Oleh Emilianus Yakob Sese Tolo*
Sebelum saya melanjutkan perdebatan ini, secara ekonomi politik Marxis, saya ingin meletakkan aktor-aktor yang terlibat dalam perdebatan ini dalam rantai relasi produksi di STFK Ledalero.
Bagi saya, pemetaan posisi ekonomi politik para aktor yang terlibat dalam perdebatan ini sangat penting untuk melihat bagaimana posisi mereka dalam rantai relasi produksi di STFK Ledalero mempengaruhi produk pikiran mereka.
Posisi ketiga aktor dalam perdebatan ini adalah sebagai berikut.
Meskipun Elton adalah seorang mahasiswa Filsafat semester 7 STFK Ledalero, dia merupakan anggota resmi Serikat Sabda Allah (SVD).
Karena Elton adalah anggota serikat SVD, maka Elton adalah pemilik sah STFK Ledalero.
Dengan demikian, dalam kacamata ekonomi politik Marxis, Elton adalah kapitalis dalam pasar kapitalisme pendidikan di Flores.
Toni adalah mahasiswa pasca sarjana STFK Ledalero, yang merupakan pemakai komoditas pendidikan yang ditawarkan Elton.
Toni merupakan konsumer di pasar kapitalisme pendidikan yang menikmati jasa pelayanan komoditas pendidikan yang ditawarkan oleh STFK Ledalero.
Saya sendiri adalah pengajar awam (non-pastor dan/atau non-romo) di STFK Ledalero yang berkonsentrasi mendidik calon imam dan awam Katolik yang handal.
Dalam rantai relasi produksi, saya adalah buruh, yang menjual tenaga saya ke Elton, sebagai pemilik STFK Ledalero, untuk dapat mereproduksi diri alias bisa makan dan minum untuk mempertahankan hidup.
Secara ekonomi politik Marxis, posisi kami dalam rantai produksi ini –entah sadar atau pun tidak– terefleksi dalam bangunan argumentasi yang kami bangun.
Oleh karena itu, dari pada berpanjang kata, saya ingin memulai membahas argumentasi dari masing-masing aktor, terutama dua aktor yang adalah lawan debat saya saat ini.
Untuk Toni
Saya ingin memulai dengan membalas tulisan Toni yang terakhir di Ekora NTT. Selain lebih mudah, Toni jauh lebih jujur dari Elton dan tidak membuat kesalahan-kesalahan fatal seperti Elton, yang tulisannya di Ekora NTT dipuji banyak pihak yang otaknya kurang terlatih.
Oleh karena itu, pembahasan saya terhadap Toni menjadi sangat singkat.
Saya menyadari bahwa Toni kerap kali kurang memahami apa yang saya tulis.
Persoalan yang masih dibahas oleh Toni dalam tulisannya, sejatinya, menurut saya, sudah saya klarifikasikan pada tulisan saya terdahulu di Ekora NTT maupun tulisan-tulisan lainnya, yang mungkin belum dibaca Toni. Saya tidak akan mengulanginya di sini untuk tidak memboros waktu, tenaga, dan ruang polemik ini sendiri. Apalagi, ketidaktahuan Toni akan apa yang pernah ditulis dalam sejarah bukanlah kesalahan dan tanggung jawab saya, melainkan kesalahan dan tanggung jawab pribadinya sendiri.
Akibatnya, jawaban dalam tulisan-tulisan Toni dangkal dan tidak produktif.
Namun, saya hanya akan menanggapi satu hal yang saya kira penting untuk diklarifikasi berkaitan dengan Marxisme di STFK Ledalero.
Toni menulis demikian:
“Berdasarkan penyelidikan saya di komputer perpustakaan STFK Ledalero, sejak tahun 1986, sudah ada mahasiswa yang menulis skripsi tentang Marx dan sejak tahun 1986-2018 sekurang-kurangnya ada 16 skripsi mahasiswa yang secara khusus mendalami pemikiran Marx. Ini membuktikan kalau Marxis sebenarnya sudah lama diminati dan dipelajari oleh mahasiswa STFK ledalero. Oleh karena itu, asumsi Emil sebenarnya tidak berdasar dan tidak dapat diterima.”
Saya sama sekali tidak menolak data yang dihadirkan Toni walau saya tidak perlu mengecek lagi data yang Toni tampilkan.
Saya sendiri, dalam tulisan-tulisan saya terdahulu, tidak pernah menulis bahwa Marxisme tidak pernah dipelajari dan diminati oleh civitas academica di STFK Ledalero. Di tulisan saya di Flores Pos terdahulu, saya menulis demikian, “[…] sudah seharusnya STFK Ledalero meneruskan dan membiarkan para dosen dan mahasiswa mempelajari Marxisme sebagai ilmu dengan bebas dan bertanggung jawab […].” Bagi pembaca yang teliti dan terlatih otaknya, mereka akan deengan mudah memahami bahwa kata meneruskan dalam kalimat yang dikutip di sini mengandung arti seperti yang disimpulkan Toni dalam tulisannya yang terakhir di Ekora NTT.
Meskipun demikian, saya secara implisit menegaskan pengajaran Marxisme di STFK masih kurang, yang juga ditegaskan oleh beberapa mahasiswa STFK Ledalero dalam wawancara mereka di Ekora NTT.
Jika saya merujuk pada data yang ditampilkan oleh Toni bahwa dalam waktu 32 tahun, sejak 1986-2018, hanya 16 mahasiswa mendalami Marxisme, maka data ini membenarkan kesimpulan saya dan mahasiswa STFK Ledalero yang lain bahwa Marxisme masih kurang didalami oleh civitas academica di STFK Ledalero.
Bayangkan saja, jika setiap angkatan sejak 1986 berjumlah 50 orang, maka hingga 2018 terdapat 1.600 mahasiswa.
Dari 1.600 orang mahasiswa ini, hanya 1% mahasiswa STFK Ledalero yang mendalami Marxisme dalam kurun waktu 32 tahun itu.
Angka 1% itu, dalam 32 tahun, merupakan angka yang kecil dan tidak signifikan sama sekali.
Soal-soal lain yang ditulis Toni, saya pikir, saya tidak perlu menanggapinya karena tidak terlalu penting.
Sebab, Toni menulis dan menyoal sesuatu yang kurang dia pahami dengan baik.
Ketidakpahaman itu mungkin disebabkan karena Toni, sebagai pemakai komoditas yang ditawarkan di pasar kapitalisme oleh STFK Ledalero, sudah terhegomonisasi –seperti dalam konsep hegemoni Gramsician (1971)– oleh derap agenda kultural kapitalis dari pemilik STFK Ledalero –yang dalam hal ini adalah juga Elton sendiri– yang direcoki atasnya ketika belajar di STFK Ledalero.
Saya sendiri memang pernah belajar di STFK Ledalero, pernah terhegemoni oleh agenda kultural kapitalis ini, tetapi saya berhasil membebaskan diri dari hegemoni itu setelah berkuliah di UGM, Yogyakarta, dan Universitas Melbourne, Australia.
Saya cukupkan pembahasan tentang Toni dan, karena itu, saya ingin membahas hal yang lebih penting dan krusial yang ditulis oleh Elton.
Untuk Sang Demagog, Elton
Sebagai seorang kapitalis yang memiliki STFK Ledalero, pendapat Elton bias terhadap kepentingannya sendiri.
Sialnya, pembiasan itu berhiaskan watak kikir-licik yang menjadi ciri dominan kapitalis, pembohongan –termasuk dalam “pemerkosaan”dan pemalsuan rujukan sumber bahasa Inggris– dan pemanipulasian konsep dan pemikiran kunci dari Marx.
Dengan watak licik yang terakumulasi dalam seluruh pemikiran Elton, maka tidak terlalu keliru jika saya mengecapnya sebagai seorang demagog, penyebar kebohongan.
Kebohongan itu diproduksi dan direproduksi untuk kepentingan kesombongan intelektualnya dan profit STFK Ledalero dalam rantai relasi produksi kapitalis.
Demogogi yang disebar Elton akan saya kuliti satu-satu.
Saya akan memulainya dengan menunjukkan demagogi yang remeh-temeh sampai kepada yang substansial dari tulisan Elton.
Watak licik-kikir seorang Elton sebagai kapitalis tampak –walau tersamar– dalam tulisannya.
Licik, dalam konteks tulisan Elton, adalah mencari pembenaran dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan menyebar demagogi.
Kikir, lagi-lagi dalam konteks tulisan Elton, berarti ingin mencari keuntungan setinggi-tingginya dengan tidak rela memberi sedikit makanan mewah bagi buruh, dalam hal ini saya, yang telah turut menyukseskan kegiatan tertentu, yang secara tidak langsung berdampak pada peningkatan profit bagi Elton.
Dalam tulisannya, Elton menulis demikian:
“Ada banyak hal yang masih ingin saya perdebatkan, tetapi, saya cukupkan dulu, termasuk data-data yang harus Emil tunjukkan tentang buku-buku tua, yang kata Emil hanya buku-buku tua, tentang demonstrasi mahasiswa yang sayangnya Emil sendiri sebagai dosen kurang perhatikan lebih jeli, soal waktu pelaksanaan demo itu yang bertepatan dengan acara pesta emas yang padat dan melelahkan dan Emil sendiri selalu setia hadir di sana, makan minum dengan bebas-merdeka, tanpa pernah turun ke lapangan bersama anggota PMKRI Maumere […]”
Tuduhan Elton di atas tentu mengandung banyak kebohongan.
Tulisan Elton telah “memperkosa” hampir di seluruh bagian tulisan saya, termasuk dalam kutipan ini.
Ada beberapa hal yang ini saya garisbawahi dari kutipan di atas.
Pertama, saya sama sekali tidak mengatakan Perpustakaan STFK Ledalero hanya mengoleksi buku-buku tua.
Ini adalah sebuah pereduksian yang barbar dari pernyataan saya dalam tulisan terdahulu.
Yang saya katakan adalah perpustakaan di STFK Ledalero didominasi oleh buku-buku tua.
Sebagai seorang yang dalam tulisannya berlagak sebagai seorang yang sangat paham dan menguasai logika formal, Elton gagal memahami hal yang paling elementer dari logika formal itu sendiri, yakni pengertian sebuah kata, yang merupakan unsur dari keputusan.
Sebab kata, seperti yang ditulis oleh Lanur (1983: 14), “adalah tanda lahiriah (ucapan suara yang diartikulasikan atau tanda tertulis) untuk menyatakan pengertian dan barangnya.”
Pada titik ini, Elton tidak memahami sama sekali kata didominasi dan, karena itu, mengambil kesimpulan yang cacat.
Kata didominasi dalam konteks buku di Perpustakaan STFK Ledalero tidak berarti bahwa di Perpustakaan STFK Ledalero hanya terdapat buku-buku tua yang disimpulkan Elton.
Kata didominasi di sini berarti Perpustakaan STFK Ledalero memiliki buku-buku baru dan buku-buku tua, tetapi buku-buku tua lebih banyak dari buku-buku baru.
Elton juga kembali mengulangi kesalahan terdahulu, sebagaimana dia tidak bisa membedakan antara kata seharusnya (should) dan harus (must), tetapi tidak mengakui kesalahannya itu dengan kembali berdalil macam-macam untuk membenarkan dirinya. Namun, sayangnya, pembenarannya seperti itu hanya meyakinkan orang-orang yang otaknya kurang terlatih. Bagi mereka yang memiliki otak yang terlatih, pembenaran Elton itu hanyalah sebuah pameran keterbatasan intelektual dari seorang mahasiswa sarjana Filsafat, yang belum kelar memahami hal-hal yang paling elementer dari logika formal yang diajarkan di semester satu.
Oleh karena itu, Elton, sebagai seorang mahasiswa Filsafat semester 7 yang dalam beberapa bulan ke depan akan menyandang gelar sarjana muda Filsafat dari STFK Ledalero, tidak memahami hal paling elementer dari logika formal ini adalah sebuah “tamparan keras” bagi mutu dan kualitas pendidikan di STFK Ledalero, yang cenderung diagungkan terlalu tinggi oleh masyarakat NTT, mahasiswa STFK Ledalero, dan para alumninya.
Jika saya seorang Elton, yang melakukan kesalahan remeh temeh seperti ini –yang jarang dilakukan oleh para petani kecil tak mengenyam pendidikan formal di Flores yang sering saya wawancarai dalam penelitian lapangan saya– di hadapan sidang pembaca sebuah koran lokal di Flores, maka saya akan dengan berani “memenggal” kepala saya sendiri.
Kedua, Elton menulis bahwa “waktu pelaksanaan demo [mahasiswa Sikka] itu yang bertepatan dengan acara pesta emas [STFK Ledalero] yang padat.”
Bagi Elton, acara pesta emas STFK Ledalero adalah alasan utama tidak terlibatnya mahasiswa/i STFK Ledalero dalam demo yang diselenggarakan oleh mahasiswa Sikka di Maumere.
Alasan ini merupakan hoax terbesar yang dibuat Elton untuk membenarkan ketidakprogresifan mahasiswa STFK Ledalero (kecuali beberapa mahasiswa PKK STFK Ledalero yang diajar oleh saya) dalam merespons persoalan rakyat Indonesia berhadapan dengan agenda akumulasi kapital kaum oligark Indonesia, yang mempreteli KUHP dan institusi KPK.
Acara puncak pesta pesta emas STFK Ledalero dilaksanakan dari 4 September 2019 sampai pada upacara ekaristi pada 8 September 2019, yang diisi oleh beberapa acara seperti pertandingan sepak bola, seminar internasional dan pementasan budaya.
Namun, demonstrasi mahasiswa Sikka di Maumere, yang merupakan aliansi dari berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat sipil seperti PMKRI, GMNI, HMI, IMM, dan PERWAKAS (bukan hanya PMKRI seperti yang diklaim Elton yang kemampuan penelitian sosialnya minim, tetapi berambisi membawa Filsafat ke medan penelitian sosial) terjadi pada tanggal 26 September 2019.
Oleh karena itu, terdapat rentang waktu 18 hari, 432 jam, dan 25.920 menit antara acara pesta emas STFK Ledalero yang berpuncak pada tanggal 8 September 2019.
Terbelitnya logika formal dalam diri Elton terlalu parah sehingga mengarang cerita yang terlalu jauh berjarak dari kebenaran.
Hoax yang disebarkan oleh Elton –karena itu– terlalu brutal untuk melegitimasi ketidakpedulian mahasiswa STFK Ledalero dengan persoalan rakyat Indonesia.
Filsafat –sebagai ilmu yang dipelajari Elton– adalah ilmu untuk mencari dan serentak mewartakan kebenaran.
Di tangan Elton, sayangnya, Filsafat “terjun bebas” dari tujuan asalinya menjadi ilmu untuk melegitimasi kesalahan serentak mewartakan kebohongan alias hoax demi akumulasi kesombongan intelektual Elton sebagai seorang mahasiswa dan profit STFK Ledalero yang dimiliki Elton sebagai seorang kapitalis.
Tentu saja, hoax Elton ini, bukan tanpa alasan.
Di pesta emas STFK Ledalero, di tanggal 8 September 2019, di puncak acara pesta emas STFK itu, Negara –dalam hal ini pemerintah NTT– memberikan sumbangan 500 juta rupiah untuk STFK Ledalero.
Pemerintah NTT cenderung bersikap membela Jokowi yang ragu-ragu mengambil keputusan di tengah tuntutan demo mahasiswa NTT berkaitan dengan UKPK dan RKUHP. Sikap pemerintah NTT, dalam hal ini gubernur Viktor B. Laiskodat, ini mungkin saja membuat Jokowi akan memilihnya menjadi salah satu menteri di kabinet jilid dua Jokowi.
Oleh karena itu, mahasiswa STFK Ledalero –terutama Elton yang dalam hal ini adalah mahasiswa sekaligus pemilik STFK Ledalero– takut jika keterlibatan mereka dalam demo, dapat mencegah aliran dana segar dari Negara untuk membantu proses akumulasi profit yang dapat dilakukan oleh STFK Ledalero.
Dengan demikian, alih-alih menuliskan kebenaran, Elton –sebagai seorang kapitalis– menebar hoax demi akumulasi kapitalnya.
Ketiga, Elton menuduh saya hanya mempertontonkan sebuah verbalisme dalam kaitannya dengan demo mahasiswa Sikka.
Ini adalah keterbatasan Elton dalam melakukan penelitian sosial.
Jika Elton memiliki minat besar dalam mendorong Filsafat ke medan penelitian sosial, Elton seharusnya tidak hanya bicara karena memiliki mulut atau menulis karena memiliki pensil dan kertas atau layar laptop dan/atau komputer yang kosong di hadapannya.
Sebagai dosen di PKK STFK Ledalero semester satu, sejak awal kuliah untuk dua mata kuliah –Sosiologi Pembangunan dan Kewarganegaraan-HAM– saya sudah mendorong dan menginformasikan kepada mahasiswa/i saya untuk melakukan demo apa saja ke depan dan berhak meninggalkan kelas yang saya ajar jika ingin terlibat dalam demo apa saja sepanjang semester satu berlangsung di tahun 2019.
Bagi yang terlibat dalam demo, saya akan memberikan poin lebih untuk nilai akhirnya.
Sehari sebelum demo mahasiswa Sikka di Maumere, yakni pada tanggal 25 September 2019, saya menulis di grup WAG dosen STFK Ledalero sebagai berikut:
“Di dua mata kuliah saya di program PKK STFK Ledalero (Sosiologi Pembangunan dan Kewarganegaraan dan HAM), sejak awal kuliah saya dan mahasiswa sudah membuat kesepakatan, bukan saat demo-demo mahasiswa hari ini. Hal ini bisa dicek sendiri ke mahasiswa saya. Kesepakatannya adalah ‘bagi mahasiswa yang ingin ikut demo boleh tinggalkan kelas saya, tetapi mengirim foto sebagai tanda mengikuti demo dan bersedia memberikan sharing berkaitan dengan demo di kelas untuk pertemuan berikut. Dan, mengikuti demo akan mendapat nilai plus untuk nilai yang baik di akhir semester.’ Ada kabar bahwa besok ada demo di Maumere. Pasti akan ada mahasiswa saya turun demo. Yang tidak turun demo akan mengikuti kegiatan belajar seperti biasa di kelas.”
Apa yang saya tulis ini bisa diverifikasi Elton dan pembaca yang lain, bukan hoax, seperti yang kerap kali dilakukan Elton dalam tulisannya.
Sebab, saya –sejak belajar menulis– selalu berusaha untuk menulis tentang hal yang benar dengan cara yang berani, yang kadang-kadang merugikan saya sendiri.
Ada dua dosen yang berkomentar di grup WAG dosen STFK Ledalero dengan menulis demikian.
Salah satunya menulis demikian: “[d]emo itu bisa saja dibuat. Hal yang perlu sebelum berdemo adalah para mahasiswa mesti tahu apa tujuan mereka berdemo dan apa substansi perjuangan mereka, sehinggga tidak terkesan asal turun demo. Dalam kaitan dengan demo menolak beberapa undang-undang yang baru disahkan oleh DPRI, para mahasiswa diminta untuk membaca undang-undangnya terlebih dahulu, sehingga mereka memiliki pengetahauan dan bisa berargumentasi ketika ditanya oleh pihak lain.”
Dosen yang lain menulis bahwa “[y]ang bisa mengijinkan mahasiswa ikut demo ini adalah institusi atau dosen? Saya setuju dengan masukan [dosen A] agar mahasiswa diberi pemahaman dan pembekalan tentang isi atau tema demo itu sendiri.”
Terhadap dua komentar dosen STFK Ledalero ini, saya tidak meresponsnya karena saya merasa tidak perlu.
Dengan demikian, tuduhan implisit Elton bahwa saya hanya mengkritik mahasiswa STFK Ledalero dan tidak melakukan apa pun adalah tuduhan yang sewenang-wenang dan tidak berdasar, yang hanya dideduksi dari khayalannya yang licik.
Sebagai seorang yang mencintai kebenaran melalui logika materialis Marxis, saya ingin bertindak demokratis.
Saya tentunya tidak bisa seenak perut meninggalkan kelas karena dua alasan.
Pertama, dalam memperkenalkan Marxisme, saya harus bertindak demokratis dengan kesepakatan bersama di kelas. Belajar dari sejarah, Marxisme dan demokrasi harus berjalan seiring sejalan jika tak ingin mengulangi kekeliruan di masa lampau (di beberapa negara yang pernah ingin menjadikan Marxisme sebagai ideologi negara) di kelas saya yang mana saya mengajarkan marxisme sebagai ilmu. Atas alasan dan pertimbangan ini, saya secara sadar tidak bisa meninggalkan kelas karena saya harus mengajar dan mengakomodasi keinginan mahasiswa/i lain yang tidak ingin mengikuti demo dimaksud.
Kedua, saya mematuhi kontrak kerja saya dengan STFK Ledalero, bahwa saya tidak seenak perut meninggalkan kelas karena saya dibayar untuk mendidik mahasiswa baik di kelas maupun di luar kelas.
Namun, di kontrak kerja saya, saya tidak melihat tulisan dan/atau pernyataan bahwa dosen tidak boleh mengizinkan mahasiswa/i-nya berdemo.
Oleh karena itu, saya mengizinkan mereka berdemo.
Apalagi, dengan demo yang dimaksud, dua hari kemudian, pada tanggal 28 September 2019, tiga mahasiswa saya yang mengikuti demo mahasiswa Sikka pada tanggal 26 September 2019 mempresentasikan temuan lapangan mereka saat demo dimaksud, dan kami –saya dan mahasiswa/i yang lain– mendapat banyak ilmu dan informasi dari presentasi ketiga mahasiswa itu, yang tidak bisa kami peroleh dari buku-buku dan artikel ilmiah yang ditulis oleh para ahli dari berbagai negara maju dan dari pemikir-pemikir Indonesia yang lebih banyak berpusat di Jawa, yang tidak begitu peduli sama konteks ekonomi dan politik lokal di Flores yang miskin.
Pada hari itu juga, saya pun mengirim foto soal presentasi demo mahasiswa Sikka di kelas saya ke WAG dosen STFK Ledalero, yang hanya mendapat satu komentar apresiatif dari Dr. Otto Gusti Ndegong Madung, SVD, sebagai Ketua STFK Ledalero sebagai berikut: “[w]ow great, Emil.”
Selain itu, pada tanggal 1 Oktober 2019, saya diwawancarai oleh wartawan Ekora NTT untuk menanggapi demo mahasiswa Sikka pada tanggal 26 September.
Dalam wawancara itu, saya mengatakan dukungan saya dan menentang institusi kampus yang menolak, termasuk pendapat Dr. Gery Gobang, Dosen UNIPA Maumere, yang cenderung mendiskreditkan demo mahasiswa Sikka, yang katanya tidak memiliki pijakan ilmiah, persis komentar-komentar dua dosen STFK Ledalero di WAG yang saya sudah singgung di muka.
Dengan melakukan semua hal ini, berkaitan dengan demo mahasiswa Sikka, tuduhan Elton kepada saya yang yang tidak turun bersama mahasiswa Sikka di Maumere pada tanggal 26 September 2019 adalah sebuah tuduhan remeh-temeh, yang biasa dilakukan oleh seorang pengecut dan ignoramus cum kapitalis di STFK Ledalero.
Keempat, Elton menulis bahwa “Emil sendiri selalu setia hadir di sana [di acara pesta emas STFK Ledalero), makan minum dengan bebas-merdeka.”
Di titik inilah, saya melihat Elton adalah seorang kapitalis yang kikir.
Saya makan minum dengan bebas-merdeka bisa ditafsir macam-macam.
Ketika menulis ini, saya bertanya-tanya,mengapa Elton tidak menulis hal lain, selain soal makan minum?
Misalnya, Elton bisa saja menulis “Emil sendiri selalu setia hadir di acara pesta emas STFK Ledalero, mondar-mandir dengan bebas-merdeka menunjukkan kesombongan intelektualnya.”
Mengapa Elton memilih soal makan-minum dan bukan soal lain?
Bagi saya, pernyataan Elton ini memiliki sebuah maksud tendensius untuk menyudutkan serentak merendahkan martabat saya sebagai buruh di STFK Ledalero, yang menerima gaji ala kadarnya.
Oleh karena itu, bagi saya, pernyataan Elton ini bisa ditafsir bahwa saya makan minum secara gratis, tidak membayar, dan juga tidak tahu malu karena hanya makan-makan minum seenak perut saya sendiri di pesta emas STFK Ledalero, sekolah milik Elton, seorang kapitalis.
Elton mungkin ingin saya memakan dan meminum jamuan pesta emas STFK Ledalero terlebih dahulu harus membayar dengan sejumlah uang agar akumulasi profit STFK Ledalero tidak berkurang dengan pesta pora itu.
Di pesta emas STFK Ledalero itu, sependek ingatan saya, harus saya akui bahwa saya memang melakukan makan-minum secara gratis selama 4 kali seperti yang secara implisit dituduhkan Elton.
Jika satu kali makan, saya, misalnya, harus membayar 100,000 rupiah, maka saya harus membayar 400,000 rupiah.
Namun, kalau pun saya harus membayar untuk jamuan 4 kali makan itu, nilainya, menurut perhitungan saya, masih jauh di bawah waktu dan tenaga yang saya keluarkan untuk menyukseskan pesta emas STFK Ledalero, milik Elton, sang kapitalis itu.
Sebab, di pesta emas STFK Ledalero itu, saya memaparkan artikel penelitian saya tentang “Koperasi dan Reproduksi Kemiskinan di Flores,” yang sudah saya kerjakan sedikit demi sedikit sejak tahun 2012 dengan biaya penelitian sendiri.
Saya tidak menghitung berapa nilai artikel dan presentasi artikel saya itu dalam rupiah dan, apalagi, hal itu tidak perlu karena saya ingin secara tulus membantu STFK Ledalero dalam menyukseskan acara pesta emasnya.
Namun, jika saya menghitung dan membandingkan dengan honor satu tulisan saya di Jakarta Post, Majalah Basis, Koran Tempo,dan Tirto, yang mana proses penulisannya tidak memakan waktu begitu lama dan tidak perlu mempresentasikannya di depan publik seperti paper yang saya presentasikan di seminar internasional dalam rangka memeriahkan pesta emas STFK Ledalero, maka jamuan makan-minum selama 4 kali dalam acara pesta emas itu tidak sebanding dengan tenaga dan pengorbanan saya.
Oleh karena itu, sikap sinis Elton yang demikian hanya dilakukan oleh seorang kapitalis, yang kikir dan rakus. (bersambung…)