Elton Mengarang
Kesulitan terbesar memahami tulisan
Elton adalah ketidakjelasan posisi intelektualnya dalam polemik ini.
Ketidakjelasan ini disebabkan oleh
beberapa hal.
Pertama,
Elton menulis dan menolak tentang sesuatu yang tidak dia ketahui secara baik.
Kedua,
Elton kerap kali tidak memahami konsep-konsep dan terminologi kunci, yang
sangat penting dalam perdebatan ini.
Ketiga,
Elton tidak cakap dan teliti dalam membaca tulisan lawan debatnya.
Berdasarkan tiga alasan ini,
tulisan Elton yang kurang jelas posisi intelektualnya lebih merupakan sebuah karangan
asal-asalan.
Karangan seperti ini lebih
merupakan hasil dari sebuah khayalan dari pada refleksi kritis yang didasarkan
pada pelacakan dan pemahaman literatur dan pengamatan realitas sosial yang
tepat dan cermat.
Bagi Elton, logos adalah
“pengetahuan yang terus berkembang dan sadar akan kegunaan dalam sejarah.”
Dengan demikian, Elton sejatinya
memahami logos berbeda dengan pemahaman Yunani, seperti yang dipahami
oleh Toni.
Seperti Heraklitus, Toni melihat logos
sebagai sumber dan budi ilahi bagi nilai-nilai etis dan politis dan sekaligus
sebagai sebab imanen terhadap segala sesuatu yang berubah secara konstan, yakni
benda-benda partikular, termasuk STFK Ledalero itu sendiri, di dalam universum.
Elton, sebaliknya, melihat logos
sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan terus berevolusi dalam sejarah.
Logos
yang dipahami Elton adalah logos dalam huruf kecil, sedangkan logos
yang dipahami Toni adalah Logos dalam huruf besar.
Dengan demikian, logos-nya
Elton adalah logos yang materialis, sedangkan logos-nya
Toni adalah logos yang idealis.
Berdasarkan logika dialektik
materialis Marxis, saya sendiri, berbeda dengan Toni dan Elton, memahami logos
sebagai kesatuan antara logos materialis dan logos idealis.
Karena itu, logos serentak
dalam dirinya tetap dan berubah, idealis dan realis, seperti yang ditegaskan
dalam kotbah Kleden dalam upacara peringatan pesta emas STFK Ledalero pada
tanggal 8 September 2019, di depan Kapela Agung Seminari Tinggi Ledalero (Flores
Pos, 14/19/2019).
Sebagai orang beriman dan ilmiah
sekaligus, saya yakin bahwa tentu penggerak utama perubahan itu, logos,
adalah yang idealis serentak realis.
Namun, yang serentak idealis dan
realis ini tetap sekaligus berubah dan tidak menutup dan mengisolasi dirinya
sendiri karena, seperti dalam teologi terlibatnya Paul Budi Kleden, logos ini selalu bergerak secara
dialektis antara gerakan anabatis dan katabatis, seperti yang
sudah saya singgung di muka.
Dalam bukunya Diolog Antaragama
dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead, Kleden (2002: 172)
menegaskan, logos, Allah, adalah “satuan aktual yang berada dalam proses
bipolar,” yakni logos “memiliki hakikat awali dan akhiri,” yang
menjadikan-Nya “satuan aktual.”
Lanjut Kleden (2002: 172-173), logos
ini “menjadi dirinya sebagai proses intergrasi kedua hakikat-Nya.
Di dalam proses integrasi ini, dia
menerima apa yang diserap oleh hakikat akhiri-Nya sebagai perwujudan dari apa
yang sudah dirancangkan secara konseptual di dalam hakikat awali-Nya.”
Dengan demikian, logos
selalu berada dalam dialektika abadi antara diri-Nya dengan dunia ciptaan-Nya,
yang bukan sepenuhnya diri-Nya.
Kita —karena itu— tidak dapat memahami logos tanpa melihat bubungannya dengan
dunia.
Sebab, “[d]unia adalah tempat, di
mana apa yang dikonsepkan di dalam
hakikat awali Allah diwujudkan” (Kleden
2002: 173).
Dengan demikian, seperti dalam
bahasa platonik, pengetahuan tentang logos, Sang Sabda, hanya dapat
diproduksi bila opini — pengalaman akan
dunia yang terus berubah-ubah ini— dilebur di dalam logos.
Jadi, seperti logika dialektika
materialis yang menegaskan A sama dengan A dan non-A, maka logos, dalam
pengertian dialektika materialis Marxis, adalah serentak diri-Nya sendiri dan
bukan sepenuhnya diri-Nya sendiri.
Dengan demikian, dalam logika
dialektika materialis Marxis, Marxisme sebagai bagian dari logos, menjadikan
dirinya sebagai ilmu, bukan dogma.
Elton mempertentangkan antara ilmu
dan pengetahuan, yang —menurut saya — kurang bermanfaat dalam perdebatan ini. Apalagi,
kesulitan lainnya adalah bagaimana harus meletakan ilmu dan pengetahuan dalam
konteks logos.
Dalam konteks logos, menurut
saya, ilmu dan pengetahuan tidak berbeda. Keduanya satu dan sama.
Dalam alam filsafat Yunani, Plato
membedakan pengetahuan dan opini, yakni opini yang berobjekan pengalaman
indrawi yang berubah-ubah (doxa) dan
pengetahuan berobjekan logos, forma yang bersifat tetap (episteme).
Tetapi, bagi Plato, pengalaman
indrawi, seperti fungsi katalis dalam reaksi kimia, tetap diperlukan untuk mencapai
pengetahuan (Beoang, 1997).
Secara
dialektika materialis Marxis, benda yang hadir dalam pengalaman indrawi ini
disebut electron.
Di dalam
elektron ini terdapat kodrat (logos)
yang dinamakan listrik (Malaka, 2015).
Karena itu,
benda, dalam hal ini, adalah sarana untuk mencapai kodrat atau logos (Malaka, 2013).
Menurut
Malaka (2015: 40), “benda
mesti dahulu kita saksikan, barulah di belakangnya bisa kita saksikan
kodratnya.”
Berbeda
dari Plato, karena
didasarkan pada benda,
dialektika materialis Marxis, Marxisme sebagai logos, yakni ilmu
pengetahuan Marxisme, bukanlah sesuatu yang tetap seperti logos
dalam pengertian Yunani.
Sebagai ilmu, Marxisme tunduk
terhadap the law of evolution dan
filsafat falsifikasi Karl Raimund Popper, yakni ia tetap selalu menjadi hipotesis
yang kapan saja bisa difalsifikasi agar sesuai dengan perubahan dan
perkembangan dunia.
The law of evolution adalah yang telah menginspirasi Kant dalam menjelaskan
tentang keberadaan berbagai
planet di alam raya ini, yang tidak lahir dari kekosongan, tetapi hadir dalam waktu tertentu dan terus berkembang (Malaka
2015: 40-41),
yang kemudian
menginspirasi Hegel dalam menulis Philosophy
of History yang gagal.
Akan tetapi, kegagalannya telah menginspirasi Marx di
kemudian hari untuk
menemukan solusi yang lebih masuk akal melalui metode materialisme
historis yang digerakan oleh logika dialektika materialis Marxis (Novack, 1975: 65).
The law of evolution pula yang menginspirasi Darwin yang mengurai
tentang timbul dan tenggelamnya hewan dan tumbuhan.
Kedigdayaan
the law of evolution ini mendorong Malaka (2015: 41) berkesimpulan bahwa
“…walaupun sesuatu sistem dari sesuatu sistem dari suatu ilmu itu bisa mati, hukum evolusi, the law of evolution akan tetap tinggal.”
Namun,
dalam filsafat falsifikasi Popper, semua ilmu hanyalah sebuah hipotesis, yang
menunggu aksi falsifikasi pada waktu dan titik tertentu.
Bila the
law of evoultion difalsifikasi
dan runtuh, maka
hilang pula ilmu biologi, ilmu tentang hewan dan tumbuhan;
Sebuah teori yang pernah
mengubah wajah dunia yang telah menginspirasi baik secara langsung maupun tidak
langsung banyak ilmuwan seperti yang sudah disebutkan tadi, yakni Darwin, Kant,
Hegel, dan
kemudian Marx.
Bila the
law of evolution tidak membuat hukum yang menjerat
kehancuran dirinya sendiri, logika dialektika materialis Marxis melakukan itu
untuk menjerat kehancuran dirinya sendiri.
Tentang hal ini, George Novack (1975: 71) menegaskan bahwa “para
pendukung metode dialektika mengakui bahwa semua formula harus provisional,
terbatas, tidak pasti, sebab semua bentuk dari realitas adalah sementara (transient) dan terbatas. Hukum
dialektika ini juga harus berlaku untuk ilmu dialektika dan untuk memformulasikan
hukum-hukum dan konsep-konsepnya. Karena metode dialektika berhadapan dengan
realitas yang terus berubah, kompleks dan kontradiktoris, formulanya memiliki
kelemahan keterbatasan intrinsik. Dalam interaksinya dengan realitas objektif dan dalam proses
perkembangannya sendiri berkaitan dengan aktivitas itu, pemikiran dialektis
menciptakan, memelihara dan kemudian mendepak setiap formula dalam setiap tahap
dari pertumbuhannya. Logika dialektika
itu sendiri bertumbuh dan berubah, seringkali dalam derap yang kontradiktif,
bergantung pada kondisi spesifik material dan intelektual yang mendorong
perkembangannya. Logika dialektika sudah melewati dua tahap krusial dalam
perkembangannya dalam bentuk idealis versi Hegel dan dalam bentuk materialis Marxisme.”
Karena itu, semua teori, termasuk teori logika
dialektika materialis Marxis, terus
berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan perkembangan dunia yang menjadi
objek
kajiannya.
Dengan demikian,
Elton sejatinya telah melakukan pembohongan dan pembodohan publik dengan
mengatakan bahwa saya sedang mendirikan filsafat kemapanan.
Padahal, jika Elton
dapat membaca dengan jeli, dia menemukan pernyataan-pernyataan saya dalam
tulisan saya yang dikritisinya seperti: “logika dialektika Marxis menekankan
pada realitas yang terus berubah, dan logika dialektika materialis Marxis itu
sendiri pun akan terus berubah sesuai dengan objek yang dikajinya. Karena itu,
logika dialektika materialis Marxis tidak memiliki formula yang tetap, baku,
dan tak berubah seperti logika formal. Keinginan untuk menetapkan hukum baku
dan tetap bagi logika dialektika materialis Marxis adalah tindakan yang
bertentangan dengan logika dialektika materialis Marxis itu sendiri.”
Adalah mustahil
untuk ilmu, yakni Marxisme, yang sejak awal sudah memproklamasikan perlawanan
atas diri sendiri digolongkan dengan semena-mena sebagai bagian dari filsafat
kemapanan, seperti yang secara brutal dituduhkan oleh Elton.
Logika dialektika
materialis Marxis adalah hasil dari sebuah proses evolusi pemikiran panjang,
yang melewati waktu yang lama sekitar 200o tahun dari Plato hingga Hegel dan
tiba pada Marx.
Dalam proses yang
panjang itu, apa yang masih dipikirkan Elton di kepalanya secara
setengah-setengah dan belum tuntas sudah diselesaikan oleh para filsuf ini
dalam rentang sejarah yang panjang itu.
Adalah sebuah
kekeliruan besar Elton yang membangun sebuah tuduhan tanpa terlebih dahulu
memeriksa evolusi pemikiran dalam sejarah filsafat.
Akibatnya, tuduhan
Elton seperti seorang yang datang terlambat di tengah sebuah forum diskusi para
filsuf, dengan tidak tahu diri langsung angkat berbicara tanpa tahu apa-apa
tentang persoalan yang sudah dilewatkan beberapa waktu lalu dalam diskusi itu.
Tuduhan semacam ini
tidak akan menghasilkan pengetahuan (logos), tetapi kegaduhan
ketidaktauan (amathia) di forum diskusi, yang pantas untuk ditertawakan.
Tuduhan-tuduhan palsu lain yang
remeh temeh juga banyak dikarang Elton dalam tulisannya, yang juga
mengarah pada amathia dalam bahasa Yunani atau ignorantia dalam
bahasa Latin, yang semuanya menjauhkan diri dari logos.
Elton menulis bahwa saya sedang
menentang pemikiran sendiri yang berdasarkan logika dialektika materialis Marxis
karena saya menegaskan bahwa STFK “hanya dapat berkembang dan berubah hanya
dengan menerima Marxisme sebagai sebuah ilmu.”
Tuduhan ini menurut saya disebabkan
atas keterbatasan logos dalam diri
Elton untuk memahami perbedaan ilmu dan dogma.
Jika saya mengatakan STFK Ledalero seharusnya
menerima Marxisme sebagai dogma, maka tuduhan Elton terhadap saya benar. Dogma
cenderung bersifat tetap, tak berubah, dan tidak jarang memaksa walau sudah
tidak lagi cocok dengan realitas dunia yang terus berubah.
Namun, yang saya tegaskan adalah
menerima Marxisme sebagai ilmu.
Sebagai ilmu, Marxisme dapat
dikritik, diperbaiki, dan bahkan bisa dilenyapkan jika tak sesuai lagi dengan
realitas dunia yang terus berubah ini.
Sejatinya, contoh lain
mengenai persoalan dogma dan ilmu dapat dijelaskan secara lebih sederhana
berangkat dari tulisan Elton sendiri.
Berdasarkan penilaian para mahasiswa di STFK Ledalero, Elton adalah seorang yang pandai
menulis.
Sebagai
dogma, pernyataan ini tidak dapat digugat, yang harus diterima apa pun alasannya.
Namun, saya
tidak menjadikan penilaian
terhadap kepandaian menulis Elton sebagai dogma, melainkan sebagai ilmu.
Karena itu, saya mencoba dengan
tekun untuk memeriksa tulisan tanggapannya untuk artikel saya di Flores Pos (14/9/2019) dan menemukan sebuah kalimat tanya
yang ditulis Elton sebagai berikut: “Dengan menyebut STFK perlu “berhati-hati,”
bukankah itu juga menyiapkan kemungkinan untuk “memberi hati” bila yang namanya
“kemungkinan” juga merupakan suatu kepastian?”
Terhadap
kalimat ini, saya membaca berulang-ulang, tetapi juga tetap tidak memahami isinya.
Elton
rupanya terlalu sibuk dengan gaya penulisan sastra dengan kata-kata bersayap
dan lupa jika kalimat ini tanpa arti yang jelas.
Saya
sendiri berpikir, seorang
dewa Hermes dari mitologi Yunani pun tak dapat memahami
dan menafsir kalimat
Elton itu.
Dengan
demikian, saya berkesimpulan Elton tidak pandai menulis.
Namun,
kesimpulan ini pasti menimbulkan
reaksi dari para pendukung Elton yang sangat dogmatis
dengan pengetahuannya tentang Elton, yang terus mencari-cari pembenaran terhadap pernyataan Elton yang tanpa
isi itu dengan menggunakan filsafat hermeneutik yang diajarkan
Dr. Leo Kleden SVD, misalnya.
Sederhananya,
perbedaan antara ilmu dan dogma adalah seperti saya berusaha meruntuhkan upaya
medogmatiskan kepintaran Elton dalam hal menulis di STFK Ledalero.
Begitu pula
dengan Marxisme, dogmatisme terhadapnya mestinya juga dilawan, sebab dialektika materialis Marxis
yang menjadi bagian dari Marxisme itu sendiri tidak mengizinkan pendogmatisan itu yang
bertentangan dengan
hukum dialektika yang menggerakkan seluruh bangunan Marxisme itu.
Dengan
demikian, mempertentangkan antara ilmu dan pengetahuan yang
dibangun oleh Elton tidak berguna dalam perdebatan ini.
Apalagi, Elton sendiri tidak
mengklarifikasikan, apa itu ilmu dan apa itu pengetahuan dan bagaimana
mengoperasionalisasikannya
dalam tulisannya, yang bagi saya menimbulkan kebingungan yang gaduh.
Apalagi, Elton sendiri sudah sejak
awal tidak memahami perbedaan antara ilmu dan dogma, sebuah kekurangan yang
sangat besar bagi seorang yang ingin membangun sebuah filsafat yang membebaskan
melalui sebuah medan penelitian sosial.
Sebagai seorang yang berambisi
membangun filsafat yang membebaskan melalui sebuah medan penelitian sosial,
Elton patut bertanggung jawab atas pembacaan yang salah terhadap sebuah
literatur dan kemalasan menguliti literatur sebelum berpendapat tentang logos
yang dipahaminya.
Sebagai seorang mahasiswa sarjana filsafat
di tingkat akhir, Elton masih belum dapat membedakan antara kata seharusnya (should)
dan harus (must).
Seharusnya
adalah saran, yang tidak memaksa, sedangkan, harus adalah sebuah
pemaksaan, yang mesti dilakukan.
Elton menulis “sudah seharusnya yang
dimaksudkan Emil adalah sebuah keharusan, maka itu berarti juga sebuah
pemaksaan.”
Apalagi, pernyataan ini dibangun
dari hipotesa yang dibangun Toni, yang sama sekali tidak saya tulis dalam
tulisan saya.
Elton harusnya membaca tulisan
saya, sebagai sumber pertama, bukannya membangun argumentasi dan tuduhan dari
sumber kedua.
Apalagi, yang dirujuk itu adalah
hanyalah sebuah hipotesa yang semena-mena.
Selain itu, Elton juga menuding
bahwa saya memaksa pengajaran Marxisme di STFK Ledalero untuk melawan
undang-undang pembredelan buku Marxis di Indonesia hari ini.
Tuduhan seperti ini hanya dilakukan
oleh seseorang yang tidak membaca dan menekuni literatur dengan serius dan
teliti.
Saya tidak pernah mengatakan hal
itu, sebab, dalam tulisan saya terdahulu (Flores Pos, 14/9/2919), saya
menegaskan bahwa “[k]arena logika dialektika materialis Marxis bersumber pada Marxisme,
maka sudah seharusnya STFK Ledalero meneruskan dan membiarkan para dosen dan
mahasiswa mempelajari Marxisme sebagai ilmu dengan bebas dan bertanggung jawab
ditengah gelombang pembredelan buku-buku berbau Marxis di Indonesia
hari ini.”
Dalam kalimat ini, pembredelan buku
hanyalah keterangan kondisi hari ini di Indonesia sebagai mana ditunjuk dengan
“di tengah”
yang menunjukkkan keterangan suasana
bukan kata “karena” yang menunjukkan alasan, seperti yang dipahami Elton
dalam seluruh tulisannya.
Alasan saya menyarankan pengajaran Marxisme
di STFK Ledalero adalah karena logika dialektika materialis Marxis yang sudah
mendominasi pesta emas STFK Ledalero bersumber pada Marxisme.
Lebih jauh, jika Elton memiliki
minat yang sungguh-sungguh untuk membawa filsafat terjun dalam medan penelitian
sosial, Elton seharusnya mencari tahu dan membaca evolusi pemikiran saya di
literatur lain, mengapa STFK Ledalero perlu mempelajari Marxisme di STFK
Ledalero, yang diterbitkan di Ekora NTT (19/9/2019) lima hari sebelum
tulisan Toni terbit (Flores Pos 24//9/2019), yang kemudian ditanggap
Elton dua hari kemudian (Flores Pos 26/9/2019).
Di Ekora NTT (19/9/2019),
saya menulis kurang lebih tiga alasan Marxisme perlu dipelajari di STFK
Ledalero sebagai berikut.
Pertama, di STFK Ledalero, sebagai sebuah institusi ilmiah yang
mengajarkan Filsafat, Teologi dan ilmu agama, Filsafat Marxisme patut
dipelajari karena pembahasan tentang tema-tema ini selalu bersinggungan dengan Marxisme
entah secara positif maupun negatif.
Kedua, di STFK Ledalero,
sosiologi merupakan salah satu disiplin ilmu yang penting, yang hari ini sedang
diajar dan dipelajari oleh para dosen dan mahasiswa di STFK Ledalero.
Sebagaimana, menurut Alfred North Whitehead, semua filsafat Barat hari ini
selalu merupakan catatan kaki dari Plato, maka sosiologi hari ini selalu
merupakan catatan kaki dua sosiolog besar: Max Weber dan Karl Marx. Atas alasan
ini, semua institusi yang mengajarkan sosiologi perlu juga secara serius
memperkenalkan Marxisme.
Ketiga, ilmu-ilmu Marxisme dan non-Marxisme perlu diajarkan secara
bersama-sama di STFK Ledalero. Dialektika antara ilmu Marxisme dan non-Marxisme,
menurut saya, akan menjadikan STFK Ledalero menjadi sebuah institusi yang
berwarna akademik, yang membiarkan pertarungan dialektik antara berbagai
pandangan berseberangan sebagai suatu yang wajar dan biasa. Namun, menurut
saya, baik ilmu Marxisme maupun non-Marxisme dalam dunia kampus, khususnya STFK
Ledalero, tidak boleh digeluti dan dipelajari sebagai sebagai sebuah ideologi,
melainkan sebagai ilmu.
Selanjutnya,
verbalisme Elton dalam mendorong filsafat terjun dalam medan penelitian sosial
membuatnya menghadirkan analisa yang sewenang-wenang berdasarkan konteks era
disrupsi hari ini.
Menurut
Elton, konteks ini membuat banyak orang mulai menyebarkan dan mempelajari Marxisme
secara mandiri melalui situs dan media online hari ini.
Pertanyaan,
banyak itu berapa orang? Lima puluh
orang atau seratus orang? Klaim banyak ini dibandingkan dengan jumlah yang mana?
Yang tidak mempelajari Marxisme?
Pengklaiman
seperti ini tanpa menghadirkan data tak ubahnya gaya bicara para politisi busuk, yang lebih pandai menebar hoax daripada menghadirkan logos.
Selain
itu, Elton, dalam tulisannya, secara implisit mereduksi fungsi guru, sekolah,
dan universitas.
Seolah-olah
fungsi guru, sekolah, dan universitas dapat direduksi dengan situs-situs dan
media-media online hari ini yang menyebarkan Marxisme.
Namun,
klaim Elton ini belum bisa dibuktikan oleh dirinya sendiri, yang kelihatan
sempoyongan membahas apa itu Marxisme dengan pelbagai tuduhan yang hanya
dideduksi dari khayalan daripada pembacaan yang serius terhadap literatur Marxis
itu sendiri.
Sebagai
seorang yang baru belajar Marxisme, menurut saya, bila seorang, apalagi seorang
yang belum menyelesaikan studi sarjana filsafat, seperti Elton, dibiarkan
seorang diri membaca Das Kapital-nya
Marx, misalnya, tanpa bimbingan seorang guru, yang pernah mempelajarinya secara
serius, maka orang itu kemungkinan besar akan tersesat dalam proses
pembelajarannya.
Jika
mengikuti kesimpulan Elton, di era disrupsi hari ini, seharusnya sekolah dan
universitas sudah semakin berkurang dan bahkan hilang dari sejarah karena
kecanggihan teknologi mutakhir seperti yang disinggung Elton dapat menggantikan
peran-peran guru dan institusi pendidikan.
Namun,
kenyataan hari ini terjadi sebaliknya.
Semakin
banyak Negara di dunia berlomba-lomba menginvestasikan modalnya dengan
mendirikan sekolah dan universitas berkelas di dunia dan merekrut guru-guru dan
dosen-dosen terbaik dari seluruh dunia.
Dengan
naiknya jumlah kelas menengah Indonesia, siswa dan mahasiswa Indonesia menjadi
target dari beberapa Negara di dunia untuk merekrut mereka demi mengakumulasi
modal.
Hari ini,
jumlah mahasiswa Indonesia di luar negeri sekitar 20.225 orang, menjadikannya
negara ke 22 dunia yang paling banyak mengirim mahasiswanya ke luar negeri (Kompas
8/4/2019).
Dengan
demikian, kesimpulan yang dideduksi hanya dari sebuah khayalan filosofis
seorang Elton ternyata berjarak terlalu jauh dari realitas dunia hari ini.
Karena
itu, filsafat yang harus melibatkan diri dalam medan penelitian sosial yang
digagas oleh Elton harus pertama-tama
menghantam dan memenggal logos dan/atau hoax Elton sendiri yang mengarang kesimpulan
tanpa sebuah penelitian dan pengamatan sosial terlebih dahulu. (bersambung…)