Satgas Pamtas RI-RDTL Yonif 132/BS Bantu Bangun Rumah Masyarakat di Desa Nainaban

0

Kefamenanu, Ekorantt.com – Demi meningkatkan kerjasama dengan masyarakat, Satgas Pamtas RI-RDTL Yonif 132/BS membantu proses pembangunan rumah milik masyarakat di Desa Nainaban, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara NTT, pada Selasa, (10/09/2019).

Sertu Hendri Saputra selaku Danpos Baen (Komandan Pos) bersama  empat orang prajurit lain terlihat turut ambil bagian dalam pengerjaan pembangunan pondasi rumah masyarakat setempat.

Saat ditemui Ekorantt.com, Danpos Baen Sertu Hendri Saputra mengatakan, aktivitas tersebut adalah salah satu cara Pamtas RI-RDTL Yonif 132/BS berbaur dan  memperkenalkan diri kepada masyarakat setelah adanya pergantian tugas yang sebelumnya dijalankan oleh Yonif Mekanis 741/GN.

“Selain membantu masyarakat, kami sekaligus memperkenalkan diri kepada masyarakat karena karena kami adalah pasukan yang baru menggantikan Satgas lama yaitu Yonif Mekanis 741/GN setelah bertugas 9 bulan di daerah perbatasan,” ujar Saputra.

Tokoh Adat Desa Baen, Ansel Mona dalam sambutannya mengatakan, masyarakat pun sangat menerima kehadiran Satgas Pamtas Yonif 132/BS ini. Masyarakat juga menyampaikan terimakasih banyak atas bantuan prajurit Yonif 132/BS yang sudah mau membantu masyarakat yang berada di perbatasan.

“Kami sangat senang atas kehadiran bapak-bapak semua. Mau Satgas mana pun yang hadir di sini, menurut kami semua TNI sama selalu di hati karena selalu mau membantu masyarakat. Kita semua di sini bersaudara”, jelas Mona.

Sebelumnya, pada Sabtu pekan lalu, dilakukan serah terima tugas dari Komandan Yonif Mekanis 741/GN, Mayor Inf. Hendra Saputra kepada Mayor Inf. Wisyudha Utama selaku Komandan Satgas Pamtas RI-RDTL sektor barat dari  Yonif 132/BS yang akan mengawasi perbatasan Indonesia-Timor Leste selama 9 bulan ke depan.

Santos

Direktur Rumah Sakit Leona Kefamenanu Diperiksa Penyidik

0

Direktur Rumah Sakit RS Leona Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) Rizki Anugrah Dewati diperiksa penyidik Kepolisian Resor Timor Tengah Utara (TTU) terkait dugaan malpraktik yang terjadi di RS Leona Kefamenanu beberapa waktu lalu. Malpraktik tersebut menyebabkan bayi Abraham meninggal dunia.

Kasat Reskrim Polres TTU, Tatang Prajitno Panjaitan, Selasa, (10/09/2019) membenarkan jika pihaknya telah melakukan penyidikan terhadap direktur RS Leona Kefamenanu dan akan melakukan pemeriksaan terhadap para dokter serta tenaga perawat yang menangani Almarhum Abraham Mariano Moni, bayi yang meninggal dunia setelah memperoleh perawatan medis di RS Leona Kefamenanu.

“Menindaklanjuti laporan polisi yang diterima dari pelapor Tonci Pius Albertus Moni, ayah almarhum Abraham Mariano Moni, bahwa bayi meninggal dunia setelah memperoleh perawatan medis di RS Leona, penyidik Polres TTU telah melakukan serangkaian penyelidikan di antaranya, memanggil dan melakukan pemeriksaan terhadap Direktur RS Leona, Rizki Anugrah Dewati”, ujarnya.

Penyidik sedang menjadwalkan pemeriksaan terhadap sejumlah tenaga medis yang diketahui berperan dalam menangani baik operasi caesar ibu korban maupun perawatan almarhum Abraham di RS Leona. Ketiga tenaga medis itu yakni, dokter Gina, dokter Lusi dan seorang tenaga perawat atas nama Rista Faunseka.

Jika tak ada halangan, penyidik akan menggelar pemeriksaan terhadap ketiga tenaga medis tersebut pada Rabu (11/9) ini. Pemeriksaan akan dilakukan secara rutin berdasarkan tahap demi tahap guna menuntaskan kasus tersebut.

“Kita akan rutin melakukan pemeriksaan tahap demi tahap. Sebelumnya, pemeriksaan sudah dilakukan kepada Direktur RS Leona dan dua orang dokter dari RSUD Kefamenanu. Kedua dokter RSUD Kefamenanu diperiksa karena setelah tidak mendapat perawatan medis di RS Leona, almarhum dibawa ke RSUD Kefamenanu. Selanjutnya pada hari Rabu, akan diperiksa dua orang dokter dan satu orang perawat dari RS Leona,” jelas Panjaitan.

Pemeriksaan ini juga menindaklanjuti perintah Bupati TTU Raymundus Sau Fernandes kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten TTU untuk membentuk tim guna menelusuri kasus dugaan malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medis RS Leona Kefamenanu yang berujung pada kematian bayi Abraham Mariano Moni.

Tim tersebut akan melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten TTU, RSUD Kefamenanu, dan dokter pemerintah. Penelusuran dilakukan untuk membuktikan apakah kematian bayi Abraham Mariano Moni diakibatkan oleh kelalaian manajemen dan tenaga medis RS Leona ataukah karena faktor klinis yang dialami bayi yang bersangkutan. Apabila dalam penelusuran tim menemukan indikasi malpraktik maka Pemerintah Daerah akan mengambil tindakan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang terjadi.

Instruksi Bupati Fernandes kemudian ditindaklanjuti oleh Fransiskus Tilis, Penjabat Sekda Kabupaten TTU yang juga merupakan Ketua Tim Penelusur, bersama Direktur RSUD Kefamenanu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kefamenanu, Dinkes TTU dan dokter spesialis anak dari RSUD Kefamenanu.

Dalam klarifikasi Tim Penelusur terkuak fakta bahwa penanganan terhadap bayi Abraham Mariano Moni dilakukan oleh salah seorang dokter umum di Rumah Sakit Leona.

Berdasarkan kronologis yang disampaikan oleh Direktur RS Leona, almarhum dilahirkan melalui operasi caesar karena letaknya sungsang. Setelah dilahirkan, kadar albumin bayi Abraham diketahui hanya 2,2 g/dL dan harus dilakukan tindakan medis. Saat itu, dokter spesialis anak yang bertugas di RS Leona tengah berada di Kupang. Penanganan terhadap bayi Abraham dilakukan oleh dokter umum di rumah sakit tersebut. Tindakan medis yang dilakukan merupakan hasil konsultasi dengan dokter spesialis anak melalui telepon.

Santos

Produksi Sandal Jepit BUMDes Wela Pau Atasi Masalah Pengangguran

0

Borong, Ekorantt.com – Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Wela Pau, Desa Benteng Pau, Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) tengah membuka usaha pembuatan sandal jepit dan pemecah  kemiri.

BUMDes Wela Pau mendapat suntikan dana desa senilai Rp 100 juta (Seratus Juta Rupiah). Dana tersebut digunakan  membuat sandal jepit dengan nama “Wela Pau” yang saat ini sudah dipasarkan di Kota Borong, Kabupaten Manggarai Timur dan di beberapa desa tetangga. 

Direktur BUMDes Wela Pau, Ferdinandus Koret menjelaskan, di Desa Benteng Pau angka pengangguran sangat tinggi.

“Dengan kondisi tersebut, Pemerintah Desa berinisiasi membentuk BUMDes. Salah satu kegiatannya adalah membuka usaha sandal jepit dan alat pemecah kemiri”, katanya kepada awak media, pada Minggu (08/09/2019).

Menurutnya, usaha ini dilakukan untuk bisa menjawab tuntutan ekonomi masyarakat maupun masalah pengangguran yang cukup signifikan di Desa Benteng Pau. Ia berharap, BUMDes yang sedang digiatkan ini bisa membuat Desa Benteng Pau lebih baik, maju dan bebas dari masalah pengangguran.

“Hal penting yang kami lakukan dalam usaha BUMDes ini adalah melakukan kajian mendasar mengenai situasi dan kondisi desa, dan kami memilih inovasi ini untuk menciptakan lapangan pekerjaan,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan, hasil produksi sandal jepit dari BUMDes Wela Pau sudah dipasarkan bahkan dipesan oleh desa-desa lain.

“Dalam kegiatan Bursa Inovasi Desa di Kecamatan Borong, sandal yang kami produksi  hampir semuanya habis terjual. Rata-rata hasil produksi yang kami kerjakan mencapai ratusan pasang sandal,” ungkapnya.

Dirinya juga menambahkan, harga sandal yang diproduksi oleh BUMDes Wela Pau  sebesar Rp 10.000,- baik yang berukuran kecil, sedang, maupun besar. Ia berharap produksi sandal jepit semakin baik dan meningkat dari waktu ke waktu

“Kalau berminat, bisa datang dan memesan di Desa Benteng Pau. Sandal hasil produksi BUMDes Wela Pau tidak kalah saing dengan hasil produksi yang datang dari luar”, pungkasnya. 

Sementara itu,  Marianus Kisman, pendamping Desa Benteng Pau, mengaku bangga dan senang sebab ide pembentukan BUMDes itu melalui kajian dan pendampingan yang cukup intensif. 

“Saya sangat bangga dengan Kepala Desa Benteng Pau. Desa secara transparan mengalokasikan dana seratus juta untuk BUMDes Wela Pau. Ada dua unit pengelola usaha yaitu produksi mesin pemecah kemiri dan usaha produksi sandal jepit yang dikerjakan oleh masyarakat sendiri,” kata Marianus.

Menurutnya, pihak pemerintah Desa Benteng Pau sangat peka terhadap instruksi Menteri Desa untuk pembentukan BUMDes menuju desa mandiri.

“Karena pada dasarnya, desa-desa yang ada di Indonesia tidak boleh lagi bergantung dengan dana desa. Mereka harus memiliki pendapatan asli desa yaitu dari BUMDes.  Kehadiran BUMDes khususnya usaha pabrik sandal dan mesin pemecah kemiri akan menjadi faktor penunjang yang bisa meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PAD) Benteng Pau ke depannya,” ujar Marianus.

Ia berharap semua pihak bisa mendukung sekaligus membeli produk sandal jepit hasil produksi BUMDes Wela Pau agar tidak lagi bergantung pada produksi dari luar Manggarai.

“Berbagai kekurangan BUMDes perlu difasilitasi oleh dana desa agar semua masyarakat yang ada di desa tidak susah dan tidak perlu bergantung lagi dengan produk yang datang dari luar”, kata Marianus optimis.

Adeputra Moses

Tersangka Korupsi Dana Desa Ua Dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Ngada

0

Bajawa, Ekorantt.com – Kasus penyalahgunaan Dana Desa Ua, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo telah dilimpahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan Negeri Ngada untuk ditindaklanjuti. Pada Selasa, (10/9/2019), pukul 10.30 WITA, Unit Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Polres Ngada menyelesaikan proses penyerahan barang bukti dan tersangka (tahap II) ke Kejaksaan Negeri Ngada. 

Informasi mengenai pelimpahan kasus penyalahgunaan Dana Desa Ua ini disampaikan oleh Paur Humas Polres Ngada, AIPDA Bintaran dalam konferensi pers yang dilaksanakan pada Selasa (10/9/2019), bertempat di Aula Mapolres Ngada.

Dalam kasus ini, ditetapkan tiga orang tersangka, antara lain Kristianus Mola (mantan Kepala Desa Ua) selaku pengguna anggaran sekaligus pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa, Efryda Welu (Sekretaris Desa) selaku koordinator pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa, dan Hernimus Sopi (Bendahara Desa) selaku pemegang kas desa.

Ketiganya disangkakan melakukan korupsi Dana Desa tahun anggaran 2015/2016. Total dana yang dikorupsi mencapai Rp. 629.468.114,00 (Enam Ratus Dua Puluh Sembilan Juta Empat Ratus Enam Puluh Delapan Ribu Seratus Empat Belas Rupiah).

Modus operasi dari penyalahgunaan Dana Desa ini antara lain melalui pembuatan laporan fiktif, yang kemudian berhasil ditemukan oleh Inspektorat Nagekeo ketika melakukan audit keuangan desa tersebut. 

Laporan penyalahgunaan keuangan yang berhasil ditelusuri dapat dirincikan sebagai berikut, (1) Pengeluaran Fiktif senilai Rp.164.168.876.- terdiri dari pembayaran insentif dan honor yang belum dibayarkan sesuai bukti Rp. 27.621.826,- dan SPJ Fiktif senilai 136.547.050,- (2) Hutang Pada Pihak Ketiga (rekanan) senilai Rp. 262.677.850,- (3) Pemungutan Pajak yang belum diserahkan senilai Rp.24.808.330,- dan (4) Penyalahgunaan senilai Rp. 177.806.058,-.

Berdasarkan penyidikan, dana desa tersebut diduga ditilep oleh Bendahara Desa Ua, Hironimus Sopi, untuk kepentingan usahanya. Usaha tersebut diantaranya pembuatan kandang babi dan membeli kendaraan. Untuk menutupi perbuatannya itu, ia membuat laporan pertanggungjawaban fiktif. 

Kristianus Mola dan Eryda Welu mengaku tidak melakukan kontrol dan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan desa. Keduanya menandatangani Laporan Realisasi Anggaran (LRA) dan Laporan Keterangan Pertangungjawaban (LKPJ) walaupun mereka mengetahui terdapat beberapa insentif dan belanja modal yang tidak dibayarkan. LRA dan LKPJ tetap mereka tandatangani dengan pertimbangan agar Pemerintah Desa bisa terus mendapatkan pencairan dana untuk pelaksanaan program pada setiap tahapannya.

Ketiga tersangka dijerat Pasal 2 Ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI No 20 Tahun 2001, dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun maksimal 20 tahun penjara dan denda paling rendah 200 juta paling tinggi 1 miliar rupiah, sementara seturut pasal 3 paling rendah 1 tahun dan paling tinggi 20 tahun penjara dengan denda paling rendah 50 juta dan paling tinggi 1 miliar.

“Kasus ini sudah selesai di tingkat Penyidikan. Polres Ngada telah melalui proses Tahap II yaitu mulai dari kemarin, Senin (9/9/2019), kami menyerahkan Barang Bukti ke Kejaksaan Negeri Ngada, dan hari ini Selasa, (10/92019) kami menyerahkan para tersangka kepada kejaksaan Negeri Ngada yang akan dilaksanakan di Kejaksaan Tinggi Kupang”, terang AIPDA Bintaran

Para tersangka dibawa ke Kejaksaan Tinggi Kupang menggunakan pesawat terbang Trans Nusa, pada Selasa (10/9/2019), pukul 13.00 WITA  melalui Bandara Turelelo Soa oleh petugas Kejaksaan Negeri Ngada dan Kanit Tipikor Polres Ngada. Ipda Anselmus Leza, S.H.

Adeputra Moses

Tentang Agama dan Iman

0

Oleh

Eka Putra Nggalu*

Cum eadem spes

Sicut tua, te amo.

Spes me semper salvat

Cum religio non iam satis sit.

(Dengan iman yang sama

Seperti imanmu, aku menyayangimu.

Iman senantiasa menyelamatkan

Aku ketika agama tak lagi cukup)

Tentang syair ini, Mario Lawi, si Penulis pernah berterus terang, ‘cinta beda agama’-lah yang melatari bangunan pemaknaannya. Namun, syair tetaplah syair, puisi tetaplah puisi. Penyair selalu sudah langsung mati ketika ia menyajikan syair yang ditulisnya (dengan otoritas pemaknaan) kepada semua yang mengapresiasi karya itu. Yang tertinggal hanyalah syair yang dihadapi oleh begitu banyak pembaca, penikmat, pendengar, dan semua yang memberi waktu untuk sekedar merenungkannya. Dengan demikian, makna tak lagi tunggal. Makna perlahan menyebar, merambat, membekas, di otak, hati, hingga gerak laku semua yang mengambil syair itu menjadi miliknya. Mario boleh jadi turut mati bersama ‘cinta beda agama-nya.

Feuerbach mungkin benar. Allah adalah hasil proyeksi manusia-manusia yang kehilangan harapan dan daya untuk hidup. Manusia yang terbatas, selalu melihat diri dalam dualisme antara ketidakmampuannya, dengan sesuatu yang lain yang lebih luas dari kemampuannya. Manusia lantas memproyeksikan ‘sesuatu yang tak terbatas’ sebagai yang ada, berdiri sendiri, dan berkuasa di luar dirinya. ‘Sesuatu yang tak terbatas’ itu diberi karakter manusiawi, dipersonifikasi sedemikian rupa, sehingga menjadi sosok patronis, tempat ia bisa meletakkan segala beban dalam hidup yang keras.

Manusia menyembahnya, menjadikan dia sandaran dan penopang: sesuatu yang menurut Feuerbach menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri. ‘Manusia mengakui dalam Tuhan, sesuatu yang diingkari dari dirinya sendiri’. Karena itu, manusia beragama yang menyembah adanya sesuatu yang disebut Tuhan selalu sudah terasing dengan dan dari dirinya sendiri.

Marx yang dicerahkan oleh Feuerbach pun tidak main-main mengkritik agama sebagai candu masyarakat. Agama semakin meninabobokan manusia, yang secara negatif dalam kerangka pemahaman Marx dapat dipahami sebagai ‘the suffering being’. Manusia sebagai makhluk yang terbatas adalah makhluk yang menderita. Namun, Marx tidak hanya berhenti pada kritik terhadap agama. Menurut Marx, pelarian yang dilakukan oleh manusia selalu didorong oleh realitas yang tidak memberi jaminan kepada manusia untuk hidup sesuai dengan fitrah dan pilihan bebasnya. Kritik pada agama adalah tumpul tanpa kritik terhadap sistem-sistem dalam masyarakat. Kritik terhadap surga adalah sia-sia tanpa adanya kritik terhadap dunia.

Marx ingin mengubah dunia, karena interpretasi, baginya selalu tidak cukup. Marx ingin agar realitas yang telah terdistorsi oleh kelas-kelas sosial, ekonomi kapitalis yang secara tidak langsung maupun langsung mendapat legitimasinya dalam agama dan kebudayaan, harus segera diakhiri dengan satu aksi revolusioner bercorak sosialisme ilmiah, demi tercapainya ‘kerajaan kebebasan’. Bagi Marx, kesetaraan kelas adalah segalanya, dan manusia pada akhirnya adalah materi, dan selalu hanya materi. Manusia adalah economic animal.

Bagi Mario, agama bisa menjadi sangat terbatas. Agama bisa menjadi tak cukup. Bagi Mario, agama dalam arti tertentu bisa menjadi penghalang, atau tembok yang memenjarakan.

Marx mungkin mendasari kritiknya akan agama dengan melihat situasi Gereja yang amburadul pada masa itu. Gereja yang menjanjikan pembebasan, justru melegitimasi ketertindasan dan tidak memiliki opsi terhadap yang menderita, kecuali pelajaran moral yang sama sekali tidak mengubah sistem dalam realitas masyarakat. Pelajaran moral dan kesalehan bukan satu-satunya indikator yang bisa mengubah taraf kesejahteraan hidup manusia.

Kisah tentang Allah yang lewat nabi-nabinya – bahkan Putra-Nya sendiri – membebaskan penderitaan para janda dan anak-anak yatim piatu agaknya hanya menjadi utopia semata. Marx meragukan keberpihakan Gereja, dan mempertanyakan janji kebangkitan jiwa-badan, yang selalu berarti manusia akan mengalami transformasi secara keseluruhan sebagai pribadi di surga kelak, bahkan tanpa harus bersusah payah mengusahakan kehidupannya di dunia. Agama, bagi Marx, menjanjikan sesuatu yang pada kenyataannya tidak dapat diusahakannya sendiri.

Marx mungkin akan semakin tertawa jika tahu, telah banyak manusia di dunia ini yang hidup dalam agama dengan suatu kesadaran palsu. Kesadaran palsu itu yang membuat manusia selalu membuat kapling-kapling eksklusif, mengidentifikasi dirinya sebagai yang lain dari yang lain, yang benar dari yang bidaah, yang baik dari yang buruk, dan yang suci dari yang najis. Marx akan semakin berbangga diri sembari mencibir ketika melihat doktrin-doktrin agama menjadi basis legitimasi berbagai jenis teror, pembunuhan, perang, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya.

Agama masa kini adalah agama dalam ideal Marx, agama yang menjadi candu bagi masyarakat. Siapa saja yang hidup dalam candu, kemabukan, dan kesadaran palsu, berpotensi arogan dan reaktif jika berhadapan dengan yang lain, yang dianggap mengancam eksistensinya. Sekali lagi, Marx mungkin akan tertawa dengan sangat nikmat jika fenomena seperti ini bisa diamatinya.

Namun, apakah Marx bisa membatalkan, kalau manusia juga selalu punya appetitus naturalis, sebuah kerinduan (keterarahan) yang sifatnya alamiah kepada kebahagiaan dan kedamaian sempurna, yang selamanya tidak bisa dipuaskan oleh barang-barang ekonomis semata? Marx mungkin bisa menghapus kapitalisme pun secara utopis, tetapi apakah Marx, dengan sistem ekonominya bisa membatalkan factum primum, bahwa manusia secara ontologis memiliki keterbatasan yang paling radikal dari eksistensinya sebagai manusia, yang oleh karenanya selalu terbuka kepada Yang Transenden, sebagai cakrawala tak terbatas, tempat ia mengeksplorasi kerinduan-kerinduannya?

Keterbukaan kepada Yang Transenden sebagai cakrawala yang tidak terbatas tidak serta merta membuktikan adanya Tuhan, tetapi juga tidak bisa membatalkan begitu saja adanya Tuhan. Intinya, manusia selalu melebihi yang materi semata. Manusia selalu bermatra epistemologis, etis, dan estetis.

Dan iman selalu hadir sebagai sebuah keberanian berkonsistensi terhadap sesuatu yang diyakini, yang juga selalu berpaut erat dengan harapan sebagai sebuah cakrawala, kaki langit kemungkinan dan cinta sebagai daya yang mempersatukan. Iman selalu menuntut adanya keterbukaan, merasakan sesuatu yang tak terbatas. Iman selalu berarti penyingkapan diri yang total terhadap sesuatu yang transenden, yang hanya bisa diterima keberadaannya dengan seluruh diri dan sangat pribadi. Iman pun menuntut adanya pemberian diri terhadap yang lain, kebersediaan untuk berkomunikasi dengan yang lain sebagai yang setara dalam komunitas kosmik.

Manusia tidak serta merta bisa direduksikan sebagai economic animal, tidak juga bisa dipenjara dalam tembok-tembok keagamaan yang sempit. Manusia adalah substansi dan subjek multidimensional yang tidak hanya bisa ditakar secara material, tetapi satu-kesatuan jiwa-badan yang bertindih tepat. Materialisme Marx sesungguhnya kontradiktoris dalam dirinya sendiri, ketika di satu sisi berusaha mengkampanyekan kemampuan manusia mengenal esensi materialnya, dan dalam memprediksikan hakikat serta tujuan akhir sejarah, tetapi di sisi yang lain bersikukuh bahwa pengetahuan manusia hanya bersumber dari hal-hal empiris, pengalaman indrawi saat ini.

Manusia bukanlah makhluk yang menyerah pada determinisme alam. Manusia bisa melampauinya, dengan rasionalitas dan imannya. Manusia pun terbuka pada keterbatasannya. Manusia terbuka pada kekurangannya. Manusia mentransendensi dirinya, terbuka pada pelbagai kemungkinan kebahagiaan, kedamaian, dengan cinta sebagai kekuatan utama mencapai cita-cita kesempurnaan itu. Sehingga, dalam wujud yang paling nyata, keterbukaan itu melahirkan penerimaan kepada yang lain sebagai partner, sebagai sebuah penolong yang sepadan, sebagai yang satu dalam komunitas kosmik.

Manusia mungkin perlu agama sebagai panduan yang mengarahkannya untuk membuka diri kepada yang lain, juga kepada Yang Transenden. Agama yang statis, bisa menjadi penjaga ritme, pembentuk kebiasaan, dan juga bisa menjadi penuntun dalam membangun sistem nilai yang bisa dihidupi oleh manusia dalam keterbatasannya, dalam ruang serta waktu yang terbatas pula selama ia hidup di dunia ini.

Namun, agama lewat doktrinnya tidak bisa membatasi interelasi manusia sebagai yang sama-sama hadir dalam komunitas kosmik, yang selalu menuntut adanya komunikasi, saling pengertian, tenggang rasa, dan sikap saling berbagi. Iman yang bersifat liquid, yang adekuat dengan cinta serta harapan adalah penyambung asa, jembatan, dan landasan komunikasi ketika doktrin agama menjadi penghalang, sistem dan kelas ekonomi menjadi pemisah, dan perbedaan suku serta ras menjadi tameng untuk saling menutup diri. Manusia mungkin bisa hidup tanpa agama, manusia bisa hidup tanpa kekayaan harta benda, tetapi manusia sama sekali tidak bisa hidup tanpa iman, harap, dan kasih sebagai satu kesatuan adekuat yang menopang keterbatasan ontologis manusia.

*Ketua Komunitas KAHE, Redaktur EKORA NTT

Tolak Revisi UU KPK!

0

Sejak diundangkan pertama kali pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2002 lalu, para wakil rakyat di lembaga DPR RI telah berkali-kali mengajukan draft revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Revisi UU KPK didorong oleh antara lain para pengusaha, elite penegak hukum, pengacara, dan elite partai politik yang pro status quo (ICW, “Catatan Indonesia Corruption Watch terhadap Revisi UU (Pelemahan) KPK”, 2016).

Tujuan mereka adalah memperlemah atau bikin loyo KPK.

Dalam catatan ICW, usulan dan pembahasan Revisi UU KPK telah dimulai sejak tahun 2011 lalu.

Hingga kini, sekurang-kurangnya, sudah ada empat (4) rancangan Revisi UU KPK yang bocor ke publik, yakni Naskah Revisi UU KPK Edisi 2012, Edisi Oktober 2015, Edisi Februari 2016, dan paling mutakhir Edisi September 2019.

Masih menurut ICW, dalam Edisi Oktober 2015 versi Senayan, setidaknya terdapat 17 isu krusial yang berpotensi melemahkan dan membubarkan KPK.

Misalnya, membatasi usia insitusi KPK hingga 12 tahun mendatang, memangkas kewenangan penuntutan, memberikan kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan, membatasi proses rekrutmen penyelidik dan penyidik secara mandiri, dan membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani KPK.

Karena ditolak publik, pembahasan Edisi Oktober 2015 dihentikan hingga pengujung 2015.

Naskah itu kemudian diambil alih menjadi usulan DPR.

Naskah Edisi Oktober 2015 berubah setelah Menkopolhukam Luhut B. Pandjaitan ajukan tawaran agar revisi UU KPK cukup dibatasi pada empat (4) aspek saja, yaitu kewenangan penghentian penyidikan, rekrutmen penyelidik dan penyidik KPK, pembentukan Dewan Pengawas, dan pengaturan mekanisme penyadapan.

Pada Senin, 1 Februari 2016, para anggota DPR RI mulai membahas Revisi UU KPK.

Lalu, muncullah Naskah Edisi Februari 2016 yang berbeda dari Edisi 2015.

Akan tetapi, Naskah Edisi Februari 2016 tidak hanya membahas empat (4) isu krusial tawaran Pemerintah di atas, tetapi juga membahas hal-hal lainnya yang pada intinya bertujuan melemahkan KPK.

ICW mencatat, sekurang-kurangnya terdapat 10 (sepuluh) isu persoalan pada Naskah Edisi Februari 2016, yakni pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih dan diangkat oleh Presiden (1), mekanisme penyadapan yang harus izin Dewan Pengawas (2), penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan (3), dualisme kepemimpinan di KPK (4), KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri (5), hanya Penyidik KPK asal Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses penyidikan (6), prosedur pemeriksaan terhadap tersangka harus mengacu pada KUHAP (7), KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi (8), proses penyitaan harus dengan izin Dewan Pengawas (9), dan tidak ada ketentuan peralihan (10).

Revisi UU KPK itu juga telah berkali-kali ditolak publik.

Publik beralasan, jika Revisi UU KPK disahkan, maka antara lain pertama, KPK berpotensi dibajak Dewan Pengawas, kedua, karena anggota Dewan Pengawas diangkat dan dipilih Presiden, maka sangat mungkin terjadi intervensi Presiden atau Eksekutif terhadap KPK, ketiga, keberadaan Dewan Pengawas akan merancukan struktur dan pertanggungjawaban kinerja KPK, keempat, proses penangangan kasus korupsi oleh KPK akan berlarut-larut karena prosedur penanganan yang kembali ke mekanisme hukum acara konvensional, dan kelima, berpotensi muncul dualisme loyalitas oleh penyelidik dan KPK yang berasal dari Kejaksaan dan Kepolisian.

Oleh karena itu, pada tanggal 3 Februari 2016 lalu, ICW meminta pertama, seluruh fraksi di DPR membatalkan rencana pembahasan Revisi UU KPK, kedua, Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, menolak membahas Revisi UU KPK bersama dengan DPR dan menariknya dalam Prolegnas 2015-2019 sesuai dengan agenda Nawa Cita, khususnya penguatan KPK, ketiga, Presiden Jokowi mewaspadai manuver dan operasi senyap yang dilakukan orang-orang di lingkungan terdekatnya, khususnya yang berambisi menguasai sektor ekonomi dan politik dengan memperlemah KPK melalui Revisi UU KPK, keempat, pimpinan KPK mengirimkan surat resmi yang menyatakan keberatan dan menolak rencana pembahasan Revisi UU KPK dengan substansi yang melemahkan kerja KPK, dan kelima, mendorong gerakan masyarakat sipil dan berbagai elemen yang mau Indonesia bersih dari korupsi untuk bersatu padu menggagalkan upaya pelemahan KPK.    

Sayangnya, nafsu para wakil rakyat di Senayan untuk bikin loyo KPK tak pernah kempot.

Pada Kamis, 5 September 2019 lalu, ketuk palu Wakil Ketua DPR RI Utut Udianto sebagai pimpinan Rapat Paripurna mengesahkan naskah rancangan Revisi UU KPK menjadi RUU Inisiatif DPR (Kompas.com, 6 September 2019).

Semua fraksi di DPR RI menyanyikan koor lagu setuju atas RUU Revisi UU KPK Edisi September 2019 itu.

Lagi-lagi, ICW mencatat sebelas (11) isu krusial yang harus dikritisi dari RUU Revisi UU KPK itu, yakni pembentukan Dewan Pengawas (1), kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) (2), dalam melaksanakan tugas penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung (3), penyadapan harus izin dari Dewan Pengawas (4), KPK bukan lagi lembaga Negara independen (5), KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani sebuah perkara (6), menghapus kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen (7), penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan (8), KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia (9), syarat menjadi Pimpinan KPK mesti berumur 50 tahun (10), dan draft yang beredar tidak ditulis dengan cermat dan terkesan tergesa-gesa (11).

Sama seperti ICW, sikap kami adalah menolak Revisi UU KPK!

Kami juga mendesak pertama, Presiden Jokowi menghentikan pembahasan revisi UU KPK dan kedua, DPR fokus pada penguatan KPK dengan cara merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hentikan Pembahasan Revisi UU KPK! DPR Berupaya Membunuh KPK

0

Jakarta, Ekorantt.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali berada dalam ancaman.

Belum selesai mengenai perdebatan Calon Pimpinan (Capim) KPK, kali ini serangan justru hadir pada ranah legislasi dalam kerangka Revisi UU KPK.

Dapat dipastikan jika pembahasan ini tetap dilanjutkan untuk kemudian disahkan, maka pemberantasan korupsi akan terganggu dan eksistensi KPK akan semakin dilemahkan.

Setidaknya ada beberapa isu yang harus dikritisi dalam draft yang beredar di tengah masyarakat:

Pertama, pembentukan Dewan Pengawas.

Persoalan ini terus menerus hadir dalam naskah perubahan UU KPK. Jika melihat lebih jauh maka dapat dikatakan bahwa Dewan Pengawas ini adalah representasi dari Pemerintah dan DPR yang ingin campur tangan dalam kelembagaan KPK. Sebab, mekanisme pembentukan Dewan Pengawas bermula dari usul Presiden dengan membentuk Panitia Seleksi, lalu kemudian meminta persetujuan dari DPR. Lagi pun fungsi-fungsi Dewan Pengawas sebagian besar sudah diakomodasi oleh Pengawas Internal dan Penasihat KPK.

Kedua, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Isu ini sudah dibantah berkali-kali dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010. Tentu harusnya DPR paham akan hal ini untuk tidak terus menerus memasukkan isu ini pada perubahan UU KPK. Selain itu, Pasal 40 UU KPK yang melarang menerbitkan SP3 bertujuan agar KPK tetap selektif dalam menentukan konstruksi sebuah perkara agar nantinya dapat terbukti secara sah dan meyakinkan di muka persidangan. Faktanya, hingga hari ini sejak awal mula berdiri, dakwaan KPK selalu terbukti di persidangan. Patut untuk dipahami bahwa kejahatan korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime. Ini mengartikan penanganannya tidak bisa lagi dikerjakan dengan metode konvensional.

Ketiga, dalam melaksanakan tugas penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Poin ini merupakan sebuah kemunduran bagi pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebab, pada dasarnya, KPK adalah sebuah lembaga yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap. Tentu jika harus berkoordinasi terlebih dahulu akan menghambat percepatan penanganan sebuah perkara yang akan masuk fase penuntutan dan persidangan.

Keempat, penyadapan harus izin dari Dewan Pengawas.

Kali ini, DPR ingin memindahkan perdebatan, dari mulanya izin Ketua Pengadilan sekarang melalui Dewan Pengawas. Logika seperti ini sulit untuk diterima, karena justru akan memperlambat penanganan tindak pidana korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di KPK. Selama ini, KPK dapat melakukan penyadapan tanpa izin dari pihak manapun dan faktanya hasil sadapan KPK menjadi bukti penting di muka persidangan untuk menindak pelaku korupsi. Sederhananya, bagaimana jika nanti Dewan Pengawas itu sendiri yang ingin disadap oleh KPK? Mekanisme itu tidak diatur secara jelas dalam rancangan perubahan.

Kelima, KPK tidak lagi lembaga Negara independen.

Perubahan ini terjadi pada Pasal 3 UU KPK. Jika sebelumnya ditegaskan bahwa KPK adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, kali ini justru berubah menjadi lembaga Pemerintah Pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen. Narasi ini kontradiksi dengan prinsip teori lembaga Negara independen yang memang ingin memisahkan lembaga seperti KPK dari cabang kekuasaan lainnya.

Keenam, KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani sebuah perkara.

Dalam Pasal 40 ayat (1) draft perubahan disebutkan bahwa KPK hanya mempunyai waktu 1 tahun untuk menyelesaikan penyidikan ataupun penuntutan sebuah perkara. Ini menunjukkan ketidapahaman DPR dalam konteks hukum pidana. Patut untuk dicermati bahwa jangka waktu tersebut hanya berlaku untuk masa kedaluwarsa penuntutan, yakni dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP yakni mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. Harusnya DPR memahami bahwa setiap perkara memiliki kompleksitas persoalan berbeda. Jika sebuah kasus dipandang rumit, maka sudah barang tentu penyidikan serta penuntutannya membutuhkan waktu yang cukup panjang. Ini semata-mata agar bukti yang diperoleh kuat untuk membuktikan unsur Pasal terpenuhi.

Ketujuh, menghapus kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen.

Dalam draft perubahan dijelaskan pada Pasal 43 dan 45 bahwa KPK hanya berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik yang berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan. Ini mengartikan bahwa kehadiran penyidik independen akan dihilangkan. Padahal Putusan MK tahun 2016 sudah menegaskan kewenangan KPK untuk mengangkat Penyidik di luar dari institusi Kepolisian atau Kejaksaan. Secara spesifik, MK menyebutkan bahwa praktik merekrut penyidik independen merupakan sebuah keniscayaan karena hal yang sama juga dilakukan oleh ICAC Hongkong dan CPIB Singapura. Lain hal dari itu penting untuk mencegah adanya loyalitas ganda ketika penyidik yang berasal dari insitusi lain bekerja di KPK.

Kedelapan, penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan.

Poin ini muncul pada Pasal 70 huruf c yang menyebutkan bahwapada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Ini mengartikan perkara yang melebihi waktu 1 tahun harus dihentikan. Di sisi lain, kita mengetahui bahwa saat ini KPK sedang menangani berbagai perkara dengan skala kerugian Negara yang besar. Dapat dibayangkan jika UU ini disahkan maka para pelaku korupsi akan dengan sangat mudah untuk lepas dari jerat hukum.

Kesembilan, KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia.

Ini ditegaskan dalam naskah perubahan Pasal 19 yang menyebutkan KPK berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Padahal dalam UU sebelumnya ditegaskan bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi.

Kesepuluh, syarat menjadi Pimpinan KPK mesti berumur 50 tahun.

Poin ini dapat dikatakan tanpa adanya argumentasi yang masuk akal. Karena sebelumnya dalam Pasal 29 angka 5 UU KPK disebutkan bahwa usia minimal untuk menjadi Pimpinan KPK adalah 40 tahun. Tentu ini menutup ruang bagi kaum muda yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pemberantasan korupsi untuk dapat menjadi Pimpinan KPK.

Kesebelas, draft yang beredar tidak ditulis dengan cermat dan terkesan tergesa-gesa.

Poin ini didasarkan pada Pasal 37 E yang mengatur mengenai Dewan Pengawas. Pada angka 8 tertulis bahwa Panitia Seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang akan disampaikan kepada Presiden. Padahal pada bagian ini sedang membahas Dewan Pengawas, bukan Pimpinan.

Keseluruhan poin itu menggambarkan bahwa DPR secara serampangan menginisasi adanya Revisi UU KPK. Untuk itu, maka Indonesia Corruption Watch menuntut agar:

  1. Presiden menghentikan pembahasan revisi UU KPK
  2. DPR fokus pada penguatan KPK dengan cara merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Demikian keterangan pers yang diperoleh Redaksi EKORA NTT dari Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah, Sabtu (7/9/2019).

Sampai berita ini diturunkan, berdasarkan keterangan dari Wana, sudah ada 37 Guru Besar Indonesia menyatakan menolak revisi UU KPK.

37 Guru Besar itu adalah Prof. Dr. Gimbal Prof. Dr. Veithzal Rivai Zainal, Prof. Dr. M. Noor salim, Prof. Dr. H. Bomer Pasaribu, Prof. Dr. Husein Umar, Prof. Dr. Harianto Hardjasaputra, Prof. Dr. Eng. Ir. Abraham Lomi, M. Eng., Prof. Dr. Haryono Umar, Prof. Dr. Adji Suratman, CA, Prof. Dr. Ir. John FoEh, IPU, Prof.Dr.Ir.Ngadino Surip .MS, Prof. Azril Azahari Ph.D, Prof. Dr. L. Poltak Sinambela, Prof. Dr. Arifin Sitio, M. Sc., Prof. Dr. Apollo, MS, Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd, Prof. Dr. Moh. Mahfud  MD, Prof. Dr. Muhamad halilintar, Prof.Dr.R. Hendra Halwani,M.A., Prof. Bernadette N. Setiadi, Ph.D., Prof. Dr.-Ing. Mudrik Alaydrus, Prof. Dr. Yuliandri, Prof. Dr. Sukowiyono, Prof. Dr.Lanny W. Pandjaitan, Prof. Dr.-Ing.K. Tunggul Sirait, Prof. Dr. Tri Ratna Murti, MM, Psi., Prof. Dr. Mukhtar Latif, MPd., Prof. Dr. Juanda SH MH, Prof. Dr. Abdul Razak, Prof. Dr. Y. Sutomo, MM, Prof. Dr. H. Eddy Soegiarto K. SE. MM., Prof. Dr. Budi Eko S. M. Ed. M. Si., Prof. Dr. agr. Mohamad amin M.Si, Prof. Riris Sarumpaet (UI), Prof. Herlien D. Setio (ITB), Prof Hariadi Kartodiharjo (IPB), Prof Sulistyowati Harianto (UI), dan Prof. Sigit Riyanto (UGM).

Sekarang, sedang digalang dukungan dari para pemuka agama dan akademisi di NTT untuk menolak revisi UU KPK.

Jika Saudara Pembaca EKORA NTT mau terlibat dalam petisi menolak revisi UU KPK, silahkan kontak Redaksi di alamat email ekorantt.com atau facebook: ekorantt.com.

Cukupkah Mendengarkan Papua Bicara?

0

Ujaran kebencian bernada rasisme yang diduga dilakukan oleh aparatur Negara dan koordinator aksi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada Jumat, 16 Agustus 2019 lalu dinilai oleh warga Papua sebagai kejadian biasa yang selalu berulang saban tahun.

Aksi demonstrasi damai yang kemudian berujung rusuh di sejumlah titik di Papua seperti di Sorong, Manokwari, Deiyai, dan Jayapura adalah akumulasi amarah massa rakyat Papua terhadap rasisme yang selalu berulangtahun itu.

Akan tetapi, rasisme bukanlah persoalan Papua satu-satunya.

Dalam catatan Komnas Perempuan, sekurang-kurangnya terdapat beberapa persoalan penting di Papua yang mesti segera ditanggulangi, yakni pertama, eksploitasi sumber daya alam dan alih fungsi hutan/lahan serta kerusakan lingkungan yang membuat rakyat Papua tercabut dari lingkungan hidup, ekosistem, dan rujukan nilainya.

Kedua, persepsi keamanan pemerintah yang kontradiktif, yaitu masih menganggap penempatan aparat keamanan sebagai solusi masalah di Papua.

Ketiga, korban pelanggaran HAM yang tidak dipulihkan.

Keempat, upaya-upaya penyejahteraan masyarakat Papua hanya dinikmati oleh kelompok elite, bukan masyarakat Papua.

Kelima, persoalan kependudukan/demografi dan minimnya politik afirmasi bagi orang-orang Papua pada peran-peran strategis.

Keenam, layanan publik yang tidak efektif.

Ketujuh, kondisi kesehatan yang buruk.

Kedelapan, minimnya perlindungan bagi perempuan pembela HAM.

Komnas Perempuan membahasakannya sebagai “kekecewaan orang Papua yang tidak dituntaskan di tiap rezim.”

Secara ringkas, persoalan Papua adalah persoalan kapitalisme neo-liberal yang melahirkan krisis ekologis secara berkepanjangan, pelanggaran HAM yang tak pernah dituntaskan, korupsi yang menggurita di kalangan para penyelenggara Negara, dan absennya pengakuan Negara terhadap kekhasan dan keanekaragaman identitas budaya Papua.

Acap kali, rasisme dan diskriminasi terhadap orang Papua, yang sudah berlangsung sejak zaman Orde Baru hingga kini, terjadi karena ketidakmampuan Negara menerapkan politik pengakuan atau politik diferensiasi.

Alih-alih mengakui, Negara, terutama Negara Orde Baru, melakukan politik penyeragaman.

Atas nama “Persatuan Indonesia”, segala sesuatu di-seragamkan.

Padahal, hanya dengan pengakuan-lah identitas seseorang atau kelompok diakui.

Ketiadaan pengakuan menyebabkan identitas kultural seseorang atau kelompok dilecehkan atau di-diskriminasi.

Akan tetapi, jika semua persoalan di atas bisa diringkas ke dalam satu kata, maka kata yang layak untuk itu adalah kapitalisme.

Persoalan Papua, sebagaimana persoalan di belahan bumi lainnya, adalah persoalan kapitalisme dan kolonialisme gaya baru merebut alat-alat produksi utama di sana.

Persoalan-persoalan lainnya, persoalan politik identitas, misalnya, adalah catatan kaki dari persoalan kapitalisme.

Papua antara lain kaya akan emas.

Dan emas adalah salah satu sumber daya kapital yang terbesar untuk mengkonsentrasi dan mengakumulasi kekayaan.

Siapa kapitalis yang tidak terpancing naluri akumulasi primitif-nya atau akumulasi dengan perampasan-nya mana kala melihat tanah di Papua bertaburan emas?

Cerita tentang Papua adalah cerita tentang pertarungan kapital.

Andaikata Papua itu miskin, maka takkan pernah ada konflik-konflik berdarah seperti sekarang.

Sama seperti takkan ada perang berkepanjangan andaikata Timur Tengah tidak punya sumber daya minyak yang berkelimpahan.

Karena persoalan Papua terakumulasi sejak lama dan berakar pada sistem ekonomi kapitalistis yang barbaristik, maka cara penanggulangan persoalan di sana harus dilakukan secara lebih hati-hati.

Sejauh ini, pemerintah masih menerapkan pendekatan keamanan untuk menyelesaikan konflik.

Alih-alih solusi, pendekatan keamanan malah dikritik sebagai biang keladi pelanggaran HAM di Papua.

Di samping itu, pendekatan keamanan semakin mengeraskan konflik horizontal antarwarga Papua sendiri.

Mesti dicari sebuah cara baru bagi Papua.

Di satu sisi, 8 tahun silam, Dr. Neles K. Tebay dalam artikel “Mendengarkan Harapan Orang Papua” pernah mengingatkan pemerintah tentang pentingnya mendengarkan warga lokal Papua (Kompas, Sabtu, 31 Agustus 2019, p. 6).

Presiden Jokowi juga sudah berjanji akan membangun dialog dengan orang Papua.

Namun, seperti awasan Neles, dialog tidak boleh hanya terjadi di tingkat elite politik.

Sebaliknya, pemerintah mesti bangun dialog langsung dengan rakyat Papua.

Dari perspektif Pemerintah, mendengarkan rakyat Papua bicara adalah langkah awal mengobati penderitaan massa rakyat di sana.

Akan tetapi, di sisi lain, dari perspektif rakyat Papua, gerakan massa rakyat Papua jauh-jauh lebih penting untuk men-smash kapitalisme neoliberal yang memiskinkan massa rakyat di sana.

Dialog dan sikap saling mendengarkan penting, tetapi tidak cukup progresif untuk menghalau pertarungan para kapitalis di Papua.

Oleh karena itu, tak pernah bisa dibenarkan jikalau TNI/Polri membungkam aksi massa di sana dengan dalih “NKRI Harga Mati” tanpa pernah memedulikan jeritan rakyat Papua akibat kuk kapitalisme yang maha berat itu.

Biarkan rakyat Papua melakukan massa actie dan berbicara tentang serta menentukan sendiri nasibnya di masa depan.

Mendengarkan Papua Bicara: Tolak Rasisme, Lawan Kolonialisme!

0

Ujaran kebencian bernada rasisme yang diduga dilakukan oleh aparatur Negara dan koordinator aksi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada Jumat, 16 Agustus 2019 lalu dinilai oleh warga Papua sebagai kejadian biasa yang selalu berulang saban tahun. Aksi demonstrasi damai yang kemudian berujung rusuh di sejumlah titik di Papua seperti di Sorong, Manokwari, Deiyai, dan Jayapura adalah akumulasi amarah massa rakyat Papua terhadap rasisme yang selalu berulangtahun itu. Mendengarkan rakyat Papua bicara adalah langkah awal mengobati penderitaan massa rakyat di sana.

Maumere, Ekorantt.com – Kasus penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 yang lalu memicu banyak aksi massa di berbagai tempat di Indonesia.

Seperti diberitakan tempo.co, aksi massa paling besar terjadi di beberapa daerah di Papua dan Papua Barat, antara lain di kota Jayapura, Sentani, Abepura, Kotaraja, Manokwari, dan Sorong.

Namun demikian, hingga berita ini diturunkan, kondisi di Papua sudah berangsur membaik.

Warga Sentani Che Sani yang dihubungi EKORA NTT via telepon pada Senin (2/9) dan Kamis (5/9) mengungkapkan, sekalipun tidak bisa dikatakan aman 100%, Kabupaten Jayapura, khususnya Sentani, sudah berangsur aman.

Kerusuhan hanya terpusat di Kota Jayapura dan tidak menyebar hingga ke Sentani.

Warga Sentani sudah melakukan aktivitas perkantoran, persekolahan, dan lain-lain seperti biasa.

Hanya saja di sejumlah titik di ruas-ruas jalan di Sentani, TNI/Polri dan Brimob memang masih melakukan pengawasan dan penjagaan.

Sebelumnya, selama dua hari, pada Jumat (30/8) dan Sabtu (31/8), warga Sentani vakum dari segala aktivitas apa pun.

Che Sani mengatakan, segenap suku dan elemen masyarakat di Papua sangat berharap agar persoalan ini segera terselesaikan.

Soal referendum, Che Sani mengaku tidak bisa menjawab.

Sebab, menurut dia, setiap orang Papua punya gagasan masing-masing tentang pilihan atau referendum atau tetap di bawah NKRI.

Misalnya, demikian Che Sani, referendum versi orang pantai tentu berbeda dari referendum versi orang gunung.

Mayoritas orang Papua yang tinggal di daerah pegunungan menghendaki sesegera mungkin melakukan referendum.

Akan tetapi, pendapat itu tidak serta merta disepakati oleh sebagian besar orang Papua yang tinggal di daerah pesisiran.

Mereka memiliki tujuan yang berbeda dari referendum.

Orang Papua di pegunungan menghendaki satu kepemimpinan usai referendum.

Sementara itu, orang Papua di pesisir pantai memiliki gagasan lain tentang kepemimpinan pasca referendum.

Jadi, menurut Sani, di antara orang Papua sendiri terdapat pertentangan gagasan tentang referendum.

Warga Papua lainnya Dian Daat kepada EKORA NTT, Rabu (3/9/2019) mengabarkan bahwa kondisi di Raja Ampat aman.

Menurut dia, kerusuhan hanya terjadi di Manokwari dan Sorong dan kemudian Jayapura.

Awalnya, masyarakat menggelar demonstrasi damai terkait persoalan rasisme di Surabaya dan Malang.

Menurut Dian, kerusuhan di Jayapura terjadi karena aparat tidak memberi izin massa rakyat untuk menggelar aksi damai.

Massa membakar rumah toko (Ruko), Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Kantor Telkomsel.

Kantor Telkomsel dibakar karena pemerintah menutup jaringan.

Selama satu hari penuh, telepon biasa dan layanan pesan singkat atau SMS di Jayapura tidak bisa diakses.

Menurut Dian, pemicu kerusuhan adalah rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya pada Jumat, 16 Agustus 2019.

Akan tetapi, menurut dia, sesungguhnya, rasisme terhadap mahasiswa Papua sudah terjadi sejak lama.

Rasisme di Surabaya itu bikin amarah massa rakyat Papua yang selama ini ditahan-tahan meledak.

Dengan demikian, menurut Dian, kerusuhan di Papua adalah akumulasi kemarahan massa rakyat Papua terhadap aksi rasisme yang sudah sekian lama menerpa orang Papua.

Menurut laporan Kompas edisi Jumat (30/8/2019), unjuk rasa di Jayapura pada Kamis (29/8/2019) yang dimulai sekitar pukul 09.00 WIT awalnya berlangsung damai.

Massa rakyat dari sejumlah titik di Kota Jayapura dan Sentani memprotes dugaan kekerasan dan ujaran kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.

Massa rakyat juga menuntut pembukaan blokir jaringan internet yang dilakukan sejak Senin, 19 Agustus 2019 lalu.

Namun, sekitar pukul 16.00 WIT, unjuk rasa mulai rusuh. Massa membakar Kantor Telkomsel Jayapura, Kantor MRP, dan sebuah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum.

Pemerintah kemudian memblokir total layanan suara dan pesan singkat di Jayapura pada Kamis (29/8/2019) sore.

Kompas edisi Sabtu (31/8/2019) juga melaporkan, polisi sudah memproses hukum pelaku rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada pertengahan Agustus lalu.

Lima personil Kodam Brawijaya di Surabaya telah di-skors dan dua di antaranya, termasuk Danramil, akan diproses hukum.

Tri Susanti, Koordinator Lapangan saat aksi massa di depan asrama Papua di Surabaya, dan S. Saiful juga sedang diproses hukum di Polda Jawa Timur. 

Mengembalikan Martabat Papua: Rakyat Papua Harus Bicara!

Mengenai kasus ini, Jokowi dalam rapat terbatas yang dilaksanakan pada 30 Agustus 2019 menganjurkan adanya dialog damai dengan masyarakat Papua.

Tiga arahan yang lebih spesifik dari Jokowi yaitu pertama, meminta pelanggaran hukum harus ditindak secara tegas dan warga harus dilindungi, kedua, mengimbau aparat keamanan agar tak melakukan tindakan represif, dan ketiga, meminta agar bangunan dan instalasi fasilitas umum yang rusak akibat kerusuhan segera diperbaiki (tempo.co, 30 Agustus 2019).

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto ketika menggelar koferensi pers mengenai kisruh Papua bersama Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Kantor Presiden di Jakarta, 30 Agustus 2019 menegaskan bahwa pemerintah Indonesia siap menggelar dialog dengan rakyat Papua, asalkan dialog tersebut tidak membahas referendum.

“Kita tidak bicara referendum. Kita bicara kemerdekaan. NKRI harga mati,” kata Wiranto.

Dalam rilis yang dikeluarkan pada Rabu, 2 September 2019, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan keprihatinan yang teramat dalam atas terjadinya konflik yang meluas di Papua sejak peristiwa penyerbuan dan penghinaan yang bernuansa rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019.

Seperti dilansir jubi.co.id (4/9/2019), Komnas Perempuan menyatakan bahwa kasus penghinaan bernuansa rasisme tersebut hanyalah pemicu dari persoalan besar, yaitu kekecewaan orang Papua yang tidak dituntaskan di tiap rezim.

Situasi Papua saat ini adalah residu dari kekerasan dan diskriminasi yang telah berlangsung selama lima dekade, sejak jaman Orde Baru hingga saat ini.

“Kondisi pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya Orang Asli Papua dalam perjalanan proses pembangunan Papua. Kekerasan dan diskriminasi terjadi berulang di Papua dan Papua Barat dan minim penegakan hukum, bahkan pemerintah terkesan melakukan pembiaran,” jelas Azriana Manalu, ketua Komnas Perempuan.

Menurutnya, kekerasan seperti menjadi pelaziman.

Kekerasan oleh Negara ditiru menjadi kekerasan di komunitas dan meluas ke dalam rumah karena frustasi kolektif akibat konflik.

Perempuan Papua menjadi korban berlapis dari seluruh pusaran kekerasan dan diskriminasi tersebut.

Komnas Perempuan telah membuat catatan pendokumentasian sehubungan dengan tindak kekerasan yang terjadi di Papua, khususnya terhadap perempuan sepanjang 2009-2014.

Kedua catatan tersebut diterbitkan masing-masing dengan judul “Stop Sudah dan Anyam Noken Kehidupan.”

Komnas Perempuan mencatat sejumlah isu-isu krusial Papua yang masih harus dituntaskan antara lain, pertama, eksploitasi sumber daya alam dan alih fungsi hutan/lahan serta kerusakan lingkungan yang membuat rakyat Papua tercabut dari lingkungan hidup, ekosistem, dan rujukan nilainya; kedua, persepsi keamanan pemerintah yang kontradiktif, yaitu masih menganggap penempatan aparat keamanan sebagai solusi masalah keamanan di Papua; ketiga, korban pelanggaran HAM yang tidak dipulihkan; keempat, upaya-upaya penyejahteraan masyarakat Papua hanya dinikmati oleh kelompok elit, bukan masyarakat Papua; kelima, persoalan kependudukan/demografi dan minimnya politik afirmasi bagi orang-orang Papua pada peran-peran strategis; keenam, layanan publik yang tidak efektif; ketujuh, kondisi kesehatan yang buruk, dan kedelapan, minimnya perlindungan bagi perempuan pembela HAM.

Salah satu rekomendasi Komnas Perempuan dalam menanggapi eskalasi konflik Papua dalam dua minggu terakhir, salah satunya ditujukan kepada Presiden RI, yaitu segera memulihkan kondisi keamanan Papua dengan cermat tanpa kekerasan dan mengedepankan dialog damai dengan seluruh tokoh dan masyarakat Papua, membuka akses media ke Papua, memastikan berfungsinya jaringan komunikasi dan informasi publik secara optimal.

Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Michelle Bachelet turut angkat bicara menanggapi peristiwa kekerasan yang terjadi di Papua dalam dua pekan terakhir.

Dalam rilis pers Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB yang dipublikasikan pada Rabu (4/9/2019), Bachelet antara lain menulis, “saya terganggu dengan meningkatnya kekerasan dalam dua minggu terakhir di Provinsi Papua dan Papua Barat Indonesia, dan terutama kematian beberapa demonstran dan personel pasukan keamanan.”

Bachelet mengatakan, ini adalah bagian dari tren yang telah diamati oleh PBB sejak Desember 2018 dan telah didiskusikan dengan pihak berwenang Indonesia.

“Seharusnya tidak ada tempat untuk kekerasan semacam itu di Indonesia yang demokratis dan beragam,” tulisnya.

Bachelet mendorong pihak berwenang terlibat dalam dialog dengan rakyat Papua dan Papua Barat mengenai aspirasi dan keprihatinannya.

Ia menuntut pemerintah Indonesia memulihkan layanan internet dan menahan diri terutama dalam penggunaan angkatan bersenjata yang berlebihan dalam penanganan masalah Papua.

Menurutnya, pemblokiran internet bertentangan dengan kebebasan berekspresi, selain membatasi komunikasi sehingga dapat memperburuk ketegangan.

Bachelet sendiri menyambut baik seruan Jokowi dan para petinggi di kalangan pemerintahan Indonesia dalam menanggapi rasisme dan diskriminasi yang baginya merupakan masalah lama dan serius di provinsi Papua dan Papua Barat.

Meski demikian, ia tetap meragukan inisiatif tersebut, menimbang isu-isu mengenai keterlibatan separatisan nasionalis dan milisi yang terlibat dalam kekerasan terhadap rakyat Papua.

“Tetapi, saya khawatir tentang laporan bahwa milisi dan kelompok nasionalis juga aktif terlibat dalam kekerasan. Para pembela hak asasi manusia setempat, pelajar, dan jurnalis telah menghadapi intimidasi dan ancaman dan harus dilindungi,” desak Bachelet.

Eskalasi konflik Papua menuntut adanya dialog yang kondusif dengan masyarakat Papua yang menjadi subjek utama dari seluruh peristiwa yang berlangsung.

Dialog mengandaikan adanya komunikasi dua arah, dengan menempatkan perwakilan dari segenap elemen masyarakat Papua sebagai pembicara utama.

Apa pun yang menjadi pembicaraanya nanti, rakyat Papua harus bicara! (sil/eka)

Trio Rapper Cilik Asal Soe, dari Viral di Youtube hingga Getarkan Istana Negara

0

Jakarta , Ekorantt.com – RDP Hip Hop Generation, trio rapper cilik asal Soe-Nusa Tenggara Timor viral di Youtube beberapa waktu lalu. Ketiganya adalah Aldo, Charlos, dan Reven. Video lagu mereka viral. Penikmat musik Hip Hop dibuat terperangah oleh aksi ciamik yang mereka tampilkan.

Luar biasanya, aksi tiga rapper cilik ini mendapat apresiasi dari Igor Saykoji, rapper kenamaan Indonesia. Mereka beruntung karena bisa berkolaborasi dengan musisi Saykoji dalam suatu program televisi nasional.

Tidak berhenti di situ, Presiden Joko Widodo menguping kabar tentang kehebatan tiga bocah hebat ini. Bertepatan dengan kemeriahan dirgahayu Republik Indonesia yang ke-74, Presiden Jokowi mengundang mereka untuk tampil dalam acara Talenta Muda Bhineka Tunggal Ika, 23 Agusutus 2019 lalu.  

Ketiganya tampil bersama semua anak bertalenta dari Sabang sampai Merauke. RDP membawakan lagu “Malam Indah” bersama musisi Sara Fajira. Penampilan mereka mengundang decak kagum penonton.

Irama musik, penguasaan lirik dan aksi panggung ketigannya dinikmati oleh seisi gedung. Mereka bernanyi dengan lepas. Sesekali penonton diajaknya memainkan tangan sambil bernyanyi ala rapper.

Genre hip hop mencatat beberapa nama musisi Indonesia yang identik dengannya seperti Iwa K, Saykoji, Young lex, JFlow dan masih banyak lagi. Tiga musisi cilik dari negeri dingin Soe ini memberikan semangat kebaruan dalam industri musik Indonesia terutama hip hop.

Lagu-lagu hip hop dengan makna dan pesan kebaikan ternyata dapat dinyanyikan dengan begitu sempurna oleh anak-anak SD ini.

Rupanya musik hip hop ini mereka pelajari sejak usia 5 tahun. Single pertama mereka berjudul “Kids Bodo Ah” pertama kali muncul di Youtube pada pertengahan juli tahun lalu.

“Jangan suka melawan orang tua, sudah tak jaman lu harus dimanja manja, tapi lu pi sekolah malas malas” begitu lirik reff debut pertama mereka.

Liriknya sederhana, mudah dibawakan, dan erat dengan kehidupan anak-anak diusia mereka. Tentu saja memberi warna baru dalam musik Indonesia yang saat ini sedang krisis lagu anak-anak.

Banyak pula netizen yang mengatakan skill RDP hip hop Generation ini mengalahkan Young lex.

Termasuk Igor yang mengakui skill hip hop anak anak Soe ini, “ngerep bukan hal yang gampang di umur mereka. Pertama kali gue ngerep bagusan mereka daripada gue, ucap Igor saat diwawancarai Hitam Putih.

Lewat bakat emasnya, mereka siap membanggakan Indonesia dan bumi Nusa Tenggara Timur tentunya.

“Kami siap membanggakan Indonesia lewat hip hop,” ucap ketiganya saat membuka penampilan mereka di hadapan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, serta ratusan tamu undangan dalam acara Talenta Muda Bhineka Tunggal Ika.

Aty Kartikawati