Maumere, Ekorantt.com – Kelompok Minat Centro John Paul II Ritapiret, Maumere, Flores, mengadakan diskusi bertajuk “Ekonomi Politik Migrasi Internasional di Flores” di Aula Seminari St. Petrus Ritapiret, Jumat, 25 Oktober 2019.
Diskusi yang dimoderasi oleh Frater Anchik Sabar, Calon Imam Keuskupan Ruteng, Mahasiswa Semester V STFK Ledalero ini menghadirkan Emilianus Yakob Sese Tolo (Emil), peneliti dan dosen di STFK Ledalero, sebagai pembicara utama.
Mengapa Migrasi Internasional?
Dengan menggunakan pendekatan marxis, Emil tertarik mengangkat tema tentang migrasi internasional di Flores karena setiap kali membaca berita di surat kabar, dia selalu temukan berita-berita tentang kekerasan majikan kepada pekerja, perdagangan organ tubuh manusia, dan kematian yang menimpa tenaga kerja.
Menurut data mutakhir, sepertiga dari total 200.000 migran NTT yang dikirim ke luar negeri setiap tahun berstatus migran ilegal.
Fakta ini telah mengundang perhatian para peneliti seperti A. T. Eki, R. Tirtosudarmo, dan G. Hugo untuk melakukan studi tentang persoalan migrasi di Flores Timur.
Berdasarkan studi-studi ini, mereka pada umumnya berkesimpulan bahwa orang Flores bermigrasi karena dua alasan utama, yakni pertama, pembangunan yang tidak merata dan kedua, perbedaan gaji antardaerah.
Akan tetapi, menurut Emil, dua alasan ini, yang merupakan bagian dari pendekatan dualistik dan neo-klasik dalam memahami migrasi internasional, tidak bisa menjelaskan proses dan mekanisme mengenai relasi produksi di dalam suatu masyarakat yang menyebabkan mereka mengambil keputusan bermigrasi.
“Atas dasar inilah, saya membuat penelitian dengan perspektif ekonomi politik Marxis, yang menyoroti aspek proses dan mekanisme yang berkaitan dengan relasi produksi yang mendorong seseorang untuk terlibat dalam migrasi internasional,” kata Emil.
Jadi, menurut Emil, berdasarkan perspektif ekonomi politik Marxis, orang bermigrasi bukan karena perbedaan pembangunan antardaerah, antara Malaysia dan Indonesia misalnya, atau karena gaji di Malaysia lebih tinggi dari pada gaji di Indonesia, khususnya di Flores.
Sebaliknya, alasan seseorang bermigrasi adalah karena penetrasi kapitalisme di suatu daerah yang menyebabkan terjadinya perubahan relasi sosial produksi yang melahirkan diferensiasi kelas di antara para petani di pedesaan di Flores.
“Oleh karena itu, yang bermigrasi, seperti yang ditunjukkan dalam riset saya, tidak semua petani, tapi hanya petani-petani yang menjadi korban dari penetrasi kapitalisme dan juga feodalisme yang masih bercokol di beberapa daerah, yakni petani semi-proletar dan proletar,” tukas Emil.
Emil menjelaskan bahwa perubahan agraria di Flores secara langsung mempengaruhi tingkat migrasi masyarakat Flores.
Berdasarkan perspektif analisis Marxis, demikian Emil, kita harus terlebih dahulu mengemukakan posisi kelas di dalam suatu masyarakat, dalam hal ini masyarakat petani.
Berkaitan dengan ini, menurut Emil, ada beberapa anggapan dan cara menjelaskan posisi kelas masyarakat pertanian.
Pertama, kaum neo-populis beranggapan, masyarakat pertanian adalah masyarakat yang memiliki kelas yang homogen.
Oleh karena itu, kapitalisme tidak bisa berpenetrasi terhadap kehidupan atau struktur sosial masyarakat pertanian atau pedesaan ini. Apalagi, struktur ekonomi pedesaan itu disusun berdasarkan ekonomi keluarga.
Kedua, kaum neo-klasik berpandangan, sistem relasi sosial produksi di pedesaan bersifat statis di tengah penetrasi kapitalisme.
Oleh karena itu, menurut mereka, perubahan agraria di pedesaan terjadi akibat pertumbuhan peduduk semata.
Jadi, ketika jumlah penduduk semakin banyak, maka tanah-tanah di pedesaan tidak akan cukup untuk semua orang.
“Penjelasan dari para akademisi ini, berdasarkan riset saya di Flores, tidaklah benar,” protes Emil.
Berdasarkan risetnya di Mbay, Emil berkesimpulan bahwa para petani sawah di sana terdiferensiasi ke dalam kelas-kelas yang berbeda.
Ada kelas petani kapitas, petani peti-borjuasi, semi-proletar, dan proletar.
Pertama, petani kapitalis.
Berdasarkan perspektif marxis, petani kapitalis adalah petani yang yang memiliki lahan sawah seluas 2-6 hektar dan oleh karena itu, sepanjang tahun, mereka menyewakan buruh untuk mengerjakan sawah atau ladangnya.
Kedua, petani peti-borjuasi.
Petani peti-borjuasi adalah petani yang memiliki tanah 1-2 hektar, yang mengerjakan sawahnya sendiri dan menyewa buruh hanya di saat musim tanam atau panen.
Ketiga, petani semi-proletar.
Petani semi-proletar adalah petani yang memiliki tanah sawah sekitar 0,25-0,5 hektar. Karena luas sawah yang sempit ini, mereka harus menjual tenaganya pada petani kapitalis dan petani peti-borjuasi.
Keempat, petani proletar.
Petani proletar adalah petani yang tidak memiliki tanah sama sekali dan oleh karena itu, mereka mesti bekerja sebagai buruh sepanjang tahun.
Dari diferensiasi kelas petani di atas, muncul pertanyaan, apa kaitannya dengan migrasi Internasional di Flores?
Berdasarkan riset yang dilakukan Emil, pada 1960-an, wilayah di Flores, khususnya di Mbay, masih merupakan wilayah yang diduduki oleh masyarakat tradisional yang feodal.
Dalam masyarakat feodal, hampir tidak ada migrasi (internasional) keluar dari desa.
Orang-orang yang menjadi petani dan bekerja pada tuan feodal itu berpotensi kehilangan tanahnya jika terlibat dalam migrasi (internasional).
Sebab, tuan feodal akan mengambil tanah para petani bersangkutan, yang merupakan bagian dari tanah suku.
Dengan demikian, menurut Emil, dia tidak menemukan migrasi, baik lokal maupun internasional, pada masa feodal di Flores.
Migrasi internasional justru terjadi pada masa semi feodal di Mbay sekitar tahun 1980-1990.
Dalam konteks ini, masa semi feodal adalah masa di mana feodalisme hidup berdampingan dengan kapitalisme.
Di Mbay, misalnya, semi feodal itu terjadi karena reforma agraria yang dilakukan sejak tahun 1960an hingga 1980-an.
Dengan adanya reforma agraria, yang menandakan lahirnya masyarakat semi feodal di Mbay, migrasi internasional di Mbay justru meningkat, khususnya migrasi ke Malaysia.
Mereka yang bermigrasi ke Malaysia adalah petani peti-borjuasi, petani semi-proletar, dan proletar.
Hal ini disebabkan karena para petani ini tidak memiliki akses terhadap teknologi pertanian untuk mengolah sawah mereka, yang mereka peroleh dari reforma agraria itu.
Pada masa semi-feodal ini, migrasi internasional di Mbay mencapai puncaknya.
Akan tetapi, pada tahun 1990-2018, migrasi internasional di Mbay malah turun drastis.
Hal ini disebabkan karena penetrasi kapitalisme yang menyediakan alat teknologi yang canggih, yang memudahkan petani kapitalis, peti-borjuasi, dan petani semi-proletar untuk mengolah sawahnya.
Dengan demikian, para petani yang bermigrasi, yang sebelumnya memiliki tanah 0,5-2 hektar, memilih tinggal di Mbay untuk mengolah sawahnya melalui kemudahan mekanisasi pertanian yang ditawarkan teknologi modern dalam zaman kapitalisme.
Namun, Emil memprediksi, migrasi internasional akan meningkat lagi di Mbay.
Migrasi internasional itu mungkin akan melampaui level semi-feodal akibat penetrasi kapitalisme yang semakin kuat hari ini di Mbay, yang menyebabkan terkonsentrasinya kapital, seperti tanah dan modal, pada segelintir petani saja.
Dari penjelasan di atas, Emil membantah sekaligus mendukung tesis marxis yang mengatakan bahwa penetrasi kapitalisme dapat meningkatkan gelombang migrasi internasional.
Berdasarkan temuan Emil, migrasi internasional justru turun ketika terjadi penetrasi kapitalisme awal.
Namun, Emil tetap memprediksi, migrasi internasional akan meningkat pada masa perkembangan kapitalisme lanjut, yang hari ini semakin meningkat pada masyarakat petani sawah di Mbay.
Diskusi
Dalam sesi diskusi, peserta mengajukan pertanyaan, apakah pertanian yang dimaksudkan adalah pertanian tradisional yang berkembang menjadi modern? Apakah sudah sejak awal petani di Mbay terdiferensiasi dalam kelas-kelas yang berbeda?
Menjawabi pertanyaan ini, Emil menjelaskan, perbedaan model pertanian di Manggarai dan di Mbay disebabkan intensitas paparan kapitalisme yang berbeda.
Menurut Emil, wilayah Manggarai adalah suatu tempat di Flores yang mana kapitalisme lebih berkembang akibat kolonialisme Belanda pada awal abad ke-20.
Oleh karena itu, sistem kepemilikan privat tanah lebih cepat berkembang di Manggarai dari pada tempat lain di Flores.
Sementara itu, di tempat lain di Flores, seperti di Mbay, misalnya, kepemilikan privat tanah berkembang terlambat.
Tanah masih sering diklaim sebagai tanah kolektif walaupun telah dibagikan secara individual.
Dengan demikian, setiap orang tidak seenaknya menjual tanah di Mbay, tetapi harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari tua adat atau Mosalaki.
Diferensiasi pertanian di Mbay disebabkan oleh reforma agraria, yang kemudian diikuti oleh kapitalisme.
Namun, diferensiasi pertanian di Mbay ini juga ditentukan dan dipengaruhi oleh sistem kelas tradisional Mbay, yang membagi masyarakat dalam tiga kelas berbeda, yakni kelas mosalaki, orang biasa, dan hamba (ho’o).
Mosalaki memiliki kecenderungan menjadi petani kapitalis akibat dari akumulasi primitif yang telah dilakukannya di masa feodalisme.
Pertanyaan lain, mengapa masyarakat Mbay melakukan migrasi internasional dan bukannya migrasi lokal?
Emil menegaskan, dia menggunakan teori network di samping teori ekonomi politik Marxis untuk menjelaskan migrasi internasional di Mbay.
Menurut Emil, marxisme sendiri tidak bisa menjelaskan, mengapa orang harus bermigrasi keluar negeri? Mengapa tidak ke Jawa, Kalimantan, dan Papua?
Teori network berperan membantu menjelaskan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh marxisme.
Berdasarkan teori network, Emil menemukan bahwa orang pertama di Mbay yang melakukan migrasi ke Malaysia adalah pendatang dari Flores Timur, yang datang ke Mbay untuk membangun Bendungan Sutami.
“Mereka akhirnya menetap di Mbay dan tidak mendapat tanah dari program reforma agraria yang sudah saya singgung di muka. Mereka-mereka inilah yang melakukan migrasi ke Malaysia,” katanya.
Mengapa demikian?
Emil menjelaskan, sejak tahun 1950-an, orang Flores Timur itu sudah bermigrasi menggunakan kapal pribadi ke Malaysia.
Bahkan, sejak masa kolonialisme, orang Flores Timur bermigrasi ke beberapa negara di Asia akibat dari kolonialisme yang mengekspor tenaga kerja dari Indonesia, termasuk Flores Timur, untuk bekerja di perusahaan dan perkebunan miliki Belanda dan Jepang di luar negeri.
“Mereka-mereka inilah yang membuka jaringan untuk orang Flores bermigrasi ke Malaysia, termasuk orang Flores Timur di Mbay. Orang-orang Flores Timur di Mbay ini akhirnya membuka jaringan migrasi ke Malaysia bagi orang-orang Mbay yang lain di kemudian hari,” pungkas Emil.
Pandangan Baru bagi Agen Pastoral
Frater Boy Doreng, Ketua Seksi Akademik Kelompok Minat Centro John Paul II Ritapiret dalam sapaan awalnya berharap, diskusi ini dapat memberikan pandangan baru tentang persoalan migrasi internasional di Flores, yang merupakan persoalan krusial gereja lokal di Flores hari ini.
Menurut dia, sebagai agen pastoral di masa depan, para frater Ritapiret perlu memahami persoalan migrasi internasional di Flores hari ini.
“Diskusi publik hari ini sangat bermanfaat bagi karya pastoral para frater Ritapiret yang akan menjadi imam atau awam di Flores,” kata Frater Boy.
Diskusi perdana ini dihadiri oleh sekitar 60 frater atau calon imam Katolik anggota tetap dan simpatisan Kelompok Minat Centro John Paul II Ritapiret.
Anchik Sabar