Oleh
dr. Erwin Yudhistira Y. Indrarto*
Pada tanggal 17 Agustus tahun ini, rakyat Indonesia
merayakan Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke – 74. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, merdeka berarti bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya.
Namun, di bidang
kesehatan, Indonesia tampaknya masih belum dapat bebas dari masalah gizi yang
menjadi perhatian utama saat ini, yaitu stunting.
Apa yang perlu kita ketahui bersama?
Mengutip Pusat Data dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, stunting (kerdil) adalah kondisi di mana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO).
Stunting dapat terjadi sejak janin masih dalam kandungan dan baru tampak saat anak berusia dua tahun. Stunting termasuk masalah gizi kronis yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi.
Dari data WHO, Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan jumlah keseluruhan kasus (prevalensi) balita stunting tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Sedangkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia sebesar 37,2 % dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki prevalensi tertinggi sebesar 51,7%. Kemudian pada tahun 2018, prevalensi stunting di Indonesia turun menjadi 30,8%, dan di NTT juga turun menjadi 42,6%, tetapi tetap berada di posisi teratas.
Proses terjadinya stunting
dimulai bila seorang remaja yang nantinya menjadi ibu mengalami kurang gizi dan
kurang sel darah merah (anemia). Hal ini diperparah dengan asupan gizi yang
tidak mencukupi kebutuhan dan hidup di lingkungan dengan sanitasi kurang
memadai. Remaja putri di Indonesia berusia 15-19 tahun memiliki risiko kurang
energi kronis (KEK) sebesar 46,6% tahun 2013. Ketika hamil, ada 24,2% Wanita
Usia Subur (WUS) berusia 15-49 tahun dengan risiko KEK, dan anemia sebesar
37,1%. Kemudian dilihat dari asupan makanan, ibu hamil pada umumnya kurang
energi dan protein. Hasil Survei Nasional Konsumsi Makanan Individu (SKMI)
tahun 2014 menunjukkan, sebagian besar ibu hamil (di kota dan desa) bermasalah
untuk asupan makanan, baik energi dan protein.
Kondisi-kondisi di atas bila disertai dengan tinggi
badan pendek (<150 cm), berdampak pada bayi yang dilahirkan mengalami kurang
gizi, dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan juga panjang badan kurang dari
48 cm. Bayi BBLR memengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting. Setelah bayi lahir dengan kondisi tersebut, dilanjutkan
dengan rendahnya Inisiasi Menyusu Dini (IMD) memicu rendahnya menyusui
eksklusif sampai 6 bulan, dan tidak memadainya pemberian makanan pendamping ASI
(MP-ASI). Data SKMI 2014 juga menunjukkan, asupan anak > 6 bulan cenderung
mengonsumsi 95% dari kelompok serealia (karbohidrat), sedangkan kelompok
protein, buah, dan sayur masih sangat kurang.
Menurut WHO, dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak
jangka pendek dan jangka panjang.
Dampak jangka pendek mencakup terjadinya peningkatan
kejadian kesakitan dan kematian; perkembangan kognitif, motorik, dan verbal
pada anak menjadi tidak optimal; dan peningkatan biaya kesehatan.
Sedangkan dampak jangka panjang mencakup postur tubuh
yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada umumnya);
meningkatkan risiko obesitas, kencing manis, penyakit jantung dan lainnya;
menurunnya kesehatan reproduksi; kapasitas belajar dan performa yang kurang
optimal saat masa sekolah; serta produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak
optimal.
Dampak lain dari stunting
menurut Bank Dunia tahun 2016, yaitu berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi
mencapai 11% Produk Domestik Bruto (PDB), mengurangi pendapatan pekerja dewasa
hingga 20%, mengurangi 10% dari total pendapatan seumur hidup, dan meningkatkan
kemiskinan antargenerasi.
Untuk mencegah dan mengurangi prevalensi stunting, pemerintah Indonesia telah
membuat kerangka intervensi stunting
yang dibagi menjadi dua, yaitu intervensi gizi spesifik (langsung) dan
intervensi gizi sensitif (tidak langsung).
Kerangka pertama merupakan intervensi yang ditujukan
kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30%
penurunan stunting. Kerangka ini
umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Kerangka ini meliputi (1) Intervensi
gizi spesifik dengan sasaran ibu hamil dengan memberikan makanan tambahan (PMT)
untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat
besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium, mengatasi kecacingan pada ibu
hamil serta melindungi ibu hamil dari malaria, (2) Intervensi gizi spesifik dengan
sasaran ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan dengan cara mendorong IMD terutama
melalui pemberian ASI kolostrum serta mendorong pemberian ASI eksklusif, (3)
Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan
dengan cara mendorong penerusan pemberian ASI hingga anak berusia 23 bulan.
Setelah bayi berusia diatas 6 bulan diberikan MP-ASI, menyediakan obat cacing,
menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan,
memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap, serta
melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
Kerangka kedua dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan di luar sektor kesehatan secara lintas kementerian dan lembaga.
Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada
penurunan stunting yaitu sebagai
berikut (1) Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih, (2)
Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi, (3) Melakukan fortifikasi
bahan pangan, (4) Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana
(KB), (5) Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), (6) Menyediakan Jaminan
Persalinan (Jampersal), (7) Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua, (8)
Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal, (9) Memberikan
pendidikan gizi masyarakat, (10) Memberikan edukasi kesehatan seksual dan
reproduksi, serta gizi pada remaja, (11) Menyediakan bantuan dan jaminan sosial
bagi keluarga miskin, dan (12) Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
Stunting juga merupakan salah satu
target Sustainable Development Goals
(SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2, yaitu
menghilangkan kelaparan dan segala bentuk mal-nutrisi pada tahun 2030 serta
mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025.
Dengan kerja keras dan kerja sama semua pihak bersama peran serta masyarakat,
bukan tidak mungkin target tersebut dapat tercapai, bahkan Indonesia dapat
bebas dari stunting.
Sudahkah Anda terlibat?
* Dokter Umum di Puskesmas Watubaing, Kabupaten Sikka, NTT