Maumere, Ekorantt.com – Pandemi Covid-19 telah memberi dampak negatif terhadap perekonomian masyarakat, terlebih pada usaha perdagangan pakaian bekas atau rombengan. Para pedagang mengelus dada dan menjerit lantaran menurunnya omset mereka.
Di Maumere, NTT, rombengan atau sering disebut RB mulanya cukup populer. Selain harganya terjangkau, kualitas pakaian impor itu terjamin sehingga banyak minat dari masyarakat.
Namun, ketika Covid-19 menerpa dan meluluhlantakan sendi-sendi kehidupan ekonomi masyarakat, rombengan mulai hilang pamornya. Para pedagang kemelut dan menjerit karena tidak mendapatkan keuntungan seperti sedia kala.
Rosmina (52), pedagang rombengan Pasar Alok berkisah tentang kerugian yang dialami mencapai puluhan juta selama pandemi Covid-19.
“Hasil penjualan pakaian rombengan sejak awal sangat menjanjikan bahkan sehari bisa meraup satu sampai dengan dua juta rupiah. Tetapi sekarang hanya tinggal kenangan,” ujar Rosmina yang geluti usaha pakaian bekas sejak tahun 1990.
Bagi dia, spekulasi untung-rugi dari penjualan rombengan normatifnya memang sudah dikalkulasi sejak awal. Namun, nilai kerugian yang bisa mencapai puluhan juta membuat dia terpukul.
Ibu empat anak ini mengakui tak berdaya karena sangat sepi pembelinya yang mempengaruh terhadap pendapatan keluarga mereka. Bahkan setiap kali tak mendapatkan sepeserpun dan pulang ke rumah dengan tangan hampa.
“Ya kebun kami di Pasar Alok. Entah laku atau tidak, ya datang saja,” ujarnya.
Rosmina mengenangkan masa indah ketika usaha bisnis ini sungguh menjanjikan ketika berjualan di Pasar Perumnas-Maumere kemudian pindah ke Pasar Waioti. Selanjutnya kembali ke Pasar Perumnas dan Pasar Tingkat.
“Di Pasar Alok ini betul-betul penghasilan dari usaha pakaian ex luar negeri ini betul-betul sepi,” ujar Rosmina.
Ia pun menunjuk lapak-lapak kosong itu karena penjual-penjual memilih jalan pasar. Sebab, jika tetap bertahan berjualan di Pasar Alok dengan keadaan sepi tanpa pembeli justru membebani cicilan pinjaman.
Senada dengan Rosmina, pedagang lain yang turut berkeluh kesah ialah Ina (34), ibu asal Riung, Kabupaten Ngada. Ina berkata kurangnya pengunjung ke lapak-lapak rombengan sangat mempengaruhi terhadap usahanya itu.
“Kemarin saya pulang tanpa sepeserpun. Mau bagaimana lagi. Lapak ini tiap bulan bayar Rp50 ribu. Jadi datang saja kalau rezeki syukur kalau tidak dapat juga bersyukur,” ujar Ina.
Ia mengatakan sebelum Covid-19 penjual pakaian tidak tanggung-tanggung membeli. Karena sudah pasti pembelinya ramai dan mendapatkan keuntungan lumayan.
“Bos rombengan ini juga pikiran karena perputaran modal lamban karena sepi begini,” terangnya.
Sementara pedagang rombengan lainnya, Mba Dwi (36), harus mengalih pada usaha warung akibat dampak dari Covid-19.
“Ada yang memiliki dua kapling. Satunya jualan rombengan kapling lain untuk buka lapak makanan untuk para pengunjung atau teman penjual. Hal ini dilakukan karena betul-betul sepi pembelinya,” tutur ibu asal Gresik Jawa Timur ini.
“Kalau bertahan jual di Pasar Alok tidak bisa mengangsur pinjaman,” sambung Dwi.
Dwi juga menambahkan sebelum pandemi Covid-19 bisa meraup Rp500 ribu- Rp1 juta. Tapi sekarang ini menurun drastis.
Yuven Fernandez