Kupang, Ekorantt.com — Ketua Komunitas Nelayan Angsa Laut di Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, Moehamad Mansur Doke meriwayatkan nasib hasil tangkapan ikan para nelayan di wilayah itu yang beberapa tahun terakhir ini menurun drastis.
Berbeda dengan pendapatan hasil tangkapan ikan pada tahun 1999 hingga awal tahun 2000-an yang disebut mendapat keuntungan melimpah. Keuntungan bersih pada era itu, klaim Mansur, mencapai Rp 10 juta hingga 15 juta per bulan.
“Namun, beberapa tahun belakangan hasil tangkapan menurun jauh, jauh sekali. Jangankan keuntungan lima juta, keuntungan dari hasil tangkapan untuk mencapai tiga juta per bulan saja sekarang susah sekali,” ungkap Mansur pada Cofee Meeting yang diselenggarakan oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) dalam acara Peluncuran Program Voices For Just Climate Action di Kafe Petir, Oebobo, Kota Kupang, Selasa (19/01/2021).
Dalam acara yang bertajuk ‘Suara untuk Aksi Perubahan Iklim’ tersebut, Mansur menuturkan beberapa tahun terakhir ini terjadi perubahan fenomena atau peristiwa alam yang tidak lagi sesuai dengan petunjuk-petunjuk pengetahuan lokal yang dipelajarinya selama menjadi nelayan.
“Perubahan cuaca yang tidak menentu. Pergerakan ikan yang tidak lagi sesuai dengan musim. Semua itu-kan dapat dibaca melalui petunjuk alam. Tapi, kini sudah tidak sesuai lagi. Berubah jauh sekali dari biasanya,” tutur Mansur.
Semula, kata Mansur, para nelayan tidak mengetahui perubahan fenomena alam yang tidak biasanya ini merupakan dampak dari perubahan iklim.
Namun, belakangan dengan adanya sosialisasi yang dilakukan oleh Yayasan Hivos barulah para nelayan paham bahwa perubahan cuaca yang tidak menentu dan perubahan pergerakan ikan di luar dari musim yang berdampak pada hasil tangkapan nelayan menurun memiliki korelasi yang erat dengan perubahan iklim.
Dalam testimoninya, Mansur menuturkan bahwa nasib para nelayan pesisir Oesapa kian diperparah dengan kehadiran kapal-kapal besar yang menangkap ikan di wilayah pesisir. Menurut Mansur, zona itu hanya dikhususkan bagi nelayan tangkap pesisir.
“Kapal-kapal ikan besar sudah masuk ke wilayah pesisir untuk tangkap ikan. Kita yang nelayan kecil tentu saja tidak memperoleh hasil tangkapan yang baik karena zona tangkapan kita sudah dikerubuti kapal besar,” ungkap Mansur.
Kebijakan Harus Selaras dengan Nelayan
Dina Soro, Koordinator Program Voices For Just Climate Action (VCA) Hivos untuk wilayah NTT menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim global sangat mempengaruhi seluruh sektor kehidupan manusia terutama sektor kelautan dan perikanan.
“Selama ini fokus isu perubahan iklim sudah banyak diulas terkait dampaknya terhadap isu kelompok rentan masyarakat di darat. Kami mengambil fokus pada kelompok rentan nelayan. Nelayan sangat merasakan sekali dampak dari perubahan iklim dimana terjadi naiknya permukaan air laut, perubahan cuaca yang tidak menentu yang ditandai dengan gelombang tinggi dan angin kencang, serta perubahan ekosistem laut karena adanya perubahan suhu air laut dampak dari perubahan iklim. Semua itu mengarah pada kesejahteraan hidup nelayan karena hasil tangkapannya menurun,” tutur Dina beberapa saat usai acara Cofee Meeting.
Dina menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim global mempengaruhi sistem pengetahuan melaut masyarakat lokal berubah sangat jauh dan tidak pasti.
“Biasanyakan nelayan kita di NTT, memiliki sistem pengetahuan lokal terkait dengan arah angin, badai, dan siklus migrasi ikan. Namun, pengetahuan-pengetahuan lokal ini hampir tidak bisa digunakan lagi. Berubah sangat jauh karena dampak dari perubahan iklim,” tutur Dina.
Selain itu, kata Dina, dampak perubahan iklim sangat dirasakan oleh nelayan pesisir di Oesapa antara lain yakni adanya instrusi air laut ke wilayah tinggal masyarakat dan naiknya permukaan air laut yang merusak perahu dan rumah warga saat musim barat tiba.
Menurut Dina, perlu adanya kebijakan pemerintah yang mengakomodir keselamatan dan kebutuhan kerja-kerja nelayan. Beberapa kebijakan itu yakni: adanya ketersediaan informasi berkaitan dengan sistem peringatan dini bencana terhadap nelayan, penyediaan fasilitas infrastruktur bagi nelayan, dan program perlindungan ekosistem laut berbasis masyarakat pesisir.
“Kebijakan pemerintah saat ini belum mengakomodir kurang mengakomodir kebutuhan nelayan dan masyarakat pesisir. Misalnya, di Oesapa dan wilayah pesisir lainnya dibuatkan treck pengaman pantai tetapi jalur-jalur lintasan nelayan untuk menarik dan mendaratkan perahu tertutup. Kalaupun ada, jalurnya sangat sempit. Padahal, pengaman pantai yang dibutuhkan nelayan lebih pada ke pemecah gelombang yang jaraknya sekitar 200 meter ke depan,” jelas Dina.
“Jadi harapanya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah nantinya selaras dan dapat melibatkan masyarakat pesisir karena mereka yang lebih tahu dan merasakan dampak perubahan iklim ini,” tutup Dina.