Ujaran
kebencian bernada rasisme yang diduga dilakukan oleh aparatur Negara dan
koordinator aksi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada Jumat, 16 Agustus
2019 lalu dinilai oleh warga Papua sebagai kejadian biasa yang selalu berulang
saban tahun. Aksi demonstrasi damai yang kemudian berujung rusuh di sejumlah
titik di Papua seperti di Sorong, Manokwari, Deiyai, dan Jayapura adalah
akumulasi amarah massa rakyat Papua terhadap rasisme yang selalu berulangtahun
itu. Mendengarkan rakyat Papua bicara adalah langkah awal mengobati penderitaan
massa rakyat di sana.
Maumere, Ekorantt.com – Kasus penyerangan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 yang lalu memicu banyak aksi massa di berbagai tempat di Indonesia.
Seperti
diberitakan tempo.co, aksi massa paling besar terjadi di beberapa daerah di
Papua dan Papua Barat, antara lain di kota Jayapura, Sentani, Abepura,
Kotaraja, Manokwari, dan Sorong.
Namun
demikian, hingga berita ini diturunkan, kondisi di Papua sudah berangsur
membaik.
Warga
Sentani Che Sani yang dihubungi EKORA NTT via telepon pada Senin (2/9) dan
Kamis (5/9) mengungkapkan, sekalipun tidak bisa dikatakan aman 100%, Kabupaten
Jayapura, khususnya Sentani, sudah berangsur aman.
Kerusuhan hanya
terpusat di Kota Jayapura dan tidak menyebar hingga ke Sentani.
Warga
Sentani sudah melakukan aktivitas perkantoran, persekolahan, dan lain-lain seperti
biasa.
Hanya saja
di sejumlah titik di ruas-ruas jalan di Sentani, TNI/Polri dan Brimob memang
masih melakukan pengawasan dan penjagaan.
Sebelumnya,
selama dua hari, pada Jumat (30/8) dan Sabtu (31/8), warga Sentani vakum dari
segala aktivitas apa pun.
Che Sani
mengatakan, segenap suku dan elemen masyarakat di Papua sangat berharap agar
persoalan ini segera terselesaikan.
Soal
referendum, Che Sani mengaku tidak bisa menjawab.
Sebab,
menurut dia, setiap orang Papua punya gagasan masing-masing tentang pilihan
atau referendum atau tetap di bawah NKRI.
Misalnya,
demikian Che Sani, referendum versi orang pantai tentu berbeda dari referendum
versi orang gunung.
Mayoritas
orang Papua yang tinggal di daerah pegunungan menghendaki sesegera mungkin
melakukan referendum.
Akan tetapi,
pendapat itu tidak serta merta disepakati oleh sebagian besar orang Papua yang
tinggal di daerah pesisiran.
Mereka
memiliki tujuan yang berbeda dari referendum.
Orang Papua
di pegunungan menghendaki satu kepemimpinan usai referendum.
Sementara
itu, orang Papua di pesisir pantai memiliki gagasan lain tentang kepemimpinan
pasca referendum.
Jadi,
menurut Sani, di antara orang Papua sendiri terdapat pertentangan gagasan
tentang referendum.
Warga Papua
lainnya Dian Daat kepada EKORA NTT, Rabu (3/9/2019) mengabarkan bahwa kondisi
di Raja Ampat aman.
Menurut dia,
kerusuhan hanya terjadi di Manokwari dan Sorong dan kemudian Jayapura.
Awalnya,
masyarakat menggelar demonstrasi damai terkait persoalan rasisme di Surabaya
dan Malang.
Menurut
Dian, kerusuhan di Jayapura terjadi karena aparat tidak memberi izin massa
rakyat untuk menggelar aksi damai.
Massa
membakar rumah toko (Ruko), Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Kantor
Telkomsel.
Kantor
Telkomsel dibakar karena pemerintah menutup jaringan.
Selama satu
hari penuh, telepon biasa dan layanan pesan singkat atau SMS di Jayapura tidak
bisa diakses.
Menurut
Dian, pemicu kerusuhan adalah rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Surabaya
pada Jumat, 16 Agustus 2019.
Akan tetapi,
menurut dia, sesungguhnya, rasisme terhadap mahasiswa Papua sudah terjadi sejak
lama.
Rasisme di
Surabaya itu bikin amarah massa rakyat Papua yang selama ini ditahan-tahan meledak.
Dengan
demikian, menurut Dian, kerusuhan di Papua adalah akumulasi kemarahan massa
rakyat Papua terhadap aksi rasisme yang sudah sekian lama menerpa orang Papua.
Menurut
laporan Kompas edisi Jumat (30/8/2019), unjuk rasa di Jayapura pada
Kamis (29/8/2019) yang dimulai sekitar pukul 09.00 WIT awalnya berlangsung
damai.
Massa rakyat
dari sejumlah titik di Kota Jayapura dan Sentani memprotes dugaan kekerasan dan
ujaran kebencian bernada rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan
Malang.
Massa rakyat
juga menuntut pembukaan blokir jaringan internet yang dilakukan sejak Senin, 19
Agustus 2019 lalu.
Namun,
sekitar pukul 16.00 WIT, unjuk rasa mulai rusuh. Massa membakar Kantor
Telkomsel Jayapura, Kantor MRP, dan sebuah stasiun pengisian bahan bakar untuk
umum.
Pemerintah
kemudian memblokir total layanan suara dan pesan singkat di Jayapura pada Kamis
(29/8/2019) sore.
Kompas edisi Sabtu (31/8/2019) juga
melaporkan, polisi sudah memproses hukum pelaku rasisme terhadap mahasiswa
Papua di Surabaya pada pertengahan Agustus lalu.
Lima
personil Kodam Brawijaya di Surabaya telah di-skors dan dua di antaranya,
termasuk Danramil, akan diproses hukum.
Tri Susanti,
Koordinator Lapangan saat aksi massa di depan asrama Papua di Surabaya, dan S.
Saiful juga sedang diproses hukum di Polda Jawa Timur.
Mengembalikan
Martabat Papua: Rakyat Papua Harus Bicara!
Mengenai
kasus ini, Jokowi dalam rapat terbatas yang dilaksanakan pada 30 Agustus 2019
menganjurkan adanya dialog damai dengan masyarakat Papua.
Tiga arahan
yang lebih spesifik dari Jokowi yaitu pertama, meminta pelanggaran hukum harus
ditindak secara tegas dan warga harus dilindungi, kedua, mengimbau aparat
keamanan agar tak melakukan tindakan represif, dan ketiga, meminta agar
bangunan dan instalasi fasilitas umum yang rusak akibat kerusuhan segera
diperbaiki (tempo.co, 30 Agustus 2019).
Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto ketika menggelar
koferensi pers mengenai kisruh Papua bersama Panglima TNI Marsekal Hadi
Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di Kantor Presiden di Jakarta, 30
Agustus 2019 menegaskan bahwa pemerintah Indonesia siap menggelar dialog dengan
rakyat Papua, asalkan dialog tersebut tidak membahas referendum.
“Kita tidak
bicara referendum. Kita bicara kemerdekaan. NKRI harga mati,” kata Wiranto.
Dalam rilis
yang dikeluarkan pada Rabu, 2 September 2019, Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan keprihatinan yang teramat
dalam atas terjadinya konflik yang meluas di Papua sejak peristiwa penyerbuan
dan penghinaan yang bernuansa rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya
pada 16 Agustus 2019.
Seperti dilansir
jubi.co.id (4/9/2019), Komnas Perempuan menyatakan bahwa kasus penghinaan
bernuansa rasisme tersebut hanyalah pemicu dari persoalan besar, yaitu
kekecewaan orang Papua yang tidak dituntaskan di tiap rezim.
Situasi
Papua saat ini adalah residu dari kekerasan dan diskriminasi yang telah
berlangsung selama lima dekade, sejak jaman Orde Baru hingga saat ini.
“Kondisi
pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya Orang Asli Papua dalam perjalanan
proses pembangunan Papua. Kekerasan dan diskriminasi terjadi berulang di Papua
dan Papua Barat dan minim penegakan hukum, bahkan pemerintah terkesan melakukan
pembiaran,” jelas Azriana Manalu, ketua Komnas Perempuan.
Menurutnya,
kekerasan seperti menjadi pelaziman.
Kekerasan
oleh Negara ditiru menjadi kekerasan di komunitas dan meluas ke dalam rumah
karena frustasi kolektif akibat konflik.
Perempuan
Papua menjadi korban berlapis dari seluruh pusaran kekerasan dan diskriminasi
tersebut.
Komnas
Perempuan telah membuat catatan pendokumentasian sehubungan dengan tindak kekerasan
yang terjadi di Papua, khususnya terhadap perempuan sepanjang 2009-2014.
Kedua
catatan tersebut diterbitkan masing-masing dengan judul “Stop Sudah dan Anyam
Noken Kehidupan.”
Komnas
Perempuan mencatat sejumlah isu-isu krusial Papua yang masih harus dituntaskan
antara lain, pertama, eksploitasi sumber daya alam dan alih fungsi hutan/lahan
serta kerusakan lingkungan yang membuat rakyat Papua tercabut dari lingkungan
hidup, ekosistem, dan rujukan nilainya; kedua, persepsi keamanan pemerintah
yang kontradiktif, yaitu masih menganggap penempatan aparat keamanan sebagai
solusi masalah keamanan di Papua; ketiga, korban pelanggaran HAM yang tidak
dipulihkan; keempat, upaya-upaya penyejahteraan masyarakat Papua hanya
dinikmati oleh kelompok elit, bukan masyarakat Papua; kelima, persoalan
kependudukan/demografi dan minimnya politik afirmasi bagi orang-orang Papua
pada peran-peran strategis; keenam, layanan publik yang tidak efektif; ketujuh,
kondisi kesehatan yang buruk, dan kedelapan, minimnya perlindungan bagi
perempuan pembela HAM.
Salah satu
rekomendasi Komnas Perempuan dalam menanggapi eskalasi konflik Papua dalam dua
minggu terakhir, salah satunya ditujukan kepada Presiden RI, yaitu segera
memulihkan kondisi keamanan Papua dengan cermat tanpa kekerasan dan
mengedepankan dialog damai dengan seluruh tokoh dan masyarakat Papua, membuka
akses media ke Papua, memastikan berfungsinya jaringan komunikasi dan informasi
publik secara optimal.
Komisioner
Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Michelle
Bachelet turut angkat bicara menanggapi peristiwa kekerasan yang terjadi di
Papua dalam dua pekan terakhir.
Dalam rilis
pers Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB yang dipublikasikan pada Rabu (4/9/2019),
Bachelet antara lain menulis, “saya terganggu dengan meningkatnya kekerasan
dalam dua minggu terakhir di Provinsi Papua dan Papua Barat Indonesia, dan
terutama kematian beberapa demonstran dan personel pasukan keamanan.”
Bachelet
mengatakan, ini adalah bagian dari tren yang telah diamati oleh PBB sejak
Desember 2018 dan telah didiskusikan dengan pihak berwenang Indonesia.
“Seharusnya
tidak ada tempat untuk kekerasan semacam itu di Indonesia yang demokratis dan
beragam,” tulisnya.
Bachelet
mendorong pihak berwenang terlibat dalam dialog dengan rakyat Papua dan Papua
Barat mengenai aspirasi dan keprihatinannya.
Ia menuntut
pemerintah Indonesia memulihkan layanan internet dan menahan diri terutama
dalam penggunaan angkatan bersenjata yang berlebihan dalam penanganan masalah
Papua.
Menurutnya,
pemblokiran internet bertentangan dengan kebebasan berekspresi, selain
membatasi komunikasi sehingga dapat memperburuk ketegangan.
Bachelet
sendiri menyambut baik seruan Jokowi dan para petinggi di kalangan pemerintahan
Indonesia dalam menanggapi rasisme dan diskriminasi yang baginya merupakan
masalah lama dan serius di provinsi Papua dan Papua Barat.
Meski
demikian, ia tetap meragukan inisiatif tersebut, menimbang isu-isu mengenai
keterlibatan separatisan nasionalis dan milisi yang terlibat dalam kekerasan
terhadap rakyat Papua.
“Tetapi,
saya khawatir tentang laporan bahwa milisi dan kelompok nasionalis juga aktif
terlibat dalam kekerasan. Para pembela hak asasi manusia setempat, pelajar, dan
jurnalis telah menghadapi intimidasi dan ancaman dan harus dilindungi,” desak
Bachelet.
Eskalasi
konflik Papua menuntut adanya dialog yang kondusif dengan masyarakat Papua yang
menjadi subjek utama dari seluruh peristiwa yang berlangsung.
Dialog
mengandaikan adanya komunikasi dua arah, dengan menempatkan perwakilan dari
segenap elemen masyarakat Papua sebagai pembicara utama.
Apa pun yang menjadi pembicaraanya nanti, rakyat Papua harus bicara! (sil/eka)