Terima Kasih, Ustad Abdul Somad!

0

“Dengan penghargaan Gereja memandang juga umat Islam, yang menyembah Allah yang Mahaesa, Yang hidup dan ada, Yang Mahapengasih dan Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, Yang telah berbicara kepada manusia. Keputusan-Nya yang rahasia, mereka usahakan supaya ditaati, seperti Ibrahim telah tunduk kepada Allah, Ibrahim kepada siapa iman Islam rela mengacu. Meskipun tidak mengakui Yesus sebagai Allah, mereka toh menghormati-Nya sebagai Nabi. Ibu-Nya perawan Maria mereka hormati dan kadang-kadang bantuannya mereka mohonkan dengan khusuk. Selanjutnya mereka menantikan hari pengadilan, di saat mana Allah akan mengganjar semua orang yang dibangkitkan. Oleh sebab itu mereka menghargai kehidupan moral dan menyembah Allah terutama dalam sembahyang, sedekah, dan puasa. Mengingat bahwa dalam peredaran jaman, telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit antara orang Kristen dan Islam, maka Konsili Suci mengajak semua pihak untuk melupakan yang sudah-sudah, dan mengusahakan dengan jujur saling pengertian dan melindungi lagi memajukan bersama-sama keadilan sosial, nilai-nilai moral serta perdamaian dan kebebasan untuk semua orang” (Dr. J. Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, 1983, p. 289).

Kalimat yang sedang Saudara baca adalah kutipan langsung dari salah satu pasal Nostra Aetate.

Nostra Aetate, dalam bahasa Indonesia secara rekomendatif diterjemahkan “Dewasa Kita”, adalah salah satu dokumen Konsili Vatikan II yang membicarakan “Deklarasi tentang Sikap Gereja terhadap Agama-Agama Bukan Kristen.”

Sikap positif Gereja Katolik terhadap Islam memiliki dasar umum pada doktrin kebebasan beragama.

Dalam Dignitatis Humanae, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan secara rekomendatif menjadi “Martabat Manusia”, yaitu salah satu dokumen Konsili Vatikan II yang membicarakan “Deklarasi tentang Kebebasan Beragama”, “Konsili ini menegaskan bahwa pribadi manusia mempunyai hak atas kebebasan beragama” (Ibid., p. 353).

Selanjutnya, “Konsili Suci menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama, sesungguhnya berdasarkan martabat pribadi manusia itu sendiri, sebagaimana diketahui baik dari Sabda Allah yang diwahyukan maupun dari akal budi sendiri” (Ibid., p. 354).

Kami berpendapat, salah satu implikasi tafsiran atas dua dokumen deklarasi di atas adalah pengakuan atas kemungkinan kebenaran doktrin agama lain.

Jika jin kafir di salib dan patung Yesus Kristus adalah benar-benar merupakan isi doktrin agama Islam, maka Gereja Katolik mesti berpendapat bahwa mungkin ada se-iota kebenaran dalam doktrin itu.

Jika berita kasus “Tiga Anak Calon Penerima Komuni di Nagekeo Diusir dari Gereja” lantaran orang tuanya belum lunas bayar utang iuran sebesar Rp300 Ribu benar, maka itu adalah salah satu tanda bahwa Gereja Katolik sudah tidak lagi menjadi Gereja orang miskin (https://voxntt.com/2019/08/23/tiga-anak-calon-penerima-komuni-di-nagekeo-diusir-dari-gereja/50424/).

Dalam kasus ini, sakramen pengakuan dikomodifikasi, dijadikan komoditas, untuk mendulang rupiah.

Komodifikasi merupakan salah satu watak khas kapitalisme. Para kapitalis mengkomodifikasi suatu barang dan/atau jasa untuk mendulang nilai lebih atau laba. Nilai lebih itu kemudian diakumulasi, disentralisasi, dan dikonsentrasi menjadi suatu kekuatan kapital yang berlipat-lipat. Akumulasi nilai lebih menjadikan kapitalis semakin kaya raya dan sebaliknya memiskinkan kelas pekerja.

Oh, betapa Gereja Katolik menjadi lebih jahat dari jin kafir jika akumulasi nilai lebih itu diperoleh melalui cara komodifikasi sakramen atau perampasan remah-remah rupiah dari kantong orang miskin di Flores demi pelayanan sakramen!

Jin kafir masuk ke dalam tubuh Gereja Katolik manakala Mempelai Perempuan Yesus Kristus itu tidak menunjukkan keberpihakan yang jelas kepada orang miskin.

Jin kafir merasuk tatkala Gereja tidak menjadi Gereja orang miskin.

Dengan alur tafsiran seperti ini, maka kami berpendapat, kontroversi ceramah Ustadz Abdul Somad (UAS) adalah kritik profetis bagi Gereja Katolik di satu sisi dan kritik konstruktif bagi Negara Pancasila di sisi lain.

Di satu sisi, Gereja Katolik di Indonesia harus segera bertobat dari Gereja kapitalis menuju Gereja orang miskin.

Gereja Katolik di Flores, misalnya, harus jadi miskin karena mayoritas umat Katolik di sini miskin.

Jika tidak, Gereja Katolik akan terus merampas nilai lebih dari kantong-kantong orang miskin di Flores.

Akibatnya, akan semakin banyak gedung gereja megah di Flores, plus gaya hidup klerus a la kelas menengah ke atas, di tengah kemiskinan orang Flores.

Di lain sisi, sudah saatnya Negara Pancasila menghapus Undang-Undang tentang Penistaan Agama.

Undang-undang itu bertentangan dengan demokrasi, HAM, dan hukum.

Dia hanya melanggengkan arogansi penganut agama mayoritas atas penganut agama minoritas.

Ahok dipenjara 2 tahun bukan karena dia telah menista agama, melainkan karena mobokrasi atau desakkan massa 212 bahwa dia memang harus telah menista agama dan karena itu harus dipenjara.

Demikian pun UAS seharusnya tidak perlu dipidana karena sesungguhnya dia tidak pernah menista agama Katolik.

Cukup Ahok yang dipenjara karena ucapannya. Jangan lagi UAS!

Sebab, agama tidak pernah bisa dinista dengan ucapan. Agama hanya bisa dinista dengan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti korupsi, pelanggaran HAM, penjualan sakramen, etc. Oleh karena itu, penistaan agama tidak bisa diproses secara hukum positif.

Negara Pancasila tidak punya kompetensi untuk menentukan apakah suatu agama telah dinista atau bukan. Jika mau mengadili tindakan penistaan agama, apa indikator hakim atau jaksa untuk menentukan suatu agama telah dinista atau bukan?

Pada titik ini, kita, Gereja Katolik di Indonesia dan Negara Pancasila, harus mengucapkan, “Terima kasih, UAS!”

Sebab, UAS telah mengkritik Gereja Katolik di Indonesia untuk menjadi Gereja orang miskin sekaligus mengkritik Negara Pancasila agar menghapus saja UU Penistaan Agama sebagai salah satu akar ketidakadilan di negeri ini.

Bikin Kekuasaan Tersinggung Itu Tugas Utama Pers: Refleksi tentang Media dan Politik di NTT

Plt. Bupati Ende Djafar Achmad lontarkan kata “Kuper”, akronim dari kurang pergaulan. Kata itu ditujukan kepada para penjabat publik di Ende yang bersikap alergi dengan dan tidak mau dikonfirmasi oleh para jurnalis atau pers.

Pengganti Mendiang Ir. Marsel Petu itu kemudian melakukan berbagai kebijakan terkait pers. Kebijakan itu adalah pertama, melakukan pertemuan atau audiensi rutin dengan para jurnalis tiga bulan sekali, kedua, menyediakan fasilitas publik bagi para jurnalis seperti press room atau kamar pers plus Wi-fi dan mobil operasional jurnalis.

Pernyataan dan kebijakan Djafar Achmad menerbitkan diskursus tentang media dan politik di NTT.

Pertanyaannya adalah apa keadaan sebenarnya dan bagaimana seharusnya hubungan antara media dan politik?

Di satu sisi, Isidorus Lilijawa dalam buku “Perempuan, Media, dan Politik” (2010) berpendapat, “Ada benang merah antara pers dan pemerintah. Dalam kancah politik, pers kerap berfungsi sebagai filter komunikasi politik antara elit politik dan rakyat. Pers juga adalah wahana penting untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah…” (pp. 138-139).

Dalam bukunya itu, Lilijawa mempromosikan antara lain jurnalisme positif, jurnalisme bermartabat, dan jurnalisme sastrawi.

Jurnalisme positif adalah “konsep pemikiran tentang bagaimana aktivitas jurnalistik dijalankan dengan baik dan benar sesuai kaidah jurnalistik dan asas kemanusiaan agar berita yang disajikan tidak saja objektif dan bermakna, tetapi juga menumbuhkan optimisme dan perilaku positif pada pembaca” (p. 124).

Jurnalisme bermartabat adalah “jurnalisme yang konsisten melayani kepentingan publik” (p. 138).

Akhirnya, jurnalisme sastrawi adalah “satu dari setidaknya tiga nama buat genre tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat, di mana reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca” (p. 185) dengan tujuh (7) pertimbangan pokok, yakni fakta, konflik, karakter, akses, emosi, perjalanan waktu, dan unsur kebaruan (p. 187).

Di lain sisi, jika kita selidiki sejarah relasi pers dan politik baik di kancah global di dunia maupun di kancah lokal di NTT, maka kita akan temukan dialektika hubungan antara pers dan politik.

Pada suatu zaman, pers benar-benar mengabdi dari, oleh, dan untuk rakyat. Pada zaman lainnya, pers sungguh-sungguh mengabdi untuk kepentingan kelas penguasa.

Pada zaman batu, rakyat bebas mengekspresikan diri melalui lukisan-lukisan di dinding-dinding batu di gua-gua. Semua suku bangsa di dunia ini pasti punya sejarah tentang lukisan pertama di bumi manusia versi mereka masing-masing. Namun, poinnya adalah rakyat punya semacam kebebasan asali untuk ungkapkan kepentingannya sesuka-sesuka dia. Via media apapun.

Pada zaman Romawi, terutama pada masa pemerintahan Kaiser Julius Caesar, penguasa politik dan oligark atau orang-orang kaya mempekerjakan para diurnarius, budak pencari berita, untuk mencari informasi di acta diurna di forum romanum.

Selanjutnya, manusia-manusia tercerahkan pada masa Renaissance dan Fajar Budi, dengan diawali oleh Revolusi Prancis berslogan “liberte, egalite, fraternite”, menggunakan pena antara lain untuk meruntuhkan hegemoni penguasa politik dan agama. Akan tetapi, tatkala Guttenberg menemukan mesin cetak, kapitalisme cetak bertumbuh makin subur di Eropa.

Di Hindia Belanda, Tirto Adhi Soerjo manfaatkan kapitalisme cetak untuk menjadi “suara rakyat terperintah” melawan kolonialisme Belanda. Benedict Anderson tak ragu menyebut kapitalisme cetak main peran penting dalam menumbuhkan nasionalisme Indonesia sebagai komunitas bangsa yang terbayang.

Paska Reformasi, terutama dengan semakin masifnya penetrasi internet, kapitalisme cetak terdesak oleh kapitalisme digital.

Menurut Ross Tapsell (2016), hal ini mengakibatkan dua hal, yakni pertama, para oligark dan konglomerat media semakin punya kedudukan ekonomi politik yang kuat, tetapi kedua, rakyat biasa, terutama warga melek internet, dapat menunggangi media digital untuk melabrak kekuasaan para oligark, konglomerat, dan politisi.

Di NTT, pers sejak awal dapat pengaruh besar dari Gereja Katolik. Di Flores, Flores Pos, koran milik Tarekat Misi SVD, jadi referensi utama pembaca. Dalam skala yang lebih luas, Pos Kupang, bagian dari grup Kompas yang juga dikendalikan oleh orang-orang Katolik, juga jadi referensi. Di samping itu, ada Victory News, Timor Express, dan EKORA NTT, koran cetak milik swasta dan koperasi.

Namun, akhir-akhir ini, hegemoni kapitalisme cetak di NTT mulai diganggu dengan kehadiran media-media digital. Koran-koran cetak, dengan kekuatan modal padanya, juga melebarkan ekspansi ke ranah digital. Poskupang.com, Florespos.co, dan Ekorantt.com adalah adaptasi dari kapitalisme cetak ke kapitalisme digital.

Akan tetapi, pertanyaannya tidak berubah, kepada siapa media cetak dan digital ini menghamba? Penguasa politik? Penguasa agama? Penguasa modal? Rakyat jelata?

Di balik kata “kuper” Djafar Achmad, tersembunyi borok birokrasi dan lembaga politik di Ende. Kata itu dikeluarkan karena memang ada penjabat di Ende yang alergi pers.

Pada suatu masa, antara pertengahan 2016 sampai akhir 2017, saya pernah rasakan betapa tidak enaknya jadi jurnalis Flores Pos di tengah sikap para penjabat publik di Ende yang alergi pers, terutama Flores Pos.

Para penjabat di sana merasa alergi karena hampir setiap hari, terutama melalui kolom Bentara, Flores Pos melancarkan kritik pedas terhadap Pemda Ende di bawah kemudi Mendiang Bupati Marsel Petu.

Jika benar ada yang alergi, maka pers di Ende patut diduga sudah jalankan fungsi kontrol dengan baik. Sebab, bikin kekuasaan tersinggung dan tingkat tertingginya alergi adalah tugas utama dan terpenting dari pers. Jika para pemegang kuasa nyaman-nyaman saja di bilik kuasa, maka ada yang tidak beres dengan kerja pers.

Oleh karena itu, kami sekali lagi berpendapat, kenyamanan fasilitas yang ditawarkan Pemda Ende tidak pernah boleh meninabobokan para jurnalis di Ende di ranjang kekuasaan. Posisi yang kian intim dengan kekuasaan mestinya bikin pers tambah keras kritik kekuasaan.

Namun, ini harapan yang terlalu muluk. Sebab, independensi hanya dapat dijaga jika pers berjarak dengan kekuasaan. Tapi, kita lihat saja.

Beri Jurnalis Fasilitas Mobil Sampai Wi-fi Gratis, Plt. Bupati Ende Sebut Penjabat di Ende yang Tidak Ramah Pers “Kuper”

0

“Saya akan perintahkan kepada seluruh pimpinan OPD untuk tidak alergi dengan rekanrekan wartawan. Yah, kalau ada yang tidak mau dikonfirmasi, berarti itu tandanya kuper” (Djafar Achmad, Plt. Bupati Ende)

Ende, Ekorantt.com – Pelaksana Tugas (Plt.) Bupati Ende Djafar H. Achmad mengimbau para pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) senantiasa terbuka berkomunikasi dengan pers sehingga berbagai program dan kegiatan pembangunan di Kabupaten Ende terpublikasi dengan baik kepada masyarakat.

Djafar menyampaikan hal ini saat melakukan audiensi dengan para wartawan cetak dan elektronik di Café Raba Beach Nangaba, Ende, Minggu (4/8/2019).

Djafar mengatakan, peran media di era keterbukaan informasi publik saat ini sangat membantu pemerintah daerah.

Selain mempublikasi berbagai program dan kegiatan pembangunan kepada masyarakat, pers juga menjadi alat kontrol bagi penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut dia, segala sesuatu yang akan, sedang, dan sudah dikerjakan oleh seluruh OPD Kabupaten Ende wajib diketahui masyarakat melalui media massa.

“Saya akan perintahkan kepada seluruh pimpinan OPD untuk tidak alergi dengan rekan-rekan wartawan. Yah, kalau ada yang tidak mau dikonfirmasi, berarti itu tandanya kuper,” ujarnya.

Djafar berharap, media menjadi mitra dan alat pemersatu untuk membangun Kabupaten Ende.

Media diharapkan bekerja sama menggali potensi daerah agar dapat dikelola untuk kesejahteraan rakyat Kabupaten Ende.

Menurut Djafar, peran media sebagai alat kontrol sosial sangat penting agar Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Ende bekerja sungguh-sungguh melayani masyarakat.

Namun, menurutnya, kritik media harus disertai pikiran-pikiran yang konstruktif untuk membangun Ende.

Djafar meminta dukungan media karena saat ini dirinya kehilangan seorang bupati yang telah lima tahun bergandeng tangan membangun Ende.

“Saya percaya, jika Setda dan pimpinan OPD kuat, kita pasti bisa tuntaskan program MJ (Marsel-Djafar, red) di periode kedua ini sampai 2024. Saya ini tidak ambisi jadi bupati. Saya hanya mau kerja dan kerja untuk Ende. Saya merasa kehilangan dengan meninggalnya Ari (Adik, red) Marsel. Namun, Tuhan sudah panggil dan kita mesti kuat sehingga saya butuh teman-teman wartawan, kita gandeng tangan bangun Ende,” ungkapnya.

Djafar berjanji akan menggelar pertemuan atau audiensi rutin setiap tiga (3) bulan sekali dengan para wartawan.

Audiensi bisa dilangsungkan di desa atau di mana saja.

“Bisa langsung di desa. Di atas kapal. Jadi, tidak resmi,” katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ende dr. Muna Fatma kepada EKORA NTT mengatakan, instansi yang dipimpinnya siap mendukung kerja-kerja jurnalistik.

Dirinya mengaku, selama ini, instansi Dinas Kesehatan Kabupaten Ende sangat terbuka dengan para wartawan yang datang mencari data dan keterangan tentang kesehatan.

“Kami tidak alergi dan selalu membuka ruang komunikasi dengan semua wartawan baik langsung maupun via telepon. Asal datanya ada, kami pasti berikan,” ungkapnya.

Kasatpol PP Kabupaten Ende Abraham Badu mengaku tidak ada masalah dengan pernyataan dan kebijakan Plt. Bupati Ende tentang penjabat publik dan wartawan.

Bahkan, menurut dia, dalam setiap operasi penertiban penyakit sosial, instansinya selalu melibatkan wartawan.

Dedi Wolo, jurnalis dari Suara Nusa Bunga, mengapresiasi sikap Plt. Bupati Ende menggandeng media untuk bekerja sama membangun Ende.

Menurut dia, pers memainkan fungsi kontrol.

Pers juga memberi masukan kepada pemerintah daerah tentang persoalan publik yang mesti segera ditanggulangi.

Dosen Komunikasi UNIPA Maumere Dr. Gerry Gobang saat dimintai komentarnya berpendapat, pejabat publik harus membangun komunikasi yang baik dengan pers.

Sebab, pers adalah subjek pengontrol kebijakan dan distributor informasi pembangunan bagi rakyat.

Oleh karena itu, menurut dia, pejabat publik tidak boleh alergi dengan pers jika ingin sukses dalam kerja nyata bagi masyarakat.

“Transparansi dan akuntabilitas dari seluruh tugas publik adalah conditio sine qua non dari demokratisasi dalam bergeraknya roda pembangunan di berbagai tempat dan Negara!” kata dia.

Djafar menggagas acara audiensi ini melalui Bagian Humas Setda Ende.

Tujuannya adalah mendengar masukan para wartawan yang bertugas di Kabupaten Ende terkait informasi publik sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan.

Hadir dalam acara itu, Sekda Ende Agustinus Ngasu, Asisten II Nyo Kosmas, Kepala Dinas PUPR Frans Lewang, Kepala Dinas Kesehatan Munafatma, dan Kabag Humas Gabriel Dala.

Sementara itu, dari unsur media, hadir antara lain Romualdus Pius (Pos Kupang), Son Bara (Victory News), Heri Epu, Wili Sumardin, Karolin Woda Mosa, Suiman (RRI Ende), Alex R.S. (Timex), Ansel Kaise (EKORA NTT), Wily Aran (Flores Pos), Dedi Wolo (Suara Nusa Bunga), Djolan Rinda (Kumparan.com), Patrik Padeng (TVRI), Elton Rete (NTT Today), Ian Bala (Vox NTT), Ignas Dao (KPK News), Agustinus Rae, Rian Laka  (Ende.id), dan Rian Nulangi (Radar NTT).

Untuk diketahui, sebagai wujud konkret komitmen, Pemda Ende telah menyediakan satu ruangan pers atau press room di sebelah ruangan Bagian Humas Setda Ende.

Ruangan itu dilengkapi dengan fasilitas Wi-fi.

Pemda Ende juga menyiapkan mobil operasional khusus bagi para wartawan.

Jika ada kegiatan pemerintah di kecamatan-kecamatan, para jurnalis dapat memanfaatkan fasilitas mobil itu. (ansel/sil)

Dirawat di Rumah Sakit karena Stroke, Caleg di Sikka Tunda Dilantik

0

Maumere, Ekorantt.com – Pada Senin, 26 Agustus 2019, 35 anggota DPRD Sikka periode 2019-2024 seharusnya dilantik di gedung DPRD Sikka.

Namun, dalam kenyataannya, Ketua Pengadilan Negeri Maumere Johnicol R. Frans Sine, S.H. hanya melantik 34 anggota DPRD Sikka.

Pasalnya, salah satu dari 35 anggota DPRD Sikka terpilih itu masih dirawat intensif di RSUD TC Hilers Maumere.

Dia adalah Yohanes Raga Imung, politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Pada, Sabtu, 24 Agustus 2019 lalu, Yohanes Raga, Anggota DPRD Sikka Dapil 3, Kecamatan Waigete, Talibura, Bola, Waiblama, Doreng, dan Mapitara dilarikan ke RS TC. Hillers Maumere akibat keadaan fisik yang kurang sehat pada saat gladi resik acara pelantikan anggota DPRD Sikka periode 2019-2024 di gedung kula babong Maumere.

Menurut diagnosis medis, Yohanes terserang stroke ringan.

Namun, pihak medis menegaskan, hal ini tidak mengganggu proses kerjanya ke depan sebagai wakil rakyat.

Saat ini, tamu belum diperbolehkan menjenguk Yohanes Raga.

Dia masih butuh waktu untuk memulihkan kesehatannya.

Fransiskus Raga, putra pertama Yohanes Raga, saat ditemui EKORA NTT di ruangan Paviliun RS TC. Hillers Maumere, Senin (26/8/2019) mengatakan, ayahnya memang memiliki riwayat tekanan darah tinggi.

Namun, menurutnya, saat ini, kondisi sang ayah sudah 70% pulih.

“Bapak sudah membaik. Dari 100%, Bapak sudah 70% pulih,” ucap Fransiskus Raga.

Menurut Fransiskus, saat ini, ayahnya sedang dalam proses pemulihan sehingga belum dapat mengikuti pelantikan anggota DPRD Sikka periode 2019-2024 yang dilangsungkan hari ini.

Keluarga berharap, kondisi kesehatan Yohanes Raga segera membaik.

Selama lima (5) tahun ke depan, ia akan memikul beban sebagai wakil rakyat.

Sementara itu, Sekretaris DPRD Sikka Chrispinus Angelo Gagi mengatakan, Yohanes Raga sedang sakit. Saat ini, ia sedang dirawat di RSUD TC Hillers Maumere.

“Setelah saya selidiki, anggota DPRD terpilih itu mengalami penyakit hipertensi (darah tinggi),” katanya.

Menurut dia, anggota DPRD Sikka terpilih tersebut akan dilantik secara terpisah.

Hal itu bergantung pada koordinasi sekretaris dewan dengan ketua pengadilan negeri.

“Hari ini hanya dilantik 34 anggota DPRD saja. Nanti saya akan konfirmasi lagi dengan ketua partai, direktur rumah sakit, dan Ketua Pengadilan Negeri Maumere,” ungkapnya.

Pengambilan janji dan sumpah anggota DPRD Sikka periode 2019-2024 dipimpin Ketua Pengadilan Negeri (PN) Maumere, Jhonicol R. Frans Sine, SH, Senin, (26/8) di ruang utama DPRD Sikka. (aty/yop)

Dosen STKIP Citra Bakti Adakan Pelatihan untuk Guru SD di Kecamatan Inerie

Bajawa, Ekorantt.com – Para dosen STKIP Citra Bakti yang tergabung dalam Tim Pengabdian kepada Masyarakat mengadakan Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah dan Pelatihan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk guru-guru di SDK Pali, Desa Warupele II, Kecamatan Inerie, Ngada. 

Pelatihan ini dilaksanakan sebagai perwujudan profesionalitas dosen dan pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang salah satunya mengharuskan mereka melakukan aktivitas-aktivitas pengabdian kepada masyarakat, juga sekaligus memenuhi kebutuhan guru-guru di SDK Pali.

Pelipus Wungo Kaka, M.Pd salah satu Dosen STKIP Citra Bakti kepada Ekorantt.com, Minggu (25/8/2019) mengatakan, dosen-dosen lintas Program Studi di lingkup STKIP Citra Bakti hadir sebagai pemateri pelatihan tersebut. Mereka di antaranya Bapak Wilibaldus Bhoke, S.Pd, M.Pd  (Prodi Matematika) sebagai Ketua, Ermelinda Yosefa Awe, S.Sos.,M.Pd (Prodi PGSD) sebagai Anggota 1, dan Ferdinandus Samri, S.S.,M.Pd (Prodi PJKR) sebagai Anggota 2. 

Peserta pelatihan berjumlah 8 orang dan semuanya adalah guru SDK Pali. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari, 19-20 Agustus 2019. Tujuan dari kegiatan pelatihan ini adalah memenuhi kebutuhan guru dalam mengembangkan kompetensi profesional guru dan mengoptimalkan peran serta keterampilan guru, khususnya dalam hal penulisan karya tulis ilmiah dan penelitian tindakan kelas/sekolah.

“Pelatihan ini juga menjadi wujud kepedulian kami akan kebutuhan guru untuk meningkatkan kreativitas berpikir kritis sebagai upaya pemberdayaan kompetensi guru, menuju visi pendidik yang profesional dan akuntabel dengan profesinya” jelas Pelipus.

Lebih jauh menurut Pelipus, salah satu syarat dalam kenaikan pangkat guru adalah penulisan sebuah karya tulis dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas/Sekolah. Karena itu, pelatihan penulisan karya ilmiah menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan, menimbang tuntutan tersebut.  

“Dengan  demikian, STKIP Citra Bakti menanggapi kebutuhan ini, sekaligus juga melaksanakan salah satu dharmanya, yaitu pengabdian kepada masyarakat dengan membuat pelatihan tersebut. Semoga kegiatan ini dapat mendorong para guru untuk terus menulis demi meningkatkan kompetensinya”, ujar dosen pendamping UKM Jurnalistik itu. 

Kegiatan ini disambut baik oleh kepala SDK Pali dan seluruh peserta pelatihan dalam hal ini guru-guru. Mereka mengaku sudah menantikan pelaksanaan pelatihan tersebut. 

Pelatihan ini dikemas dalam dua sesi. Sesi pertama, penyajian materi oleh pemateri, dilanjutkan sesi kedua yaitu praktik menulis. Selama praktik menulis, para peserta didampingi langsung oleh para dosen yang bertindak sebagai fasilitator. 

Adeputra Moses

Desa Golo Meni, Peringkat Satu Pengelolaan Administrasi Desa Tingkat Matim

1

Borong, Ekorantt.com Pemerintah Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapatkan peringkat satu atau predikat terbaik dalam hal pengelolaan administrasi tingkat Kabupaten Manggarai Timur. 

Hal ini dikonfirmasi oleh Kepala Desa (Kades) Golo Meni, Hermenigildus Jehadut ketika ditemui Ekorantt.com di kediamannya pada Sabtu, (24/08/2019). Jehadut menjelaskan, Desa Golo Meni yang dipimpinnya mendapatkan juara satu (1) kategori pengelolaan administrasi terbaik tingkat Kabupaten Manggarai Timur, menyisihkan 176 desa lain yang ada di kabupaten tersebut.

Jehadut juga menerangkan, ketika Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Manggarai Timur memverifikasi data-data sehubungan dengan aktivitas pemerintahan Desa, Desa Golo Meni menyediakan data yang lengkap dan valid sesuai dengan item-item yang menjadi parameter penilaian dan verifikasi. 

“Dokumen perencanaan dan pelaporan  pemerintah desa Golo Meni sangat jelas, sesuai dengan visi dan misi Kepala Desanya. Masyarakat Desa Golo Meni juga terlibat  sangat aktif dalam hal penanganan pembangunan di desa saat ini”, ungkapnya.

Kepala Bidang Kepemerintahan Desa, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Kabupaten Manggarai Timur, Maresselus Manggas menjelaskan, Kepala Desa Golo Meni, Kecamatan Kota Komba selanjutnya diutus untuk mengikuti kegiatan temu konsultasi di tingkat Provinsi NTT karena predikat pengelolaan administrasi terbaik yang diperolehnya.

Manggas mengkonfirmasi bahwa Desa Golo Meni mendapatkan peringkat satu lomba desa berkaitan dengan evaluasi tingkat perkembangan desa. Rujukan pedomannya adalah parameter evaluasi tingkat perkembangan desa. Dari tingkat perkembangan, Desa Golo Meni masuk dalam kategori terbaik untuk semua desa tingkat Kabupaten Manggarai Timur. Prinsip penilaian yang diambil yakni dari segi manajemen pengelolaan administrasi pemerintahan desa.

Lebih jauh Manggas menjelaskan, pengelolaan administrasi pemerintahan Desa Golo Meni dilaksanakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pengelolaan sumber daya manusia di kalangan internal pemerintahan Desa Golo Meni sangat baik, mulai dari peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan desa sampai pada peningkatan kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Dijelaskannya, manajemen pengelolaan administrasi pemerintahan desa dapat berjalan dengan baik kalau Kepala Desa, aparatur desa dan BPD saling bekerja sama. Kalau aparatur desa dan BPD tidak mengetahui peran sentralnya, pengelolaan administrasi desa akan kacau dan juga berdampak pada penyerapan dana desa.

“Kalau administrasi desanya tidak dikelola dengan baik maka dana desanya juga tidak dapat dikelola dengan baik”, jelasnya.

Manggas berharap, desa-desa yang predikat pengelolaan administrasi desanya belum baik perlu segera membenahi sistem pengelolaan administrasi desanya masing-masing, sesuai dengan mekanisme perundangan yang berlaku. Ia juga menegaskan sekali lagi bahwa pengelolaan administrasi desa penting diperhatikan karena sangat berhubungan dengan keterbukaan dan akuntabilitas pengelolaan dana desa.

Mulia Donan

Showroom Suzuki Maumere Hadir dengan Tampilan Menawan

Maumere, Ekorantt.com – Surya Batara Mahkota sebagai dealer resmi Suzuki Indonesia akan hadir dan resmi beroperasi pada 28 Agustus 2019 mendatang. Banyak hal yang telah dipersiapkan, termasuk showroomnya yang tampil menawan.

Showroom yang berdiri kokoh di Jalan Gajah Mada Maumere sudah kelihatan indah dari luarnya. Bangunan terlihat hidup dengan tampilan gambar di bagian depan.

Memasuki bagian dalamnya, Anda akan berpapasan dengan ruangan yang bertema artistik. Sungguh mengagumkan.

Ruang display mobil berkapasitas dua mobil itu lengkap dengan lighting dan ornamen cahaya yang menghiasi dinding ruangan Showroom. Di sini pihak dealer memamerkan produk pilihan kepada customer yang datang.

Di ruangan yang sama nantinya akan ada zona bermain untuk anak-anak agar orang tua dan anak merasa nyaman sembari menunggu pelayanan dan urusan lainnya.

Selain itu terdapat juga coffee center bagi customer, “Nanti mereka bisa ambil minum gratis juga di sini,” ucap Musawir Muhammad, PIC Marketing NTT.

Tentunya perusahan menginginkan kenyamanan bagi setiap customer yang datang ke dealer Surya Batara ini.

Customer adalah aset kita, ini adalah ucapan terima kasih kami kepada semua customer ataupun calon customer kami,” jelas Musawir.

Dealer ini sudah sesuai standar yang ditetapkan perusahaan. Harapannya dengan kehadiran dealer Surya Batara di Maumere bisa semakin memanjakan customer Suzuki di Kabupaten Sikka.

Aty Kartikawati

Kontroversi RUU Perkoperasian, Koperasi Penolak RUU Itu Anti Rentenir

Jakarta, Ekorantt.com – Rapat Kerja antara pemerintah dan parlemen untuk menentukan pembahasan terakhir draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian berlangsung 26 Agustus 2019.

Hasilnya akan dibawa ke Rapat Paripurna di masa akhir kerja parlemen bulan September mendatang.

Meski begitu, beberapa pasal dalam RUU ini menimbulkan kontroversi seperti Dekopin (Dewan Koperasi Indonesia) menginginkan agar pihaknya dimasukkan dalam UU sebagai wadah tunggal organisasi koperasi Indonesia (pasal 130).

Tak hanya itu, disebut dalam pasal 82 huruf h dan pasal 132, Dekopin ini juga memaksa koperasi wajib membayar iuran selain pendanaan dari sumber dana pemerintah melalui alokasi APBN dan APBD (pasal 133).

“Mereka itu tak hanya akan merampas hak asasi setiap warga untuk bebas berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi, tapi juga akan merampas uang rakyat melalui pemaksaan iuran dan juga uang rakyat di APBN dan APBD,” kata Suroto, Ketua AKSES sebagaimana rilis yang diterima Ekora NTT.

Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal Dekopin, Mohamad Sukri menuduh di belakang upaya penolakan terhadap RUU Perkoperasian itu ada permainan rentenir.

“Kami ini menolak Dekopin dan kami anti rentenir. Kami ini adalah gerakan koperasi yang dibangun secara swadaya dan solidaritas dari anggota. Kami jadikan pendidikan sebagai pilar penting dari sejak gerakan kami dimulai tahun 1970-an di Indonesia. Gerakan kami itu lahir justru untuk memerangi rentenir,” kata Mikael, pegiat Credit Union dari Kalimantan Barat.

Ditambahkan oleh Mikael, “Kami bicara substansi Undang-Undang yang akan berdampak pada pengkerdilan koperasi, dan kami anti rentenir dari sejak awal gerakan kami berdiri dengan memberikan pendidikan literasi keuangan kepada anggota kami,” tegas Mikael.

Sementara itu, menurut Suroto, Ketua AKSES yang getol mengavokasi untuk menolak RUU Perkoperasian menambahkan bahwa dari sejak awal dia dan lembaganya mengusulkan agar sanksi berat diberikan kepada para rentenir yang berbaju koperasi.

“Kami dari awal yang mengusulkan agar RUU yang baru itu memuat penegasan secara imperatif agar UU Perkoperasian memuat sanksi yang berat bagi rentenir yang berbaju koperasi,” kata Suroto.

“Tapi bukan berarti kami juga melegitimasi pemaksaan terhadap RUU Perkoperasian yang mengebiri hak berdemokrasi warga negara dan juga memaksa untuk menyetor iuran ke organisasi semacam Dekopin,” tambahnya.

Dewan Koperasi Indonesia yang dipimpin oleh Nurdin Halid sudah 20 tahun ini sebagaimana diketahui selama ini juga telah menggunakan dana APBN walaupun tidak diperintah melalui UU. 

Organisasi ini rupanya menginginkan agar pendanaan ditegaskan melalui APBN dan memaksa setiap koperasi untuk membayar iuran.

“Dekopin itu selama ini gunakan uang negara dan kegiatanya hanya sebatas seremonial belaka dan sudah lebam. Kenapa kami dipaksa harus mendukung organisasi ini ?” tandas Suroto.

Aktivis Koperasi Tolak RUU Perkoperasian, Ada Apa?

Jakarta, Ekorantt.com – Rancangan Undang Undang (RUU) Perkoperasian akan dibahas secara final pada 26 Agustus 2019. Tapi arus penolakan terus mengalir dari sejumlah pegiat koperasi di seluruh penjuru tanah air.

Dari Kalimantan, Mikael mewakil Pusat Koperasi Kredit Khatulistiwa (PUSKHAT) menyatakan, pihaknya menolak Rancangan Undang-Undang Perkoperasian. Ada beberapa alasan penolakan yakni;

Pertama, koperasi adalah kumpulan orang-orang (anggota) yang saling percaya untuk mengembangkan usaha jadi bukan kumpulan para pemangku kepentingan apalagi kepentingan politik.

Kedua, syarat pembentukan koperasi dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 ditegaskan bahwa sahnya koperasi dibentuk apabila sedikitnya oleh 20 orang. Sementara di RUU yang sekarang boleh didirikan oleh 9 orang.

Ketiga, pihaknya mempertanyakan mengapa peran Dekopin sangat dominan di Rancangan Undang-Undang ini.

“Padahal selama ini peran Dekopin di daerah tidak ada dalam mengembangkan koperasi,” kata Mikael.

“Yang lain adalah masalah perpajakan yang dari dulu kami menuntut bahwa pajak untuk koperasi dipertimbangkan tetapi kenyataannya tidaklah demikian,” tambah Mikael.

Mikael akhirnya menegaskan, jika RUU ini dipaksakan maka pihaknya akan meminta Pemerintah untuk membatalkan pengesahannya. Alasannya, RUU ini tidak mengakomodir kepentingan anggota tetapi justru menguntungkan pihak lain demi kepentingan politik. 

Penolakan datang juga Koperasi Trisakti Bhakti Pertiwi. Amrul Hakim selaku Sekertaris Umum Koperasi Trisakti Bhakti Pertiwi menegaskan, koperasi selalu ditempatkan sebagai lembaga yang inferior dengan diposisikan sebagai badan hukum kelas dua.

“Padahal, koperasi adalah salah satu pilihan badan hukum yang diakui oleh negara selain Perseroan, Yayasan dan Perkumpulan,” kata Amrul dalam rilis yang diterima Ekora NTT.

Menurut Amrul, adalah langkah mundur manakala Dekopin dijadikan sebagai wadah tunggal gerakan koperasi. Dan celakanya aturan ini dimuat dalam RUU Perkoperasian Indonesia.

“Artinya RUU Perkoperasian ini sudah melanggar konstitusi kita, mengangkangi Undang-Undang Dasar yang melindungi setiap warga negara untuk berkumpul dan berserikat,” tegas Amrul.

Tidak hanya menjadi wadah tunggal, Dekopin juga diberi uang saku yang sangat mewah. Dekopin mendapat iuran dari setiap koperasi yang ada di Indonesia plus mendapat sokongan dari APBN.

“Pasal dalam RUU Perkoperasian ini menyebut bahwa koperasi wajib membayar iuran untuk Dekopin (pasal 82 huruf h dan pasal 132) ditambah negara melalui pemerintah mesti mengalokasikan APBN dan APBD (pasal 133) untuk Dekopin,” beber Amrul. 

Praktek-praktek organisasi semacam ini, lanjut Amrul, akan mengancam kemandirian dan keberlanjutan gerakan koperasi di Indonesia.

“Mestinya gerakan koperasi dibangun mandiri oleh koperasi, bukan dijadikan lembaga peminta minta APBN dan pemalak koperasi dengan Iuran wajib ke Dekopin,” pungkas Amrul.

KODO: Kenyataan Sehari-hari Seorang Anak Kecil di Kampung

Mbay, Ekorantt.com – Film pendek “KODO, Kami Belum Merdeka” garapan ZAVANA Production yang tayang di Youtube 10 Agustus 2019 lalu berbicara tentang kehidupan seorang gadis Sekolah Dasar bernama Kodo – diperankan Pedro Gonsales Kodo – dalam ruang lingkup kesehariannya di sebuah kampung (adat) kecil di wilayah Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Berbagai macam realitas, terutama lewat percakapan-percakapan lokal, coba ditampilkan dalam film ini. Antara Kodo dan ibunya -diperankan Flavina Lero-, bersama teman-teman sebaya juga Kodo sebagai seorang anak kampung yang sekaligus yatim yang sekaligus hidup serba keterbatasan.

Adegan awal project gerak visual yang diproduseri Ockhand Tage dengan penulis skenario Haris Meo Ligo ini menampilkan rutinitas Kodo sebelum berangkat sekolah. Mengangkat jeriken air, membasuh diri, dan yang terutama, mendengarkan nasihat ibunya. Apalagi Kodo juga membantu sang ibu berjualan pisang goreng di sekolah.

Lanjutan suguhan ini kemudian menyasari kenyataan suasana kampung, terutama rumah Kodo. Kita lihat ada salah satu anggota keluarga yang bertandang ke rumah, bertukar cakap dengan ibu Kodo dan sampaikan pesan untuk hadir dalam pesta sambut baru atau terima komuni suci pertama.

Ada pula Kodo ditampilkan bermain dengan teman-temannya dan membicarakan salah satu cita-citanya, yakni menjadi atlet bulu tangkis. Perbincangan-perbincangan khas anak kecil itu terselipi dengan aktivitas menadah air dan memikul jeriken.

Selebihnya adalah tawaran realitas intim antara Kodo dan ibunya. Yang di dalamnya tersaji pembicaraan-pembicaraan soal “hidup yang belum merdeka”; tempat tinggal yang gelap, tak punya listrik dan sumber air yang jauh.

“Kalau begitu, apakah engkau sudah mengerti tentang kemerdekaan?” demikianlah jawaban serentak pertanyaan yang dilontarkan ibu Kodo, merespons tanya anaknya perihal makna kemerdekaan itu sendiri.

Para penggarap film ini besar kemungkinan menaruh titik sentral pada kondisi sosial dua sosok tersebut. Dengan konteks kemerdekaan sebagai lingkar pembalutnya dan potongan-potongan aktivitas keseharian di kampung sebagai bumbu untuk menguatkan posisi.

Tentu saja mereka ingin memberikan pesan di situ. Baik bersifat sosial, kultural maupun sematan personal untuk menggugah cita rasa kemanusiaan pribadi yang menonton. Walaupun film sebagai seni visual tak serta merta dipaksakan untuk mewujudkan isu-isu umum tertentu tanpa proses pun konsep penggarapan yang matang.

Tapi, diangkatnya kenyataan sehari-hari di kampung ke dalam “KODO, Kami Belum Merdeka” merupakan sesuatu yang menarik. Apalagi ini merupakan film pendek, durasi waktunya 13.05 menit, yang pastinya butuh kesabaran untuk membikin montase yang tepat demi menghindari pelebaran kenyataan atau gagasan yang hendak disampaikan.

Maka dari itu, pantulan film ini tentu bisa macam-macam. Tergantung asumsi dasar, model juga nilai mana yang dipakai untuk mencermati itu. Namun, yang paling penting dan utama, “KODO, Kami Belum Merdeka” telah mampu membicarakan hal-hal yang biasa, yang mungkin sering kita jumpai, bahkan abaikan dalam hidup sehari-hari.

Dan di situlah letak kata kunci dari film ini.