Menyeruput Kopi Toraja di Yogyakarta

0

Yogyakarta, Ekorantt.com – Beberapa waktu lalu, EKORA NTT sempat berkunjung ke salah satu kedai kopi di Jalan Cempaka, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Salah seorang sahabat EKORA NTT, Kanis namanya, telah menunggu duluan di situ. Kata dia, yang notabene merupakan seorang penikmat dan pemburu kopi, keistimewaan kopi di tempat tersebut patutlah dicoba.

Nama kedai itu Cornel Coffee. Meskipun kedengarannya a la western, tempat ini sebetulnya dimiliki oleh orang Indonesia. Lebih tepatnya, wiraswastawan dari Toraja, Sulawesi Selatan.

Tentu saja kopi-kopi yang dijual di situ berasal dari tanah Toraja. Ada beberapa jenis yang sempat dicatat EKORA NTT; Pulu Pulu, Rante Uma, Sapan, dan jenis Toraja Spice.

Kami memesan jenis Pulu Pulu sebagaimana direkomendasikan salah seorang pramusaji. “Ini yang paling sering dicari, Mas. Rasanya juga mantap,” begitu sarannya.

Sepuluh menit berselang, kopi tadi pun dihidangkan. Pembuatannya memang memakan waktu cukup lama, sebab biji kopi mentah mesti disangrai terlebih dahulu kemudian digiling dan selanjutnya diseduh dengan air panas bertakaran didih tertentu. Peralatan/mesin kopi tersedia lengkap.

Rasa kopi (tanpa gula) ini tak terlalu masam ataupun pahit. Taraf manisnya pun tak mencolok. Namun, itu sepertinya bukan manis. Entahlah, deskripsi apa yang lebih tepat mewakili. Sebuah hal yang tak mengherankan karena kopi Pulu Pulu sendiri berjenis Arabika yang secara umum punya aroma dan cita rasa yang kaya.

Desain interior Cornel Coffee, Yogyakarta.

Desain interior Cornel Coffee juga ditata untuk berikan kenyamanan bagi para pengunjungnya. Areanya luas dengan tempat duduk yang berjarak. Selain untuk ngobrol/diskusi/pertemuan, pengunjung juga dapat mengerjakan tugas-tugas pribadi.

Ada juga rak-rak yang menyediakan bermacam buku bagus. Pada kesempatan itu, Kanis mencomot salah satu buku tetratologi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Untuk dibacanya sembari menikmati kopi hitam dan mengeja malam yang dingin.

Selain itu, sebuah layar LCD ditempatkan pada dinding dan mempertontonkan slide visual situasi perkebunan kopi di Toraja. Sebuah perkebunan yang memasok kopi-kopi untuk Cornel Coffee.

Menyaksikan gambar-gambar itu, penikmat kopi rasa-rasanya dihantar melawati peristiwa pengolahan juga kehidupan para petani kopi. Kemungkinan besar, pemilik tempat itu sengaja membikin tatanan termaktub demi ciptakan kondisi intens dalam diri orang-orang yang berkunjung. Dari kopi sebagai minuman di atas meja hingga kopi sebagai tanaman di kebun-kebun Toraja.

Usai menyeruput kopi di situ, kami pun pulang. Dan kami baru sadar, unsur Toraja di tempat itu semakin komprehensif saja tersebab variasi luaran kedai yang dibuat menyerupai rumah adat Toraja, yakni Tongkonan. Ketika menengok, kita langsung tahu bahwa tempat itu sangat kental dengan nuansa Toraja-nya.

Begitulah secuplik pengalaman EKORA NTT menikmati kopi Toraja di Kota Yogyakarta. Tempat ini tak hanya sekadar medium minum kopi, tapi juga punya karakter tersendiri. Mungkin berupa laku napak tilas bagi orang-orang Toraja pun Sulawesi Selatan, kesempatan bersantai bagi siapa saja untuk mengambil jarak dari keriuhan kota ataupun jadi ruang untuk mewujudkan ide-ide dalam kepala.

Curhat Sarwendah ketika Dipanggil “Bunda” oleh Betrand Peto

0

Jakarta, Ekorantt.com –  Betrand Peto (13) telah diangkat sebagai anak sulung Ruben Onsu dan Sarwendah Tan. Remaja asal Manggarai-NTT ini melengkapi kebahagian keluarga kecil dua pasutri artis papan atas Indonesia ini.

Betrand dengan sendirinya menjadi kakak bagi Thalia Putri Onsu dan Thania Putri Onsu, dua putri kandung Ruben-Sarwendah.

Dalam banyak kesempatan, Ruben mengungkapkan banyak hal tentang kebahagiaan yang dialami keluarga kecil mereka bersama si sulung Bertrand.

Kakak Jordi Onsu ini menceritakan pengalaman libur bersama, makan bersama dan foto keluarga bersama yang rutin dilakukan di sela-sela kesibukannya sebagai artis.

Menariknya juga, Ruben tak sungkan-sungkan meminta Betrand untuk memanggilnya dengan panggilan “Ayah”. Demikian juga, Sarwendah dipanggil “Bunda” oleh Betrand.

Sarwendah punya perasaan yang berbeda ketika pertama kali dipanggil dipanggil “Bunda” oleh Betrand. Perasaan itu ia tulis di dinding akun facebooknya.

“Meski kamu bukan lahir dari rahimku tapi aku merasa kamu lahir dari rahimku, karena aku dan keluarga sangat amat menyayangimu, pertama kali kamu memelukku dan memanggil bunda kepadaku disaat itulah aku bertanggung jawab atas kepercayaan Tuhan untuk menjaga dan mengurusmu untuk menjadi orang yang sukses,” tulis Sarwendah.

Sarwendah merasa bahwa dirinya punya tanggung jawab dan ia juga mengingatkan Betrand untuk menghormati orang tua kandungnya.

“Tidak lupa untuk menghormati orang tua kandungmu sendiri, ingat dimana kamu dibesarkan, buat mereka bangga memiliki kamu ya putra pertamaku. Tugasku dan suamiku hanya meneruskan saja,” tulisnya lagi.

“Jadilah terang untuk sekelilingmu, ayah bunda akan selalu ada dalam setiap langkahmu,” tutup Sarwendah.

Apa yang ditulis Sarwendah sungguh-sungguh mewujud dalam setiap momen kemesraan antara dirinya dan putera angkatnya Betrand.

Sarwendah selalu mengajak Betrand untuk liburan bersama, pergi ke salon perawatan bersama, terlibat dalam program TV bersama dan  mendampingi Betrand ketika mengikuti les piano.

Nama Betrand memang mulai menjadi perbincangan publik ketika video lagu `Ayah` dari Ebit G Ade yang dinyanyikannya beredar luas di dunia maya. Ia diundang pada acara  Brownis di  TRANS TV.

Ruben Onsu yang merupakan salah satu presenter dalam acara hiburan ini jatuh hati. Ruben mengajaknya untuk bekerjasama dan akhirnya merilis single “Sahabat Kecil”.

Tidak sampai di situ, Ruben kemudian mengangkat Betrand sebagai putera sulungnya.

Sejumput Asa Mama-Mama Penganyam di Desa Suelain-Rote

Rote, Ekorantt.com – Charolina Tassy (55) tersenyum bangga. Ia seringkali tertawa bahagia saat mengikuti pelatihan menganyam di balai Desa Suelain, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao, 14 Agustus 2019 lalu.

Pelatihan menganyam ini digagas dan diselenggarakan oleh mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) STPM Santa Ursula Ende bersama PT. Karya Du’anyam. Ini adalah bagian dari gerakan pemberdayaan perempuan dan inovasi desa.

Mama Charolina, demikian ia disapa, adalah salah satu penganyam di Desa Suelain. Keterampilan menganyam tak ia dapatkan dari pendidikan formal.

Sebagaimana perempuan NTT pada umumnya, Mama Charolina sudah bisa menganyam sejak masih muda. Dipelajarinya dari orang tua dan lingkungan sekitar. Selebihnya belajar sendiri.

Menganyam memang menjadi salah satu warisan berharga dalam kebudayaan masyarakat NTT dan jari-jari wanita paruh baya ini mahir untuk menghasilkan produk-produk anyaman unik.

Namun aktivitas menganyam hanyalah kerja rumahan bagi Mama Charolina dan mama-mama yang lain di Pulau Rote. Produk yang dihasilkan hanya digunakan di rumah.

“Memang selama ini katong  hanya anyam untuk pakai di rumah saja,” tutur Mama Charolina.

Bahkan, beberapa waktu belakangan, Mama Charolina sudah tak bersemangat untuk menganyam lagi. Selain pesatnya kemajuan teknologi, produk anyaman selalu terkendala dengan masalah pasar.

“Selama ini katong sonde pernah jual anyaman. Nah kalau mau jual, mau jual di mana? Nah karena sonde ada yang mau beli, katong malas untuk anyam,” keluh Mama Charolina.

Semangatnya kembali bangkit dengan adanya pelatihan ini. Kendala pasar yang jadi persoalan klasik juga menemui titik terang. Du’anyam siap mewadahi pasar bagi produk-produk yang dihasilkan.

Lain halnya dengan Tarce Victoria Theodorus (23). Pemuda Suelain ini tak tahu bagaimana cara menganyam sebab ia tak pernah belajar.

“Terus terang, selama ini memang beta tidak pernah tahu, dan belum perna belajar. Beta berharap ke teman-teman lain, biar dong boleh ikut supaya ini budaya katong punya tidak hilang,” ujar Tarce.

Tarce tak bisa menyembunyikan rasa bangganya. Ia baru sadar bahwa banyak potensi yang ada di desanya, termasuk warisan menganyam.

Dan tidak sulit untuk mendapatkan gurunya. Mama-mama di Desa punya segudang keterampilan yang bisa dibagikan kepada anak-anak muda.

“Semoga melalui kegiatan hari ini, pemerintah juga bisa kasih kesempatan ke katong untuk  latihan seperti ini. Apalagi yang latih ini bukan orang lain. Ini katong pu mama-mama sendiri. Pokoknya katong harus belajar,” pungkas Tarce.

Kerja Pemberdayaan

Bukan sekadar bagian dari kegiatan KKN, Koordinator KKN di Desa Suelain, Fidelis Dari menjelaskan, pelatihan menganyam merupakan pintu menuju gerakan pemberdayaan perempuan dan menjadi sarana literasi kebudayaan.

“Mengingat budaya menganyam di kalangan ibu-ibu di Nusa Tenggara Timur hampir sirna ditelan  kemajuan zaman,” kata Fidel.

Fidel berharap, kegiatan ini mampu memotivasi kaum muda dan pemerintahan desa untuk terus melestarikan budaya menganyam.

Diakuinya, menganyam bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk menjawab persoalan yang dihadapi ibu-ibu, dan melalui kegiatan ini, “Kaum ibu semakin dekat dengan akses pasar karena pemberdayaan  perempuan  tanpa  akses  pasar  juga  bisa  menimbulkan  masalah baru”.

Fidel menuturkan, pelatihan menganyam berawal dari gagasan  PT. Karya Du’anyam  yang bekerja sama dengan STPM. Tujuannya, untuk mendorong gerakan pemberdayaan perempuan melalui kewirausahaan sosial.

“Ibarat jembatan, kami mendekatkan ibu-ibu dengan PT. Karya Du’anyam. Hasil produksi ini dan keberlanjutannya akan ditindaklanjuti PT. Karya Du’anyam,” kata Fidel.

Tugas mahasiswa KKN, lanjut Fidel, adalah mendorong partisipasi ibu-ibu penganyam untuk mengenal potensi dan memfasilitasi mereka untuk mengenal akses pasar.

“Kita akui banyak produksi anyaman yang dihasilkan belum diekspos.  Padahal produknya bernilai ekonomis yang sarat akan nilai historis,” tutur Fidel.

Pihak Desa Suelain menyambut positif  inisiatif PT Karya Du’anyam dan mahasiswa STPM Santa Ursula Ende dalam memberdayakan masyarakat pedesaan.

Kepala Desa Suelain, Jonathan Dillak sangat antusias dan mengajak semua pihak untuk bergotong royong mewujudkan kesejahteraan mama-mama penganyam di Desa Suelain.

“Tentunya sebagai pemerintah desa, kami menyambut baik gerakan menganyam. Hal ini merupakan salah satu terobosan inovasi desa. Luar biasa,” kata Kades Dillak.

“Saya berharap agar ibu-ibu yang hadir ini juga mampu mengajak ibu-ibu lain untuk sama-sama memulai, apalagi yang muda-muda,” tambahnya. 

Kades Dillak juga mengajak anak-anak muda untuk terlibat dalam kegiatan menganyam. Penting untuk meneruskan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Apalagi, ujar Kades Dillak, keterampilan menganyam memiliki efek ekonomis yang menjanjikan. Di samping nilai-nilai budaya yang luhur, ada juga rezeki yang bisa didapatkan.

“Saya berharap orang tua dong juga bisa mengarahkan anak anak mereka untuk belajar menganyam,” tutup Kades Dillak.

SMAK St. Maria Monte Carmelo Terima Izin Operasional

Maumere, EKORA NTT – Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK) St. Maria Monte Carmelo Wairklau, Maumere telah menerima izin operasional dari Dirjen Bimas Katolik Kementerian Agama RI. Penyerahan izin operasional tersebut dilakukan oleh Fransiskus Adi, Kepala Bidang Pendidikan Katolik Kemenag NTT mewakili Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTT. Surat izin operasional tersebut memberi legitimasi bagi seluruh aktivitas belajar-mengajar di sekolah tersebut.

Penyerahan surat izin operasional tersebut terjadi pada Senin 19/7/2019, diawali dengan perayaan ekaristi yang dipimpin oleh Romo Vikjen Keuskupan Maumere, Rm. Telesforus Jenti, O.Carm, didampingi oleh Ketua Yayasan Santa Maria Karmel, Rm Karolus Sola O.Carm, Kepala Sekolah SMAK St. Maria Monte Carmelo Rm. Benediktus Bani, O.Carm, Komisaris Ordo Karmel Indonesia Timur, Rm Stef Buyung, O.Carm dan Prior Biara Karmel Wairklau Rm. Leo Jawa, O.Carm. Penyerahan izin operasional berlangsung saat misa, sesudah komuni.

Hadir juga dalam acara tersebut Kepala Kantor Agama Kabupaten Sikka, Anis Ngga Rua, Kepala Seksi Pendidikan Katolik Crencentia Reo dan staf Kementerian Agama Sikka jugapara romo, frater, murid, orang tua murid, guru dan tokoh masyarakat sekitar.

Dalam laporannya, Rm. Beni Bani, selaku Kepala Sekolah menyampaikan rasa syukurnya karena sekolah ini sudah memiliki izin operasional. Izin tersebut meyakinkan seluruh warga sekolah, orang tua murid, dan masyarakat luas bahwa sekolah ini sudah bisa beroperasi sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

“Surat Izin Operasional yang diterima hari ini menjadi tanda bahwa sekolah ini telah memiliki legalitas dalam menyelenggarakan proses pendidikan. Orang tua murid dan masyarakat Maumere umumnya tidak perlu ragu lagi untuk menyekolahkan anak-anak di sekolah ini”, demikian terang Romo Beni.

Rm. Beni juga melaporkan bahwa angkatan perdana pada sekolah tersebut terdiri dari 51 orang siswa/i, 10 orang guru awam dan 7 orang pastor pengajar.

Ketua Yayasan Santa Maria Karmel menyampaikan soal arah dasar yayasan tersebut dan prosedur standar operasional yang harus dijalankan di semua sekolah Karmel sesuai dengan rencana induk pengembangan yayasan. Pedoman operasional tersebut sangat menentukan mutu pelayanan pendidikan yang dilakukan oleh yayasan.

Bapak Frans Adi, Kepala Seksi Pendidikan Keagamaan Katolik Kantor Agama Propinsi NTT menyampaikan proficiat atas terbitnya izin operasional bagi SMAK St. Maria Monte Carmelo. Dengan adanya izin tersebut, kerja sama antara pemerintah dalam hal ini Dirjen Bimas Katolik dengan lembaga pendidikan ini dapat berjalan dengan baik. Beliau pun menyampaikan pihak Dirjen Bimas Katolik maupun Kementerian Agama akan segera memproses lebih lanjut hal-hal yang dibutuhkan untuk pengembangan akreditasi sekolah.

Ketika dikonfirmasi oleh EKORA NTT, Romo Beni Bani memberi beberapa penjelasan tambahan mengenai penyelenggaraan pendidikan di sekolah tersebut. 

“Harus dipahami sejak awal bahwa sekolah ini bukan sekolah untuk menjadi guru Agama Katolik melainkan sekolah yang setara dengan SMA umum lainnya. Hanya saja porsi untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik ditambah. Dalam 1 minggu ada 10 jam untuk 5 mata pelajaran yaitu Kitab Suci, Doktrin Iman Katolik, Sejarah Gereja, Liturgi, Pastoral dan Katekese. Sesudah tamat dari sekolah ini, para murid bisa melanjutkan kuliah di mana saja”, terang Romo Beni. 

Lebih jauh Romo Beni menjelaskan, penyelenggaraan pendidikan di SMAK St. Maria Monte Carmelo mengacu pada kurikulum 2013, yang berlaku umum dalam sistem pendidikan di Indonesia. Salah satu kekhasan sekolah ini adalah ia menerapkan pola asrama yang menerima murid baik laki-laki maupun perempuan.

“Penerapan pola asrama ini didasari oleh juknis dari Kementerian Agama. Ada juknis khusus untuk pembinaan asrama. Asrama Putera akan dikelola oleh Karmel sedangkan Asrama Puteri dikelola oleh Susteran SCMM. Karmel dan SCMM hanya mengelola. Program dalam asrama akan tetap terintegrasi dengan kurikulum sekolah. Dasarnya adalah demi penguatan penghayatan iman Katolik. Semua murid wajib tinggal di asrama. Tetapi karena fasilitas asrama masih terbatas maka ada murid yg masih tinggal di luar asrama bersama orang tua.”

SMAK St. Maria Monte Carmelo memiliki sasaran khusus dalam membentuk profil peserta didik. Sasaran formasi sekolah ini antara lain mencetak (1) pribadi beriman yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang iman dan tradisi Katolik serta mampu menghayatinya dalam masyarakat, (2) memiliki keterampilan untuk menjadi rasul awam/pelayan awam di tengah masyarakat, (3) memiliki karakter/kepribadian baik dalam nuansa iman Katolik berbalut 3 nilai/spiritualitas Karmel: doa, pelayanan, persaudaraan, (4) menjadi pribadi yang terbuka, humanis, dan toleran terhadap sesama manusia. 

“Untuk mencapai sasaran tersebut, kami menciptakan ekosistem sekolah yang disiplin dan juga penghayatan spiritualitas Karmel yang kuat, yaitu guru dan murid yang berdoa, bersaudara, dan saling melayani. Kegiatan operasional yang agak khas dengan hal spiritual misalnya brevir bersama guru murid setiap pagi, literasi kitab suci setiap Jumat dan misa komunitas setiap Sabtu”, demikian Romo Beni menjelaskan.

Caci di Hari Kemerdekaan dan Ironi Pembangunan

0

Borong, Ekorantt.com – Sejak pagi (17/8/2019), suasana di lapangan sepak bola SMAK St. Arnoldus Mukun, Desa Golo Meni terlihat riuh. Warga masyarakat dari segala lapisan usia berbondong-bondong menuju tempat tersebut. Menurut kabar, tepat pukul 09.30, pergelaran caci -tarian adat masyarakat Manggarai- akan dihelat di situ.

Beberapa sekolah di wilayah Desa Golo Meni telah menyiapkan satu pentas budaya yang menarik, dengan caci sebagai sajian utamanya. SMPN Satap Pedak, SMPN Satap Watu Mundung, dan SMP Katolik Pancasila Mukun adalah sekolah-sekolah yang sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk acara tersebut. Selain untuk merayakan kemerdekaan Indonesia, hari itu sekaligus menjadi momen unjuk gengsi antar sekolah.

Kian terik hari, kian dekat waktu pergelaran caci dimulai. Lapangan kian padat dengan warga masyarakat yang hendak menonton. Mereka terlihat begitu antusias. Masing-masing memilih dan memprediksi jagoannya. Antusiasme mereka juga diakibatkan oleh jarang ada kesempatan bagi mereka untuk berkumpul dan menyaksikan perhelatan besar seperti ini.

Suasana lapangan menjadi semakin riuh meriah ketika rombongan ronda tarian caci dari ketiga sekolah tersebut memasuki arena caci. Dari suara mereka terdengar nyanyian kelong. Nyanyian itu tak lagi asing bagi telinga sebagian besar masyarakat desa. Lagu kelong adalah lagu khas yang biasa dinyanyikan oleh para penari caci pada saat memasuki arena. 

Para penari caci terlihat elok dan mempesona. Mereka mengenakan busana yang memperlihatkan khasanah kekayaan dan karakter fashion adat Manggarai. Songke, balibelo, selendang, dan panggal menjadi atribut-atribut tradisional yang secara langsung dapat terlihat melekat indah di tubuh para penari.

Songke dipakai oleh para penari dari pinggang hingga sebatas lutut, membalut celana panjang putih yang lebih dahulu dikenakan. Bersama songke, ada juga selendang leros yang dililit di sekitar pinggang, membungkus celana putih. Ndeki dikenakan di bagian belakang tubuh, menutupi bagian bawah punggung hingga tulang ekor. Ia berbentuk serupa ekor kerbau atau komodo. Nyaris tak ada beda.

Para penari mengenakan panggal di bagian kepala. Ia  berbentuk seperti kepala kerbau lengkap dengan tanduknya, terbuat dari kulit kerbau yang keras. Kain warna-warni dililitkan di beberapa bagian panggal, menjadi ornamen yang menghiasinya. Panggal dikenakan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan sapu atau destar. Ia berfungsi melindungi luka lecet di sekitar wajah. 

Tubuh mereka dibiarkan telanjang. Sinar mentari yang menyentuh keringat para penari, membuat tubuh mereka seolah bercahaya. Pada bagian itulah partner tari akan mengarahkan serangannya. Semakin telanjang tubuh itu dibiarkan telanjang dan kuat menghadapi serangan, semakin perkasa sang penari di mata warga, para penonton.

Musik dari tetabuhan gendang, gong, tembong, dan kidung adat semakin memperkuat tampilan visual para penari caci. Berpadu dengan riuh suara penonton, suara-suara itu membangkitkan aura mistis yang akrab dan dekat, membakar suasana, dan mengalahkan panas matahari, membuat penonton enggan beranjak.

Sebelum caci dimulai, sesepuh adat meminta para penari lainnya menarikan danding atau tandak Manggarai. Tarian tersebut dibawakan laki-laki dan perempuan. Tarian itu telah disiapkan khusus untuk memeriahkan pergelaran caci. 

Ada dua kelompok penari. Masing-masing kelompok mengutus satu orang untuk saling berhadapan. Yang satu berperan sebagai pemukul (paki) dan yang lain berperan sebagai penangkis (ta’ang). Keduanya akan bertukar peran setelah kurun waktu tertentu.

Sebelum matahari sejajar dengan ubun-ubun kepala, kedua penari mulai meliuk-liukan badannya. Masing-masing kelompok turut menyemangati jagoannya. Gong dan gendang yang dipukul dari luar lapangan kian riuh membahana, beradu dengan suara penonton. Musik juga terdengar dari tubuh para penari. Mereka melantunkan syair dari mulut mereka, diiringi ritme hentakan kaki yang turut membunyikan lelonceng kecil-kecil (nggorong)  yang melingkar di atas mata kaki. 

Paki mulai beraksi. Ia berusaha menyerang lawan dengan sebua pecut yang lentur tetapi keras. Pecut itu terbuat dari kulit kerbau yang sudah  dikeringkan. Di bagian pegangan pecut tersebut, ada beberapa lilitan kulit kerbau. Sedangkan di ujungnya, terpasang kulit kerbau tipis yang sudah kering dan keras, atau biasa disebut lempa, yang menjadi mata senjata tersebut.

Paki mulai menari-nari sembari mendendangkan larik (embong larik), sejenis strategi meninabobokan lawan. Pada saat tertentu yang dirasa tepat, ia mengayunkan pecut, mengincar bagian-bagian tubuh yang terbuka dari lawan tarinya.

Laki-laki yang berperan sebagai penangkis (ta’ang) berusaha menangkis serangan-serangan paki dengan sebuah perisai. Perisai itu disebut nggiling. Perisai ini pun terbuat dari kulit kerbau yang sudah dikeringkan.  Nggiling berbentuk bundar dipegang dengan satu tangan. Sementara sebelah tangan lain memegang busur penangkis. Busur penangkis itu terbuat dari bambu, disebut agang atau tereng.

Caci berlangsung semarak. Meski masih remaja, para penari berhasil menampilkan karakter ketangkasan laki-laki Manggarai. Kedua penari menarikan perannya masing-masing, saling berganti menjadi paki dan ta’ang. Menyerang dan bertahan pada gilirannya masing-masing.

Penonton bersorak. Antusiasme di wajah mereka tidak dapat disembunyikan. Mereka menikmati pergelaran itu. Menikmati tubuh-tubuh penari yang berkeringat. Menikmati penetrasi dan usaha bertahan, jeda dan gerakan-gerakan lincah dari para penari. Pergelaran ini jadi hiburan yang sungguh menggembirakan. Selain tentu, menjadi peristiwa kebudayaan yang kaya makna.

Kepala Desa Golo Meni, Hermenigildus Jehadut merasa puas. Idenya menggelar caci dalam perayaan ulang tahun ke-74 kemerdekaan Indonesia sukses dieksekusi. Sejak awal ia memang punya visi menjaga dan terus merawat kekayaan budaya Manggarai. Pergelaran caci di hari kemerdekaan ini adalah salah satu wujudnya. 

Jehadut sadar, secara tradisional, selama ini tarian caci hanya dibawakan oleh orang dewasa. Dalam pergelaran kali ini, ia membuat sesuatu yang berbeda. Ia mengundang siswa-siswa sekolah menengah pertama. Alasannya jelas. Ia ingin agar generasi muda belajar dan terus mencintai serta menghargai budaya caci dengan baik.

“Generasi muda jangan melihat tarian caci sebagai hal yang biasa-biasa saja. Mereka perlu jaga dan lestarikan caci dengan baik. Adanya pergelaran caci seperti ini mungkin bisa menggugah hati generasi muda untuk lebih mengenal dan lebih tau makna dan filosofi budaya  caci“, ungkapnya.

Wajah Maria Anita Jau, salah satu warga penonton tampak berbinar. Ia tak hanya kagum dengan pergelaran caci yang digelar. Ia optimis dengan visi pengembangan kebudayaan yang digagas kepala desa.

“Melestarikan budaya sendiri merupakan suatu bentuk kecintaan warga terhadap daerah dan tanah para leluhur. Para leluhur telah mengorbankan segalanya untuk mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan ciri serta kekhasannya. Tidak perlu menjadi diri yang lain jika semuanya hanya imitasi. Karena budayamu sendiri asli adanya”, ungkap Jau.

Ide Jehadut mungkin terdengar sepele. Harapan Jau boleh jadi sedikit menopangnya. Meski demikian, keduanya memberi perspektif yang tidak biasa dalam melihat pembangunan. Ketika developmentalisme menguasai paradigma pembangunan dan capaian-capaian pembangunan diukur hanya dengan segala sesuatu yang terlihat (visual) layaknya monumen-monumen yang kian marak dibangun di daerah-daerah, keduanya berusaha membuktikan bahwa nilai, budaya, dan karakter manusia adalah juga subjek-subjek pembangunan yang perlu mendapat perhatian, meski progresinya kerap tak terlihat.

(Mulia Donan)

Setelah Larantuka, “Multitude of Peer Gynts” Dipentaskan di Tokyo

0

Yogyakarta, Ekorantt.com – Setelah dipentaskan di Kota Larantuka, Flores Timur bulan Juni-Juli lalu, tahap kedua “Multitude of Peer Gynts”, proyek kolaborasi teater kontemporer inter-Asia yang dirintis dan diproduseri oleh Teater Garasi, akan diberlangsungkan di Tokyo pada tanggal 23 Agustus – 6 September 2019.

Dalam tahap kedua ini, selama 2 minggu, seniman-seniman Teater Garasi akan kembali bertemu dan berkolaborasi secara intens dengan seniman-seniman kolaborator inti proyek ini dari Jepang, Sri Lanka dan Vietnam, untuk menciptakan pertunjukan teater yang akan diberi judul “Peer Gynts – Asylum’s Dreams”.

Pertunjukan hasil kolaborasi ini akan dipentaskan sebagai karya sedang tumbuh (work-in-progress) di hadapan penonton/undangan terbatas di Morishita Studio, Tokyo, pada tanggal 6 September 2019.

Multitude of Peer Gynts adalah proyek kolaborasi teater kontemporer inter-Asia, yang dirintis dan dirancang oleh Yudi Ahmad Tajudin (sutradara, produser) dan Ugoran Prasad (dramaturg, produser) dari Teater Garasi.

Proses kolaborasi ini juga berintikan 5 seniman ternama dari Asia: Takao Kawaguchi (performance artist-penari-koreografer), Yasuhiro Morinaga (seniman bunyi-komponis) dan Micari (aktris) dari Jepang, Venuri Perera (koreografer-penari) dari Sri Lanka, dan Nguyen Manh Hung (perupa) dari Vietnam.

Seniman-seniman Teater Garasi lain yang terlibat dalam proyek kolaborasi ini adalah Arsita Iswardhani, Gunawan Maryanto, Ignatius Sugiarto dan MN Qomaruddin.

Setelah Tokyo, “Peer Gynts – Asylum’s Dreams” akan dimatangkan lagi dalam workshop tahap ketiga yang akan berlangsung di Kota Shizuoka, pada 16 Oktober sampai 4 November 2019, yang melibatkan tak hanya seniman-seniman kolaborator inti proyek ini tetapi juga aktor/aktris dan seniman-seniman lain dari Shizuoka Performing Arts Center (SPAC).  

Hasil dari workshop terakhir di tahun 2019 ini adalah versi pertunjukan yang lebih lengkap, yang juga menggabungkan versi Larantuka dan Tokyo, yang akan dipentaskan selama 2 minggu dari tanggal 5 sampai 19 November 2019, di hadapan publik umum dan pelajar sekolah menengah di Shizuoka.  

Utang Pelanggan PDAM Tirta Kelimutu Capai 7,2 Miliar Rupiah

0

Ende, Ekorantt.com – Hingga Agustus 2019, utang pelanggan PDAM Tirta Kelimutu mencapai Rp7,2 miliar. Perincian tunggakannya yakni sebesar Rp4,7 miliar dari pelanggan aktif dan Rp2,5 miliar dari pelanggan pasif yang meterannya telah disegel.

“Kami terus melakukan berbagai upaya agar masyarakat terlayani dengan baik. Namun diharapkan kewajiban pelanggan harus ditegakan,” kaya Kepala Bagian Umum dan Pelayanan PDAM Tirta Kelimutu-Ende, Donata M. A Ladapase saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, Rabu (21/08/2019).

Terkait keluhan PDAM Tirta Kelimutu merugi, Donata menjelaskan, faktor penyebabnya adalah ketidakseimbangan antara pemasukan dan biaya operasional.

Donata menambahkan, secara teknis PDAM Ende memiliki empat sumber mata air untuk memenuhi kebutuhan 11.660 pelanggan dalam kota Ende. Jumlah ini belum termasuk 1.745 pelanggan pasif yang telah disegel karena keterlambatan pembayaran.

Empat sumber mata air itu antara lain, Mata Air woloare, Mata Air Aepana, Mata Air Aekipa dan Mara Air Kali Wolowona. Khusus mata air Kali Wolowona, sistem distribusinya menggunakan kekuatan mesin listrik. Karena itu distribusinya sangat bergantung pada kondisi listrik PLN.

Menurutnya, kondisi teknis PDAM dengan dua WTP (Water Tripment Plan) yang beroperasi 18 jam setiap hari dengan kapasitas menghasilkan air bersih 40 liter/detik dan 45 liter/detik sesungguhnya sangat produktif menyediakan air bersih.

Meski begitu, kendala yang dihadapi pihak PDAM adalah kondisi perpipaan yang perlu diremajakan. Selain itu, gangguan pipa distribusi akibat berbagai proyek renovasi jalan dalam kota. Kendala lainnya adalah kebocoran air akibat ulah manusia.

“Untuk kebocoran air kami masih lakukan identifikasi,” ujar Donata di ruang kerjanya, Rabu (21/08/2019)   

Sementara Plt Direktur PDAM Ende, Cosmas Nyo menjelaskan, pengaduan pelanggan terhadap PDAM Tirta Kelimutu masih tinggi selama ini. Hal inimenunjukkan pelayanan Tirta Kelimutu harus ditingkatkan lagi.

Hal ini disampaikannya pada acara temu pisah dengan dua karyawan PDAM Tirta Kelimutu yang memasuki pensiun pekan lalu.

Menurut Cosmas Nyo, PDAM mesti berbenah dan melakukan pelayanan prima dengan memperlancar ketersediaan pasokan air, pembenahan/peremajaan instalasi perpipaan dan memperkuat manajemen pengelolaan sumber daya manusia di internal PDAM Tirta Kelimutu.

“Kita ini mesti siap 24 jam dan harus memberikan pelayanan prima,” ungkap Asisten II setda Ende ini.

Warga pengguna Air dalam Kota Ende yang tidak mau namannya dikorankan meminta pihak PDAM agar melakukan sosialisasi yang intens kepada pelanggan tentang pengelolaan air oleh PDAM Tirta Kelimutu.

“Kita minta mereka (PDAM) lakukan sosialisasi pemanfaatan air yang efisien oleh pelanggan agar terjadi pemerataan. Kita kan tahu air Wolowona bisa sampai ke rumah-rumah butuh mesin. Jadi penting sosialisasi itu, gunakan momen Hari Air Sedunia untuk sosialisasi itu,” tegasnya.

Data yang dihimpun Ekora NTT, PDAM Tirta Kelimutu selain melayani pelanggan dalam kota Ende, juga memiliki 6 unit pelayanan di wilayah kecamatan antara lain Unit Pelayanan  Watuneso, Wolowaru, Detusoko-Moni, Nangaba, Maurole dan Unit Nangapanda.

Kontroversi Ceramah UAS, Pendeta di Flores: Mari Saling Memaafkan!

0

Kontroversi ceramah Ustadz Abdul Somad memancing tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh agama kristiani. Pendeta di Flores, NTT, mengimbau umat kristiani dan para pihak yang terlibat dalam kontroversi itu saling memaafkan.

Maumere, Ekorantt.com – Ketua Majelis Jemaat GMIT Kalvari Maumere Pendeta Paulina Koy Adu, S.Th ketika disambangi EKORA NTT di Kediamannya di Kota Baru Maumere, Rabu (21/82019) mengatakan, dakwah Ustadz Abdul Somad (UAS) dilaksanakan di Masjid di kalangan umat Islam. Dakwah tersebut tidak ditujukan ke dan dilaksanakan di muka umum.

Oleh karena itu, menurutnya, yang harus dibina adalah pengunggah video tersebut. Sebab, dia telah menyebarkan hal-hal yang mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Jebolan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang ini mengimbau umat GMIT Kalvari Maumere tetap tenang menyikapi situasi ini. Menurut dia, kalau ada orang yang berniat menyampaikan hal yang tidak benar, ia akan berhadapan dengan Tuhan.

Menurut Pendeta Paulina, Tuhan mengajarkan kita mendoakan orang lain yang bersalah terhadap kita. Kita harus betul-betul mendengar suara Tuhan.

“Apalah artinya kita selalu berdoa Bapak Kami, tetapi pintu pengampunan tidak dibuka? Dan apa yang kita dapatkan dari tuntutan kita kalau UAS dipenjarakan?” katanya.

Pendeta Gereja Pentekosta Pusat Surabaya (GPPS) Maranatha Maumere Paulus Gowa Mithe

Sementara itu, Pendeta Gereja Pentekosta Pusat Surabaya (GPPS) Maranatha Maumere Paulus Gowa Mithe kepada EKORA NTT di kediamannya di Kampung Beru Maumere, Rabu (21/8/2019) menyayangkan ceramah UAS yang dinilainya dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

Menurut dia, sebagai orang yang berpendidikan dan figur publik, UAS seharusnya tidak menjawab pertanyaan tentang doktrin iman dengan cara seperti itu.

“Salib bukan miliknya. Milik orang Kristen. Jawabannya harus bijak dan santun. Kalau tidak mengetahui nilai sakral dari agama lain tidak perlu menjawab pertanyaan yang ujung-ujungnya mencederai hati umat Kristen,” tandas Paulus.

Pendeta Paulus mengatakan, di era keterbukaan ini, segala sesuatu yang disampaikan, baik perkataan santun maupun perkataan buruk, akan dengan mudah diketahui publik. Mau atau tidak mau, sadar atau tidak sadar, kitab suci suatu agama terbuka untuk diselidiki dan dibaca oleh umat agama lain.

“Sehingga pemahaman mereka terpenggal dan tidak utuh. Dengan peristiwa ini, iman kita sedang diuji. Namun, umat Kristen harus berpikir panjang bahwa demi keutuhan NKRI dan hubungan persaudaraan yang selama ini terjalin baik tidak tercabik-cabik, saya harapkan umat Kristen tidak terprovokasi. Mari kita saling memaafkan,” pinta Paulus.

Paulus menegaskan, pemimpin umat harus mengetahui nilai-nilai sakral agama lain. Dengan demikian, ketika berdakwah, dia mempunyai pemahaman yang utuh tentang agama lain.

“Tetapi Tuhan mengajarkan kepada umat manusia untuk saling mengampuni. Dosanya kita benci, tetapi manusianya kita ampuni,” ujar Pendeta Paulus.

Paulus menganjurkan, Kementerian Agama dan para pemuka agama di Kabupaten Sikka selalu turun ke kecamatan-kecamatan untuk mensosialisasikan nilai sakral agama masing-masing. Dengan demikian, para pemuka agama dan umatnya tahu tentang isi ajaran masing-masing.

“Jelas ada perbedaan. Dan kita tidak bisa menterjemahkan nilai-nilai sakral agama lain menurut pendapat sendiri. Ketika kita menghargai perbedaan itu, berarti kita telah menjaga kesatuan NKRI,” kata Paulus.

Paulus menjelaskan, dalam tradisi Kristen, salib Kristus merupakan lambang pengorbanan dan wujud cinta kasih Allah. Bentuk vertikal salib menandakan hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan bentuk horizontal salib menandakan hubungan antarsesama manusia.

“Sila pertama Pancasila menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan yang satu dengan cara berbeda. Paling indah kita saling menghargai. Mari kita junjung tinggi Kebhinekaan,” beber Paulus.

Paulus minta umat kristiani menanggapi ceramah UAS dalam terang iman Kristiani. Yesus Kristus tidak pernah mengajarkan umat-Nya untuk menghina dan menjelekkan orang atau agama lain.

“Kita menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Kita perlu membangun positive thinking. Kalau setiap kita punya pandangan negatif terhadap kasus ini, berarti akan mengancam persaudaraan yang telah terjalin selama ini. Alangkah eloknya kalau peristiwa ini kita ambil hikmahnya. Lebih mendalami iman kita akan salib,” ungkap Paulus.

Yuven Fernandez

Single Baru Near “Jaga Orang Pu Jodoh” Laku Keras di Pesta di Flores

Maumere, Ekorantt.com – Lagu “jaga orang pu jodoh” pecah di pesta rakyat timur paska rilis di kanal Youtube Fenomenear beberapa waktu lalu. Lagu-lagu berjenis ini biasanya langsung dialamatkan lagu pesta oleh rakyat timur.

Apalagi kalau bukan karena beatnya yang hentak mengajak pinggul bergoyang. Pesta belum benar-benar pesta tanpa musik yang membeli gairah menari orang timur. Itu kenapa sound system menjadi hal yang diperhitungkan di dalamnya.

Lagu besutan Near, Lhc Makassar, dan Hlf yang berjudul “Jaga Orang Pu Jodoh” ini mungkin cukup membingungkan.

Pasalnya lirik yang menyayat hati agak ditutupi dengan tempo dan musik yang enak bukan maen. Iramanya mengajak orang untuk bergoyang.

Secara garis besar, lagu ini menggambarkan kisah pilu seseorang yang menghabiskan waktu lama dengan mencintai seseorang bahkan nyaris masuk minta, istilah orang NTT untuk meminta izin menikahi seorang wanita.

Namun sayang cintanya kandas, si pria hanya datang sebagai tamu pada acara pernikahan sang mantan.

“Tiap hari mama tanya kapan lae, dia tra pulang lai ew gas ke pengadilan,” ada juga yang mengaitkan lirik lagu ini dengan kasus saling gugat dua mantan kekasih di pengadilan Maumere beberapa waktu lalu.

Lagu yang hingga kini telah ditonton lebih dari 200 ribu kali ini mendapat tanggapan positif warga Youtube, “harus sedih atau bergoyang dengar lagu ini, mantap kali musiknya. Beatnya jenaka, liriknya ngenes,” tulis Anas Rosyidin.

Milenial timur tentu sangat doyan lagu-lagu seperti ini, pesan lagu yang sedih tidak membuat cengeng penikmat musik tersebut, asalkan kemampuan meramu instrument serta beat yang enak, pinggul siapa yang tak goyang dan kepala mana yang tak geleng geleng berirama.

Sebentar lagi kota Maumere akan ramai dengan pesta sambut baru dan wisuda perguruan tinggi, mari kita lihat tenda mana yang tidak terdengar “jaga orang pu jodoh” ?

Aty Kartikawati

KKN-PPM Uniflor Perkuat Literasi Desa

Ende, Ekorantt.com – Sebanyak 20 mahasiswa dari beberapa program studi di Universitas Flores-Ende mengadakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) bertajuk Literasi Desa di Desa Ngegedhawe, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo sejak 27 Juli hingga 7 September 2019.

Kegiatan KKN-PPM Literasi Desa ini memiliki fokus untuk perkuat literasi baca tulis dan literasi budaya dan kewargaaan. Hal ini didasari pada kondisi yang dialami oleh masyarakat setempat.

Adapun sejumlah kegiatan utama yang dilakukan antara lain; pembangunan rumah baca desa, pelatihan tata kelola rumah baca bagi kelompok orang muda/karang taruna, pentas budaya, perlombaan-perlombaan dan penyuluhan yang berkaitan dengan baca tulis, kebudayaan dan kewargaan. Selain itu, mahasiswa juga diajak untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang telah diprogramkan pemerintah desa.

Sebelumnya, melalui persiapan yang matang, para peserta KKN-PPM diberangkatkan akhir Juli 2019 lalu. Peserta resmi dilepas oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Flores, Dr. Wilybrodus Lanamana mewakili Rektor Universitas Flores.

Dalam sambutan upacara pelepasan ini, Lanamana menggarisbawahi dua hal yakni;

Pertama, pada tahun 2019 Universitas Flores untuk pertama kalinya menjalankan kegiatan KKN dengan skema KKN-PPM di samping kegiatan KKN regular yang selama ini telah dilaksanakan. Kegiatan KKN-PPM ini didanai oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat melalui sebuah mekanisme hibah kompetisi yang dilakukan secara nasional pada tahun 2018.

“Universitas Flores patut berbangga bersama ketiga tim KKN-PPM yang telah membuka jalan bagi KKN-PPM di tahun-tahun selanjutnya,” tutur Lanamana.

Kedua, peserta KKN-PPM diharapkan dapat menjalankan KKN-PPM Literasi Desa ini secara baik, lancar dan bertanggung jawab agar harapan masyarakat Desa Ngegedhawe, Universitas Flores dan Negara dapat tercapai.

Untuk diketahui, para mahasiswa peserta KKN-PPM ini didampingi oleh tiga dosen pendamping yakni  Agustinus F. Paskalino Dadi, Virgilius Bate Lina dan Maria Helen Carolinda Dua Mea.