Kampanye Politik dan Citra Paslon

Salah satu tantangan terbesar adalah kecenderungan media sosial untuk menyederhanakan pesan-pesan politik yang kompleks menjadi konten yang dangkal dan terfragmentasi

Oleh: Helga Maria Evarista Gero*

Gelar kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 segera dimulai. Alat peraga kampanye telah dipajang dan dipasang. Kampanye di media sosial bahkan sudah berlansung jauh sebelum pasangan calon ditetapkan secara resmi oleh KPUD di masing-masing tingkatan pemerintahan.

Pertanyaan pentingnya ialah akankah kampanye, terutama kampanye di media sosial memberi dampak signifikan terhadap peroleh suara para pasangan calon?

Platform TikTok, Instagram, X, facebook, dan lain-lain memungkinkan pengguna untuk melakukan kampanye dan dalam batas tertentu membuat video pendek yang mudah diakses dan dibagikan. Hal ini memungkinkan Paslon untuk menyampaikan pesan-pesan politik yang kompleks dengan cara yang lebih sederhana dan menyenangkan.

Dalam analisis semiotika kritis, kita dapat melihat bagaimana tanda-tanda visual, seperti warna, gerak tubuh, dan latar belakang video, digunakan oleh Paslon untuk menciptakan citra politik tertentu.

iklan

Misalnya, penggunaan warna-warna cerah yang menarik perhatian atau penggunaan musik populer yang dapat meningkatkan daya tarik konten. Semiotika kritis memungkinkan kita untuk memahami bagaimana elemen-elemen ini bekerja sama untuk menciptakan makna politik dan mempengaruhi persepsi audiens.

Pembentukan Citra Paslon

Dalam analisis semiotika, citra Paslon yang dibangun melalui TikTok, Instagram, X, facebook, dan lain-lain sering kali ditandai oleh penggunaan simbol-simbol yang menciptakan kesan inklusivitas, modernitas, dan kedekatan dengan masyarakat.

Misalnya, Paslon yang memanfaatkan TikTok untuk menampilkan diri mereka di tengah masyarakat, berinteraksi langsung dengan konstituen mereka, atau bahkan mengikuti tren tarian dan tantangan yang sedang viral, sebenarnya sedang berusaha membangun narasi tentang diri mereka sebagai pemimpin yang “merakyat” dan “mudah didekati.”

Seperti yang dibahas oleh Peirce dalam teori semiotikanya, tanda dapat dibagi menjadi tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Dalam konteks kampanye media sosial, Paslon sering menggunakan ikon dan simbol untuk membangun citra yang mereka inginkan.

Misalnya, Paslon yang menggunakan pakaian tradisional atau berada di lingkungan desa sering kali berusaha membangun citra sebagai pemimpin yang peduli pada budaya lokal dan kehidupan masyarakat pedesaan. Penggunaan tanda-tanda ini, ketika diterjemahkan oleh audiens, dapat menciptakan makna yang kuat tentang siapa Paslon tersebut dan bagaimana mereka ingin dilihat.

Namun, analisis semiotika kritis juga membuka ruang untuk mengeksplorasi bagaimana tanda-tanda tersebut dapat dimanipulasi atau dikontraskan dengan realitas sebenarnya. Sebagai contoh, sebuah video TikTok yang menampilkan seorang Paslon mengikuti tantangan atau jargon viral (Manyala Kaka; BungKusss!; Siaaapp) mungkin saja berhasil membentuk citra mereka sebagai pemimpin yang “up-to-date” dan “modern.”

Tetapi, apakah tanda-tanda ini benar-benar mencerminkan kebijakan mereka? Apakah simbol modernitas yang dibangun ini berdasar pada visi dan misi yang jelas untuk membangun Indonesia yang lebih modern dan inklusif?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini merupakan inti dari analisis semiotika kritis, yang tidak hanya melihat tanda sebagai entitas yang netral, tetapi sebagai alat yang dapat digunakan untuk memanipulasi persepsi publik.

Tantangan terhadap Demokrasi

Meski TikTok memberikan ruang baru bagi Paslon untuk berinteraksi langsung dengan pemilih, terutama pemilih flying voters, penggunaan platform ini dalam kampanye politik juga menghadirkan sejumlah tantangan yang patut diperhatikan.

Salah satu tantangan terbesar adalah kecenderungan media sosial untuk menyederhanakan pesan-pesan politik yang kompleks menjadi konten yang dangkal dan terfragmentasi. Dalam konteks ini, flying voters cenderung mendapatkan informasi politik dalam bentuk yang sangat singkat dan terfokus pada aspek hiburan, bukan substansi kebijakan.

Dalam teori semiotika kritis, ini bisa dilihat sebagai bentuk reduksi makna, di mana pesan-pesan politik yang penting dan kompleks disederhanakan menjadi tanda-tanda yang mudah dikonsumsi tetapi kehilangan kedalaman. Sebagai contoh, tarian TikTok atau FB yang viral mungkin berhasil membentuk citra seorang Paslon sebagai pemimpin yang ‘dekat dengan rakyat,’ tetapi apakah tanda ini cukup untuk memberikan informasi yang komprehensif tentang kebijakan ekonomi atau visi pembangunan nasional yang diusung oleh Paslon tersebut?

Dari perspektif yang lebih luas, kita juga harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kampanye politik di TikTok, Instagram, X, facebook, dan lain-lain terhadap demokrasi itu sendiri.

Jika pemilih, terutama flying voters, lebih banyak dipengaruhi oleh tren viral dan tanda-tanda visual daripada kebijakan yang nyata, maka kita menghadapi risiko terjadinya apa yang disebut oleh Debord (1967) sebagai “masyarakat tontonan,” di mana politik lebih berfokus pada citra dan tampilan daripada substansi dan kebijakan.

Dalam “The Society of the Spectacle,” Debord berpendapat bahwa dalam masyarakat modern, tontonan (atau visualisasi) telah menggantikan realitas sebagai pusat kehidupan sosial.

Dalam konteks politik, ini berarti bahwa konten-konten viral di medsos, yang lebih menekankan pada hiburan dan visualisasi, dapat menggeser perhatian publik dari isu-isu politik yang lebih substansial.

Penggunaan media sosial dalam kampanye politik di Indonesia telah menghadirkan peluang baru bagi Paslon untuk berinteraksi dengan pemilih, terutama kelompok flying voters yang belum memiliki afiliasi politik yang kuat.

Melalui analisis semiotika kritis, kita dapat melihat bagaimana tanda-tanda visual, audio, dan teks yang digunakan di TikTok, Instagram, X, facebook, dan lain-lain membentuk citra Paslon dan mempengaruhi persepsi pemilih. Namun, penggunaan media sosial ini juga menghadirkan tantangan, terutama dalam hal penyederhanaan pesan politik yang kompleks menjadi konten yang dangkal dan viral.

Secara keseluruhan, analisis semiotika kritis memberikan wawasan penting tentang bagaimana kampanye politik di media sosial dapat mempengaruhi perilaku pemilih, terutama dalam konteks pemilu di Indonesia.

Sementara tanda-tanda visual dan viralitas di medsos dapat membantu Paslon membangun citra yang kuat, penting untuk mempertimbangkan apakah tanda-tanda ini benar-benar mencerminkan kebijakan dan visi yang mereka tawarkan.

Media sosial sebagai platform kampanye politik memang menawarkan peluang besar, tetapi juga menghadirkan tantangan yang signifikan bagi demokrasi, terutama jika pemilih lebih terfokus pada tampilan visual daripada substansi kebijakan yang ditawarkan oleh Paslon. Inilah catatan penting bagi semua pegiat demokrasi di mana pun di muka bumi.


*Penulis adalah Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA