalogos adalah untuk menyadap sinar sang logos, Sabda Allah.

Dalam nukilan Hayon, Ledalero yang sudah menjadi Ledalogos, dalam kaitannya dengan meresapi sinar sang logos, adalah tempat di mana “sinar mentari pertama dapat ditangkap dan sinar terakhir masih sisa memantul” (Majalah Hidup 8/11/1987: 7).

Dengan formulasi berbeda, dalam rentang jarak tiga puluh dua tahun, Toni kembali menghadirkan nukilan Hayon di muka dengan arti yang sama, tetapi dengan redaksi diksi yang berbeda bahwa “tujuan utama pergumulan teologis di STFK Ledalero adalah untuk memahami Sabada Allah itu, kemudian mewartakannya sebagai Kabar Gembira kepada seluruh dunia.”

Tetapi, sama seperti Hayon, menurut Toni, pewartaan logos ke seluruh dunia itu menunggu sampai penyadap logos itu hengkang dari Ledalogos.

Berbeda dengan gurunya, tiga puluh dua tahun kemudian, di depan Kapela Agung Ledalero dalam khotbahnya untuk pesta emas STFK Ledalero pada tanggal 8 September 2019, seperti Plato membalikkan serentak mengawinkan Heraklitus dan Parmenides, Dr. Paul Budi Kleden, SVD membalikkan gurunya Hayon, bahwa Ledalogos tidak lagi menjadi tempat untuk menyadap logos saja, tetapi para penyadap itu sendiri, yakni seluruh penghuni STFK Ledalero yang hidup di Ledalogos, harus siap disadap oleh dan untuk yang lain.

Dengan kata lain, seluruh penghuni STFK Ledalero, seperti logika dialektika materialis Marxis, harus menjadi serentak penyadap logos dan orang yang disadap logos-nya dalam waktu yang bersamaan.

Dalam kata-kata Kleden sendiri, untuk menyadap logos (menggapai kebijaksanaan), seluruh penghuni STFK Ledalero harus serentak menjadi seorang idealis dan seorang realis.

Dengan demikian, sejak di Ledalogos sinar logos, sang Sabda, itu harus segera dipancarkan setelah didapat kepada yang lain, yakni manusia dan ciptaan lainnya. Tidak perlu menunggu sampai angkat kaki dari Ledalogos, seperti yang diserukan Toni dan Hayon.

Itu berarti dengan menyadap dan disadap dalam relasinya dengan sang logos di Ledalogos, bila seorang ingin menjadi imam, dia harus rajin mengikuti misa pagi di seminari; jika ada karyawan dan karyawati di seminari atau biara digaji rendah dan murah yang tidak sesuai dengan UMR pemerintah, para seminaris yang sedang studi di STFK Ledalero harus berani menegur dan memprotes pengelola seminari atau biara; jika ada demo melawan UKPK dan RKUHP, para mahasiswa di STFK Ledalero tidak hanya sibuk membaca berita-berita di koran dan media sosial tentang itu di perpustakaan dan menulis tentangnya di berbagai media lokal dan nasional, tetapi juga perlu turut terlibat dalam demo dimaksud; jika para formator di seminari cenderung otoriter dan merasa diri paling benar, para seminaris harus berani menegur dan mengkritik secara bertanggung jawab.

Jika penghuni STFK Ledalero hanya sibuk menyadap dan tidak segera memberi, logos itu akan mati berkembang dalam diri para penghuni STFK Ledalero itu sendiri hingga saat perutusannya tiba.

Akibatnya, setelah hengkang dari Ledalogos, karena ketiadaan logos dalam diri mereka, mereka menjadi penakut untuk melawan kekuasaan yang sewenang-wenang.

Mereka, misalnya para pastor dan misionaris, juga takut untuk hidup miskin di tengah kemiskinan umat dan masyarakat dan, karena itu, cenderung otoriter, sebuah sikap anti dialektika yang berlawanan dari logos.

Mereka juga takut tidak hidup dalam kemewahan dunia.

Ketakutan seperti ini pantas dialami bagi mereka yang hanya sibuk menyadap logos dan tidak segera memberi kembali kepada yang lain logos yang diperolehnya sejak keberadaannya di STFK Ledalero.  

Bagi saya, dalam kadar tertentu seperti dalam filsafat prosesnya Alfred North Whitehead dan teologi terlibatnya Paul Budi Kleden, segala sesuatu, termasuk logos itu sendiri, selalu bergerak secara dialektik sebagai karakter alamiah dari dirinya.

Logos itu terus bergerak, yakni gerakan merangkul manusia dan ciptaan yang lain yang disebut anabatis, dan gerakan bersama seluruh ciptaan untuk berdiam dan bersatu di dalam sang logos itu sendiri, yang disebut katabatis.

Sekali logos dibuat berhenti bergerak secara dialektik, dia akan mati bertumbuh dalam diri penyadapnya.

Itulah alasan mengapa banyak jebolan dari STFK Ledalero, seperti yang diungkapkan oleh RD Louis Jawa (Flores Pos 8/9/2019), tidak memiliki keberanian ketika sedang berada dalam medan misi perutusan, entah sebagai awam atau imam Katolik.

Sebab, tanpa logos dalam dirinya, manusia tidak bisa melakukan apa-apa.

Sebaliknya, logos juga tak bisa menjadi nyata tanpa manusia dan ciptaan lainnya.

Keduanya, Logos (dalam huruf besar) dan logos (dalam huruf kecil) selalu berada dalam ketegangan dialektik abadi untuk sebuah kebaikan bersama.

Pertanyaannya, bagaimana Toni harus mempertanggungjawabkan teologi status quo atau teologi kemapanan dalam bahasa Elton untuk melihat kondisi kemiskinan dan kemelaratan di NTT umumnya dan Flores khususnya, yang menjadi ladang pertama logos dari STFK Ledalero itu ditaburkan?

Di tahun 2010, dari 1,8 juta penduduk Flores, terdapat 330.380 (17.33%) penduduk miskin, yang jauh melampaui tingkat kemiskinan pada level nasional (13.33%).

Pada tahun 2018, tingkat kemiskinan di NTT masih sekitar 21,03, hanya turun 0,2% dalam kurun waktu satu dekade sejak 2010.

Selain itu, ketimpangan agraria masih belum terurai akibat terkonsentrasinya tanah pada tuan tanah, pemilik modal, Gereja Katolik, dan pemerintah (Tolo, 2016).

Akibat kemiskinan dan ketimpangan agrarian ini, NTT mengirim 200.000-400.000 tenaga kerja Indonesia (TKI) dari kalangan petani miskin yang tidak memiliki kecakapan intelektual dan praktis baik secara legal maupun ilegal sembari menyambut kiriman mayat para TKI ini hampir setiap hari di beberapa bandar udara di NTT.

Dari tahun 2014-2018, mayat TKI yang dikirim ke NTT sebanyak 268, yang tiap tahun jumlahnya meningkat, misalnya dari 27 mayat di tahun 2014 menjadi 107 mayat di tahun 2018.

Di tahun 2019, hingga bulan September, masyarakat NTT sudah menerima 85 kiriman mayat para TKI.

Di tengah ketimpangan agraria, kemiskinan dan duka lara keluarga para TKI ini, hirarki Gereja Katolik, juga Protestan, berlomba-lomba membangun gereja megah, dengan membebankan proyek pembangunan itu kepada umat dan, karena itu, mimbar khotbah untuk memancarkan logos yang disadap di Ledalogos menjadi mimbar untuk mewartakan mamon.

Dari mimbar logos menjadi mimbar mamon tidak sedikit umat Katolik, terkhusus dari kalangan miskin,  yang tertunda, terlewatkan, dan bahkan terabaikan dari sinar logos yang dipancarkan dari Ledalogos.

Toni sendiri, dalam artikelnya di Vox NTT (27/8/2019), juga mengeluhkan soal mimbar logos yang sudah berubah menjadi mamon demi keinginan untuk mendirikan gereja megah di NTT.

Namun, karena keluhan Toni hanya didasarkan pada Injil, maka dia pun tidak tahu mengapa hal itu terjadi dan bagaimana harus meniadakan hal itu tanpa mencederai harkat dan martabat manusia.

Lagi-lagi, Toni hanya menerawang ke langit menunggu turunnya logos dari surga dan, karena itu, tak menggunakan nalar, tenaga, dan ilmu-ilmu lain, seperti Marxisme, yang sudah dihadiahkan logos untuk dirinya memecahkan persoalan-persoalan itu.

Dalam kaitannya dengan hal ini, Toni, sembari membusung dada, menandaskan bahwa “[m]arxisme memang dapat membantu, tetapi Injil jauh lebih kaya dan inspiratif ketimbang Marxisme.”

Pernyataan Toni cenderung meremehkan Marxisme, sebagai sebuah alat analisa ekonomi-politik, dalam memahami diri, melihat dunia dan membongkar kemapanan status quo dalam masyarakat.

Dengan demikian, Toni meremehkan Marx, yang kontribusinya terhadap umat manusia untuk mehamami diri dan dunianya sendiri, yang hanya bisa disandingkan dengan Plato, Aristoteles, Kopernikus, Galileo, Newton, Darwin, Freud, dan Einstein.

Akibatnya, ketika saya membaca tulisannya di Vox NTT (27/8/2019), Toni tampak linglung dengan persoalan pembangunan gereja megah di tengah kemiskinan di NTT dan tidak tahu bagaimana cara mengakhiri itu semua.

Kelinglungan Toni adalah sebuah keniscayaan, sebab, walau diinspirasi oleh Roh Kudus, para penulis-penulisnya yang menuliskan Injil belum mempelajari ilmu ekonomi-politik seperti Marx.

Begitu pun Yesus juga belum mempelajari ilmu ekonomi-politik.

Alasannya, pada saat itu, ilmu ekonomi-politik belum ada.

Jika pun ada, dia belum berkembang seperti di masa Marx, yang mempelajari ilmu ekonomi-politik Inggris dari Adam Smith, David Ricardo, dan beberapa penulis lain.

Andai saja di masa Yesus, ilmu ekonomi politik sudah berkembang seperti di masa Marx, Yesus mungkin saja lebih banyak berkhotbah dan menulis secara ekonomi politik dengan menggunakan logika dialektika materialis Marxis seperti yang dilakukan Marx untuk para pengikutnya pada saat itu.

Karena itu, Injil, yang adalah logos, mungkin memiliki corak serentak ilahi dan ilmiah.

Injil ditulis di masa di mana ilmu pengetahuan filsafat, sosial, ekonomi, politik, dan alam yang belum berkembang seperti ketika Hegel menulis Philosophy of Right dan Marx menulis Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 dan Das Kapital.

Tetapi, apakah dengan demikian nilai Injil lebih rendah dari Marxisme?

Tentu tidak, sebab, menurut saya, baik Injil maupun ilmu ekonomi-politik Marxisme bersumber pada logos yang sama.

Sebab ketika Yesus naik ke surga, Dia mengutus Roh Kudus-Nya untuk menemani karya manusia di bumi.

Karena itu, bagi saya, semua produksi ilmu — sejak jaman Heraklitus, Parmenides, Plato, dan bahkan hingga saya, Toni, dan Elton saling mempersoalkan pengetahuan yang sudah diproduksi sejak jaman Yunani kuno hingga pemikiran abad 19 dari Hegel dan Marx — yang memiliki kontribusi bagi pertumbuhan dan pekembangan manusia untuk begerak secara dialektik untuk menggapai kebaikan dan kebijaksanaan manusia adalah karya Roh Kudus yang sama, yang telah menginspirasi penulisan Injil itu.

Dengan demikian, seperti pada tulisan saya terdahulu di Flores Pos (14/9/2019) yang dipersoalkan oleh Toni dan Elton, relasi dialektis abadi di antara ilmu-ilmu, yang merupakan revelasi dari logos, Sabada Allah, harus dipertahankan.

Marxisme dan Injil harus sama-sama dihargai karena keduanya adalah penjelmaan dari logos.

Begitupun relasi Marxisme dan Injil dengan ilmu-ilmu lain.

Di Jerman, misalnya, lembaga Paulus Gesellschaft, yang mewadai dan memfasilitasi pertemuan teolog dengan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu lain, baik itu ilmu ekonomi-politik, sosial dan alam, membicarakan masalah agama dan kemanusiaan.

Hal inilah, yang sudah saya tegaskan di artikel saya di Flores Pos (14/9/2019), yang kemudian saya tegaskan kembali secara lebih mendetail dalam sebuah wawancara dengan Ekora NTT (19/9/2019),  yang perlu dikembangkan di STFK Ledalero sebagai sebuah laboratorium logos atau Ledalogos.

Dengan demikian, saya tidak ingin mengecilkan kontribusi ilmu-ilmu lain yang adalah pancaran sang logos kepada kehidupan, seperti yang dilakukan oleh Toni pada Marxisme, dan mengagungkan logos, sabda Allah, dan membawanya ke langit, menjauhi bumi yang terus berubah-ubah ini, yang secara tepat ditegaskan oleh Elton sebagai sebuah kiblat teologi kemapanan. (bersambung…)

45.000 Penduduk Miskin, Bupati Sikka Kampanyekan Lagi “Bela Sikka-Beli Sikka”

0

Maumere, Ekorantt.com – Dalam apel peringatan Hari Kesaktian Pancasila di di Lapangan Umum Kota Baru Maumere, Kabupaten Sikka, Selasa (1/10) Bupati Robby mengkampanyekan lagi slogan “Bela Sikka – Beli Sikka.”

Slogan itu dikumandangkan Bupati Robby mengingat jumlah penduduk miskin di Kabupaten Sikka masih mencapai angka 14,2% atau sekitar 45.000 jiwa.

Robi memaparkan, dengan jumlah penduduk 317.000, terdapat 14,2% atau 45.000 penduduk Kabupaten Sikka hidup di bawah garis kemiskinan.

Sementara itu, 50% penduduk hidup pada pertengahan atau di antara garis kemiskinan.

Kelompok 50% penduduk ini adalah kelompok penduduk rentan.

Mereka bisa saja naik dari atau malah turun ke bawah garis kemiskinan.

Sisanya, sekitar 28% penduduk lainnya sejahtera.

Oleh karena itu, Bupati Robby menegaskan, berkaitan dengan visi misi kepemimpinannya tentang pemenuhan hak dasar menuju Sikka bahagia 2023, sedikitnya ada tiga tujuan yang mau mereka capai.

Pertama, dalam bidang kesehatan, setiap orang yang hidup di Nian Tana harus punya akses terhadap pelayanan kesehatan.

Kedua, dalam bidang sumber daya manusia (SDM), pemerintah berkomitmen menyekolahkan anak-anak di Sikka hingga perguruan tinggi.

Ketiga, dalam bidang ekonomi, pemerintah sudah mencanangkan slogan “Beli Sikka-Bela Sikka, Bela Sikka-Beli Sikka.” 

“Mulai sekarang, kita mencintai produk-produk lokal karya tangan masyarakat Kabupaten Sikka. Semua pihak harus Beli Sikka-Bela Sikka,” tandas Robby.

Bupati Robby mengatakan, bersama dengan masyarakat, pemerintah akan membentuk pasar berdasarkan barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat Kabupaten Sikka.

Barang dan/atau jasa baru didatangkan dari luar kalau masyarakat tidak mampu memproduksinya.

“Seperti tenun ikat, kita akan perbanyak hari penggunaannya. Ini kita gunakan sudah seminggu dua kali. Kita akan upayakan tiga hari. Kita akan koordinasi dengan Bapak Uskup, kalau ke Gereja menggunakan pakaian tenun ikat. Kalau kita mau bela Sikka, kita harus beli Sikka dalam setiap kegiatan,” kata Robby.

Mantan Camat Nele ini mengatakan, dia akan berbicara dengan DPRD Sikka untuk membeli tenun ikat, menyimpannya dalam galeri, dan menjualnya kembali.

Hasil penjualan tenun ikat itu akan dimasukkan ke dalam pos penghasilan asli daerah (PAD).

“Kalau rekan-rekan DPRD memanfaatkan Pokirnya, satu orang Rp500 juta untuk membeli tenun ikat, berarti kita punya stok. Ke mana-mana kita gunakan tenun ikat,” ujarnya.

Peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Kabupaten Sikka, Selasa (1/10) ini unik karena diwarnai dengan busana adat Sikka.

Hal itu tergambar dari pakaian adat yang dikenakan para peserta upacara pada  peringatan Hari Kesatian Pancasila di Lapangan Umum Kota Baru Maumere.

Disaksikan EKORA NTT, tampak Bupati Sikka Robby Idong dan Wakil Bupati Romanus Woga serta para peserta upacara mengenakan Utan (sarung wanita), Lipa (sarung pria), ikat kepala, dan selendang.

Bupati Robby mengajak semua pihak mengamalkan Pancasila di era milineal dengan membangun kesehatan, pendidikan, dan kemandirian ekonomi.

Bupati Robby Idong mengatakan, peringatan Hari Kesaktian Pancasila adalah momentum merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa.

“Mari kita wujudkan Negara dan bangsa Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera. Karya cipta kita selalu dinantikan oleh rakyat dan bangsa. Menjadi tekad kita bersama untuk terus berkontribusi guna menuntaskan berbagai pekerjaan yang belum selesai menjadikan masyarakat Sikka yang sejahtera, berdaya, dan berbudaya,” katanya.

Bupati Sikka Perintahkan Izin Industri Manufaktur Satu Hari

0

Maumere, Ekorantt.com – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sikka akan menyokong produk-produk lokal dalam bentuk regulasi dan fasilitas.

Oleh karena itu, Bupati Sikka Robby Idong memerintahkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) memberi izin usaha industri manufaktur dalam tempo satu hari.

Bupati Robby sampaikan ini dalam kesempatan workshop tentang pengembangan ekonomi Kabupaten Sikka di Aula Bapelitbang, Selasa, ((1/10).

Bupati Robby menegaskan, kalau ada yang datang mengurus surat izin hari ini, maka para petugas terkait harus segera memprosesnya pada hari itu juga.

Syarat-syarat lain baru dipenuhi secara simultan pada saat proses pendirian pabrik.

“Begitu datang urus izin, hari ini juga izin dikeluarkan. Silahkan kerja. Nanti pada saat bekerja, orang lingkungan hidup dipanggil untuk memproses Amdalnya,” kata Robby.

Bupati Robby menegaskan, para petugas perizinan tidak boleh hanya sekadar duduk dan memberi surat izin, tetapi juiga harus turun ke lapangan. 

“Misalnya, investor Kopdit Pintu Air mau bangun pabrik ikan, tentu ada limbah ikan. Saat proses membangun pabriknya itu, Dinas Lingkungan Hidup dilibatkan. Bukan izin kertas saja, bukan kasih kertas, mempersulit. Tapi, butuh keterlibatan bersama, ” tandas Robby.

Robby menandaskan, izin satu hari diberikan kepada semua industri manufaktur.

Sementara itu, izin pendirian pub atau tempat hiburan malam diperketat.

Menurut Bupati Robby, Kabupaten Sikka punya lembaga ekonomi yang kuat, yaitu koperasi kredit (Kopdit).

Menurut dia, Kopdit di Sikka bisa melakukan investasi segala jenis barang dan/atau jasa. 

“Makanya saya pernah beri statement ke media menolak Transmart di Sikka. Itu saya lakukan untuk merangsang Kopdit dan pengusaha untuk berinvestasi,” katanya. 

Bupati Robby mengaku, dia pernah didatangi beberapa investor dari luar untuk berinvestasi di Sikka.

Akan tetapi, kepada para investor, ia berkata akan bertanya terlebih dahulu kepada Kopdit dan pengusaha lokal.

“Kalau mereka tidak bisa, silahkan masuk. Tapi, kalau mampu, kita yang kerjakan,”ujarnya.

Menurut Robby, Kabupaten Sikka punya banyak potensi.

Namun, dia mengakui, kita belum punya ide-ide kreatif untuk melakukan pengembangan potensi ekonomi daerah.

Menurut dia, salah satu persoalan kesulitan pengembangan ekonomi daerah adalah masalah perizinan. 

Bupati Robby mengatakan, Bea Cukai sudah memberikan sinyal positif untuk memfasilitasi para pengusaha yang hendak mengurus ekspor. 

“Mudah-mudahan bulan Oktober ini, izin ekspor komoditi sudah ada. Ekspor komoditi ini masih gelondongan, tapi kita arahkan paling tidak ada industri untuk olah setengah jadi yang akan kita kirim keluar, ” katanya.

Bupati Robby mengatakan, di Kabupaten Sikka, akan ada pelabuhan ekspor.

Menurut dia, pemerintah sudah memfasilitasi tempat karantina hewan dan karantina tumbuhan.

Tiga Ketua Partai di Ende dilantik Jadi Pimpinan DPRD

0

Ende, Ekorantt.com – Pimpinan DPRD Kabupaten Ende definitif masa bakti  2019-2024 resmi dilantik di Gedung DPRD Kabupaten Ende, Senin (7/10/2019).

Kursi ketua ditempati Fransiskus Taso. Posisi wakil ketua I ditempati Erikos Emanuel Rede dan wakil ketua 2 diduduki Tibertius Didimus Toki.

Menariknya ketiga pimpinan DPRD Ende periode 2019-2024 adalah ketua di partai mereka masing-masing.

Feri Taso menjabat ketua DPC PDIP Kabupaten Ende. Erikos Rede adalah ketua DPD II Nasdem dan Didimus Toki adalah ketua Partai DPC partai Hanura.

Ketiganya juga berasal dari daerah pemilihan Ende IV yang meliputi Kecamatan Ndona, Ndona Timur Wolojita, Wolowaru, Lio Timur, Kelimutu, Detusoko dan Ndori.

Upacara pengambilan sumpah dilakukan melalui Sidang Paripurna DPRD Ende dipimpin Fransiskus Taso.

Sekjen PUSAM Indonesia, Oskar Vigator Wolo

Masyarakat menaruh harapan besar kepada tiga pimpinan DPRD Ende yang baru dilantik. Ketiganya harus lebih giat membangun koordinasi dengan pemerintah daerah dan mengemban fungsi kontrol yang baik terhadap kerja kerja eksekutif terutama melakukan pengawasan terhadap program kerja pemerintah.

Demikian disampaikan Sekjen PUSAM Indonesia, Oskar Vigator Wolo kepada media di Ende.

Menurutnya, pimpinan DPRD mesti membangun sinergi yang baik dengan segenap anggota untuk menjaga marwah dan menghindari konflik kepentingan individu yang dapat mengganggu kinerja DPRD.

Upacara pengambilan sumpah dimpimpin oleh Ketua Pengadila Negeri Ende, I Komang Dediek Prayogo dan dihadiri Bupati Ende, H Djafar Achmad, Setda Ende Agustinus Ngasu, Kapolres Ende, Dandim 1602 Ende dan Pimpinan OPD Lingkup Pemkab Ende.

Seminar “Tanah, Politik, dan Korupsi di Flores”, Dosen STFK Ledalero: Ketimpangan Agraria Sebab Korupsi di Flores

Dalam sebuah seminar bertajuk “Tanah, Politik, dan Korupsi di Flores”, Dosen STFK Ledalero Emilianus Yakob Sese Tolo menegaskan bahwa ketimpangan agraria adalah sebab korupsi di Flores. Sebab ini dideteksi Emil berdasarkan pendekatan ekonomi politik.

Ledalero, Ekorantt.com – Seksi Akademik Senat Mahasiswa (SEMA) STFK Ledalero mengadakan seminar tentang tanah, politik, dan korupsi di Flores.

Seminar yang dilaksanakan di Ruang Heekeren STFK Ledalero pada Jumat, 4 Oktober 2019 dihadiri oleh para mahasiswa semester VII STFK Ledalero dan beberapa peserta lain dari luar STFK Ledalero.

Narasumber utama dalam seminar ini adalah Dosen STFK Ledalero Emilianus Yakob Sese Tolo.

Moderator Mahasiswa Semester VII STFK Ledalero Jean Loustar Jewadut.

Ketua Senat Mahasiswa STFK Ledalero Rio Nanto dalam komentar singkatnya sebelum memulai diskusi menyampaikan ucapan terima kasih kepada Emilianus Yakob Sese Tolo yang telah memenuhi permintaan seksi akademik untuk menjadi pemantik diskusi.

Selain itu, Rio Nanto juga menyampaikan terima kasih kepada para peserta yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi bersama.

Tanah, Politik, dan Korupsi di Flores

Dosen STFK Ledalero Emilianus Yakob Sese Tolo

Mengawali paparannya, Emilianus Yakob Sese Tolo menegaskan bahwa pendekatan moral teknik dan pendekatan legal formal tidak efektif digunakan untuk mengatasi persoalan korupsi yang semakin marak saat ini.

Sebab, menurutnya, dua pendekatan tersebut tidak menyentuh akar persoalan lahirnya korupsi.

“Dalam menganalisis masalah korupsi di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Flores, saya tidak menggunakan pendekatan moral teknik dan pendekatan legal formal yang biasa digunakan oleh para intelektual lainnya, termasuk para civitas academica di STFK Ledalero. Pendekatan yang saya gunakan, yang menurut saya efektif untuk menemukan akar korupsi, adalah pendekatan ekonomi politik,” kata Emil, demikian ia biasa disapa.

Emil berpendapat, dalam perspektif pendekatan ekonomi politik, korupsi di Flores disebabkan oleh ketimpangan agraria yang sangat tinggi.

Di satu pihak, sekelompok orang mengklaim dirinya sebagai tuan tanah yang mempunyai hak untuk menguasai tanah kolektif.

Sementara itu, di pihak lain, masyarakat akar rumput, yang lebih banyak jumlahnya, terpaksa menjadi pekerja di tanah-tanah para tuan tanah.

Menurut Emil, realitas seperti ini mestinya tidak perlu hadir di Flores.

Sebab, sebagai bagian dari bangsa Astronesia, masyarakat Flores di NTT sejatinya tidak mengenal konsep tuan tanah (landlord), kecuali penjaga tanah (land guardian).

Namun, lanjut Emil, akibat pengaruh modernisme dan kapitalisme kolonial, terutama kolonialisme Belanda, penjaga tanah mengaku diri sebagai tuan tanah baik pada masa kolonial maupun setelah kolonialisme berakhir di Flores.

Emil menjelaskan, pada masa kolonial, ketimpangan agraria di Flores telah menyebabkan segelintir elite mendapatkan posisi politik tertentu melalui sistem politik patron-klien.

Pemerintah Belanda biasanya mengangkat para raja dan pemimpin politik pada level kecamatan atau desa di Flores dari golongan para penjaga tanah, yang mengontrol tanah suku yang luas.

“Kenyataan seperti itu di satu pihak membuat para penjaga tanah harus mendukung proses kolonialisme di Flores. Yang menolak mendukung pemerintah kolonial akan diasingkan dari Flores. Sementara di pihak lain, para raja dan para pemimpin lokal yang dipilih dan diangkat oleh pemerintah kolonial cenderung sewenang-wenang mengklaim tanah adat sebagai milik privat,” kata Emil.

Menurut Emil, dengan kepemilikan privat atas tanah dan dukungan politik dari pemerintah kolonial, para penguasa lokal terus mereproduksi kekuasaan di panggung politik lokal dalam sistem kekuasaan pemerintahan kolonial di Flores dulu.

Bahkan, kekuasaan di panggung politik lokal terus direproduksi oleh keturunan-keturunan mereka yang menempati berbagai jabatan publik strategis dalam institusi modern di Flores.

Keturunan tuan tanah yang menempati jabatan publik di Flores akhir-akhir ini kerap kali terlibat dalam kasus korupsi.

“Korupsi yang dilakukan oleh para kepala desa dari golongan atau keturunan tuan tanah, misalnya, selain bertujuan untuk memperkaya diri, tetapi juga untuk mereproduksi kekuasaan. Sebab, di Flores, akhir-akhir ini, ada gejala bahwa para politikus desa yang berasal dari golongan atau keturunan tuan tanah menjadikan jabatan kepala desa sebagai batu loncatan untuk menjadi politikus di tingkat kabupaten dan tingkat yang lebih tinggi lagi,” papar Emil.

Reforma Agraria

Emil menawarkan proposal reforma agraria untuk mengentas persoalan konflik tanah dan korupsi di Flores.

Menurut Emil, reforma agraria dapat dibedakan atas dua (2) macam, yaitu pertama, reforma agraria sebagai pemberian atau hadiah dari pemerintah dan kedua, reforma agraria yang diperjuangkan dari bawah oleh masyarakat akar rumput.

Itulah sebabnya, para buruh atau para pekerja di Flores pertama-tama mesti memiliki kesadaran tentang dampak buruk kerja politik dan ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat publik yang berasal dari golongan atau keturunan tuan tanah.

“Tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah dan Gereja Katolik dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) bisa dijadikan sebagai objek reforma agraria. Selain itu, sejumlah tanah di Flores yang belum dibagi atau tidak jelas kepemilikannya dapat segera dijadikan objek reforma agrarian,” tandas Emil mengakhiri presentasi makalahnya.

Demokrasi Asal-Asalan

Para mahasiswa STFK Ledalero serius mendiskusikan tema seminar tentang tanah, politik, dan korupsi di Flores di STFK Ledalero, Jumat (4/10). FOTO/ISTIMEWA

Gagasan Emil tentang tanah, politik, dan korupsi di Flores memantik tanggapan dan pertanyaan kritis dari audiens.

Patrisius Sigar, Mahasiswa Semester VII STFK Ledalero bertanya, bagaimana tampilan wajah demokrasi di Flores? Bagaimana peran mahasiswa menanggapi persoalan tanah, relasi patronase, dan korupsi di Flores?

Menurut Emil, demokrasi di Flores adalah demokrasi asal-asalan karena terlalu memberikan aksentuasi yang berlebihan pada aspek prosedural minus substansi.

Demokrasi disederhanakan menjadi suatu mekanisme politik elektoral semata.

Namun, dalam kenyataannya, politik elektoral hanya menjadsi akses orang-orang berduit, yang dalam konteks Flores berasal dari golongan atau keturunan tuan tanah.

Tanah, yang diklaim sebagai aset privat dan mudah dijual dengan harga yang mahal, adalah modal ekonomi yang mumpuni untuk bisa bersaing merebut jabatan publik tertentu.

Menurut Emil, sebelum melakukan gerakan perlawanan dalam konteks yang lebih luas, setiap mahasiswa sudah semestinya melakukan kritik diri: Apakah saya juga berasal dari golongan atau keturunan tuan tanah?

Hal ini penting karena untuk konteks Flores, tuan tanah menjadi pihak yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah yang mahal, bahkan di seminari yang biaya pendidikannya tergolong sangat mahal.

“Dalam catatan sejarah, anak-anak tuan tanahlah yang lebih banyak mendapatkan kesempatan mengakses pendidikan hingga ke jenjang tertinggi karena mendapat dukungan dari pemerintah kolonial Belanda. Dukungan tersebut pada waktunya harus dibayar karena anak-anak tuan tanah yang berpendidikan digunakan sebagai alat di tangan pemerintah kolonial dalam mewujudkan kepentingan ekonomi dan politik mereka,” pungkas Emil.

Bukti Kepekaan Sosial Kampus Filsafat dan Teologi

Ketua STFK Ledalero Pater Dr. Otto Gusti Nd. Madung

Pater Dr. Otto Gusti Madung, SVD selaku Ketua STFK Ledalero menegaskan, berfilsafat berarti berani berpikir sendiri.

Berpikir berarti mengkonfrontasikan diri dengan realitas atau fenomena.

Pater Otto menghimbau agar mahasiswa filsafat tidak boleh hanya terobsesi pada fenomena, tetapi harus mampu menggali substansi yang ada di balik sebuah fenomena.

Menurutnya, seorang mahasiswa filsafat tidak hanya dituntut untuk mempelajari gagasan-gagasan para filsuf pendahulu dan seorang mahasiswa teologi dengan pendekatan kontekstual tidak hanya dituntut untuk membaca Kitab Suci dan mendalami tradisi sebagai sumber untuk berteologi, tetapi juga terbuka untuk melihat konteks sosial, ekonomi, budaya, dan politik serta berani menilai konteks tersebut dengan pendekatan interdispliner, yaitu mendialogkan filsafat dan teologi dengan ilmu-ilmu lain seperti ilmu sosial dan ilmu humaniora.

“Saya mengapresiasi kegiatan seminar yang dilaksanakan oleh Senat Mahasiswa STFK Ledalero. Kegiatan seminar seperti ini menjadi bukti keprihatinan sosial kampus filsafat dan teologi. Filsafat dan teologi mesti terlibat dalam membaca, menganalisis, dan memberikan tawaran solutif bagi konteks kehidupan masyarakat Flores,” tegas Pater Otto ketika dimintai pendapatnya via media sosial facebook oleh Seksi Website STFK Ledalero.

Senada dengan Pater Otto, Ketua Seksi Akademik Senat Mahasiswa STFK Ledalero Anno Susabun menegaskan, pemilihan tema “Tanah, Politik, dan Korupsi di Flores” berguna bagi pengembangan proyek akademik untuk memahami konteks Flores secara spesifik, terutama persoalan ekonomi politik di Flores, yang selama ini jarang disentuh oleh kalangan intelektual Flores.

“Kultur akademik seperti ini mesti tetap dipertahankan sebagai sebuah bentuk pengabdian sosial bagi masyarakat luas,” harap Anno Susabun. (Jean Loustar Jewadut/Mahasiswa STFK Ledalero)

2 Unit Rumah di Rajawawo Terbakar, Kerugian Capai Ratusan Juta

0

Ende, Ekorantt.com – Nasib nahas dialami Paskalis Kea. Pasalnya, dua unit rumahnya di Dusun Kekadori, Desa Rapowawo, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende ludes terbakar, Minggu (6/9/2019).

Kejadian ini terjadi pada siang hari. Kala itu Paskalis bersama istrinya, Emiliana Ngada dan anak-anak tidak berada di rumah. Usai mengikuti perayaan ekaristi minggu pagi, mereka pergi ke kebun.

Paskalis bertutur, saat meninggalkan rumah, ia telah mengecek dan memadamkan sisa pembakaran tungku api di dapur.

Warga sekitar tidak tahu persis awal mula kebakaran terjadi. Mereka baru tahu ketika api sudah terlanjur membakar bangunan rumah.

“Kami kaget saat api sudah tinggi. Di dalam rumah tidak ada orang, sehingga kami langsung membobol pintu dan berusaha untuk mengeluarkan barang-barang. Namun karena anginnya kencang, dan teriknya mentari sehingga api tidak bisa dipadamkan,” kata saksi saksi mata yang namanya tidak mau dikorankan.

Tidak hanya membakar bangunan, api juga melahap seluruh isi rumah.  Barang-barang berharga seperti sertifikat, Ijasah, uang sejumlah 4 juta rupiah, perabot elektronik dan lemari pakaian ludes terbakar.

Kerugian material ditaksir mencapai ratusan juta.

“Saya, istri dan anak-anak hanya sisa pakaian di badan pak. Semua habis terbakar. Kami mohon uluran tangan pemerintah untuk membantu,” ujar Paskalis.

Hingga kini, pihak Pemerintah Desa Rapowawo telah mendata nilai kerugian untuk dilaporkan kepada pemerintah kabupaten.

Jalan Menuju Kampung Wisata Rendu Tutubhada Rusak dan Telantar

Mbay, EKORA NTT – Persoalan infrastruktur sarana transportasi memang masih menjadi momok bagi siapapun bila hendak ingin menikmati objek wisata di Kabupaten Nagekeo. 

Pariwisata Nagekeo yang menjual keindahan alam, budaya dan kekayaan ekologi masih terkendala buruknya sarana dan akses transportasi.

Di Desa Rendu Tutubhada, Kecamatan Aesesa Selatan misalnya. Sampai saat ini, ruas jalan menuju kampung wisata tersebut telantar dalam kondisi rusak parah. Masyarakat setempat mendesak pemerintah untuk segera memperhatikan hal ini.

Berdasarkan pantauan Ekorantt.com, beberapa titik di ruas jalan menuju Desa Rendu berlubang. Beberapa bahu jalan rusak akibat terkikis air hujan.

Kondisi terparah berada berada kecamatan Aesesa Selatan, tepatnya di pertigaan kampung Lari sampai jembatan Aemau.

Fidelis Toli salah satu pengendara sepeda motor yang sering melintasi daerah tersebut mengaku, kondisi ruas jalan tersebut sudah lama rusak dan belum mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah Kabupaten Nagekeo.

“Ruas jalan ini bukan saja menuju kampung wisata Tutubadha, tetapi jalan alternatif tercepat bagi warga dari kecamatan Boawae dan kecamatan Aesesa Selatan yang hendak menuju kota Mbay atau sebaliknya, sehingga perhatian serius dari pemerintah daerah sangat dibutuhkan”, ujar Fidelis.

Menurut Fidelis, para pengendara yang melewati ruas jalan tersebut harus ekstra hati-hati karena beberapa bagian jalan penuh dengan lubang. Bahkan, kerikil yang berasal dari jalan-jalan yang rusak tersebut berhamburan begitu saja di badan jalan.

Thomas Mega Maso, anggota DPRD Kabupaten Nagekeo asal partai NasDem ketika diwawancarai Ekorantt.com di kantor DPRD Nagekeo, Senin (07/11/2019) mengatakan pihaknya akan segera melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah kabupaten Nagekeo untuk segera melakukan perbaikan ruas jalan tersebut.

“Kita akan segera melakukan komunikasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan perbaikan penuh mulai dari jalan, bahu jalan, dan drainase, sehingga ke depan tinggal pemeliharaannya saja,” ungkap politisi NasDem tersebut.

Menurutnya ruas jalan tersebut sudah masuk dalam kategori ruas jalan dengani mobilitas yang tinggi di kabupaten Nagekeo. Selain menuju kampung wisata Tutubhada, ruas jalan tersebut menghubungkan dua kecamatan dengan kota Mbay sebagai ibu kota Kabupaten Nagekeo.

Belmin Radho

Ritual Phebu Witu dan Konsep Berburu Ekologis Masyarakat Adat Tajo

Ngada, Ekorantt.com – Masyarakat adat Tajo, Desa Nginamanu, Kecamatan Wolomeze, Ngada menggelar ritual adat phebu witu. Ritus ini menandai dimulainya kegiatan berburu pada tahun ini. 

Acara phebu witu diawali dengan penyerahan anakan pohon dari ketua Yayasan Puge Vigo Emanuel Djomba kepada masyarakat adat Tajo, disaksikan oleh sejumlah warga di kampung tersebut.

Aktivitas berburu kali ini dijalankan dengan berbeda oleh masyarakat adat Tajo. Sementara menjalankan aktivitas berburu, masyarakat juga menanam kembali  pohon-pohon di sekitar area berburu.

Saat diwawancarai Ekorantt.com pada Sabtu (5/10/2019), tokoh masyarakat adat Tajo Silvester Leo mengatakan, ritual phebu witu bertujuan untuk meminta restu dari para leluhur agar kegiatan berburu tahun ini bisa berjalan lancar dan bisa mendapatkan hasil yang cukup.

”Dalam Ritual pebhu witu, masyarakat memohon restu dari leluhur Tajo untuk memulai acara berburu tahun ini. Semoga masyarakat bisa terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan,” ungkapnya.

Usai menjalankan ritual, pemuda dan masyarakat adat Tajo  sudah bisa pergi ke hutan untuk berburu selama dua hari dua malam.

”Jika sebelumnya aktivitas berburu selalu diwarnai dengan aksi membakar hutan untuk mendapatkan hasil buruan, tahun ini kami ubah kebiasaan membakar itu dengan menanam pohon. Wilayah kami sudah terlalu kering. Akibatnya, selalu terjadi kebakaran hutan setiap tahun,” ungkap Silvester.

Kepada segenap warga masyarakat adat Tajo, Silvester berpesan untuk tidak melakukan pembakaran hutan selama berburu. Jika hal tersebut dilanggar, warga yang melakukannya akan mendapat sanksi.

Silveseter menerangkan, sesuai kesepakatan dengan para tokoh adat, sanksi tegas akan diberikan kepada oknum warga yang melakukan pembakaran hutan. Oknum yang membakar hutan wajib menyembelih babi  besar dan memberi makan seluruh masyarakat adat Tajo.

Ketua Yayasan Puge Vigo, Emanuel Djomba menjelaskan, sebagai lembaga yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, konservasi, pendidikan ekologi dan pemberdayaan masyarakat, segenap personel Puge Vigo terus melakukan upaya pencegahan, terutama agar hutan di sekitar desa Nginamanu tidak lagi dirusak atau dibakar.

”Kita juga menempuh kerja sama dengan masyarakat lokal, karena kita lihat banyak kearifan-kearifan lokal yang bisa kita tumbuhkan dalam upaya melestarikan lingkungan kita,” ungkap Djomba.

Menurut Djomba, konsep berburu kali ini adalah berburu ekologis yaitu berburu sambil menanam kembali pohon-pohon yang sudah lama hilang, sehingga bisa mengembalikan binatang atau hewan liar ke habitatnya, yaitu hutan.

Dijelaskannya, Yayasan Puge Vigo juga terus memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang pelestarian lingkungan, khususnya hutan.

”Selain berburu ekologis, kita juga memberi penyuluhan kepada masyarakat untuk berburu selektif dalam arti tidak boleh berburu hewan atau binatang yang masih kecil, misalnya rusa yang masih kecil,” terangnya.

Belmin Radho

HUT TNI ke-74, Dandim 1626/Ngada Ajak Warga Lawan Hoax

Bajawa, Ekorantt.com – Dandim 1625/Ngada, Letnan kolonel I Made Putra Suartawan mengajak seluruh masyarakat kabupaten Ngada untuk melawan berita hoax yang tersebar lewat berbagai perangkat informasi digital.

Hal tersebut disampaikannya saat memimpin upacara apel memperingati HUT ke-74 TNI yang berlangsung di halaman Kodim 1625/Ngada, Sabtu, (5/10/2019)

Apel perayaan HUT ke-74 TNI dimulai pukul 09.00 WITA dan dihadiri oleh Anggota Polres Ngada, Prajurit TNI Kodim 1625/Ngada, Satpol PP Ngada, dan Polisi Kehutan Ngada.

Dalam pidatonya, Dandim menyinggung persebaran informasi di dunia maya yang berlangsung masif tanpa adanya saringan dan pengawasan.

”Para prajurit dan pegawai negeri sipil yang berbahagia. Situasi dan perkembangan saat ini semakin kompleks. Akses informasi semakin banyak dan tidak sebanding dengan saringan yang jelas. Hal ini dapat berdampak pada mispersepsi terhadap berbagai hal. Sebagai contoh, terkait berbagai kejadian di Indonesia akhir-akhir ini, kita tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah”, ungkapnya.

Menurutnya, perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat menyebabkan masyarakat sulit membedakan mana berita hoax dan bukan. Kepandaian dan kebijaksanaan dalam menggunakan teknologi komunikasi sangat dibutuhkan di era sekarang.

”Mari kita pandai dalam memilih dan memilah berita, membedakan berita mana yang dapat menyebabkan perpecahan antara institusi maupun kedaulatan bangsa. Pertanyaannya, bagaimana kita membedakan itu berita hoax atau tidak? Saya pribadi pun tidak tahu. Yang mungkin dilakukan adalah dengan mengecek atau menganalisis sumber berita tersebut”, pintanya.

Pada kesempatan itu, Dandim juga menekankan tugas pokok TNI  No. 34 tahun 2004 dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta melindungi keutuhan bangsa dan negara republik Indonesia.

”Jika menurutmu berita itu dapat menyebabkan stabilitas negara ini terancam jangan disebarkan,” tegasnya.

Hadir dalam perayaan HUT ke-74 TNI, Sekretaris Daerah Kabupaten Ngada, Theodosius Yosefus Nono; Dandim 1625/Ngada Letkol Inf I Made Putra Suartawan; Kapolres Ngada AKBP. Andhika Bayu Adhittama, SIK, MH; Ketua Pengadilan Negeri Ngada Herbert Harefa SH. MA; Ketua Pengadilan Agama Ngada Suryani HN SH.MH; dan Dan Pos AL Nagekeo Pelda Suntoko.

Belmin Radho

Guru Besar Universitas Udayana Daftarkan Diri Jadi Bakal Calon Bupati TTU

Kefamenanu, Ekorantt.com – Prof. Dr. Yohanes Usfunan mendaftarkan diri di Sekretariat DPC Partai NasDem Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Prof. Usfunan resmi mendaftarkan diri sebagai bakal calon bupati Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) periode 2021-2026.

Selain Prof. Dr. Yohanes Usfunan, dua orang lain yang turut mendaftarkan diri lewat partai NasDem yaitu Dolvianus Kolo dan Joao Meco.

Guru besar Universitas Udayana tersebut datang bersama dengan istri, anak serta beberapa anggota keluarga lainnya. 

Setelah diterima pihak DPC NasDem, pakar hukum tata negara tersebut diarahkan untuk melengkapi berkas pendaftaran.

Usai melakukan pendaftaran, kepada awak media, Prof. Usfunan mengungkapkan, dirinya sudah tiga kali mendaftar sebagai bakal calon bupati Kabupaten TTU. Menurutnya, hal tersebut menandakan betapa dirinya merasa terpanggil dari dalam untuk membangun Kabupaten tersebut.

“Saya serius, tidak main-main. Saya menjadi bupati bukan untuk mencari kekayaan di sini, bukan untuk mencari kecongkakkan, tetapi saya ingin menjadi bupati supaya bisa mengabdi kepada rakyat. Visi saya adalah pengabdian serta tanggung jawab bagi rakyat  untuk membangun daerah,” ujarnya.

Prof. Usfunan mengatakan, selama ini dirinya hanya mendaftar di Partai NasDem saja. Ia menilai, partai besutan Surya Paloh tersebut memiliki kesamaan platform visi dan misi.

“Saya hanya percaya partai Nasdem, karena visi dan misi saya sama dengan partai Nasdem. Platform visi dan misi saya sama dengan Nasdem. Karena itu saya mendaftar hanya melalui partai Nasdem,” terangnya.

Prof. Yohanes mengatakan, jika nanti terpilih menjadi Bupati TTU, dirinya akan konsen pada program pemberdayaan ekonomi masyarakat serta penyediaan lapangan pekerjaan.

“Menciptakan lapangan pekerjaan itu yang utama. Selanjutnya, peningkatan ekonomi masyarakat harus segera dilakukan,” ujarnya.

Santos