Pemkab Ngada Kembangkan Pertanian Ramah Lingkungan

0

Pemerintah kabupaten Ngada serius mengembangkan pertanian ramah lingkungan. Tidak bergerak sendiri, pihak swasta pun digandeng dalam program ini.

Hal ini dibuktikan dengan penandatanganan nota kesepahaman oleh Plt. Bupati Ngada, Paulus Soliwoa dan Managing Director CV. Suluh Lingkungan Konsultan, Adrianus  Lagus  9 Januari lalu di Bajawa.

Hal ini akan dilanjutkan dengan Perjanian Kerja Sama (PKS) dengan dinas terkait.

Pemkab Ngada mulai mengembangkan pertanian ramah lingkungan sejak tahun 2016 lalu, dimulai dengan program go organic oleh dinas pertanian.

Tapi menurut Plt. Bupati Ngada, Paulus Soliwoa, penggunaan pupuk organik saja belum cukup. Perlu konsep tambahan yang lebih utuh.

“Penggunaan pupuk organik saja belum dikatakan ramah lingkungan. Namun masih ada kendala lain sehingga kita harus juga go clean dan go green. Saya harap konsep seperti ini juga harus disebarluaskan ke masyarakat,” kata Soliwoa.

Plt. Bupati Soliwoa juga menekankan pola pikir masyarakat sehingga program ini sukses diwujudkan.

Dengannya “membuat pertanian kita ramah lingkungan  dengan penggunaan pupuk organik, memenuhi standar kesehatan dan tetap hijau di musim kemarau,” kata Soliwoa.

Managing Director CV. Suluh Lingkungan Konsultan, Adrianus Lagus mengapresiasi langkah Pemkab Ngada dalam mengembangkan pertanian yang ramah lingkungan.

Adrianus juga menegaskan pentingnya pertanian yang terintegrasi. Karena, jelas Adrianus, dengan program go organic saja belum bisa dikatakan pertanian kita ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

Selain penggunaan pupuk organik, pertanian kita harus juga sehat – misalnya bebas dari sampah plastik yang kini sudah merambah kebun. Jadi pembangunan pertanian ramah lingkungan harus terintegrasi.

“Kalau sudah input pupuk organik, memenuhi syarat go clean, dan go green, maka pasti ramah lingkungan. Ramah lingkungan kini menjadi isu global, dan menjadi trend pembangunan berkelanjutan kini dan ke depan,” katanya.

Terkait dengan go green, kata Adrianus, pihaknya bisa menyediakan teknologi pompa untuk daerah yang sulit air dan teknologi sangat tamah lingkungan dan tepat guna.

Tidak menutup kemungkinan untuk membuat hujan di musim kering, tentu saja ini dapat dilakukan melalui dukungan teknologi yang kini sudah mulai dikembangkan di Sumba oleh perusahaan miliknya dan mendapat respon positif dari kementerian ESDM.

Melalui teknologi ini pemerintah dapat melakukan intervensi agar pemandangan hijau juga terjadi pada musim kemarau. Ini baru namanya go green. Itu sebabnya penggunaan teknologi menjadi solusi yang tepat dan berguna bagi petani.

Kontributor: Eman Djomba

Wisata Air Panas di Flotim Ramai Dikunjungi Wisatawan

0

Flores Timur memiliki pesona alam yang indah. Sebut saja pulau pasir putih Mekodi di Adonara Timur yang sudah terkenal.

Selain itu, Flores Timur memiliki kawasan wisata yang juga memikat seperti tempat wisata Pemandian Air Panas di Desa Mokantarak.

Seturut namanya, tempat wisata ini mempunyai sisi khasnya yakni terdapat sumber mata air panas yang keluar dari perut bumi melalui celah bebatuan.

Lokasi wisata ini berada di Desa Mokantarak, 12 KM arah barat kota Larantuka dan bisa jarah tempuhnya sekitar 20 menit menggunakan kendaraan.

Para wisatawan mempunyai beragam pilihan untuk menikmati sensasi air panas ini. Sebab di daerah ini terdapat ratusan sumber mata air dengan tingkat suhu yang beragam.

Ada sumber mata air yang memiliki suhu yang sangat panas, ada sumber mata air yang memiliki suhu yang sedang (hangat), dan ada pula pada sumber mata air yang memiliki suhu yang dingin dan tawar seperti air biasanya.

Pada tiap sumber mata air itu dibuat petak dengan disusun bebatuan sebagai pemisah. Wisatawan dapat memilih untuk menikmati airnya, baik sekadar merendamkan kaki, merendamkan seluruh tubuh, ataupun mandi sesuai dengan tingkat suhunya.

Lokasi wisata pemandian air panas dilengkapi dengan fasilitas pendukung yakni, tempat parkir kendaraan, wahana permainan anak yang menyenangkan, dan gazebo-gazebo yang berjejer di pinggir pantai.

Pada sisi timur dan barat terdapat sebuah cafe live music yakni Romeo Cafe. Di Romeo Cafe, wisatawan disodori berbagai aneka menu makanan dan minuman lokal.

Selain itu juga disediakan berbagai aneka buku bacaan anak-anak, majalah, dan koran yang dapat dimanfaatkan oleh wisatawan pengunjung untuk membaca.

Tempat wisata air panas kian menawan karena dianugerahi hutan manggrove yang luas. Para pengunjung dapat berwisata menelusuri hutan manggrove dengan menggunakan boardwalk.

Pada bagian tepian hutan manggrove ini terdapat tiga buah gazebo yang berukuran sekitar 5×5 meter.

Pada bagian tengah hutan manggrove terdapat sebuah menara pandang. Dari menara pandang ini wisatawan dapat melihat keseluruhan hijau daun hutan manggrove dari ketinggian. Tempat ini kerap kali dijadikan lokasi berfoto ria.

Pada Gazebo bagian selatan hutan manggrove para pengunjung dihadiahkan dengan pemandangan laut yang indah. Letaknya yang diapiti oleh pulau Adonara dan Solor menjadikan laut ini terlihat bak danau yang sangat luas dan tenang.

Dari tepian pantai hutan manggrove ini momen pergantian sore ke malam menjadi sungguh memikat. Larut dalam hening senja, bersama desir angin laut, ombak yang tenang, dan kerlap-kerlip lampu rumah warga di sepanjang pantai kota Larantuka, sungguh kini menjadi pilihan yang tepat menutup hari.

Bagi travelers yang ingin menikmati alam di NTT khususnya di Flores Timur tentunya belum lengkap jika tidak menyinggahi tepat wisata pemandian Air Panas.

Geliat Berkoperasi Petani Lepembusu Kelisoke

Lepembusu Kelisoke merupakan salah satu kecamatan dalam wilayah administratif kabupaten Ende. Kecamatan Lepembusu Kelisoke memang terbilang baru dan merupakan hasil pemekaran dari kecamatan Kota Baru.

Ibu kotanya Pei Benga, terletak di dataran tinggi. Topografinya berbukit-bukit, diselingi dengan lembah. Suhunya relatif dingin.

Sejak beberapa tahun lalu pemerintah setempat menggagas kecamatan Lepembusu Kelisoke sebagai kecamatan holtikultural. Untuk itu butuh kerja keras dan kerja nyata.

Lahan-lahan yang kosong digarap dan ditanami dengan tanaman-tanaman holtikultural seperti tomat, wortel, cabe, kol dan sawi. Ketika berkungjung ke sana pada 7 Oktober 2018 lalu, hal ini sangat nampak.

Di kiri-kanan jalan, ibu-ibu sibuk membersihkan sayur kol yang akan segera dijual. Sebuah mobil pick parkir persis di samping tumpukan sayur kol yang telah dibersihkan.

Dari kejauhan, seorang bapak sibuk mencakul tanah di bedengnya. Sesekali ia mengusap keringatnya dengan handuk di yang ada dibahu.

Sungguh sebuah pemandangan khas Lepembusu Kelikose yang sudah menjadi sumber sayur mayur bagi warga kota Ende dan juga Maumere.

Untuk memperlancar usahanya, banyak petani yang bergabung dengan koperasi. Salah satunya KSP kopdit Pintu Air.

Menurut wakil ketua komite KSP kopdit Pintu Air cabang Watuneso,  Kanisius Yos Rae, antusiasme anggota di daerah Lepembusu Kelisoke sangat mengembirakan.

Terbukti dengan anggota jumlah anggota yang sudah menginjak angka 400-an orang.  Sebagian besar yang bergabung menjadi anggota adalah petani ladang yang mengolah tanaman holtikultural. 

Kanisius mengakui, timnya setiap bulan mengunjungi anggota di sana untuk melakukan pendidikan bulanan.

Dalam pendidikan bulanan diberikan semacam pemahaman sederhana dalam mengelola keuangan sekaligus memberikan pemahaman yang benar tentang hidup berkoperasi.

Kehadiran Pintu Air badi para petani Lepembusu Kelisoke dirasa sangat membantu. Thomas Seni (58), salah satu petani Lepembusu Kelisoke mengakui hal itu.

Suami dari Katerina Wedhe (60) ini sudah enam tahun bergabung menjadi anggota Pintu Air. Ia telah merasakan manfaat dengan  bergabung menjadi anggota koperasi.

Selain membantu usaha kebun sayurnya tetapi juga telah membantu urusan biaya kuliah anaknya.

Kepada anak-anaknya, Thomas selalu berujar dengan nada lelucon, “Bapa nanti kalau mati, sudah ada peti, semen dan pasir. Saya sudah siap semuanya. Bahkan saya juga kasih kamu uang walau saya sudah mati”.

Meski dengan nada lelucon, maksud Thomas hanya satu yakni menyadarkan anak-anaknya untuk hidup berkoperasi. Tidak hanya mendapatkan manfaat saat ada kematian, tetap koperasi juga membantu untuk usaha-usaha produktif anggotanya.

Juga Martinus Ndopo, sangat antusias berkoperasi. Pada tahun 2013, ketika yang lain sibuk menyimpan di simpanan bunga harian, suami dari Yuliana Ale ini telah berpikir untuk menyimpan di Simpanan Masa Depan (Simada).

Pada tanggal 7 Oktober yang lalu, ia menarik simpanannya tersebut karena sudah jatuh tempo lima tahun sesuai dengan kesepakatan awal. Rencananya uang yang ada ia gunakan untuk membeli pompa air.

Gawat, Gesek, Gemas ala Kades Ili Medo

0

Perawakannya tegas dan berwibawa. Terselip sisi humoris dalam dirinya. Gaya bicaranya lugas dan serius.

Sesekali dia melempar senyum dan candaan sehingga mengundang tawa dari lawan bicaranya. Itulah sosok Kepala Desa Ili Medo, Damianus Gobang ketika ditemui tim Ekora pada Maret 2017 lalu.

Dibawah rintik hujan, Damianus, tampak  semangat mengawasi dan memperhatikan pengerjaan jalan menuju waduk Napun Gete. 

Melihat kehadiran kami, dia tersenyum ramah dan mengajak kami berteduh dan shering beberapa hal mengenai waduk Napun Gete yang saat ini sedang dalam proses pembangunan.

Proses pembangunan waduk tentu kita tidak bisa lepas dari peran pria kelahiran Ili Medo 19 Februari 1972 ini.

Mulai dari pembebasan lahan, mengahadapi amukan warga yang tidak setuju akan pembangunan waduk. Hingga berusaha menjadi penengah yang baik dikala persoalan pembangunan waduk semakin memanas.

Hal tersebut diakuinya bahwa peran seorang kepala desa sebagai pemimpin bagi masyarakatnya benar-benar diuji. Terlepas dari protes, semua proses yang tengah berjalan di desa Ili Medo termasuk proses pembangunan, sejalan dengan visi dan misinya yakni terwujudnya masyarakat Ili Medo yang mapan (mandiri pangan, mandiri pendidikan, mandiri kesehatan, mandiri pendapatan dan mandiri kelembagaan).

Menarik untuk disimak, bahwa program kerja di atas tentu tidak hanya omong kosong belaka.

“Kita tidak hanaya omong doang, tetapi bagaimana kita benar-benar memberdayakan masyarakat sesuai dengan program-program tersebut. Dan sudah ada hasil dari program yang saya canangkan”. Ungkapnya bangga.

Program-program kebanggaan saya antara lain, Gerakan Wajib Tanam (Gawat), Gerakan Wajib Sekolah (Gesek) dan Gerakan Mencintai Kesehatan (Gemas).

Damianus yang telah mejabat sebagai kepala desa dua periode ini menjelaskan, mandiri pangan berkaitan dengan makanan sehari-hari, yakni ubi dan pisang yang pasti ditanam di kebun masing-masing.

“Kita tanam lalu kita kelola. Mungkin bisa dijadikan keripik atau makanan ringan lainnya untuk kita jual. Hitung-hitung bisa dapat uang sedikit-sedikit,” tuturnya.

“Kalau memang kita tidak bisa olah, ya kita tinggal rebus dan makan supaya kita tidak lapar. Nanti kalau sudah ada waduk, kegiatan menanam akan terakomodir dengan baik lagi,” tambahnya.

Damianus melanjutkan bahwa beliau sudah mencanangkan program Gawat atau gerakan wajib tanam bagi masyarakat Ili Medo khususya anak muda. Bukan hanya ubi pisang saja yang ditanam, tetapi juga bisa pohon dan tanaman yang berguna. Hal itu diakuinya berhasil.

Selain program mandiri pangan diatas,  ada juga program pendidikan. Hal tersebut terbukti dengan sebuah program yang di kenal dengan Gesek atau gerakan bersekolah.

Dalam program Gesek ini, orang tua wajib menabung untuk anak-anaknya di desa.

“Saya tidak mewajibkan menabung berapa. Semua tergantung kemampuan. Yang penting anak harus sekolah, tidak boleh tidak.” 

Menurut suami dari Agustina Florida ini, sejak dia memimpin desa Ili Medo, program Gesek ini sudah menghasilkan tujuh lulusan sarjana, 15 masih di perguruan tinggi, 30 di bangku SMA dan 50 di tingkat SMP. 

Sedangkan untuk program Gemas memang harus dicanangkan, agar masyarakat sadar bahwa kesehatan itu penting. Gerakan ini juga mengajak masyarakat  untuk proaktif omong tentang kesehatan serta peka jika ada masyarakat  yang sakit dan membutuhkan pertolongan.

Damianus mengaku sering mendapat reward dari Puskesmas setempat karena program gemasnya ini berhasil.

Salut Pak Kades untuk program kerja yang telak mendarat bagi warga desa Ili Medo.

Kontributor: Mia Margaret

BUMDes Ori Tite Kelola Stadion Desa Birawan

0

Nun di Pantai Selatan, daratan Pulau Flores kini berdiri sebuah stadion mini megah dan asri milik Pemerintah Desa Birawan. Desa Birawan masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur.

Di bawah kepemimpinan Tarsisius Buto Muda, sang kepala desa, Desa Birawan melejit menjadi salah satu desa yang kini bergerak maju pembangunannya.

Salah satu pembangunan fisik desa yang telah rampung adalah stadion desa. Stadion ini dibangun dengan menggunakan dana desa tahun 2017.

Ada pun maksud stadion ini dibangun  adalah untuk mendukung bakat dan minat generasi olahraga muda di desa. Pembangunan itu juga merupakan impian seluruh masyarakat Desa Birawan.

Asis Muda kepada EKORA NTT, Selasa (21/11/2017) menjelaskan pembangunan stadion olahraga di desanya adalah bagian dari ikon kecamatan. Hal itu karena ibu kota kecamatan Ile Bura ada di Birawan.

“Kami bangun stadion ini sudah melalui proses yang panjang, dari urun rembuk sampai pelelangan kepada kontraktor. Dari beberapa yang ikut tender dalam pengerjaan pembangunan stadion ini yang keluar sebagai pemenang tender adalah CV Gempa Flores dari Boru, Flores Timur,” kata Asis.

Asis menambahkan pagu anggaran untuk pembangunan stadion itu sebesar Rp 333.602.000, bersumber dari dana desa tahun 2017. Pelaksanaan proyek selama 90 hari kalender kerja.

Saat ini kondisi stadion sudah seratus persen selesai. Asis lebih jauh menjelaskan saat ini segala material sisa dari pembangunan stadion dimanfaatkan untuk pembangunan talut di desanya.

Stadion ini nantinya akan diserahkan pengelolaannya oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDEs) Ori Tite dari desa Birawan. Ada banyak persiapan yang tengah dirancang oleh para pengelola BUMDes untuk membuat even olahraga tahunan yang bakal melibatkan masyarakat se-Kabupaten Flores Timur.

Menurut Asis rencana yang lagi dirancang oleh pihak BUMDes di desanya sudah pasti mendongkrak ekonomi warga desa dan pendapatan asli desanya sudah pasti meningkat.

Apa yang kami kerjakan dengan membangun stadion ini masih masuk kategori empat prioritas penggunaan dana desa tahun 2017, salah satunya adalah Sarana Olahraga dan pengembangan BUMDes.

Laurensius Lewar, pegawai pada Kantor Camat Ile Bura mengatakan belakangan ini Desa Birawan maju pesat dengan berbagai pembangunan dan pemberdayaan.

“Saya pribadi lihat ada kerjasama yang luar biasa dari pemerintah desa dan warga,” katanya.

Mengenai pembangunan stadion olahraga, Lewar menilai terobosan itu sungguh luar biasa. Sebab Pemdes Birawan memberi ruang kepada generasi muda dan warga seluruh Kecamatan Ile Bura untuk mengembangkan minat dan bakat olahraga.

“Kami yakin sekali desa kami akan sangat ramai karena adanya even-even olahraga yang tentunya ikut mendongkrak ekonomi desa,” ujar Lewar.

Sementara itu Viktor Ena, Sekretaris TPK yang juga warga desa Ile Bura mengaku senang dan memberi apresiasi yang tinggi kepada Pemdes Birawan. Apresiasi itu disampaikan karena Pemdes sudah merespon usulan warga untuk pembangunan stadion.

“Harapan saya semoga kawan-kawan di BUMDes bisa bekerja maksimal untuk mengelola stadion milik desa ini,” ungkap Viktor. 

Hengky Ola Sura

Kisah Para Petani yang Keluhkan Turunnya Harga Kopra

0

Kebun kelapa menjadi satu-satunya harapan Yosef Jogo, 70 tahun, untuk menafkai ekonomi keluarganya. Sesaknya kebutuhan hidup tidak membuatnya berpaling dari kerjanya sebagai petani kelapa.

Mungkin karena usianya yang sudah tidak muda lagi, bapak Yosef tidak punya pilihan lain lagi. Ya, mau tidak mau urus kelapa saja.

Bapak Yosef menetap di dusun Sikka, desa Sikka, kecamatan Lela, Kabupaten Sikka. Saban pagi, ia bergegas ke kebun dan pulang sore hari.

Membersihkan rumput-rumput liar di kebun dan memungut kelapa yang jatuh, begitu yang ia lakukan setiap hari. Pekerjaan ini dilakukan dengan semangat meski usianya sudah uzur.

Saat musim panen tiba, ia dibantu anaknya untuk memetik kelapa. Ia hanya sibuk mengumpulkan dan mengakut kelapa ke rumah.

Pekerjaannya berlanjut di rumah yakni membelah kelapa.  Satu per satu kepala dibelah, kemudian dijemur dan dikeringkan.

Setelah setengah kering, daging kelapa dicungkil dari tempurung secara manual, untuk selanjutnya dijadikan kopra.

Kopra yang sudah jadi dijual ke papalele. Uang didapatkan dari hasil jualan kopra, digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Besarnya penghasilan bapak Yosef sangat bergantung banyaknya panenan dan harga yang dipatok. Kadang besar, tapi tak jarang penghasilannya kecil bila dibandingkan dengan tenaga yang dikuras dalam pekerjaan ini.

Hari-hari ini, ia begitu sedih. Alasannya, harga kopra tidak stabil, bahkan melorot drastis. Beberapa minggu lalu ia jual ke papalele dengan harga Rp4.500 per kilogram.

Sekarang, harganya sudah turun lagi dan dijual dengan harga Rp4.000 per kilogramnya.

Bapak Yosef tidak berdaya. Ia terpaksa menjualnya karena didesak bejibun kebutuhan. Dalam kekalutan demikian, ia berharap agar harga kopra bisa membaik sehingga hidupnya baik. Itu saja permintaannya.

Nasib sama juga dialami para petani kelapa lainnya. Stefanus Frengky, 30 tahun, misalnya, meringis kecewa dengan harga kopra yang tidak menentu.

Padahal ia menaruh harap dari hasil kopranya tersebut. Tapi kopra yang ‘tidak punya harga’ berulangkali menindih perjuangannya.

Stefanus tinggal di dusun Bidara-Sikka dan punya lahan kelapa yang cukup luas. Tidak heran kalau ia cukup optimis mengelola ladangnya itu. Menurut perhitungannya, hasil yang ia peroleh dari kopra lebih dari cukup.

Tapi beberapa waktu belakangan, semangatnya kendur dengan alasan harga kopra yang tidak ramah dengan petani.

Karena saking kecewanya, Stefanus tak lagi mengurus kopra. Ia memilih untuk mengumpulkan dan menjual tempurung kelapa yang harganya masih cukup baik.

Belakangan, ia memilih untuk beralih matapencaharian. Daripada dipusingkan dengan kopra mending bekerja sebagai buruh bangunan di kota Maumere.

Silvinus, 52 tahun, petani Magepanda-Sikka juga punya pengalaman miris. Bulan November 2018 lalu, ia menjual kopranya sebanyak satu ton dengan harga yang Rp3.000 per kilogram.

Tentu ini menyayat hati. Tapi mau bilang apa, terpaksa kopranya dijual takut kalau-kalau harganya turun lagi.

“Saya memang kecewa. Padahal kopra saya banyak tapi harganya kecil. Mau bilang apa. Kita harap supaya nasib kami petani diperhatikan. Ini sumber hidup kami,” kata Silvinus kepada Ekora NTT, 18 Desember 2019. 

Petani Magepanda lain, Oktavianus Risto, 37 tahun, kaget ketika mendengar kabar bahwa harga kopra jatuh. Ia cukup syok. Pikirannya tidak tenang.

Ia membayangkan perjuangan selama ini, banting tulang dan menguras seluruh tenaganya untuk mengolah kopra. Tapi yang terjadi, di luar perkiraannya.

Sia-sialah apa yang telah ia kerjakannya selama ini. Sampai-sampai ia mengadu kepada Tuhan, “Saya tidak puas Tuhan. Ini tidak adil. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” demikian ia menggerutu penuh sesal.

Irenius J A Sagur & Hengky Ola Sura

Menuju “Sikka Terang” 2020, Pemkab Sikka Teken MoU dengan PLN FBT

0

Pada tahun 2019, jumlah rumah di Kabupaten Sikka sebanyak 75 ribu rumah. Namun, hingga saat ini, tercatat baru 53 ribu rumah yang memiliki sambungan listrik.

Oleh karena itu, melalui penandatanganan kesepakatan atau memorandum of understanding (MoU) antara Pemkab Sikka dan PLN Flores Bagian Timur (FBT) pada Senin (21/1), diharapkan pada tahun 2020 semua rumah di Kabupaten Sikka sudah bisa menikmati listrik.

Bupati Sikka, Robby Idong, mengungkapkan, sesuai visi dan misi, “semakin terpenuhinya hak-hak dasar”, Pemkab Sikka akan membantu pemasangan listrik untuk 20 ribu rumah yang masih gelap gulita terutama di wilayah pegunungan dan pulau-pulau melalui program listrik gratis dan dana lainnya.

Bupati Robby mengatakan, program pemasangan listrik gratis akan menyasar 10 ribu rumah tangga miskin. Sementara sisanya akan diusahakan Pemkab Sikka melalui dana alokasi khusus (DAK).

Selain melalui program dan dana itu, Bupati Robby menegaskan, dana desa juga dapat digunakan untuk memasang listrik gratis bagi warga yang alami kesulitan ekonomi.

“Kita juga perlu melakukan MoU dengan pemerintah desa dalam dua hal, yakni yang pertama bekerjasama untuk pemasangan sambungan rumah dengan perbandingan 70:30. Artinya, 70% dari pemerintah kabupaten dan 30% dari dana desa,” jelasnnya.

“Kedua, dalam hal pembersihan area jaringan, ini menjadi tanggungjawab kemasyarakatan. Artinya, pembebasan menjadi tanggungjawab kepala desa. Jadi, kalau ada yang tidak mau dipangkas pohonnya kepala desa yang bertanggungjawab,” tambah Bupati Robby.

Tahun ini, lanjutnya, daerah yang menjadi prioritas pemasangan jaringan dan sambungan listrik adalah Kecamatan Doreng, Kecamatan Mapitara, Kecamatan Tanawawo, dan Kecamatan Palue. Di wilayah-wilayah ini, Pemkab Sikka menargetkan 2000 sampai 3000 sambungan rumah.

Oleh karena itu, ia berharap, para camat bisa segera menyampaikan hal ini kepada semua kepala desa sehingga dalam kesempatanMusyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) tahun 2020 bisalangsung dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes) atau dana desa.

Bupati Robby mewanti-wanti agar dalam pelaksanaan program ini tidak boleh ada pungutan. Camat dan kepala desa diminta aktif turun langsung ke masyarakat untuk mendata rumah tangga yang belum menikmati listrik.

“Tidak boleh ada pungutan 1 sen pun. Kalau ada yang memungut, itu namanya Pungli dan harus diproses.Ini murni kita membantu masyarakat,” tegasnya.

Kepala PLN FBT, Lambas R. Pasaribu mengatakan, kebutuhan listrik adalah kebutuhan primer masyarakat Kabupaten Sikka. PLN FBT sedang memperkuat sistem sehingga dapat melayani semua rumah di Kabupaten Sikka.

Kesulitan saat ini adalah kondisi lingkungan, topografi, dan jaringan–jaringan PLN yang sebagian besar melewati Hutan Tanaman Produktif (HTP).

Lambas menambahkan, dalam waktu mendatang, pihaknya akan membangun kerjasama untuk mengatur sistem perambasan atau pembersihan, khususnya di wilayah Rubit, Bola, dan Paga.

Menurut Lambas, penandatanganan MoU dengan Pemkab Sikka merupakan langkah PLN mewujudkan visi-misi PLN, yakni mendorong perekonomian dan mencerdas kankehidupan bangsa.Menurutnya, kalau sudah ada listrik, anak-anak dapat belajar dan mengerjakan tugas sekolah di malam hari.

“Kami sangat apresiasi mengenai kerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka. Semoga sinergi yang kita bangun ini bias berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan kita,” pungkas Lambas.

Citos Natun

50% Pejabat Provinsi NTT Masih Korup

0

Sekitar 50% penjabat publik di lingkup Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih korup.

Hal ini disampaikan oleh Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat dalam kuliah umum “Merajut Mimpi Mewujudkan NTT yang Lebih Baik” di Aula Thomas Aquinas STFK Ledalero, Desa Takaplager, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Sabtu (24/11/2018).

Gubernur Laiskodat mengatakan, ia mengakui, masih terdapat 50% penjabat di provinsi yang main-main dengan uang rakyat.

“Di provinsi, saya yakin, masih ada. Masih ada 50% yang main-main. Harus saya akui. Tidak terlalu lama lagi mereka sudah mulai pusing,” katanya disambut tawa dan tepuk tangan audiens peserta kuliah umum.

Menurut Gubernur Laiskodat, korupsi berhubungan dengan integritas moral seseorang. Oleh karena itu, seseorang yang berintegritas harus menjadi pemimpin.

“Korupsi itu satu-satunya ya integritas. Memang moral. Tidak boleh tentang kekuasaan yang lain. Itu dulu. Pemimpin yang bermoral, satu saja. Satu benar, dia menjadi penentu. Kalau dia menjadi pengekor, tidak bisa. Karena itu, pemimpin yang berintegritas harus jadi pemimpin,” katanya.

Menurut Gubernur Laiskodat, kalau seorang pemimpin memiliki integritas moral yang baik, maka segala tata kelola pemerintahan akan berjalan lurus.

Kehancuran terjadi pada saat seorang pemimpin berbicara tentang besaran uang yang diperoleh dari setiap proses pembangunan.

“Kalau dia jadi pemimpin, maka semua akan lurus. Kalau dia ikut berperan untuk bicara tentang fee, saya dapat berapa, maka hancur semua,”

Gubernur Laiskodat mengatakan, semua orang butuh uang. Akan tetapi, cara memperoleh uang harus ditempuh dengan cara yang benar.

“Saya bilang, kalau perlu uang, datanglah ke gubernur dan bicara. Kita cari akal cari uang. Karena kita ini perlu uang. Siapa yang tidak mau uang? Tapi, dengan cara yang benar. Jangan dengan cara by pass. Bahaya kita. Ini merugikan kita,” katanya.

Ketua STFK Ledalero, Otto Gusti Madung saat dimintai tanggapannya menyatakan mendukung Gubernur Laiskodat bertindak tegas terhadap 50% penjabat korup di lingkup pemerintah provinsi. Akan tetapi, sebagai negara hukum, jika gubernur memiliki data yang cukup, ia bisa melaporkan para penjabat korup itu ke penegak hukum.

Otto mengatakan, NTT menunggu janji Gubernur Laiskodat menghadirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di NTT.

“Kita tunggu janji Gubernur untuk hadirkan KPK di NTT,” katanya.

Dirgahayu Sikka!

0

Oleh:  Silvano Keo Bhaghi, Redaktur Ekora NTT

“Akan tetapi, apakah kami anak Flores yang miskin dan rendah ini akan mempersembahkan ke bawah seri Paduka Tuan Besar? Kami malu pada mengingat tanah kami Flores yang semiskin ini” (Raja Sikka, Don Thomas da Silva)

Sebelum sistem pemerintahan kabupaten diberlakukan di Indonesia pada 1958, berdasarkan sistem zelfbeestur pemerintah kolonial Belanda yang membagi wilayah-wilayah provinsi ke dalam onderafdeling dan kemudian swapraja, masyarakat Sikka diperintah oleh para Raja dan Ratu Sikka dari keturunan Lepo Gete atau rumah besar atau istana (E.D. Lewis dan O.P. Mandalangi, Hikayat Kerajaan Sikka, 2008, pp. xv-xxiii).

Menurut catatan tulisan tangan Dominicus D.P. Kondi dan Aleksius B. Pareira tentang sejarah Kerajaan Sikka, kerajaan ini pernah diperintah oleh 14 raja dan 2 ratu dengan Don Alesu sebagai raja Sikka pertama.

Tiga raja yang terakhir adalah Raja Nong Meak da Silva, Raja Don Thomas da Silva, dan Raja Don Paulo Sentis da Silva.

Menurut mitos, nama Sikka diambil dari nama istri Mo’ang Sugi, yaitu Du’a Sikka, seorang gadis cantik pribumi yang dikawini oleh Mo’ang Sugi, putra Nahkoda Kapal, Mo’ang Rae Raja yang kapalnya karam di pantai selatan Flores, Wutung Ni’i, di sebelah timur kampung Sikka sekarang.

Nama Sikka berasal dari kata bahasa Sikka, sikang, artinya mengusir, menunjuk pada turunan Mo’ang Sugi dan Du’a Sikka yang mengusir orang Hokor di pantai selatan Flores untuk dijadikan tempat bermukim.

Pada 14 Desember 1958, Wakil Gubernur Nusa Tenggara, A.S Pello yang berkedudukan di Singaraja, Bali menyerahkan salinan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur kepada Penjabat Sementara Kepala Daerah Swatantra Sikka, Raja Don Paulus Centis Ximenes da Silva yang berkedudukan di Kupang.

Menurut Sejarahwan Lokal, Eugenio Pacelli da Gomez, itulah hari lahir Kabupaten Sikka (Ekora NTT, 15/12). Jadi, menurut versi ini, Kabupaten Sikka rayakan HUT Ke-60 pada Jumat, 14 Desember 2018.

Tentu penentuan hari jadi ini masih menuai kontroversi di tengah masyarakat. Wikipedia, misalnya, menulis, daerah swapraja Sikka resmi berdiri menjadi Daerah Tingkat II pada tanggal 1 Maret 1958 dengan ibu kota Maumere dan kepala daerah pertama Raja Don Paulus Centis Ximenes da Silva.

Penulis berpendapat, kontroversi hari lahir bisa membangkitkan diskursus yang sehat tentang sejarah Kabupaten Sikka dan relevansinya untuk pembangunan Kabupaten Sikka dewasa ini.

Bagaimana pun juga, diskursus tentang sejarah lahir kabupaten perlu diwacanakan agar pembangunan di daerah ini tidak berkarakter ahistoris. Pembangunan yang ahistoris berarti pembangunan yang tidak memperhatikan dan buta terhadap sejarah masa lalu suatu daerah.

Akibatnya, pembangunan dari suatu masa kepemimpinan terputus dari pembangunan pada masa sebelumnya. Prestasi kepemimpinan suatu periode tidak bisa dicontoh di satu sisi dan kebodohan kepemimpinan suatu periode akan diulangi lagi oleh rezim sekarang di sisi lain.

Sejak 1958, sudah ada 11 bupati yang menahkodai wilayah dengan luas daratan 1.731,91 Km2 dan luas lautan 5.883,24 Km2 yang terdiri atas 21 kecamatan, 147 desa, 13 kelurahan, dan 34 desa persiapan ini.

Lamanya masa jabatan bervariasi: mulai dari 2, 5, hingga 10 tahun masa kepemimpinan. Kepemimpinan setiap kepala daerah punya plus minus masing-masing.

Ada yang lekang di ingatan masyarakat karena diabadikan menjadi nama stadion, pelabuhan, dan jalan. Tetapi, ada pula yang samar bahkan hilang dari ingatan masyarakat karena satu dan lain sebab.

Dengan visi “Pemenuhan Hak-Hak Dasar Masyarakat Menuju Sikka Bahagia 2023”, misi “Mewujudkan Masyarakat yang Berkualitas dan Reformasi Birokrasi”, dan beberapa terobosan kebijakan seperti dana pendidikan, ambulans gratis, rumah sakit tanpa kelas, industri kelapa, dan wisata religi, duet Robby-Romanus (2018-2023) optimis selesaikan masalah masih rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, belum adilnya perekonomian masyarakat, serta belum optimalnya pelaksanaan reformasi birokrasi.

Selain itu, ROMA juga mesti berjibaku atasi masalah masalah klasik yang membelit NTT pada umumnya dan Sikka pada khususnya, yaitu kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi. Pada 2017, jumlah penduduk miskin di Sikka 14,20% dengan Gini Ratio 0,274 (Dokumen RPJMD Sikka, 2018).

Hari jadi Kabupaten Sikka ke-60 jadi momen refleksi bagi masyarakat sipil dan Pemerintah Kabupaten Sikka untuk naikkan indeks pembangunan manusia, indeks kebahagiaan, indeks pendidikan, indeks reformasi birokrasi, angka harapan hidup, indeks gini, dan indeks kepuasan masyarakat.

Tentu seperti pidato Raja Don Thomas da Silva ketika menyambut kunjungan Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff di Ende, kita perlu merasa malu dengan masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi di negeri nyiur melambai ini.

Dirgahayu Kabupaten Sikka ke-60! Amapu Benjer!

Jangan Kalah dengan Mama Maria

0

Tenun ikat telah menjadi warisan yang berharga dalam tradisi masyarakat kita. Ini sudah semacam paradaban. Menenun juga bisa menjadi tonggak ekonomi keluarga. Itulah yang dialami Mama Maria.

“Menenun bukan lagi pekerjaan sampingan saya”, tutur Mama Maria Felixia ketika memulai perbincangan dengan saya di kediamannya di Kelurahan Madawat, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka awal Januari 2019 lalu.

Ibu tiga anak ini rupanya menghabiskan lebih dari 12 jam dalam sehari untuk menenun.

Perkakas tempurnya adalah “panta” atau seperangkat alat tenun dan beberapa gulungan benang. Meskipun telah memasuki senjakala usia, semangat dia tak kendor sedikit pun.

Apalagi Mama Maria juga tergabung dalam Kelompok Tenun Ikat Maumere Wenda bersama lima penenun lainnya. Tentu ini merupakan bagian dari pelestarian kebudayaan tradisional yang patut diapresiasi.

Berdasarkan pengakuannya, kelompok tersebut dibentuk dengan harapan untuk mempermudah akses pemasaran.

“Dari guling benang, ikat, celup, tenun, sampai siap  dipasarkan, semuanya kami kerjakan sendiri di kelompok tenun ini,” pungkasnya.

Aktivitas menenun memang telah mendarahdaging dan dia lakukan itu sejak masa kecilnya. Keahliannya dalam menenun didukung kondisi lingkungan kala itu, yang mana sudah menjadi kewajiban bagi anak perempuan untuk lihai menggunakan alat tenun, bermain-main dengan motif ataupun memintal benang.

Tak dapat dimungkiri, dia pun mengomentari tipikal kaum muda masa kini yang menurutnya menjadi generasi instan.

“Anak zaman now ini tidak tahu apa-apa, mereka hanya tahu mesin,” keluhnya.

Dan keberadaan mesin itu sendiri nyaris menggantikan alat-alat kerja yang telah lama digandrungi para penenun tenun ikat seperti dirinya.

Namun, sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaan, hal ini wajib hukumnya untuk jadi perhatian khusus masyarakat dan pemerintah agar senantiasa merawat dan melakukan pelestarian. 

Lantas, soal target tenunan, dalam sebulan Mama Maria mengusahakan agar setidaknya empat lembar sarung mesti siap dipasarkan. Waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan satu lembar sarung  itu tiga setengah hari.

Sementara, harganya pun berbeda-beda, tergantung motif dan jenisnya, demikian Mama Maria.

Sejak ditinggal suami tercinta tahun 2002 silam, Mama Maria memang menjadikan kegiatan menenun sebagai tonggak kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan menjual hasil tenunnya, dia berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga perguruan tinggi.

Bahkan demi melunasi biaya registrasi, jam kerja akan diperpanjang. Kadang dia harus duduk menenun dari pagi sampai jam 11  malam.

Namun, usahanya itu dapat terbilang lancar. Alasannya, sarung-sarung buatan Mama Maria senantiasa diburu di pasaran.

“Kami baru beberapa menit di pasar, sarung langsung laku,” ujarnya optimistis.

Selain itu, Mama Maria dan penenun lainnya di Maumere sangat terbantu dengan gerakan pemerintah dan seluruh masyarakat yang mewajibkan penggunaan baju sarung di berbagai instansi pada hari tertentu.

Meskipun begitu, dalam melancarkan usahanya, Mama Maria masih terkendala modal uang. “Kadang kami harus cari pinjaman untuk beli obat celup. Setelah laku baru diganti,” bebernya.

Pada Festival Seni dan Budaya Maumere tahun 2018 ini,  Mama Maria dan Kelompok Tenun  Ikat Maumere Wenda mendapat satu stan untuk memamerkan karya mereka. Dia pun berharap agar kegiatan-kegiatan sejenis terus dikembangkan dan para anak muda Maumere khususnya tidak boleh sungkan untuk mempelajari budaya warisan leluhur tersebut.