Pikiran yang Dikendalikan oleh Mesin

Maumere, Ekorantt.com – Beberapa waktu lalu, publik Kabupaten Sikka dan NTT umumnya heboh dengan pemberitaan beberapa media terkait kasus perundungan di lembaga pendidikan Seminari St. Maria Bunda Segala Bangsa, Maumere. Kehebohan ini tampak pada platform-platform media sosial dengan beragam respons, yang kemudian bisa dipetakan ke dalam dua bentuk.

Pertama, publik memberi kutuk atas judul dan isi berita yang dianggap tidak berimbang, seolah-olah media menggeneralisasi penghakiman kepada institusi pendidikan padahal pelaku perundungan adalah siswa; dan kedua, kebalikannya, publik menyerang pihak lembaga pendidikan seminari dengan berbagai perangkat moral yang menyertainya.

Esensi dari kasus tersebut tentu bisa didiskusikan lebih jauh; cara saji pemberitaan media juga dapat ditelaah. Namun, fenomena respons di media sosial tadi menjadi kian menarik apabila dibahas dalam keterhubungannya dengan kesadaran pikiran manusia atas suatu produk pemberitaan.

Tanpa bertendensi untuk menjadi penasihat moral, tulisan ini coba memberikan eksplanasi singkat perkara kerja mesin (internet) dan bagaimana ia menghukum kita untuk ikut arus di dalamnya. Meskipun ini sebenarnya sudah banyak dibicarakan di mana-mana, baik dalam obrolan di warung kopi maupun pada forum-forum ilmiah.

Pertama-tama, kita mesti mengakui bahwa keberadaan internet juga “media baru” merupakan bagian dari sejarah peradaban yang berlangsung cukup panjang. Gejolak penemuan teknologi, ditandai dengan munculnya revolusi industri di Eropa (Inggris), mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia.

iklan

Manusia, yang awalnya berurusan dengan perangkat kerja sederhana, mau tak mau harus berhadapan dengan mesin sebagai alat produksi. Manusia pun mengalami otomatisasi, bekerja mengikuti logika mesin, bahkan menjadi seperti mesin itu sendiri. Hal ini menjadi salah satu titik tolak pemikiran filsuf Karl Marx dalam menguraikan kapitalisme di Eropa waktu itu.

Seturut perkembangan zaman, berbeda dengan awal pengembangan mesin pada era revolusi industri abad ke-18 itu, mesin teknologi internet tidak serta merta memanfaatkan fisik manusia untuk melakukan pengelolaan atasnya. Di dalamnya ada pikiran yang terkooptasi lewat pemrograman dan beragam bentuk aktivitas lainnya. Internet yang mulai muncul sejak tahun 1960 ini memberikan pengaruh tersendiri. Salah satunya ialah adanya “media baru” tersebut; suatu penyebutan untuk membedakan dengan media tradisional yang memakai mesin cetak.

“Media baru” ini membuat nilai-nilai lama runtuh, urusan privat-publik semakin tak jelas dan persebaran pengetahuan jadi begitu tak terkendali. Dalam suatu “semangat zaman”, orang menyebut ini sebagai era pascakebenaran, langgam berpikir postmodernistik dan bentuk globalisasi gaya baru.

Walaupun begitu, “media baru” ini sebenarnya punya watak kerja yang sama dengan mesin-mesin Eropa sebagaimana awal kemunculan dan perkembangannya. Mereka sama-sama memanfaatkan individu manusia dan pada titik tertentu mengeksploitasi kesadaran kita.

Bedanya, dulu yang lebih banyak tampak “tersiksa” adalah tubuh fisik, sekarang pikiran kita-lah yang benar-benar dikendalikan oleh mesin teknologi media ini. Ia menjadi penyedia banyak informasi lantas timbulkan ketergantungan bagi kita. Hal ini kemudian membuat kita bertanya-tanya; kira-kira informasi mana yang harus dipercayai atau sumber mana yang mesti jadi rujukan.

Melanjuti ini, kita tahu, internet punya algoritma tersendiri yang memudahkan orang menemukan informasi tertentu sesuai preferensi digitalnya. Apa yang sering kita cari atau bicarakan lewat macam-macam perangkat digital akan dilayani dengan mudah oleh kerja mesin algoritma. Dalam konteks media sosial, hal ini bisa membuat sesuatu urusan menjadi “viral” jika semakin banyak diperbincangkan.

Di samping itu, orang-orang yang bekerja untuk menyediakan informasi ini pun sebetulnya sedang terjebak di dalamnya.  Kerja mesin algoritma yang membantu kinerja kepentingan pengiklanan/pasar menyebabkan beberapa pekerja informasi tertuntut untuk menghasilkan produk kerja yang mengundang orang untuk mengklik. Semakin banyak sebuah media pemberitaan digital dirujuk, semakin besar peluangnya mendapatkan iklan.

Oleh karena itu, kita sebagai publik penikmat “media baru” ini –meskipun seharusnya kita katakan sebagai media saja- mesti tahu, di balik setiap berita heboh yang kita konsumsi ada kerja mesin yang mengendalikan para pekerjanya. Dengan begitu, jika tak puas atas produk suatu media yang menurut kita hanya sekadar sensasi atau bualan belaka, kita bisa memeriksa kembali kuat tidaknya eksploitasi mesin tersebut terhadap jurnalis yang membuatnya.

Jika kita malah tampil marah-marah, tanpa banyak duduk tenang dan memperhatikan isi pemberitaan secara detail, sebenarnya pikiran kita juga sedang larut dalam pengendalian mesin itu sendiri. Akumulasi atas ini bisa sangat berbahaya terutama pada aspek kesadaran kita; salah satunya nalar kritis terabaikan.

Sebaliknya, apabila sadar bahwa kerja mesin “media baru” ini begitu mengerikan, kita seharusnya lebih bisa tahu diri; hal mana yang harus kita sebar, mana yang harus kita marah-marah dalam hati dan mana yang benar-benar tepat untuk dirongsokkan ke dalam lubang sampah. Jika tidak, kita hanya akan jadi alat yang lain untuk mendaur ulang hal-hal yang kita sendiri anggap sebagai sampah.  Bukan jarimu harimaumu, tapi pikiranmu harimaumu!

TERKINI
BACA JUGA