Pastor Katolik: Ustad Abdul Somad Tidak Perlu Dipidana karena Menista Agama

Maumere, Ekorantt.com – Pastor Katolik Pater Dr. Otto Gusti Nd. Madung, SVD saat dimintai tanggapannya tentang ucapan Ustad Abdul Somad terkait jin kafir di salib Yesus Kristus, Rabu (21/8) mengatakan, dia tidak setuju jika Abdul Somad diproses hukum. Sebab, blasfemi atau penodaan agama tidak pernah dapat diproses secara hukum positif.

Menurut Dosen Filsafat Politik pada STFK Ledalero, Flores, NTT ini, agama tidak dapat dinodai dengan sebuah pernyataan.

“Mungkin dinodai lewat perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama itu seperti korupsi, pelecehan martabat manusia, dan lain-lain,” katanya.

Saat ditanyai tentang laporan PMKRI Cabang Maumere ke Mapolres Sikka terkait dugaan tindak pidana penistaan agama oleh Ustad Abdul Somad, Pater Otto berpendapat, sebaiknya PMKRI menanggapi substansi pernyataan Abdul Somad.

Menurut Pater Otto, pernyataan Abdul Somad tidak etis. Sebab, kata-kata kafir jelas berkonotasi kolonial dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang menjadi salah satu pilar penting masyarakat Indonesia yang plural.

“Kita mau agar Indonesia semakin beradab ke depan,” ungkapnya.

Lebih jauh, Pater Otto menandaskan, tingkat keberadaban bangsa Indonesia ditentukan melalui kualitas demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), dan rule of law atau aturan hukum.

Menurut dia, blasfemi atau penistaan agama jelas bertentangan dengan demokrasi dan HAM.

“Dan proses hukum terhadap Ahok tempo hari juga cacat bagi demokrasi dan HAM di Indonesia,” pungkasnya.

Jadi, menurut Pater Otto, PMKRI Cabang Maumere seharusnya tidak perlu melaporkan Abdul Somad ke Polres Sikka.

Sebelumnya, dua organisasi massa Katolik di Maumere, yaitu PMKRI Cabang Maumere dan Forum Komunikasi Alumni (Forkoma) PMKRI melaporkan Ustad Abdul Somad ke Mapolres Sikka atas dugaan tindak pidana penistaan agama pada Sabtu (17/8).

Mereka menilai, dalam video berdurasi 1 menit dan 53 detik itu, UAS menghina simbol agama Nasrani, yaitu patung dan salib.

Merdeka dari “Stunting”

0

Oleh

dr. Erwin Yudhistira Y. Indrarto*

Pada tanggal 17 Agustus tahun ini, rakyat Indonesia merayakan Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke – 74. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merdeka berarti bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya.

Namun, di bidang kesehatan, Indonesia tampaknya masih belum dapat bebas dari masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini, yaitu stunting.

Apa yang perlu kita ketahui bersama?

Mengutip Pusat Data dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, stunting (kerdil) adalah kondisi di mana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO).

Stunting dapat terjadi sejak janin masih dalam kandungan dan baru tampak saat anak berusia dua tahun. Stunting termasuk masalah gizi kronis yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi.

Dari data WHO, Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan jumlah keseluruhan kasus (prevalensi) balita stunting tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Sedangkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia sebesar 37,2 % dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki prevalensi tertinggi sebesar 51,7%. Kemudian pada tahun 2018, prevalensi stunting di Indonesia turun menjadi 30,8%, dan di NTT juga turun menjadi 42,6%, tetapi tetap berada di posisi teratas.

Proses terjadinya stunting dimulai bila seorang remaja yang nantinya menjadi ibu mengalami kurang gizi dan kurang sel darah merah (anemia). Hal ini diperparah dengan asupan gizi yang tidak mencukupi kebutuhan dan hidup di lingkungan dengan sanitasi kurang memadai. Remaja putri di Indonesia berusia 15-19 tahun memiliki risiko kurang energi kronis (KEK) sebesar 46,6% tahun 2013. Ketika hamil, ada 24,2% Wanita Usia Subur (WUS) berusia 15-49 tahun dengan risiko KEK, dan anemia sebesar 37,1%. Kemudian dilihat dari asupan makanan, ibu hamil pada umumnya kurang energi dan protein. Hasil Survei Nasional Konsumsi Makanan Individu (SKMI) tahun 2014 menunjukkan, sebagian besar ibu hamil (di kota dan desa) bermasalah untuk asupan makanan, baik energi dan protein.

Kondisi-kondisi di atas bila disertai dengan tinggi badan pendek (<150 cm), berdampak pada bayi yang dilahirkan mengalami kurang gizi, dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan juga panjang badan kurang dari 48 cm. Bayi BBLR memengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting. Setelah bayi lahir dengan kondisi tersebut, dilanjutkan dengan rendahnya Inisiasi Menyusu Dini (IMD) memicu rendahnya menyusui eksklusif sampai 6 bulan, dan tidak memadainya pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI). Data SKMI 2014 juga menunjukkan, asupan anak > 6 bulan cenderung mengonsumsi 95% dari kelompok serealia (karbohidrat), sedangkan kelompok protein, buah, dan sayur masih sangat kurang.

Menurut WHO, dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang.

Dampak jangka pendek mencakup terjadinya peningkatan kejadian kesakitan dan kematian; perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak menjadi tidak optimal; dan peningkatan biaya kesehatan.

Sedangkan dampak jangka panjang mencakup postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada umumnya); meningkatkan risiko obesitas, kencing manis, penyakit jantung dan lainnya; menurunnya kesehatan reproduksi; kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah; serta produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

Dampak lain dari stunting menurut Bank Dunia tahun 2016, yaitu berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 11% Produk Domestik Bruto (PDB), mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20%, mengurangi 10% dari total pendapatan seumur hidup, dan meningkatkan kemiskinan antargenerasi.

Untuk mencegah dan mengurangi prevalensi stunting, pemerintah Indonesia telah membuat kerangka intervensi stunting yang dibagi menjadi dua, yaitu intervensi gizi spesifik (langsung) dan intervensi gizi sensitif (tidak langsung).

Kerangka pertama merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka ini umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Kerangka ini meliputi (1) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu hamil dengan memberikan makanan tambahan (PMT) untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium, mengatasi kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari malaria, (2) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan dengan cara mendorong IMD terutama melalui pemberian ASI kolostrum serta mendorong pemberian ASI eksklusif, (3) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan dengan cara mendorong penerusan pemberian ASI hingga anak berusia 23 bulan. Setelah bayi berusia diatas 6 bulan diberikan MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

Kerangka kedua dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan secara lintas kementerian dan lembaga.

Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting yaitu sebagai berikut (1) Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih, (2) Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi, (3) Melakukan fortifikasi bahan pangan, (4) Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB), (5) Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), (6) Menyediakan Jaminan Persalinan (Jampersal), (7) Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua, (8) Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal, (9) Memberikan pendidikan gizi masyarakat, (10) Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja, (11) Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin, dan (12) Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

Stunting juga merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2, yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk mal-nutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. Dengan kerja keras dan kerja sama semua pihak bersama peran serta masyarakat, bukan tidak mungkin target tersebut dapat tercapai, bahkan Indonesia dapat bebas dari stunting.

Sudahkah Anda terlibat?

* Dokter Umum di Puskesmas Watubaing, Kabupaten Sikka, NTT

Uskup Maumere Mgr. Edwaldus Sedu Imbau Umat Kristiani Ampuni Ustad Abdul Somad

0

Maumere, Ekorantt.com – Uskup Maumere Mgr. Ewaldus Martinus Sedu mengimbau umat kristiani mengampuni Ustad Abdul Somad (UAS) terkait ucapannya tentang jin kafir di salib Yesus Kristus.

Dia mengapresiasi sikap umat kristiani yang tenang dan dewasa menyikapi pernyataan UAS yang viral dalam sebuah video tersebut.

Akan tetapi, menurutnya, adalah wajar bila umat kristiani merasa tersinggung.

“Saya bisa memahami emosi umat kristiani yang mungkin tersinggung dan marah. Namun, saya juga berterima kasih karena kita menanggapi itu secara dewasa dan matang,” ucapnya.

Menurut Uskup Edwaldus, umat Katolik memaknai salib sebagai sesuatu yang sakral. Salib adalah lambang datangnya Yesus Kristus untuk menebus dosa umat manusia melalui proses penderitaan yang luar biasa. Salib juga adalah lambang kemenangan dan kebangkitan umat Katolik.

Menurut Uskup Edwaldus, kita tidak bisa memaksa penganut agama lain, yang memiliki pemaknaan atas salib yang berbeda, untuk memahami salib sebagaimana kita pahami. Kita juga tidak bisa mewajibkan semua orang untuk mengerti.

Menurut dia, kita hanya bisa mengungkapkan iman kita dalam keseharian hidup lewat perilaku, tutur kata, dan bahasa. Kita tidak berhak memaksa orang lain untuk sepikir dengan kita.

Sebaliknya, demikian Uskup Edwaldus, kita juga tidak meminta orang lain untuk berbicara tentang hal ini dan menafsirkan seturut kehendak mereka. Menurutnya, kita tidak akan pernah mencapai titik temu jika hanya memperdebatkan makna salib. Kita hanya perlu saling memahami dan menghargai.

Uskup Maumere ini juga menyayangkan tersebarnya video yang diambil tiga tahun lalu itu. Menurutnya, ada upaya dari pihak tertentu untuk memancing kemarahan umat yang dapat mengancam persatuan.

Namun, Mantan Rektor Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret ini mengajak umat Katolik mendoakan Ustad Abdul Somad supaya menjadi lebih bijak.

Uskup Edwaldus berterima kasih kepada kelompok umat yang telah mengecam pernyataan Ustad Abdul Somad dan menempuh jalur hukum dengan cara yang baik dan tepat.

Menurutnya, langkah ini baik sebagai bahan pembelajaran agar umat beragama tidak semena-mena menunjukkan arogansi mayoritas. Sebaliknya, setiap umat beragama mesti hidup rukun dan saling menghargai di bawah payung kebhinekaan.

Uskup Ewaldus berharap, para imam, alim ulama, dan semua pemuka agama menjaga tutur kata, menyampaikan hal baik dan benar serta tidak gampang mengatakan hal buruk tentang agama lain.

“Lebih baik kita bicara tentang kebaikan karena agama mengajarkan kebaikan untuk kemanusiaan,” ucapnya.

Uskup Edwaldus mengatakan, peristiwa ini menjadi momen bagi umat kristiani melihat cobaan dan tantangan sebagai jalan memperteguh iman.

Menurut dia, reaksi yang tepat atas kasus ini adalah berusaha memahami dan mengampuni Ustad Abdul Somad. Baginya, seorang pengikut Kristus harus memiliki reaksi yang berbeda. Perbedaan itu menentukan kedewasaan dan kematangan kita sebagai umat beriman.

Aty Kartikawati

STFK Ledalero Gelar OSPEK T.A. 2019/2020

Maumere, Ekorantt.com – Memasuki tahun akademik (T.A.) 2019/2020, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero menggelar Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) selama tiga hari, sejak Senin-Rabu, 19-21 Agustus 2019. Kegiatan tersebut berlangsung di Aula St. Thomas Aquinas, STFK Ledalero, Maumere-Flores-NTT.

Kegiatan OSPEK ini melibatkan 253 mahasiswa/i baru, dengan rincian 231 mahasiswa prodi S1 Filsafat dan 22 mahasiswa prodi S1 Pendidikan Keagamaan Katolik (PKK). Kegiatan tersebut dibuka secara langsung oleh Dr. Otto Gusti Madung, SVD selaku Ketua Sekolah STFK Ledalero, bersamaan dengan kegiatan Orientasi Umum Mahasiswa pada Senin (19/8/2019).

“Ada banyak pengalaman selama dua bulan liburan. Pengalaman-pengalaman tersebut mestinya menjadi sumber yang memberikan kesegaran akademik bagi segenap civitas akademika STFK Ledalero. Pengalaman-pengalaman tersebut perlu direfleksikan baik secara filosofis, sosiologis, teologis, maupun dengan pendekatan-pendekatan ilmu lainnya di tempat ini”, kata Dr. Otto Gusti dalam ceramah pembuka.

Dalam tiga hari OSPEK tersebut, para mahasiswa/i baru STFK Ledalero dibekali dengan beberapa pengetahuan umum mengenai fasilitas, aktivitas, dan karakteristik kampus Ledalero. 

OSPEK hari pertama menghadirkan P. Maxi Manu, SVD dan P. Leo Kleden, SVD sebagai pemateri. P. Maxi Manu, SVD berbicara secara khusus mengenai biaya perkuliahan di STFK Ledalero yang mengalami kenaikan drastis dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan, P. Leo Kleden, SVD memaparkan materi mengenai spiritualitas Serikat Sabda Allah, yang menjadi karakter khusus kampus Ledalero.

Pada OSPEK hari kedua, para mahasiswa mendapat kesempatan berdiskusi dalam satu sesi khusus dengan Beka Ulung Hapsara, Koordinator Subkomisi Pemajuan Hak Asasi Manusia/Komisioner Pendidikan & Penyuluhan. Sesi bertema Indonesia dan Hak Asasi Manusia itu melahirkan pertukaran gagasan yang intens mengenai isu-isu seputar penegakan HAM di Indonesia.

Selain materi mengenai Hak Asasi Manusia, OSPEK hari kedua juga membahas beberapa tema lain yaitu “Metode Belajar Efektif” bersama P. Juan Orong, SVD dan pengenalan perpustakaan Ledalero bersama Kepala Perpustakaan, P. Sefri Juhani, SVD.

Senat Mahasiswa (SEMA) STFK Ledalero mendapat kesempatan menemui rekan-rekan mahasiswa/i baru STFK Ledalero pada sesi pertama dan kedua di hari ketiga OSPEK. Pertemuan itu dibuka oleh RD. Philipus Ola Daen, Pr, Wakil Ketua III, sekaligus moderator SEMA STFK Ledalero. 

Dalam materi yang dibawakannya, RD. Philip menekankan makna peran mahasiswa sebagai front liner dari seluruh kehidupan di kampus dan bahkan di tengah masyarakat. Pembahasan ini dikuatkan dalam sesi perkenalan program kerja SEMA STFK Ledalero yang dibawakan oleh staf SEMA, dipimpin oleh Fr. Rio Nanto, SVD.

OSPEK hari ketiga ditutup dengan materi mengenai Pusat Layanan Bahasa (PLB) STFK Ledalero yang dibawakan dengan sangat baik dan inspiratif oleh Ibu Erlyn Lasar, selaku pengelola program. 

Ibu Erlyn menjelaskan beberapa program di PLB, antara lain kursus persiapan tes TOEFL, penyelenggaraan tes TOEFL yang diupayakan berlangsung setiap bulan, dan juga aktivitas English Coffee, forum latihan berbicara bahasa Inggris yang dibuat dalam format yang santai. Program-program ini tidak hanya dilaksanakan untuk mahasiswa STFK Ledalero tetapi terbuka untuk umum

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pembukaan tahun akademik di STFK Ledalero pada tahun ini tidak diawali dengan misa bersama dan kuliah umum (lectio brevis). Misa syukur dan kuliah umum akan dijalankan dalam rangkaian perayaan 50 tahun STFK Ledalero yang berpuncak pada tanggal 8 September 2019.

Sumber: Rilis SEMA STFK Ledalero/Eka (Editor)

Agama dan Bahaya Privatisasi Iman

0

Oleh

Pater Dr. Otto Gusti Nd. Madung, SVD*

Ketika agama direduksi kepada ritualisme atau dokrin kosong minus keterlibatan sosial dan perjuangan untuk masyarakat terpinggirkan, agama-agama sibuk mengejar kuasa kesalehan dalam selubung terminologi penodaan agama dan lain-lain.

Kondisi masyarakat post-sekular merupakan peluang bagi agama-agama dan terutama Gereja dalam menjawabi kecenderungan sekularisme dan masyarakat modern yang mendomestifikasi agama atau bahkan Allah di ruang privat. Allah yang dikurung di ruang privat adalah Allah yang tidak diberi kemungkinan untuk mengganggu atau menggugat kemapanan dan kenyamanan pribadi. Di sini, beriman atau hidup menggereja dipandang sebagai urusan personal semata tanpa memperhatikan relevansi sosio-politis.

Spiritualitas direduksi menjadi kesalehan ritualistik personal minus keterlibatan dan pertanggungjawaban sosial. Maka, fenomena paradoksal berikut pun bermunculan dan tak terlalu mengherankan: rajin beribadah dan pada saat yang sama korup, ziarah ke tanah suci atau memberikan sumbangan untuk pembangunan rumah ibadat dengan menggunakan uang hasil korupsi atau keuntungan usaha tambang tanpa NWPP dan yang merusak lingkungan hidup.

Gereja atau agama akhirnya tak lebih dari obat penghibur batin seperti ditulis teolog J.B. Metz: “Agama seperti ini tidak lebih dari sekadar nama untuk impian akan kebahagiaan tanpa penderitaan, obsesi mistis jiwa atau khayalan psikologis-estetis tentang ketidakbernodaan manusia.”

Hal senada juga diserukan oleh Paus Fransiskus untuk umat Katolik sejagad dalam seruan apostolik berjudul Evangelii Gaudium. Paus menekankan pentingnya aspek politis dan keterlibatan sosial dari iman. Keterlibatan tersebut harus lahir dari relasi pribadi dengan Allah yang diperoleh dari hidup doa.

Tentang pentingnya hidup doa, Paus Fransiskus menulis, “Gereja sungguh-sungguh membutuhkan nafas doa yang dalam, dan saya sungguh bersukacita karena di semua lembaga Gereja berkembanglah kelompok-kelompok doa, kelompok-kelompok para pemohon, kelompok-kelompok pembaca sabda Allah dalam suasana doa dan adorasi abadi Ekaristi.”

Akan tetapi doa hanyalah satu aspek dari kehidupan spiritual. Dia harus diwujudnyatakan dalam tindakan kasih.

“Selalu ada risiko bahwa saat-saat doa bisa menjadi alasan untuk tidak mempersembahkan hidup pribadi bagi perutusan. Gaya hidup yang menekankan lingkup privat dapat mendorong umat kristiani untuk lari ke dalam spiritualitas palsu.”

Hidup doa tanpa tindakan kasih dan keterlibatan sosial adalah sebuah bentuk pelarian. Karena itu, Paus menggarisbawahi pentingnya aspek politis iman. Politik dalam arti perjuangan untuk mewujudkan Kerajaan Allah yang membebaskan.

Gereja tidak boleh menarik diri dari dunia, tetapi harus masuk ke tengah dunia. Gereja harus menjadi Gereja misioner. Itu berarti, Gereja harus mewartakan Sabda Allah yang membebaskan. Ia harus mampu mendengarkan jeritan para tawanan, menyembuhkan yang sakit, mengadvokasi para korban yang dirampas hak-haknya, dan menurunkan semua yang congkak dari singgasana kekuasaan termasuk singgasana imperium ekonomi yang dibangun di atas piramida kurban manusia.

Gereja yang misioner dan terlibat memiliki basis teologis pada peristiwa inkarnasi, peristiwa Allah menjadi manusia dan mengambil bagian dalam sejarah hidup manusia. Dalam peristiwa inkarnasi, Allah menunjukkan radikalitas solidaritasNya dengan manusia dan terutama dengan orang-orang miskin dan para korban yang terpinggirkan. Ia meninggalkan kebesaran dan masuk ke dalam kerapuhan sejarah manusia yang fana. Keterlibatan Allah dalam sejarah manusia bertujuan untuk mengangkat martabat manusia dan memancarkan sinar pengharapan.

Dimensi politis iman berakar pada solidaritas Allah dalam diri Yesus. Solidaritas ini harus menjadi basis solidaritas Gereja terhadap kaum miskin. Kaum miskin dan terpinggirkan mendapat prioritas bukan karena mereka benar, tetapi karena mereka menderita. Secara etis, yang menderita sudah sepatutnya mendapat perhatian khusus.

Paus Fransiskus menekankan pentingnya keberpihakan Gereja untuk orang-orang miskin. Bukan saja karena orang-orang miskin membutuhkan bantuan, tetapi juga terutama karena orang-orang miskin mampu menobatkan Gereja dari Gereja yang triumfalistik menuju Gereja yang melayani dan dialogal. Oleh karena itu, bagi Gereja, orang miskin pada tempat pertama merupakan sebuah kategori teologis, baru pada tahap berikutnya dipandang sebagai kategori sosiologis dan politis.

“Karena itu, saya mencita-citakan sebuah Gereja yang miskin untuk orang-orang miskin.”

Setiap komunitas dalam Gereja yang melupakan kaum miskin akan berada dalam bahaya menghancurkan dirinya sendiri. Sebab, tanpa keberpihakan pada kaum miskin, kegiatan religius tidak menghasilkan buah dan akan mabuk sempoyongan dalam candu spirituality of wellbeing.

*Pastor Katolik, Dosen Filsafat Politik di STFK Ledalero

Bukit Cinta-Elar akan Disulap Jadi Taman Wisata Mari Orong

Borong, Ekorantt.com – Bukit Pandang Krosaghong -sering disebut Bukit Cinta- yang terletak di Desa Golo Lijun, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur rencananya akan disulap menjadi Taman Wisata Mari Orong.

Hal ini disampaikan oleh mantan Kepala Desa Golo Lijun, Jemarang Fatur kepada awak media, pada Rabu (21/8/2019).

“Salah satu keputusan hasil pertemuan Masyarakat Adat dan Tokoh Adat dalam Wilayah Ulayat Teno Mari Orong adalah merencanakan pengelolaan bukit tersebut menjadi Taman Wisata Mari Orong”, kata Jemarang.

Menurut Jemarang, hal ini dilakukan sebagai salah satu wujud keseriusan masyarakat dalam mendorong pengembangan pariwisata di kawasan pantai utara (pantura) Manggarai Timur.

“Apalagi bukit ini sudah banyak dikenal, bahkan sudah sampai mancanegara”, ujarnya.

Jemarang juga menjelaskan, akan ada upaya untuk mendatangkan sekaligus bekerjasama dengan investor atau  pemodal untuk pengembangan potensi-potensi wisata di sekitar daerah tersebut.

Ia pun berharap agar Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur lebih serius mengupayakan kehadiran dan kerjasama dengan para investor.

“Saya berkeyakinan, potensi alam di pantai utara sangat menarik, bahkan tidak kalah tanding dengan pantai di bagian selatan Manggarai Timur”, terangnya.

Jemarung menambahkan, selain sektor pariwisata, sektor pertanian dan sektor yang lain di kawasan Elar juga memiliki potensi yang luar biasa. Meski demikian, potensi-potensi tersebut masih kurang mendapat perhatian dan sentuhan pembangunan dari pemerintah daerah.

“Jujur, kami sangat membutuhkan keseriusan pemerintah daerah dalam menyikapi beberapa persoalan yang berkaitan dengan pembangunan di sini”, pungkasnya.

(Adeputra Moses)

Tahun 2018, Taman Nasional Kelimutu Raup Pendapatan Rp3,5 Miliar

Ende, Ekorantt.com – Taman Nasional Kelimutu di Ende- Flores- NTT menjadi salah destinasi wisata yang mendunia. Ribuan pengunjung baik lokal maupun mancanegara menjadikan panorama danau tiga berwarna ini menjadi tujuan wisata. 

Pada  tahun 2018, pendapatan Taman Nasional Kelimutu mencapai 3,5 miliar rupiah.  Namun pihak TNK menilai, pendapatan ini masih minim dan perlu dioptimalkan dengan membangun alternatif baru di luar daya tarik Danau Kelimutu. 

Hal ini disampaikan Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu, Agussetia Sitepu kepada wartawan saat pelaksanaan upacara Festival Kelimutu di puncak Danau Kelimutu Minggu lalu.

Menurut Sitepu, pendapatan negara dari Taman Nasional Kelimutu masih terpusat dari daya tarik danau kelimutu. Kini pihaknya membangun alternatif penunjang dan penyangga wisata baru baik alam maupun budaya yang terintegrasi dengan danau kelimutu. Semua upaya itu untuk meningkatkan pendapatan negara termasuk ekonomi warga sekitar. 

Beberapa alternatif wisata yang dikembangkan pihak TNK antara lain pendakian area Niowula-Wilogai-Sokoria, Jalur Wisata budaya Tenun Ikat Moni -Woloara dan Bumi perkemahan Wologai. 

Semua pengembangan alternatif wisata alam dan budaya ini, menurut Agus, melibatkan masyarakat lokal.

“Kalau di danau yah kita hanya dapat dari bea masuk dan karcis parkir dan itu sangat kecil sehingga butuh dikembangkan alternatif baru,” ungkap Sitepu. 

Terpisah, Gubernur NTT, Viktor Laiskodat mengapresiasi usaha Pemkab Ende yang telah mengawinkan pariwisata dengan budaya. Dirinya meminta pihak TNK untuk benar-benar menjaga keaslian infrastruktur di kawasan Danau Kelimutu termasuk memperhatikan kebersihan di kawasan danau kelimutu. 

Gubernur Laiskodat berjanji akan melibatkan Kementerian Pariwisata dalam pelaksanaan Festival Danau Kelimutu pada tahun 2020.

“Saya minta tahun depan sekolah diliburkan sepekan. Semua terlibat di festival. Pemrov akan terlibat dan saya akan komunikasikan dengan pihak kementerian agar semua ke sini,” ungkapnya.

Yang Tersisa dari Perayaan Kemerdekaan di Larantuka

Larantuka, Ekorantt.com – Merayakan HUT Proklamasi NKRI dengan beragam kegiatan sudah menjadi kebiasaan. Bahkan, hal ini telah menjadi semacam tradisi, terwariskan dan diterima begitu saja.

Tentu kita tidak memaknai sampai pada rutinitasnya saja. Bukan juga untuk memeriahkan suasana. Adalah lebih penting kalau acara-acara yang digelar memberikan dampak positif, terutama bagi anak-anak pemilik masa depan negeri ini.

Kegiatan positif bagi anak-anak itulah yang digagas SimpaSio Institute. SimpaSio Institute merupakan lembaga arsip dan kajian sosial-budaya Flores Timur yang berkedudukan di Kota Larantuka.

Bersama Pemerintahan Kelurahan Sarotari Tengah, SimpaSio Institute membangun Kampung Literasi Kosaro dan terlibat dalam rangkaian kegiatan HUT NKRI ke-74 di bersama anak-anak.

Kegiatan paling pertama yakni lomba mewarnai gambar dengan tema laut. Sebanyak 50 anak mengikuti lomba tersebut.

Bukan tanpa tujuan, lomba sederhana ini mengusung misi kelautan yakni menanamkan kecintaan pada tanah air. Diakui bahwa negara Indonesia memiliki laut yang lebih luas daripada darat. Karena itu, aset laut harus dijaga dengan baik.

Pada hari berikutnya, anak-anak dibekali pelajaran tentang pengolahan sampah menjadi kerajinan tangan yang bernilai ekonomis. Sampah-sampah dari botol bekas kemasan air mineral diolah menjadi pot bunga dan tempat menyimpan pensil.

Bertempat di Pojok Baca I, pelajaran pengolahan didampingi Frangko Nalele dari Tim Kreatif SimpaSio Institute.

Masih soal sampah, bersama Misool Baseftin, anak-anak juga belajar tentang jenis-jenis sampah dan dampaknya terhadap lingkungan.

Kegiatan berlanjut pada 12 Agustus 2019. Peserta kegiatan diajak mengumpulkan sampah yang ada di pesisir pantai. Anak-anak sangat antusias dan dengan senang hati memungut sampah sebagai bagian dari komitmen untuk menjaga kebersihan lingkungan.

Untuk menanamkan nilai-nilai ekologis, pada tanggal 13 Agustus 2019, digelar pula kegiatan meringkas cerita atau membuat sinopsis sederhana teks cerita-cerita ekologis.

Teks-teks cerita ini mengantar anak-anak pada pemahaman yang utuh tentang lingkungan hidup. Tidak hanya dibekali praktek, anak-anak juga diperkenalkan dengan gagasan-gagasan yang positif seputar isu lingkungan hidup.

Kegiatan kembali dilanjutkan dengan lomba baca puisi pada tanggal 15 Agustus 2019. Puisi karya Chairil Anwar, “Dipenegoro” dan “Karawang-Bekasi” dijadikan materi lomba.

Dan pada puncak hari kemerdekaan pada 17 Agustus 2019, SimpaSio Institute menggelar lokakarya dan pameran pangan lokal setelah upacara bendera.

Diyakini, rangkaian kegiatan itu sejalan dengan semengat kemerdekaan, selain kegiatan karnaval yang ramai, melelahkan, menyisahkan sampah, dan tidak sedikit merogoh kantong orang tua.

Eda Tukan

TTU Lepas Status Kabupaten Tertinggal

0

So’e, Ekorantt.com – Status Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) sebagai salah satu kabupaten tertinggal di NTT akhirnya dicabut oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

Dalam sambutannya saat peresmian KSP Kopdit Pintu Air di Desa Oeneke, Kecamatan Musi, Selasa (19/8/2019), Bupati TTU Ray Fernandez mengatakan, pelepasan status daerah tertinggal berkat kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak dalam menyukseskan program pembangunan yang dicanangkan Bupati TTU, yakni padat karya pangan menuju pensiun petani.

“Tentang penetapan daerah tertinggal yang terentaskan pada tahun 2015-2019 terdapat lima kabupaten di Provinsi NTT yang mampu melepaskan status sebagai daerah tertinggal di antaranya Kabupaten TTU, Ende, Nagekeo, Manggarai, dan Kabupaten Manggarai Barat,” ujarnya.

Kerja keras pemerintah daerah bersama elemen lainnya, kata Ray, yang didukung penuh oleh masyarakat ternyata tidak sia-sia dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan.

Upaya kerja keras dan kerja gotong royong yang dilakukan selama ini dapat membawa Kabupaten TTU keluar dari status daerah tertinggal.

“Selama dua periode kepemimpinan ini, target saya harus membawa Kabupaten TTU keluar dari kabupaten tertinggal berada pada posisi 65 persen dan sudah saatnya TTU keluar dari kemiskinan,” tuturnya.

Untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, pemerintah daerah melaksanakan berbagai macam program seperti program padat karya pangan (PKP), yakni peningkatan hasil produksi pertanian, program desa mandiri cinta petani (Sari Tani) yang difokuskan untuk peningkatan ekonomi masyarakat dan program bedah rumah tidak layak huni (Berarti), yakni memberikan bantuan rumah kepada masyarakat.

“Kalau tiga program utama itu dilakukan dengan tuntas sampai di semua desa, maka fokus masyarakat tidak lagi pada tiga kebutuhan pokok makan, pakai, dan tinggal. Tapi, masyarakat akan lebih fokus untuk pengembangan usaha dalam meningkatkan pendapatan ekonominya,” jelasnya.

Ia berharap, pencabutan status daerah tertinggal oleh Kemendes PDTT memiliki dampak positif dan negatif. Salah satu dampak negatif yang akan dialami, yakni berkurangnya alokasi dana dari pemerintah pusat untuk penanganan daerah tertinggal.

Santos

80 Napi Rutan Maumere Terima Remisi

0

Maumere, Ekorantt.com – 80 orang narapidana (Napi) yang menghuni Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II B Maumere menerima Remisi Umum (RU) di Lapangan Rutan Kelas II B Maumere, Sabtu, (17/8).

Pemberian remisi kepada Napi tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) tentang Pemberian Remisi Umum (RU) Tahun 2019 kepada Narapidana yang terkait dengan Pasal 34 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (RI) Nomor 99 Tahun 2012.

Keputusan remisi umum itu disampaikan oleh Bupati Sikka Fransiskus Robertus Diogo Idong kepada Napi Rutan Kelas II B Maumere usai apel peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke-74 di Lapangan Kota Baru Maumere, Flores, Sabtu (17/8).

Dia didampingi oleh Kepala Rumah Tahanan (Karutan) Kelas II B Maumere Habel Toi, SH, jajaran Forkopimda Sikka, pimpinan OPD, dan tamu undangan lainnya.

Usai penyampaian remisi, Bupati Robby bersalaman dengan para Napi.

80 Napi yang menerima remisi umum itu terdiri atas 27 Napi penerima remisi 1 bulan, 15 Napi penerima remisi 2 bulan, 27 Napi penerima remisi 3 bulan, 7 Napi penerima remisi 4 bulan, dan 4 Napi penerima remisi 5 bulan.

Bupati Robby berpesan kepada para Napi agar tabah menjalani hukuman dan pembinaan di Rutan. Para Napi diminta menjadikan hukuman sebagai kesempatan refleksi atas kehidupan. 

“Saya melihat banyak kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Perempuan itu insan lemah tetapi lembut dan memiliki perasaan lebih halus dari pria. Hargailah wanita itu karena dari sanalah lahir sebuah kehidupan baru,” katanya.

Setelah bersalaman, para Napi mempersembahkan dua atraksi tarian kreasi dan paduan suara.

Pada kesempatan itu pula, Bupati Robby Idong juga menghibur para Napi dengan menyanyikan sebuah lagu berjudul “Rumah Kita” ciptaan Group Band legendaris God Bless

Tampak para Napi memberikan tepuk tangan, lalu bergegas dari tempat duduk menjemput Bupati Robby Idong untuk bernyanyi bersama.

Bupati Robby pun langsung berbaur dengan para Napi untuk bergoyang ria dan bernyanyi bersama.

Usai membawakan lagu “Rumah Kita”, para Napi meminta Bupati Idong untuk menyanyikan sebuah lagu dangdut. 

Bupati Idong pun menyanyikan sebuah lagu dangdut berjudul “Rujak Mangga Muda.”

Para Napi kembali berjoget ria dalam suasana meriah penuh kekeluargaan.