Buku ‘Pengantar Linguistik Nariq Edang’, Ikhtiar Alex Wulohering Merawat Bahasa Kedang

Buku ini diharapkan dapat menjadi sumber daya yang bermanfaat bagi generasi sekarang dan mendatang dalam mempelajari dan menjaga kekayaan bahasa daerah.

Lewoleba, Ekorantt.com – Buku ‘Pengantar Linguistik Nariq Edang’ karya Alex Puaq Wulohering resmi diluncurkan di Ballroom Hotel Olympic Lewoleba, Kabupaten Lembata, Rabu, 29 Mei 2024

Alex, penulis yang kini berusia 73 tahun, berasal dari Wa’kio, Desa Panama, Kecamatan Buyasuri Kedang.

Ia menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Katolik (SRK) Aliuroba, melanjutkan ke SMP dan SMA Seminari San Dominggo Hokeng, kemudian meraih gelar Sarjana Muda Kateketik dari Akademi Pendidikan Kateketik (APK) Ruteng dan gelar Sarjana S1 Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero.

Selama sepuluh tahun terakhir, Alex menghabiskan waktunya untuk mendalami ilmu linguistik secara otodidak melalui studi pustaka dan penelitian di kampung halamannya.

Buku ini merupakan hasil kerja keras Alex selama masa pensiunnya. Melalui ‘Pengantar Linguistik Nariq Edang’, Alex mengangkat bahasa Kedang, bahasa daerah yang dituturkan oleh masyarakat Kedang yang meliputi dua wilayah kecamatan di Lembata yaitu Buyasuri dan Omesuri.

Ia berharap karyanya ini dapat menarik perhatian banyak orang terhadap pentingnya melestarikan bahasa ibu agar tidak punah tergerus oleh bahasa dengan jumlah penutur yang banyak.

“Penekanan yang berlebihan atas pentingnya penguasaan bahasa-bahasa asing tidak boleh diartikan sebagai ‘supremasi’ atas bahasa-bahasa daerah yang adalah bahasa ibu kita,” jelas Alex.

Jika ancaman terselubung tersebut terus dibiarkan, menurut dia, bukan tidak mungkin pada suatu saat kelak bahasa-bahasa asing ini akan meminggirkan, bahkan menghapus keberadaan bahasa-bahasa daerah dari kamus bahasa dunia.

“Telah menjadi pengetahuan umum bahwa dewasa ini banyak bahasa daerah sudah punah atau minimal terancam punah. Banyak di antaranya tinggal namanya saja.”

Menghadapi ancaman menurut dia, diperlukan langkah konkret untuk melindungi bahasa-bahasa daerah dari ancaman kepunahan.

Sebagai penutur bahasa daerah tertentu harus mempunyai ‘rasa memiliki’ yang kuat terhadap bahasa ibu agar dapat bertahan di tengah derasnya arus ancaman bahasa-bahasa asing.

“Hanya dengan cara demikian kita tidak memberi kesan seolah-olah bahasa ibu, bahasa pertama kita, lebih rendah kelasnya ketimbang bahasa-bahasa kedua dan ketiga tersebut,” kata Alex.

“Sebagai anggota masyarakat bahasa daerah tertentu kita tak perlu merasa malu, apalagi minder, memakai bahasa ibu kita sendiri.”

Alex menjelaskan, penulisan buku ini adalah sebuah ikhtiar atau ‘langkah kecil’ dalam upaya merawat dan melestarikan bahasa Kedang sebagai warisan budaya dan penanda jati diri ‘ate di’en Edang’ atau orang Kedang.

“Semula saya hanya ingin menggarap keterampilan ber-nariq Edang sebagai bahan muatan lokal pada sekolah-sekolah dasar dan tingkat lanjutan pertama di seputar wilayah Kedang. Tujuannya untuk memperdalam serta meningkatkan kemahiran berbahasa Kedang pada sekolah-sekolah tersebut, yang mayoritas siswanya berbahasa ibu bahasa Kedang,” ungkapnya.

Alex juga menyoroti kurangnya referensi tentang linguistik teoretis bahasa Kedang. Sepengetahuannya, telah ada beberapa ahli seperti van Trier, Ursula Samely, dan Barnes yang sudah menulis tentang bahasa Kedang. Namun karya-karya mereka hanya beredar di kalangan terbatas dan tidak mudah diakses pembaca awam.

“Atas dasar itu saya memberanikan diri menggarap aspek linguistik teoretis bahasa Kedang ini. Jadi, yang sedang Anda baca ini adalah ‘ilmu bahasa Kedang’ atau limu Nariq Eidang karena yang dikaji dalam buku ini adalah aspek linguistik teoretisnya,” tandas dia.

Alex berharap buku ini dapat dijadikan sumber belajar untuk pembelajaran keterampilan ber-nariq Edang sebagai bahan muatan lokal.

Namun untuk dapat dijadikan sumber belajar bagi pengajaran muatan lokal bahasa Kedang, lanjut dia, buku ini perlu diolah lagi oleh para guru yang profesional dalam kurikulum bahasa karena keterampilan berbahasa termasuk dalam domain linguistik terapan.

Guru perlu memilih topik-topik yang relevan dan menyusunnya kembali dalam bentuk materi ajar yang sesuai dengan tingkat satuan pendidikan dan usia para peserta didik.

Ia mengakui bahwa dirinya tidak memiliki latar belakang pendidikan linguistik dalam pendidikan formalnya.

Namun, bertolak dari keyakinan bahwa proses belajar itu terbuka bagi siapa saja, tanpa batasan usia dan tingkat pendidikan, serta minatku yang besar terhadap topik ini, ia meyakinkan diri pasti bisa.

“Karena itu, apa yang tersajikan dalam buku ini sebenarnya lebih merupakan pengungkapan kembali hasil belajar saya secara otodidak,” ungkap Alex.

Ia menegaskan, acara peluncuran ini tidak hanya menjadi momentum penting bagi pelestarian bahasa Kedang, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan kepada budaya lokal yang kaya.

“Kehadiran para pejabat daerah, tokoh masyarakat, serta warga penutur bahasa Kedang menunjukkan dukungan yang kuat terhadap upaya pelestarian bahasa dan budaya daerah,” tandas Alex.

Buku ini, dengan dimensi 155 x 230 mm dan terdiri dari 440 halaman, diterbitkan oleh Penerbit Ledalero.

Alex berharap semakin banyak masyarakat yang menyadari pentingnya melestarikan bahasa dan budaya lokal.

Buku ini diharapkan dapat menjadi sumber daya yang bermanfaat bagi generasi sekarang dan mendatang dalam mempelajari dan menjaga kekayaan bahasa daerah.

Diketahui, acara peluncuran ini dipimpin oleh Ketua panitia Wilhelmus Leuweheq dan dihadiri oleh Penjabat Bupati Lembata, para kepala organisasi perangkat daerah (OPD), para tokoh masyarakat Lembata, para kepala sekolah, serta camat dan kepala desa dari wilayah Omesuri dan Buyasuri, serta masyarakat penutur bahasa Kedang di Lewoleba.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA